Hati Senang

Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir al-Qurthubi (4/8)

Tafsir al-Qurthubi

Dari Buku:
Tafsir al-Qurthubi
(Jilid 20 – Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh Imam al-Qurthubi
(Judul Asli: al-Jāmi‘-ul-Aḥkām-ul-Qur’ān)

Penerjemah: Dudi Rosyadi dan Faturrahman
Penerbit PUSTAKA AZZAM

Firman Allah:

وَ أَنَّا مِنَّا الصَّالِحُوْنَ وَ مِنَّا دُوْنَ ذلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا. وَ أَنَّا ظَنَنَّا أَنْ لَّنْ نُّعْجِزَ اللهَ فِي الْأَرْضِ وَ لَنْ نُّعْجِزَهُ هَرَبًا.

072: 11. Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.

072: 12. Dan sesungguhnya kami mengetahui, bahwa kami sekali-kali tidak akan dapat melepaskan diri (dari kekuasaan) Allah di muka bumi dan sekali-kali tidak (pula) dapat melepaskan diri (dari)-Nya dengan lari.

(Qs. al-Jinn [72]: 11-12).

Mengenai dua ayat ini dibahas dua masalah:

Pertama: Firman Allah s.w.t.: (وَ أَنَّا مِنَّا الصَّالِحُوْنَ وَ مِنَّا دُوْنَ ذلِكَ) “Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya.” Ini adalah perkataan para jinn, yakni: mereka berkata kepada yang lainnya setelah mereka mengajak bangsa mereka itu untuk beriman kepada Nabi s.a.w. Makna ayat ini adalah: sesungguhnya sebelum kami mendengarkan al-Qur’ān di antara kami ada yang shalih dan ada juga yang kafir.

Ada juga yang berpendapat, bahwa makna dari firman Allah s.w.t. (وَ مِنَّا دُوْنَ ذلِكَ) adalah: sebagian dari kami ada yang tingkat keshalihannya lebih rendah daripada mereka yang shalih. Dan makna ini lebih mengena daripada menafsirkan antara keimanan dan kekafiran.

(كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا) “Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” As-Suddī menafsirkan, maknanya adalah: kelompok yang berbeda-beda. Adh-Dhaḥḥāk menafsirkan, agama yang bermacam-macam. Sedangkan Qatādah menafsirkan, hawa nafsu yang berlainan.

Inti maknanya adalah tidak semua bangsa jinn itu kafir, mereka berbeda-beda, ada yang kafir, ada juga yang shalih dan beriman, dan ada juga yang beriman saja namun tidak shalih.

Al-Musayyab menafsirkan, bahwa makna firman di atas adalah: di antara kami ada yang beragama Islam, ada juga yang beragama Yahudi, atau juga Nasrani, dan ada juga yang Majusi.

Lalu as-Suddī juga berkomentar mengenai firman Allah s.w.t.: (كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا) “Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” Menurutnya, bangsa jinn juga sama dengan manusia, mereka juga ada yang beraliran Qadariyyah, Murji‘ah, Khawārij, Rāfidhah, Syī‘ah, dan Sunniyyah.

Lalu ada juga yang menafsirkan, bahwa makna firman di atas adalah: setelah kami mendengarkan lantunan ayat-ayat al-Qur’ān kami menanggapinya berbeda-beda, ada yang langsung beriman dan ada pula yang tetap pada kekafirannya, lalu di antara yang beriman juga ada yang shalih dan ada pula yang hanya beriman saja namun tidak berusaha untuk menjadi shalih.

Dari kesemua pendapat ini, yang paling baik adalah pendapat yang pertama. Karena, pada bangsa jinn juga terdapat mereka yang beriman kepada Nabi Mūsā, dan ada juga yang beriman kepada Nabi ‘Īsā, sebagaimana tersirat pada firman Allah s.w.t.: (إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوْسَى مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ.) “Sesungguhnya kami telah mendengarkan Kitāb (al-Qur’ān) yang telah diturunkan sesudah Mūsā yang membenarkan Kitāb-Kitāb yang sebelumnya.” (2431).

Ayat ini menunjukkan bahwa di antara mereka juga ada yang beriman kepada Kitāb Taurāt, dan ini usaha keras mereka dalam mengajak bangsa mereka untuk beriman. Dan memang tidak ada faedah bagi mereka untuk mengatakan bahwa di antara mereka ada yang beriman dan ada pula yang kafir.

Mengenai kata (طَرَائِقَ), kata ini adalah bentuk jama‘ dari tharīqah yang artinya tempat acuan bagi seseorang. Dan makna kata ini pada ayat di atas adalah: kami terbagi-bagi menjadi kelompok yang berbeda-beda. Seperti halnya ketika seseorang mengatakan al-qaum tharā’iq, maka maknanya adalah kaum tersebut memiliki tempat acuan yang berbeda-beda.

Sedangkan makna dari kata qidad (قِدَدًا) adalah: salah satu kelompok. Dan kata qidad ini menjadi penegas dari kata tharā’iq yang disebutkan sebelumnya, karena qidad adalah bentuknya jama‘ sama seperti tharā’iq. Dan bentuk tunggal dari kata ini adalah qiddah. Dikatakan, likulli tharīqin qiddah (setiap tempat acuan itu memiliki kelompok). Pada awalnya kata ini digunakan untuk sebutan ikat pinggang, yakni qadd-us-suyūr. (2442).

Adapun al-qidd (dengan menggunakan ḥarakat kasrah pada huruf qāf) maknanya adalah tali untuk mengikat pinggang yang terbuat dari kulit. Seperti dikatakan: mā lahu qiddun wa lā qihfun, yang artinya ia tidak memiliki apa-apa, tidak punya bejana yang terbuat dari kulit dan tidak juga bejana yang terbuat dari kayu.

Kedua: Firman Allah s.w.t.: (وَ أَنَّا ظَنَنَّا أَنْ لَّنْ نُّعْجِزَ اللهَ فِي الْأَرْضِ وَ لَنْ نُّعْجِزَهُ هَرَبًا.) “Dan sesungguhnya kami mengetahui, bahwa kami sekali-kali tidak akan dapat melepaskan diri (dari kekuasaan) Allah di muka bumi dan sekali-kali tidak (pula) dapat melepaskan diri (dari)-Nya dengan lari.” Kata (ظَنَنَّا) yang disebutkan pada ayat ini berbeda dengan kata yang sama disebutkan pada ayat sebelumnya, yaitu: (وَ أَنَّا ظَنَنَّا أَنْ لَّنْ تَقُوْلَ الْإِنْسُ وَ الْجِنُّ عَلَى اللهِ كَذِبًا) “Dan sesungguhnya kami mengira, bahwa manusia dan jinn sekali-kali tidak akan mengatakan perkataan yang dusta terhadap Allah.” (Qs. al-Jinn [72]: 5). Dan juga: (وَ أَنَّهُمْ ظَنُّوْا كَمَا ظَنَنْتُمْ أَنْ لَّنْ يَبْعَثَ اللهُ أَحَدًا) “Dan sesungguhnya mereka (jinn) menyangka sebagaimana persangkaan kamu (orang-orang kafir Makkah), bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang (rasūl) pun.” (Qs. al-Jinn [72]: 7).

Di mana pada kedua ayat ini artinya adalah “mengira atau menyangka” sedangkan pada ayat di atas artinya adalah mengetahui dan meyakini.

Adapun kata (هَرَبًا), kata ini adalah mashdar yang berada pada posisi keterangan. Yakni, dengan melarikan diri.

Makna ayat ini secara keseluruhan adalah, para jinn itu berkata: kami meyakini, dengan cara meneliti tanda-tanda yang ada bertafakkur pada ayat Allah, bahwa kami ini berada dalam genggaman-Nya dan kekuasaan-Nya. Kami tidak akan dapat melepaskan diri dari-Nya walaupun dengan cara melarikan diri ataupun dengan cara-cara yang lainnya.

Firman Allah:

وَ أَنَّا لَمَّا سَمِعْنَا الْهُدَى آمَنَّا بِهِ فَمَنْ يُؤْمِنْ بِرَبِّهِ فَلَا يَخَافُ بَخْسًا وَ لَا رَهَقًا. وَ أَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُوْنَ وَ مِنَّا الْقَاسِطُوْنَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُوْلئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا. وَ أَمَّا الْقَاسِطُوْنَ فَكَانُوْا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا.

072: 13. Dan sesungguhnya kami tatkala mendengar petunjuk (al-Qur’ān), kami beriman kepadanya. Barang siapa beriman kepada Tuhannya, maka ia tidak takut akan pengurangan pahala dan tidak (takut pula) akan penambahan dosa dan kesalahan.

072: 14. Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barang siapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus.

072: 15. Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api neraka Jahannam.

(Qs. al-Jinn [72]: 13-15).

Mengenai ayat-ayat ini dibahas dua masalah:

Pertama: Firman Allah s.w.t.: (وَ أَنَّا لَمَّا سَمِعْنَا الْهُدَى آمَنَّا بِهِ) “Dan sesungguhnya kami tatkala mendengar petunjuk (al-Qur’ān), kami beriman kepadanya.” Yakni beriman kepada Allah, beriman kepada Nabi s.a.w. dan kepada ajaran yang dibawa olehnya, dan meyakini bahwa beliau diutus oleh Allah s.w.t. kepada seluruh manusia dan juga kepada bangsa jinn.

Al-Ḥasan mengatakan bahwa Allah s.w.t. tidak pernah mengutus seorang rasūl yang berasal dari bangsa jinn, tidak juga dari penduduk Badui, dan tidak pula dari golongan wanita, hal ini disebutkan dalam firman Allah s.w.t.: (وَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إلَّا رِجَالًا نُوْحِيْ إِلَيْهِمْ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى.) “Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri.” (2453).

Dalam kitab Shaḥīḥ disebutkan:

بُعِثْتُ إِلَى الْأَحْمَرَ وَ الْأَسْوَدَ.

Dan aku diutus juga kepada orang-orang yang berkulit merah dan orang-orang yang berkulit hitam.” (2464) Yakni kepada bangsa jinn dan manusia.

Firman-Nya: (فَمَنْ يُؤْمِنْ بِرَبِّهِ فَلَا يَخَافُ بَخْسًا وَ لَا رَهَقًا) “Barang siapa beriman kepada Tuhannya, maka ia tidak takut akan pengurangan pahala dan tidak (takut pula) akan penambahan dosa dan kesalahan.” Ibnu ‘Abbās mengatakan bahwa makna dari firman ini adalah, seseorang yang beriman kepada Tuhannya maka ia tidak khawatir catatan perbuatan baiknya akan dikurangi, dan ia juga tidak khawatir jika catatan perbuatan buruknya ditambahi.

Makna dari kata al-bakhs (بَخْسًا) adalah pengurangan, dan makna ar-rahaq (رَهَقًا) adalah tenggelam dalam perbuatan dosa.

Firman ini disampaikan kepada Nabi s.a.w. untuk mengisahkan tentang para jinn yang baik keislamannya dan sangat kokoh keimanannya.

Kata (يَخَافُ) dibaca oleh jumhur ulama dengan marfū‘ (yakni menggunakan ḥarakat dhammah pada huruf fā’), dengan prediksi makna yang dimaksud adalah: “sesungguhnya ia tidak takut.”

Namun beberapa ulama membaca kata ini dengan majzūm (yakni menggunakan sukūn pada huruf fā’), dengan alasan karena kata ini sebagai jawaban dari bentuk klausul kalimat sebelumnya. Para ulama tersebut di antara lain adalah al-A‘masy, Yaḥyā, dan Ibrāhīm. (2475).

Kedua: Firman Allah s.w.t.: (وَ أَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُوْنَ وَ مِنَّا الْقَاسِطُوْنَ) “Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran.” Yakni, setelah mendengarkan ayat-ayat suci al-Qur’ān kami menjadi berbeda-beda, sebagian dari kami segera mengislamkan diri, sedangkan sebagian yang lainnya tetap dalam kekufuran.

Makna dari kata al-qāsith (الْقَاسِطُوْنَ) adalah al-jā’ir (orang yang menyimpang), karena seorang yang qāsith itu pasti telah menyimpang dari jalan kebenaran. Berbeda halnya dengan al-muqsith, arti dari kata ini adalah seorang yang benar, karena seorang yang muqsith telah berjalan di jalur yang benar.

Kata al-qāsith sendiri asalnya adalah qasatha, yang maknanya adalah menyimpang. Sedangkan makna dari aqsatha adalah melakukan penyimpangan.

(فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُوْلئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا) “Barang siapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus.” Yakni, mereka yang masuk ke dalam agama Islam adalah orang-orang yang bermaksud mengambil jalan kebenaran dan meniatkannya.

(وَ أَمَّا الْقَاسِطُوْنَ) “Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran”. Yakni, yang menyimpang dari jalan kebenaran dan keimanan.

(فَكَانُوْا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا) “maka mereka menjadi kayu api neraka Jahannam.” Yakni, bahan bakar api neraka.

Bentuk fi‘il mādhī (lampau/past tense) yang disebutkan pada firman ini (فَكَانُوْا) menandakan bahwa mereka itu akan menjadi penghuni neraka menurut Ilmu Allah.

Catatan:

  1. 243). (Qs. Al-Aḥqāf [46]: 30).
  2. 244). Dalam kitab ash-Shiḥḥah disebutkan, kata al-qidd (yakni denggan menggunakan ḥarakat kasrah pada huruf (qāf) artinya adalah tali yang digunakan untuk mengikat pinggang yang terbuat dari kulit. Sedangkan kata al-qiddah lebih spesifik lagi. Bentuk jama‘ dari kata ini adalah aqadd. Dan kata qiddah juga dapat bermakna jalan atau kelompok manusia yang memiliki keinginan yang berbeda-beda, seperti dikatakan kunnā tharā’iq qidada maknanya: kami memiliki jalan yang berbeda-beda.
  3. 245). (Qs. Yūsuf [12]: 109).
  4. 246). HR. Muslim pada pembahasan tentang masjid (1/371). Diriwayatkan juga oleh ad-Dārimī pada pembahasan tentang kisah perjalanan Nabi s.a.w., bab: nomor 28. Diriwayatkan pula oleh Aḥmad dalam al-Musnad (1/250).
  5. 247). Qirā’ah ini tidak termasuk qirā’ah sab‘ah yang mutawātir. Dan bacaan ini disebutkan oleh az-Zamakhsyarī dalam al-Kasysyāf (4/148), dan disebutkan juga oleh Ibnu ‘Athiyyah dalam al-Muḥarrar-ul-Wajīz. (16/137).
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.