Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir al-Qurthubi (3/8)

Dari Buku:
Tafsir al-Qurthubi
(Jilid 20 – Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh Imam al-Qurthubi
(Judul Asli: al-Jāmi‘-ul-Aḥkām-ul-Qur’ān)

Penerjemah: Dudi Rosyadi dan Faturrahman
Penerbit PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir al-Qurthubi

Firman Allah:

وَ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ سَفِيْهُنَا عَلَى اللهِ شَطَطًا. وَ أَنَّا ظَنَنَّا أَنْ لَّنْ تَقُوْلَ الْإِنْسُ وَ الْجِنُّ عَلَى اللهِ كَذِبًا. وَ أَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوْهُمْ رَهَقًا. وَ أَنَّهُمْ ظَنُّوْا كَمَا ظَنَنْتُمْ أَنْ لَّنْ يَبْعَثَ اللهُ أَحَدًا.

072: 4. Dan bahwa: orang yang kurang akal dari kami dahulu selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah.

072: 5. Dan sesungguhnya kami mengira, bahwa manusia dan jinn sekali-kali tidak akan mengatakan perkataan yang dusta terhadap Allah.

072: 6. Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jinn, maka jinn-jinn itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.

072: 7. Dan sesungguhnya mereka (jinn) menyangka sebagaimana persangkaan kamu (orang-orang kafir Makkah), bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang (rasūl) pun.

(Qs. al-Jinn [72]: 4-7).

Mengenai ayat-ayat ini dibahas tiga masalah:

Pertama: Firman Allah s.w.t.: (وَ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ سَفِيْهُنَا عَلَى اللهِ شَطَطًا) “Dan bahwa: orang yang kurang akal dari kami dahulu selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah.Dhamīr hā’ pada kata (أَنَّهُ) kembali kepada kejadian atau perkara. Kata (كَانَ) adalah isim anna, dan kalimat yang disebtukan setelah kata (كَانَ) adalah khabar anna. Atau, bisa juga kata (كَانَ) sebagai kata tambahan atau pelengkap.

Adapun yang dimaksud dengan kata safīh (سَفِيْهُنَا) pada ayat ini, menurut Mujāhid, Ibnu Juraij, dan Qatādah adalah Iblīs, seperti yang diriwayatkan dari Abū Burdah bin Abī Mūsā, dari ayahnya, dari Nabi s.a.w.

Lalu ada juga yang berpendapat bahwa maksud dari kata safīh adalah kaum musyrikin dari bangsa jinn. Seperti yang dikatakan oleh Qatādah, bahwa safīh dari golongan jinn itu juga berbuat maksiat sama seperti maksiat yang dilakukan oleh safīh dari golongan manusia.

Sedang kata asy-syathath (شَطَطًا) atau kata al-isytithāth maknanya adalah perbuatan yang melewati batas dalam hal kekafiran. Namun menurut Abū Mālik, makna dari kata ini adalah perbuatan dosa. Dan menurut al-Kalbī, makna kata ini adalah kebohongan.

Makna awal dari kata ini sebenarnya adalah “jauh”, lalu dipergunakan pada makna perbuatan dosa karena perbuatan seseorang yang jauh dari keadilan, dan juga dipergunakan pada makna kebohongan karena perkataan seseorang yang jauh dari kebenaran.

Kedua: Firman Allah s.w.t. (وَ أَنَّا ظَنَنَّا أَنْ لَّنْ تَقُوْلَ الْإِنْسُ وَ الْجِنُّ عَلَى اللهِ كَذِبًا) “Dan sesungguhnya kami mengira, bahwa manusia dan jinn sekali-kali tidak akan mengatakan perkataan yang dusta terhadap Allah.” Yakni, kami kira bangsa jinn dan manusia tidak akan berbohong mengenai Allah, oleh karena itu ketika mereka mengatakan bahwa Allah memiliki teman hidup dan keturunan, kami langsung mempercayainya, sampai akhirnya kami mendengar langsung lantunan ayat-ayat suci al-Qur’ān, hingga terkuaklah pintu kebenaran di hadapan kami.

Beberapa ulama, di antaranya Ya‘qūb, al-Jahdarī, dan Ibnu Abī Isḥāq, membaca kata (تَقَوَّلَ) pada ayat ini menjadi taqawwala. (2361).

Sebagian ulama berpendapat, bahwa pemberitahuan mengenai bangsa jinn terhenti pada ayat ini, dan untuk firman Allah selanjutnya: (وَ أَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنْسِ) “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia,” bagi para ulama yang membaca kata (أَنَّهُ) dengan menggunakan ḥarakat fatḥah pada huruf hamzah, dan menggabungkan ayat ini dengan ayat-ayat lainnya yang menjadi perkataan dari bangsa jinn, maka ayat ini masih kembali kepada firman Allah s.w.t.: (أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ) “Bahwasanya: sekumpulan jinn telah mendengarkan (al-Qur’ān).

Sedangkan bagi para ulama yang membacanya dengan menggunakan ḥarakat kasrah pada huruf hamzah, maka ayat ini adalah permulaan dari Kalām Ilāhī. Adapun maknanya adalah tidak sepantasnya jika seseorang berada di suatu lembah lalu mengatakan “aku berlindung kepada pemilik lembah ini dari segala keburukan yang ada di tempat ini” lalu orang tersebut bermalam di lembah tersebut hingga pagi hari.

Pendapat ini disampaikan oleh al-Ḥasan, Ibnu Zaid, dan para ulama lainnya.

Muqātil mengatakan: kaum pertama yang meminta perlindungan kepada jinn adalah kaum yang berasal dari negeri Yaman, kemudian melebar ke bani Ḥanīfah, kemudian semakin meluas ke seluruh negeri ‘Arab. Setelah datangnya agama Islam, mereka meninggalkan kebiasaan buruk mereka itu dan menggantinya menjadi meminta perlindungan kepada Allah.

Kardam bin Abis-Sā’ib berkata: aku pernah mengadakan perjalanan ke kota Madīnah bersama ayahku setelah kami mendengar kabar di utusnya Nabi s.a.w. Sewaktu di perjalanan, kami menginap di tempat seorang penggembala domba. Ketika datangnya tengah malam tiba-tiba datanglah seekor serigala untuk mencuri salah satu dari domba yang digembalakannya. Lalu si penggembala domba itu berkata: “Wahai penjaga lembah, aku ini adalah tetanggamu.” Tiba-tiba ada sumber suara yang mengatakan: “Wahai Sirḥān, kembalikanlah domba tersebut.” Lalu domba tersebut pun kembali dalam keadaan menggigil. Bersamaaan dengan kisah inilah Allah menurunkan firman-Nya kepada Rasūlullāh s.a.w. yang berada di kota Makkah, yaitu firman Allah s.w.t. yang menyebutkan: (وَ أَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوْهُمْ رَهَقًا) “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jinn, maka jinn-jinn itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.

Ibnu ‘Abbās, Mujāhid, dan Qatādah menafsirkan, bahwa makna ayat tersebut adalah: bangsa jinn yang dimintai perlindungan itu hanyalah menambahkan kesalahan dan dosa bagi manusia saja.

Penafsiran ini sesuai dengan makna dari kata rahaq menurut etimologi, yaitu bergelimang dosa dan perbuatan yang diharamkan. Seseorang yang selalu berbuat dosa juga disebut dengan rajulun rāhiq. Makna ini juga disebutkan pada firman Allah s.w.t.: (وَ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ) “Dan mereka ditutupi kehinaan (akibat perbuatan dosa.)” (2372).

Lalu penambahan itu dilekatkan kepada bangsa jinn, dikarenakan merekalah yang menjadi penyebab manusia melakukannya.

Berbeda dengan penafsiran lain yang disampaikan oleh Mujāhid, ia mengatakan: yang bertambah dosanya akibat perbuatan manusia meminta perlindungan dari jinn adalah jin itu sendiri, mereka bertambah sesat hingga bertambahlah dosanya, hingga berkatalah para jinn itu: kami dimasukkan ke lembah hitam oleh bangsa jinn dan juga manusia.

Qatādah juga menyampaikan penafsiran yang lainnya, yang juga disampaikan oleh Abul-‘Āliyah, ar-Rabī‘, dan Ibnu Zaid, mereka mengatakan: makna ayat ini adalah: dengan perbuatannya itu manusia akan bertambah kengerian dan ketakutan mereka terhadap bangsa jinn.

Sa‘īd bin Jubair menafsirkan, yang dimaksud dari kata rahaq adalah kekufuran, yakni: meminta perlindungan kepada jinn akan menambahkan kekafiran kepada manusia. Karena seperti diketahui bahwa meminta perlindungan kepada jinn dan bukannya meminta perlindungan kepada Allah adalah perbuatan syirik dan kufur.

Dikatakan pula, bahwa kata laki-laki biasanya tidak dilekatkan kepada bangsa jinn (yakni bangsa jinn tidak disebut dengan pria ataupun wanita), oleh karena itu makna ayat di atas bisa ditafsirkan bahwa yang dilakukan manusia tersebut adalah meminta perlindungan dari suatu keburukan yang dilakukan oleh bangsa jinn, namun perlindungan itu diminta dari manusia lainnya. Misalnya orang tersebut berkata: aku memohon perlindungan kepada Ḥudzaifah bin Badar, dari jinn yang ada di lembah ini.

Namun pendapat ini dibantah oleh al-Qusyairī, ia mengatakan bahwa pendapat tersebut hanya berdasarkan pada opini sendiri saja, karena bukan tidak mungkin dan tidak pernah sebutan laki-laki ditujukan kepada bangsa jinn.

Ketiga: Firman Allah s.w.t.: (وَ أَنَّهُمْ ظَنُّوْا كَمَا ظَنَنْتُمْ أَنْ لَّنْ يَبْعَثَ اللهُ أَحَدًا) “Dan sesungguhnya mereka (jinn) menyangka sebagaimana persangkaan kamu (orang-orang kafir Makkah), bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang (rasūl) pun.” Ini adalah Kalām Ilāhī yang ditujukan kepada manusia. Makna ayat ini adalah: bahwa bangsa jinn mengira Allah tidak akan membangkitkan makhluk-Nya seperti yang juga kamu kira.

Sedangkan al-Kalbī mengatakan bahwa makna ayat ini adalah: bangsa jinn mengira seperti yang diperkirakan oleh manusia, bahwa Allah tidak akan mengutus Rasūl-Nya kepada para makhluk yang akan menegakkan hujjah terhadap mereka nanti. Semua ini adalah penegasan hujjah terhadap musyirikin Quraisy, yakni: apabila bangsa jinn saja telah beriman kepada Nabi s.a.w., mengapa kalian tidak mau beriman, padahal kalian seharusnya lebih dahulu beriman.

Firman Allah:

وَ أَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيْدًا وَ شُهُبًا. وَ أَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ فَمَنْ يَسْتَمِعِ الْآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَّصَدًا. وَ أَنَّا لَا نَدْرِيْ أَشَرٌّ أُرِيْدَ بِمَنْ فِي الْأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا.

072: 8. Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api.

072: 9. Dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang barang siapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).

072: 10. Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka.

(Qs. al-Jinn [72]: 8-10).

Mengenai tiga ayat ini dibahas tiga masalah:

Pertama: Firman Allah s.w.t.: (وَ أَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيْدًا وَ شُهُبًا) “Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api.” Ini adalah perkataan para jinn. Makna ayat ini adalah: ketika kami ingin memperdengarkan kabar yang ada di langit seperti yang biasa kami lakukan, tiba-tiba kami melihat di sana telah dipenuhi dengan para malaikat yang menjaga kerahasiaan kabar tersebut.

Kata al-ḥaras (حَرَسًا) adalah bentuk jama‘ dari ḥāris (penjaga). Sedangkan asy-syuhub (شُهُبًا) adalah bentuk jama‘ dari syihāb, yang maknanya adalah sambaran bongkahan batu di angkasa yang terbakar (meteor) ketika ada yang mencuri-curi pendengaran berita di lauḥ-il-maḥfūzh.

Mengenai hal ini kami telah membahasnya secara lengkap pada tafsir surah al-Ḥijr (2383) dan tafsir surah ash-Shaffāt. (2394).

Adapun untuk kata wajada (فَوَجَدْنَاهَا), bisa diprediksikan kata ini memiliki dua maf‘ūl sekaligus (muta‘addī ilā maf‘ūlain), yaitu dhamīr hā’ ta’nīts yang melekat pada kata tersebut untuk maf‘ūl yang pertama, sedangkan untuk maf‘ūl yang kedua adalah kata (مُلِئَتْ).

Bisa juga diprediksikan hanya memiliki satu maf‘ūl saja (muta‘addī ilā maf‘ūlin wāḥidin), yaitu dhamīr hā’ ta’nīts, sedangkan untuk kata (مُلِئَتْ) berada pada posisi keterangan yang menghilangkan kata qad (yakni qad muli’at/telah terisi penuh).

Dengan begitu bisa dikatakan bahwa manshūb-nya kata (حَرَسًا) disebabkan karena kata ini berposisi sebagai maf‘ūl yang kedua dari kata (مُلِئَتْ). Sedangkan kata (شَدِيْدًا) adalah sifat dari kata (حَرَسًا), yakni: dipenuhi dengan para malaikat yang sangat keras. Alasan digunakannya bentuk tunggal para kata (شَدِيْدًا), adalah karena mengikuti kata yang disifatinya, yaitu (حَرَسًا), seperti halnya ketika kita mengatakan salaf-ush-shāliḥ, di mana yang seharusnya adalah salaf-ush-shāliḥīn. Bentuk jama‘ dari kedua kata ini juga sama, yakni bentuk jama‘ dari kata salaf adalah aslāf dan bentuk jama‘ dari ḥaras adalah aḥrās.

Atau bisa juga kata (حَرَسًا) pada ayat ini berposisi sebagai mashdar, dan prediksi maknanya adalah: ḥarisat ḥarāsatan syadīdatan (menjaga dengan penjagaan yang ketat).

 

Kedua: Firman Allah s.w.t.: (وَ أَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ فَمَنْ يَسْتَمِعِ الْآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَّصَدًا.) “Dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang barang siapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).” Maksud dari kata (مَقَاعِدَ) pada ayat ini adalah tempat-tempat yang dijadikan pos oleh para jinn untuk mencuri-curi kabar dari langit. Yakni, para pembesar dari bangsa jinn telah terbiasa melakukan hal itu untuk mencuri dari para malaikat yang menjaga kabar yang turun dari langit, lalu kabar tersebut diberikan kepada para tukang tenung di bumi, seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya. Lalu tatkala Nabi s.a.w. telah diutus oleh Allah untuk menjadi Rasūl, maka kabar-kabar itu dijaga dengan ketat, dan para jinn yang bersikeras ingin mendapatkannya maka akan disambar oleh meteor atau petir yang akan membakar tubuh mereka.

Beberapa ulama berpendapat bahwa sambaran petir itu belum pernah ada sebelum Nabi s.a.w. diutus sebagai Rasūl, dan sambaran petir itu adalah salah satu mukjizat yang diberikan kepada beliau. Namun, sebenarnya para ulama salaf telah memperdebatkan hal ini sebelumnya, apakah petir itu disambarkan sebelum Nabi s.a.w. diutus, ataukah itu hanya terjadi setelah Nabi s.a.w. diutus?

Al-Kalbī meriwayatkan, sebagian ulama salaf berpendapat bahwa pada masa tenggang antara diangkatnya Nabi ‘Īsā a.s. ke atas langit dengan diutusnya Nabi Muḥammad s.a.w. ke muka bumi adalah lima ratus tahunan, dan selama itu langit tidak terdapat penjagaan apapun. Setelah Nabi s.a.w. diutus barulah langit diberikan penjagaan yang ketat, hingga tidak ada lagi makhluk-makhluk yang mencuri kabar apapun dari langit, karena ke tujuh langit telah dijaga oleh para malaikat dan meteor yang siap menghantam siapa saja yang melanggarnya.

Menurut saya (al-Qurthubī), pendapat ini sejalan dengan riwayat yang disampaikan oleh ‘Athiyyah al-‘Aufī, dari Ibnu ‘Abbās, yang riwayatnya disebutkan oleh Al-Baihaqī. Dan ulama lainnya yang menyebutkan pendapat yang sama di antara lain adalah:

‘Abdullāh bin ‘Umar, ia berkata: Pada hari di mana Nabi s.a.w. diutus sebagai seorang Nabi, para syaithan tidak dapat lagi mencuri kabar dari langit, dan mereka dihantam oleh sambaran petir.

‘Abd-ul-Mālik bin Sābūr mengatakan: pada masa tenggang antara Nabi ‘Īsā dan Nabi Muḥammad s.a.w. tidak ada penjagaan di atas langit, lalu ketika Nabi s.a.w. diutus maka langit itu dijaga, dan syaithan yang mencoba mencuri kabar akan disambar oleh petir, dan mereka tidak lagi dapat turun ke muka bumi.

Nāfi‘ bin Jubair mengatakan: pada masa tenggang itu para syaithan yang mencuri-curi kabar dari langit tidak dilemparkan apapun, namun ketika Nabi s.a.w. telah diutus mereka dilemparkan dengan petir.

Hal yang serupa juga disampaikan oleh Ubai bin Ka‘ab, ia berkata: tidak ada yang pernah disambar oleh meteor semenjak Nabi ‘Īsā a.s. diangkat dari muka bumi, namun setelah Nabi s.a.w. diangkat menjadi Rasūl para syaithan itu dilempari.

Sebagian ulama lainnya berpendapat lain, mereka mengatakan bahwa penjagaan itu telah ada sebelum Nabi s.a.w. diutus, namun setelah beliau menjadi Nabi penjagaan itu diperketat, sebagai peringatan atas kerasulannya. Dan inilah yang dimaksud dari kata (مُلِئَتْ) yang disebutkan pada ayat sebelum ini, yakni ditambahkan perjagaannya. Aus bin Ḥajar yang hidup di zaman jahiliyyah pernah bersyair:

Lalu meteor itu menukik seperti bintang yang sangat terang. Meteor itu diikuti
oleh suara yang menggelegar laksana lolongan srigala
. (2405).

Inilah pendapat kebanyakan dari para ulama.

Syair tersebut di atas tadi dibantah keras oleh al-Jāḥizh, ia mengatakan: setiap syair yang berkaitan dengan hal itu adalah syair yang dibuat-buat, bukan yang sebenarnya, karena pelemparan petir kepada para syaithan itu belum pernah ada sebelum Nabi s.a.w. diutus sebagai Rasūl.

Namun pendapat yang lebih tepat adalah pendapat yang mengatakan bahwa pelemparan itu telah ada sebelum Nabi s.a.w. diutus, karena firman Allah s.wt. di atas menyebutkan: (فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيْدًا وَ شُهُبًا) “Maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api.” Ini adalah pemberitahuan tentang perkataan dari para jinn, di mana penjagaan di atas langit telah ditambah dan diperketat, hingga langit terasa penuh dengan adanya tambahan para malaikat yang menjaga langit.

Sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbās menyebutkan, bahwa tatkala Nabi s.a.w. tengah duduk bersama beberapa orang dari para sahabatnya tiba-tiba ada komet yang menyambar di atas mereka, lalu Nabi s.a.w. bertanya kepada para sahabat: “Apa yang kalian katakan ketika masa jahiliyyah dahulu jika ada sebuah komet yang menyambar?” Para sahabat menjawab: “Biasanya kami mengatakan bahwa ada seorang yang agung yang baru saja meninggal dunia, atau, ada seorang yang agung yang baru saja terlahirkan.” Lalu Nabi s.a.w. berkata: “Komet itu tidak ada hubungannya dengan kematian ataupun lahirnya seseorang. Komet itu terlemparkan, yaitu tatkala Allah memutuskan sebuah perkara di atas langit, lalu para malaikat yang mengangkat ‘Arsy bertasbih atas keputusan itu, kemudian setelah itu diikuti oleh seluruh penduduk yang ada di setiap langit, hingga akhirnya tasbih itu berhenti di langit yang paling dekat dengan bumi, lalu para penduduk di setiap langit bertanya kepada para malaikat pengangkat ‘Arsy: “Apa yang difirmankan oleh Tuhanmu?,” lalu para malaikat itu memberitahukan mereka, dan begitu seterusnya hingga kabar tersebut sampai di langit yang terakhir ini, lalu ketika bangsa jinn ingin mendengar kabar tersebut mereka di sambar oleh komet tersebut dan mereka pun terlempar jauh sekali. Adapun yang diberitahukan oleh para malaikat secara berantai semuanya adalah berita yang benar, sedangkan para jinn selalu menambah-nambahkannya.

Hadits ini menandakan bahwa pelemparan meteor itu telah ada sebelum Nabi s.a.w. diutus sebagai Rasūl. Riwayat yang sama juga disampaikan oleh az-Zuhrī, dari ‘Alī bin al-Ḥusain, dari ‘Alī bin Abī Thālib, dari Ibnu ‘Abbās. Setelah menyampaikan riwayat tersebut az-Zuhrī ditanya oleh seseorang: “Apakah pada masa jahiliyyah dahulu komet tersebut juga pernah dilemparkan?” Az-Zuhrī menjawab: “Tentu”. Lalu orang tersebut bertanya lagi: “Bukankah di dalam al-Qur’ān disebutkan: (وَ أَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ فَمَنْ يَسْتَمِعِ الْآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَّصَدًا.) “Dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang barang siapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).

Az-Zuhrī menjawab: “Makna ayat ini adalah ketika Nabi s.a.w. diutus sebagai Rasūl, ancaman tersebut diperkeras dan penjagaannya diperketat.”

Pendapat yang serupa juga disampaikan oleh al-Qutabī (القتبيّ).

(Begitu juga yang disampaikan oleh Ibnu Qutaibah……. kalimat ini tidak ada di dalam teks asli …. SH.) ia mengatakan: Dari dahulu memang telah ada penjagaan oleh para malaikat di atas langit, namun setelah diutusnya Nabi s.a.w. sebagai Rasūl maka penjagaan itu lebih diperketat lagi. Sebelumnya para jinn hanya sesekali saja dilemparkan dengan meteor, akan tetapi setelah Muḥammad s.a.w. diutus sebagai Nabi, maka kabar itu sama sekali tidak dapat mereka dengar lagi.

Penjelasan mengenai hal ini juga telah kami sampaikan pada tafsir surah ash-Shāffāt, yaitu ketika menafsirkan firman Allah s.w.t.: (وَ يُقْذَفُوْنَ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ، دُحُوْرًا وَ لَهُمْ عَذَابٌ وَاصِبٌ.) “Dan mereka dilempari dari segala penjuru. Untuk mengusir mereka dan bagi mereka siksaan yang kekal.” (2416).

Al-Ḥāfizh mengatakan, apabila seseorang menanyakan bagaimana mungkin bangsa jinn mau membahayakan dirinya sendiri dengan mencari tahu kabar tersebut apabila mereka mengetahui bahwa konsekuensinya adalah tersambar petir dan terbakar?

Maka kami jawab: bahwa Allah s.w.t. telah membuat mereka lupa akan bahaya tersebut hingga yang terlihat lebih penting bagi mereka adalah mendapatkan kabar dari langit, sama halnya bagaimana iblīs terlupakan pada setiap waktu bahwa ia tidak akan beriman, padahal Allah s.w.t. juga telah berfirman kepadanya: (وَ إِنَّ عَلَيْكَ اللَّعْنَةَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.) “Dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat.” (2427).

Adapun untuk kata (رَّصَدًا), beberapa ulama berpendapat bahwa maknanya adalah: penjagaan yang dilakukan oleh para malaikat. Seperti maknanya menurut bahasa, yaitu penjaga sesuatu. Bentuk jama‘ dari kata ini adalah arshād. Apabila disebutkan pada selain al-Qur’ān, maka bentuk jama‘ lebih dikedepankan daripada bentuk tunggalnya, seperti halnya juga kata ḥaras yang disebutkan sebelumnya.

Sedangkan beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa makna dari kata rashad adalah mempersiapkan, yakni meteor-meteor yang telah dipersiapkan untuk dilemparkan kepada siapa saja yang ingin mencuri dengar tentang kabar dari langit. Dengan begitu kata ini termasuk bentuk fa‘alun yang bermakna maf‘ūlun, seperti halnya kata khabath dan nafadh.

 

Ketiga: Firman Allah s.w.t.: (وَ أَنَّا لَا نَدْرِيْ أَشَرٌّ أُرِيْدَ بِمَنْ فِي الْأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا.) “Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka.” Yakni, apakah penjagaan yang dilakukan di langit akan berakibat buruk kepada penduduk muka bumi ataukah akan berakibat baik?

Ibnu Zaid menafsirkan, bahwa makna dari ayat ini adalah: ketika penjagaan itu dilakukan, iblīs merasa bingung, apakah ketika Allah menugaskan para malaikat itu untuk menjaga langit bertujuan untuk mengadzab penduduk bumi ataukah Allah s.w.t. akan mengutus seorang Rasūl?

Ada juga yang menafsirkan, bahwa ayat ini adalah perkataan jinn kepada yang lainnya sebelum mereka mendengar lantunan ayat-ayat yang dibacakan oleh Nabi s.a.w. Maknanya adalah: kami tidak mengetahui apakah maksud dari pengutusan Muḥammad s.a.w. kepada penduduk bumi itu, apakah untuk suatu keburukan? Karena kebanyakan para penduduk bumi mendustakannya dan bahkan mereka tetap mendustakannya walaupun mereka harus rela untuk dibinasakan, sebagaimana yang dilakukan terhadap umat-umat sebelum mereka. Atau apakah pengutusannya untuk suatu kebaikan, agar para penduduk bumi mendapatkan petunjuk dan beriman?

Dengan penafsiran seperti itu maka makna dari kata syarr (keburukan) pada ayat di atas adalah kekufuran, sedangkan kata rusyd (petunjuk) adalah keimanan. Dan dengan penafsiran seperti itu maka para jinn tersebut telah mengetahui tentang kenabian Muḥammad s.a.w., dan ketika mereka telah mendengar langsung lantunan ayat-ayat suci yang dibacakan oleh Nabi s.a.w. barulah mereka mengetahui bahwa mereka dilarang untuk mendengar apapun yang turun dari langit karena menjaga keamanan wahyu yang diturunkn Allah kepada Nabi s.a.w.

Namun ada juga yang berpendapat bahwa perkataan itu dikatakan oleh para jinn kepada bangsa mereka sendiri, yaitu setelah mereka mendengar lantunan ayat-ayat al-Qur’ān dan memberitahukan kepada bangsanya tentang isi dari al-Qur’ān. Makna ayat ini adalah: setelah mereka beriman, mereka merasa iba mengapa banyak dari penduduk bumi yang tidak beriman, lalu mereka berkata: kami tidak tahu apakah penduduk bumi tidak beriman terhadap apa yang kami telah imani, atau apakah mereka juga telah mengimaninya?

Catatan:

  1. 236). Qirā’ah ini termasuk qirā’ah sab‘ah yang mutawātir, sebagaimana tercantum dalam Taqrīb-un-Nasyr, h. 184.
  2. 237). (Qs. Yūnus [10]: 27).
  3. 238). Surah al-Ḥijr, yakni ayat 18.
  4. 239). Surah ash-Shāffāt ayat 10.
  5. 240). Lih. al-Kasysyāf (4/17), Tafsīr-ul-Māwardī (6/112), Tafsīr Ibni ‘Athiyyah (16/136), dan al-Baḥr-ul-Muḥīth (8/149).
  6. 241). (Qs. Ash-Shāffāt [37]: 8-9).
  7. 242). (Qs. al-Ḥijr [15]: 35).

Unduh Rujukan:

  • [download id="14711"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *