Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir al-Qurthubi (2/8)

Dari Buku:
Tafsir al-Qurthubi
(Jilid 20 – Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh Imam al-Qurthubi
(Judul Asli: al-Jāmi‘-ul-Aḥkām-ul-Qur’ān)

Penerjemah: Dudi Rosyadi dan Faturrahman
Penerbit PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir al-Qurthubi

Ketiga: Mengenai hukum air yang digunakan untuk beristinjā’ telah kami jelaskan pada tafsir surah al-Ḥijr (2191), dan untuk benda-benda lain yang dapat pula digunakan untuk beristinja’ juga telah kami jelaskan pada tafsir surah at-Taubah (2202), oleh karena itu kami rasa tidak perlu mengulanginya di sini.

Keempat: Para ulama berbeda pendapat mengenai asal-muasal makhluk jinn. Ismā‘īl meriwayatkan, dari Ḥasan al-Bashrī, bahwa jinn itu adalah anak cucu Iblīs seperti halnya manusia adalah anak cucu dari Nabi Ādam. Sebagian dari kedua golongan tersebut (jinn dan manusia) ada yang beriman, dan sebagiannya yang lain ada juga yang kafir, kedua golongan ini sama-sama dapat menghasilkan pahala ataupun dosa. Siapa saja di antara kedua golongan tersebut yang beriman maka mereka adalah wali Allah (penolong agama Allah), dan siapa saja di antara kedua golongan tersebut yang kafir maka mereka adalah syaithan.

Adh-Dhaḥḥāk menyebutkan makna yang lain yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, ia mengatakan bahwa jinn bukanlah golongan syaithan, mereka adalah anak cucu jānn, dan mereka dapat ditanamkan keimanan di hati mereka, karenanya di antara mereka ada yang kafir dan ada juga yang mu’min. Sedangkan syaithan adalah anak cucu dari Iblīs, mereka hanya akan mati bersamaan dengan kakek moyang mereka, Iblīs.

Lalu para ulama ini juga berbeda pendapat mengenai masuknya jinn ke dalam surga, sesuai dengan perbedaan pendapat mereka mengenai asal-muasal jinn tersebut. Para ulama yang berpendapat bahwa mereka berasal dari jānn, bukan dari keluarga Iblīs, maka menurut mereka jinn dapat memasuki surga dengan keimanan mereka itu. Sedangkan para ulama yang berpendapat bahwa para jinn itu masuk dalam golongan keluarga Iblīs, pendapat ini terpecah lagi menjadi dua, yang pertama disebutkan oleh al-Ḥasan, yaitu bahwa mereka dapat masuk surga.

Kedua diriwayatkan dari Mujāhid, yaitu bahwa mereka tidak akan pernah masuk surga, walaupun mereka telah disiksa sebelumnya di dalam neraka.

Semua pendapat-pendapat ini disebutkan oleh al-Māwardī dalam kitab tafsirnya. (2213)

Kami juga telah menjelaskan tentang pendapat yang mengatakan mereka juga akan masuk surga secara mendetail pada tafsir surah ar-Raḥmān, yaitu ketika menafsirkan firman Allah s.w.t.: (لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَ لَا جَانٌّ) “Tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jinn.” (2224).

Kelima: Pada riwayat yang disebutkan di atas tadi, “Karena merasa tidak puas, kami pun bertanya lagi tentang apa saja yang berkaitan dengan malam itu, lalu kami diberitahukan bahwa bangsa jinn yang ditemui oleh Nabi s.a.w. adalah jinn-jinn kepulauan (yang tinggal di daratan). Dan Nabi s.a.w. juga memberitahukan kepada bangsa jinn itu: “Kalian boleh memakan setiap tulang yang telah disebutkan atas nama Allah.” Al-Baihaqī mengatakan: riwayat ini menunjukkan bahwa bangsa jinn juga memakan makanan.

Namun dalil ini diingkari oleh sekelompok dokter dan ilmuan filsafat yang sesat, mereka mengatakan bahwa bangsa jinn adalah makhluk yang simple yang tidak mungkin memakan suatu makanan.

Pendapat ini adalah pendapat yang dibuat-buat dan telah melangkahi hukum alam yang telah ditetapkan oleh Allah s.w.t., karena jelas sekali al-Qur’ān dan Sunnah membantah pendapat tersebut. Tidak ada satu pun makhluk yang diciptakan dengan simple, Yang Esa Yang Satu hanyalah Allah, sedangkan yang selain Allah pasti tersusun dari unsur dengan unsur yang lainnya, tidak mungkin hanya satu unsur saja, siapapun makhluk tersebut, apapun asalnya, dan bagaimanapun bentuknya.

Begitu pun halnya dengan makhluk jinn. Dan juga bentuk tubuh mereka yang dianggap halus itu pun tidak menghalangi Nabi s.a.w. untuk dapat melihat mereka, sebagaimana Nabi s.a.w. juga dapat melihat para malaikat. Bahkan manusia biasa pun terkadang dapat melihat mereka, apalagi ketika mereka menempati bentuk hewan, terutama bentuk ular.

Dalam kitab al-Muwaththa’ disebutkan: bahwa pada suatu siang di tengah-tengah perang Khandaq ada seorang pemuda yang belum lama menikah dengan seorang wanita meminta idzin kepada Nabi s.a.w. untuk kembali kepada istrinya itu. (hadits ini cukup panjang untuk disebutkan secara keseluruhan, namun intinya pada hadits ini disebutkan) tiba-tiba ia melihat ada seekor ular yang sangat besar melingkar di atas tempat tidurnya, lalu tanpa pikir panjang lagi ia mengambil tombaknya dan kembali kepada ular itu dengan menusukkan tombaknya dan membunuhnya. (2235) (al-Ḥadīts).

Dalam kitab hadits shaḥīḥ disebutkan, bahwa Nabi s.a.w. bersabda:

إِنَّ لِهذِهِ الْبُيُوْتِ عَوَامِرَ فَإِذَا رَأَيْتُمْ شَيْئًا مِنْهَا فَحَرِّجُوْا عَلَيْهَا ثَلَاثًا، فَإِنْ ذَهَبَ وَ إِلَّا فَاقْتُلُوْهُ فَإِنَّهُ كَافِرٌ.

Sesungguhnya rumah-rumah di sini dapat dikunjungi oleh ular-ular, dan apabila kalian melihatnya maka usirlah ular itu, jika ia pergi maka biarkanlah, namun jika telah engkau usir sebanyak tiga kali dan ular itu belum juga beranjak dari tempatnya maka bunuhlah ular tersebut, karena ia adalah (penjelmaan dari jinn yang) kafir.” (2246).

Pada riwayat lain disebutkan: “Bunuhlah ular itu dan kuburlah ia di tanah.” (2257).

Pembahasan mengenai hal ini dan juga cara-cara mengusirnya telah kami sampaikan secara lebih mendetail pada tafsir surah al-Baqarah. (2268).

Beberapa ulama berpendapat, bahwa hadits tersebut hanya dikhususkan untuk penduduk kota Madīnah saja, karena pada hadits itu disebutkan: “Sesungguhnya di kota Madīnah itu ada bangsa jinn yang telah masuk agama Islam.” (2279).

Menurut para ulama ini hadits di atas menyebutkan kota Madīnah secara khusus, oleh karena itu hukumnya juga dikhususkan untuk kota yang disebutkan saja. Namun kami tidak sependapat, karena hadits di atas justru menunjukkan bahwa di rumah-rumah di tempat lain juga sama seperti rumah-rumah yang ada di kota Madīnah, karena pada hadits tersebut Nabi s.a.w. bukan menyebutkan keistimewaan kota Madīnah, akan tetapi beliau menyebutkan keistimewaan keislaman para jinn di sana. Oleh karena itu, dalil di atas bentuknya umum untuk semua daerah, bukankah pada hadits lain Nabi s.a.w. juga menyebutkan: “Jinn-jinn tersebut adalah para jinn dari daerah kepulauan.

Hal ini tentu sangat jelas sekali maknanya, apalagi sabda Nabi s.a.w. pada hadits yang pertama tadi di awali dengan kalimat larangan: “Janganlah kalian membunuh ular-ular yang datang ke rumah kalian…..” dan larangan ini tentu bersifat umum untuk semua rumah, bukan hanya rumah-rumah di kota Madīnah saja.

Pembahasan secara lebih mendetail untuk masalah ini telah kami sampaikan pada tafsir surah al-Baqarah di awal kitab kami, oleh karena itu kami merasa tidak perlu untuk mengulanginya lagi di sini.

Keenam: Firman Allah s.w.t.: (فَقَالُوْا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا) “Lalu mereka berkata: “Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’ān yang menakjubkan.” Ada yang berpendapat bahwa hal yang menakjubkan dari al-Qur’ān adalah pada segi kefasihan bahasanya.

Ada juga yang berpendapat, dari segi ketinggian nasehat-nasehat yang ada di dalamnya.

Ada pula yang berpendapat, dari segi keagungan barakah yang diberikannya.

Ada juga yang berpendapat bahwa kata (عَجَبًا) pada ayat ini bermakna ‘azīzan, yakni: mendengarkan al-Qur’ān yang suci yang tidak ada yang sebanding dengannya.

Ada pula yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kata (عَجَبًا) adalah ‘azhīman, yakni: al-Qur’ān yang agung.

Firman-Nya: (يَهْدِيْ إِلَى الرُّشْدِ) “(Yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar.” Ada yang berpendapat bahwa maknanya adalah memberi petunjuk kepada hal-hal yang harus dilalui dengan petunjuk.

Ada juga yang berpendapat: memberi petunjuk kepada ilmu untuk mengenal Allah.

Kata (الرُّشْدِ) pada ayat ini dibaca oleh ‘Īsā ats-Tsaqafī menjadi ar-rasyad (dengan menggunakan ḥarakat fatḥah pada huruf rā’ menggantikan ḥarakat dhammah dan juga pada huruf syīn menggantikan sukūn) (22810).

(فَآمَنَّا بِهِ) “Lalu kami beriman kepadanya.” Yakni, lalu kami menjalani petunjuk tersebut dan mempercayai bahwa petunjuk itu dari sisi Allah s.w.t.

(وَ لَنْ نُّشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا) “Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami.” Yakni, kami tidak akan mengacu kepada Iblīs dan tidak akan pernah juga mentaatinya, karena Iblīs lah yang mengutus para jinn itu untuk mencuri-curi kabar dari langit, namun para jinn itu disambarkan oleh meteor.

Ada juga yang berpendapat bahwa makna firman ini adalah kami tidak akan menduakan Allah dengan menyembah Tuhan yang lain, karena Allah adalah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan lain selain Dia.

Ayat inilah yang membuat takjub orang-orang yang beriman atas kepergian kaum musyrikin Quraisy, karena orang-orang musyrik itu telah melihat sendiri bahwa bangsa jinn saja telah mengimani al-Qur’ān, yaitu yang disebutkan pada firman-Nya: (أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ) “Bahwasanya: sekumpulan jinn telah mendengarkan” Yakni mereka mendengarkan al-Qur’ān dan langsung meyakini bahwa apa yang dibaca oleh Nabi s.a.w. itu adalah Kalām Ilāhī, dan mereka pun beriman.

Adapun tidak disebutkannya al-Qur’ān sebagai maf‘ūl yang diperdengarkan kepada mereka, karena keterangan pada ayat di atas telah sangat jelas sekali menunjukkan pada al-Qur’ān.

Dan makna dari kata (نَفَرٌ) sendiri adalah sekelompok. Dan lebih dispesifikasikan lagi oleh al-Khalīl, ia mengatakan: kata (نَفَرٌ) digunakan untuk yang berjumlah tiga sampai sepuluh.

Ketujuh: Firman Allah s.w.t.: (وَ أَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا) “Dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami.” Kata (أَنَّ) pada ayat ini dibaca oleh beberapa ulama dengan menggunakan ḥarakat fatḥah pada huruf hamzah. Para ulama itu antara lain adalah: ‘Alqamah, Yaḥyā, al-A‘masy, Ḥamzah, al-Kisā’ī, Ibnu ‘Amr, Khalaf, Ḥafsh, dan as-Sullamī.

Bahkan bukan hanya pada ayat ini saja, para ulama di atas membaca semua kata yang sama dalam surah ini dalam bentuk nashab, kesemuanya disebutkan dalam dua belas tempat, yaitu pada ayat ketiga:

وَ أَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا

Ayat keempat,

وَ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ سَفِيْهُنَا عَلَى اللهِ شَطَطًا

Ayat kelima,

وَ أَنَّا ظَنَنَّا أَنْ لَّنْ تَقُوْلَ الْإِنْسُ وَ الْجِنُّ عَلَى اللهِ كَذِبًا

Ayat keenam,

وَ أَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوْهُمْ رَهَقًا

Ayat ketujuh,

وَ أَنَّهُمْ ظَنُّوْا كَمَا ظَنَنْتُمْ أَنْ لَّنْ يَبْعَثَ اللهُ أَحَدًا

Ayat kedelapan,

وَ أَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاءَ

Ayat kesembilan,

وَ أَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ

Ayat kesepuluh,

وَ أَنَّا لَا نَدْرِيْ أَشَرٌّ أُرِيْدَ بِمَنْ فِي الْأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا

Ayat kesebelas,

وَ أَنَّا مِنَّا الصَّالِحُوْنَ وَ مِنَّا دُوْنَ ذلِكَ

Ayat kedua belas,

وَ أَنَّا ظَنَنَّا أَنْ لَّنْ نُّعْجِزَ اللهَ فِي الْأَرْضِ

Ayat ketiga belas,

وَ أَنَّا لَمَّا سَمِعْنَا الْهُدَى آمَنَّا بِهِ

Ayat keempat belas,

وَ أَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُوْنَ وَ مِنَّا الْقَاسِطُوْنَ

Semua ayat ini terhubung dengan ayat pertama, yaitu: (أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ) “Bahwasanya: sekumpulan jinn telah mendengarkan (al-Qur’an).” Khusus untuk ayat ini memang tidak boleh dibaca yang lainnya, kecuali dengan menggunakan ḥarakat fatḥah pada huruf hamzah, karena kata ini berada pada posisi isim fā‘il dari kata (أُوْحِيَ), dan yang selanjutnya terhubung dengan kata ini.

Namun ada juga yang berpendapat bahwa kata (أَنَّ) ini terkait dengan dhamīr hā’ pada kata bihī (فَآمَنَّا بِهِ), yakni: kami beriman, bahwa Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami (āmannā biannahū), dan hal ini diperbolehkan (yakni menghilangkan huruf jarr) karena banyak kalimat yang di-jarr-kannya.

Ada juga yang berpendapat bahwa makna dari firman di atas adalah: kami percaya bahwa Maha Tinggi Kebesaran Tuhan kami (shaddaqnā annahū jaddu rabbinā).

Sedangkan kebanyakan ulama lain, membaca kata: (أَنَّهُ) pada ayat ini dan juga ayat-ayat yang lainnya pada surah ini dengan menggunakan ḥarakat kasrah pada huruf hamzah (22911) (innahū). Dan bacaan inilah yang lebih benar (menurut penulis buku ini), seperti yang dipilih oleh Abū ‘Ubaidah dan Abū Ḥātim.

Alasan para ulama ini meng-kasrah-kan huruf hamzah adalah karena semua ayat ini terhubung dengan firman Allah s.w.t.: (فَقَالُوْا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا) “Lalu mereka berkata: “Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’ān yang menakjubkan.” Yakni, semua ayat di atas tadi adalah perkataan jinn.

Berbeda lagi dengan pendapat yang disampaikan oleh Abū Ja‘far dan Syaibah, di mana mereka berdua hanya mem-fatḥah-kan kata (أَنَّ) pada tiga ayat saja, sedangkan selebihnya ber-ḥarakat kasrah. Ketiga ayat yang di-fatḥah-kan adalah: (وَ أَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا) “Dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami.” (Qs. al-Jinn [72]: 3). Juga, (وَ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ سَفِيْهُنَا عَلَى اللهِ شَطَطًا) “Dan bahwasanya orang yang kurang akal dari kami dahulu selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah.” (Qs. al-Jinn [72]: 4). Juga, (وَ أَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوْهُمْ رَهَقًا) “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jinn, maka jinn-jinn itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Qs. al-Jinn [72]: 6). Alasannya adalah karena ayat-ayat ini wahyu dari Allah, sedangkan yang selebihnya adalah perkataan jinn.

Adapun untuk firman Allah s.w.t. pada surah al-Jinn ayat 19, yaitu: (وَ أَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللهِ يَدْعُوْهُ) “Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muḥammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah).” Kesemua ulama yang disebutkan pada ketiga pendapat di atas membaca kata (أَنَّ) pada ayat ini dengan menggunakan ḥarakat fatḥah pada huruf hamzah (baca: annahū), kecuali Nāfi‘, Syaibah, Zirr bin Ḥubaisy, Abū Bakar, dan al-Mufadhdhal, yang diriwayatkan dari ‘Āshim. Hanya para ulama inilah yang meng-kasrah-kan ayat di atas (baca: innahū).

Para ulama di atas juga bersepakat untuk menggunakan ḥarakat fatḥah pada huruf hamzah pada ayat-ayat berikut ini:

ayat 1,

أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ

ayat 16,

وَ أَنْ لَّوِ اسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ

(yakni (وَ أَنْ لَّوِ اسْتَقَامُوْا)).

ayat 18,

وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ

ayat 28,

أَنْ قَدْ أَبْلَغُوْا رِسَالَاتِ رَبِّهِمْ

Dan begitu juga dengan kata (إِنَّ) yang disebutkan setelah kata qaul (mengatakan), para ualam menyepakati penggunaan ḥarakat kasrah pada haruf hamzah, misalnya pada firman Allah s.w.t. (فَقَالُوْا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا) “Lalu mereka berkata: “Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’ān yang menakjubkan.” (Qs. al-Jinn [72]: 1). Juga firman Allah s.w.t.: (قُلْ إِنَّمَا أَدْعُوْ رَبِّيْ) “Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku” (Qs. al-Jinn [72]: 20). Juga firman Allah s.w.t.: (قُلْ إِنْ أَدْرِيْ أَقَرِيْبٌ مَّا تُوْعَدُوْنَ) “Katakanlah: “Aku tidak mengetahui, apakah adzab yang diancamkan kepadamu itu dekat” (Qs. al-Jinn [72]: 25). Dan Firman Allah s.w.t.: (قُلْ إِنِّيْ لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَ لَا رَشَدًا) “Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfataan.” (Qs. al-Jinn [72]: 21).

Para ulama juga menyepakati, apabila kata (أَنَّ) disebutkan setelah huruf fā’ dan menyebutkan adanya ganjaran, maka huruf hamzah pada kata tersebut akan menggunakan ḥarakat kasrah (baca: inna), seperti pada firman Allah s.w.t.: (فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ) “maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam.” (Qs. al-Jinn [72]: 23). Dan firman Allah s.w.t.: (فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَ مِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا) “maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (Qs. al-Jinn [72]: 27).

Adapun alasannya adalah karena kata-kata ini berposisi sebagai pemulaan kalimat.

Kedelapan: Firman Allah s.w.t. (وَ أَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا) “Dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami.” Kata (جَدُّ) menurut etimologi bahasa ‘Arab artinya adalah keagungan dan kebesaran. Makna inilah yang dimaksud oleh Anas ketika mengatakan: kān-ar-rajulu idzā ḥafizh-al-Baqarata wa Āli ‘Imrān jaddu fī ‘uyūninā (apabila seseorang telah hafal surah al-Baqarah dan surah Āli ‘Imrān maka ia agung di mata kami). Oleh karenanya, makna firman Allah s.w.t. (جَدُّ رَبِّنَا) adalah: Kebesaran-Nya atau Keagungan-Nya. Makna ini disampaikan oleh ‘Ikrimah, Mujāhid, dan Qatādah.

Riwayat lain dari Mujāhid menyebutkan, bahwa maknanya firman ini adalah: bahwa Maha Tinggi panggilan-Nya. Dan riwayat lain dari ‘Ikrimah, yang juga disampaikan oleh Anas bin Mālik dan al-Ḥasan, menyebutkan, bahwa maknanya adalah: Maha Tinggi kekayaan-Nya. Alasannya adalah karena kata ini terkadang juga digunakan untuk makna keberuntungan atau keuntungan, oleh karenanya ketika ada seseorang disebut dengan panggilan rajulun majdūd maka artinya ia adalah seorang yang beruntung. Dan makna yang sama juga disebutkan pada sebuah hadits Nabi s.a.w., beliau bersabda: “wa lā yanfa‘u dzal-jaddi mink-al-jadd (dan tidak akan bermanfaat keberuntungan [kekayaan] yang lain dibandingkan dengan keberuntungan [kekayaan]-Mu).” (23012).

Abū ‘Ubaidah dan al-Khalīl menafsirkan, makna firman di atas adalah: manusia yang memiliki kekayaan adalah semuanya dari Allah, dan akan berguna kekayaan itu hanya dengan taat kepada-Nya.

Ibnu ‘Abbās menafsirkan, makna dari kata (جَدُّ) adalah Kekuasaan-Nya. Sedangkan Adh-Dhaḥḥāk menafsirkan, maknanya adalah Perbuatan-Nya. Riwayat lain dari adh-Dhaḥḥāk dan juga disampaikan oleh al-Qurazhī menyebutkan, bahwa maknanya adalah: pemberian dan nikmat yang diberikan kepada para makhluk-Nya. Riwayat lain dari Abū ‘Ubaidah yang juga disampaikan oleh al-Akhfasy menyebutkan, bahwa maknanya adalah: kerajaan dan kekuasaan-Nya. (23113)

As-Suddi menafsirkan, maknanya dari kata (جَدُّ) adalah perintah-Nya. Dan Sa‘īd bin Jubair menafsirkan, makna firman di atas adalah: bahwa Maha Tinggi Allah Tuhan kami.

Lalu ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dari kata (جَدُّ) pada ayat ini adalah bapaknya bapak (baca: kakek), dan yang mengatakan hal ini adalah para jinn. Pendapat ini mendapat respon positif dari Muḥammad bin ‘Alī bin al-Ḥusain, dan juga anaknya Ja‘far ash-Shādiq, serta ar-Rabī‘, mereka berpendapat bahwa Allah s.w.t. memang tidak memiliki kakek, namun para jinn mengatakan hal ini karena ketidaktahuan mereka, oleh karenanya mereka tidak akan dihukum dengan hanya mengatakannya.

Al-Qusyairī menambahkan: boleh-boleh saja menyebutkan kata “kakek” pada Dzāt Allah, karena apabila tidak diperbolehkan maka al-Qur’ān tidak akan menyebutkannya. Hanya saja, kata ini adalah kata yang maknanya samar, oleh karena itu akan lebih baik jika tidak dimaknai seperti ini.

Kata ini dibaca oleh ‘Ikrimah dengan menggunakan ḥarakat kasrah pada huruf jīm (yakni jidd) (23214), yang maknanya adalah lawan kata dari bercanda (yakni serius). Dan bacaan ini pula yang dibaca oleh Abū Ḥaiwah dan Muḥammad bin as-Samaiqa‘.

Ada juga riwayat qirā’ah lain dari Muḥammad bin as-Samaiqa‘ yang juga dibaca oleh Abul-Asyhab, yaitu jadā (23315), yang artinya adalah tujuan dan manfaat. Dan ‘Ikrimah juga meriwayatkan qirā’ah lainnya, yaitu jaddan (dengan menggunakan tanwīn) (23416) dan rabbunā (dengan menggunakan ḥarakat dhammah pada huruf bā’). Di mana tanwīn pada kata jaddan dikarenakan kata ini berposisi sebagai tamyīz, sedangkan rafa‘ pada kata rabbunā dikarenakan kata ini berposisi sebagai badal dari kata ta‘ālā.

Ada juga riwayat qirā’ah lainnya dari ‘Ikrimah, yaitu jaddun (dengan menggunakan tanwīn) dan rabbunā (dengan menggunakan ḥarakat dhammah pada huruf bā’). Prediksi makna yang dimaksud adalah: ta‘ālā jaddun jaddu rabbina (23517), di mana jadd yang kedua adalah badal dari jadd yang pertama, lalu jadd yang kedua dihilangkan dan mudhāf ilaih yang disebutkan setelahnya (rabbinā) berpindah menggantikan posisinya (hingga ḥarakatnya berubah menjadi dhammah). Dan maknanya adalah: bahwa ke-Maha-Tinggi-an-Nya mensucikan Tuhan kami dari kepemilikan teman hidup untuk mencurahkan kasih-sayang ataupun keturunan untuk kebutuhan tertentu, Tuhan kami Maha Tinggi dari segala persekutuan ataupun kesetaraan.

Catatan:

  1. 219). Surah al-Ḥijr ayat 22.
  2. 220). Surah at-Taubah ayat 108.
  3. 221). Lih. Tafsīr-ul-Māwardī (6/109).
  4. 222). (Qs. ar-Raḥmān [55]: 56).
  5. 223). HR. Mālik pada pembahasan tentang meminta izin, bab: Hadits tentang Perintah untuk Membunuh Ular dan Doa yang Dibaca Saat itu (2/976-977). Hadits dengan makna yang hampir serupa juga diriwayatkan oleh Muslim pada pembahasan tentang salam, bab: Perintah untuk Membunuh Ular dan Hewan-hewan Buas lainnya.
  6. 224). HR. Muslim pada pembahasan tentang salām (4/1756), periwayatan hadits ini telah kami sebutkan pada tafsir surah al-Baqarah secara lengkap.
  7. 225). HR. Muslim pada pembahasan tentang salam (4/1756), seperti yang telah kami sampaikan pula periwayatannya.
  8. 226). Surah al-Baqarah ayat 36.
  9. 227). HR. Muslim pada pembahasan tentang salam, bab: Perintah untuk Membunuh Ular dan Hewan-hewan Buas Lainnya. (4/1756-1757).
  10. 228). Qirā’ah yang dibaca oleh ats-Tsaqafī ini tidak termasuk qirā’ah sab‘ah yang mutawātir. Dan bacaan ini disebutkan oleh Ibnu ‘Athiyyah daam al-Muḥarrar-ul-Wajīz (16/131), dan juga oleh Abū Ḥayyān dalam al-Baḥr-ul-Muḥīth (8/347).
  11. 229). Qirā’ah yang menggunakan ḥarakat kasrah pada huruf hamzah (innahu) ini juga termasuk qirā’ah sab‘ah yang mutawātir, sebagaimana tercantum dalam Taqrīb-un-Nasyr, h. 184.
  12. 230). HR. al-Bukhārī pada beberapa pembahasan dalam Shaḥīḥ-nya, di antaranya pembahasan tentang adzan, bab: nomor 155, dan juga pada pembahasan tentang doa, bab: nomor 17. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim pada pembahasan tentang shalat, bab: I‘tidāl adalah Salah Satu Rukun Shalat, dan Meringankannya adalah Kesempurnaan Shalat (1/343). Diriwayatkan pula oleh Abū Dāūd pada pembahasan tentang shalat, bab: nomor 140. Diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzī pada pembahasan tentang shalat, bab: nomor 108. Diriwayatkan pula oleh an-Nasā’ī pada pembahasan tentang pengaplikasian, bab: nomor: 25. Diriwayatkan pula oleh ad-Dārimī pada pembahasan tentang shalat, bab: nomor 71. Diriwayatkan pula oleh Imām Mālik pada pembahasan tentang qadha dan qadar (2/9014). Diriwayatkan pula oleh Imām Aḥmad dalam al-Musnad (3/87).
  13. 231). Lih. Majāz-ul-Qur’ān karya Abū ‘Ubaidah (2/272).
  14. 232). Qirā’ah yang menggunakan ḥarakat kasrah pada huruf jim adalah qirā’ah yang tidak termasuk qirā’ah sab‘ah yang mutawātir. Dan yang menyebutkan qirā’ah ini adalah Ibun ‘Athiyyah dalam al-Muḥarrar-ul-Wajīz (16/133).
  15. 233). Qirā’ah ini tidak termasuk qirā’ah sab‘ah yang mutawātir.
  16. 234). Qirā’ah ini tidak termasuk qirā’ah sab‘ah yang mutawātir.
  17. 235). Qirā’ah ini tidak termasuk qirā’ah sab‘ah yang mutawātir.

Unduh Rujukan:

  • [download id="14711"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *