بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
قُلْ أُوْحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ فَقَالُوْا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا. يَهْدِيْ إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَ لَنْ نُّشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا. وَ أَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَ لَا وَلَدًا.
072: 1. Katakanlah (hai Muḥammad): Telah diwahyukan kepadaku bahwa: sekumpulan jinn telah mendengarkan (al-Qur’ān), lalu mereka berkata: “Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’ān yang menakjubkan.”
072: 2. (Yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami.
072: 3. Dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak.
(Qs. al-Jinn [72]: 1-3).
Mengenai tiga ayat ini dibahas delapan masalah:
Pertama: Firman Allah s.w.t.: (قُلْ أُوْحِيَ إِلَيَّ) “Katakanlah (hai Muḥammad): Telah diwahyukan kepadaku…..” Yakni: wahai Muḥammad, katakanlah kepada umatmu bahwa Allah telah mewahyukan kepadamu melalui malaikat Jibrīl.
(أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ) “Bahwasanya: sekumpulan jinn telah mendengarkan” Maksudnya, ajaran yang dibawa oleh Nabi s.a.w. juga didengarkan oleh bangsa jinn, dan sebelumnya beliau tidak mengetahui hal itu.
Begitulah pendapat dari Ibnu ‘Abbās dan beberapa ulama lainnya.
Kata (أُوْحِيَ) pada ayat ini dibaca oleh Ibnu Abī ‘Ablah menjadi aḥiya (2051), yaitu bentuk aktif dari kata (أُوْحِيَ), di mana biasanya disebutkan auḥā ilaihi atau waḥā, lalu huruf wāu-nya dirubah menjadi huruf hamzah. Dan perubahan ini termasuk perubahan yang diperolehkan secara mutlak pada setiap huruf wāu yang ber-ḥarakat dhammah di awal kata. Contoh lainnya adalah firman Allah s.w.t. (وَ إِذَا الرُّسُلُ أُقِّتَتْ) “Dan apabila rasūl-rasūl telah ditetapkan waktu (mereka).” (2062) Di mana bentuk awal dari kata uqqitat adalah wuqqitat.
Bahkan al-Māzanī bukan hanya mengganti hurufnya saja (wāu menjadi alif) namun juga ḥarakat-nya, yaitu menjadi ḥarakat kasrah. Misalnya saja kata isyāḥun, isādatun, i‘āun, dan lain sebagainya.
Kedua: Ada sedikit perbedaan pendapat dari para ulama, apakah pada waktu itu Nabi s.a.w. memang dapat melihat sosok jinn?
Sebenarnya pada zhāhir ayat al-Qur’ān menunjukkan bahwa beliau tidak dapat melihat mereka, di mana pada ayat ini disebutkan kata (اسْتَمَعَ), dan pada ayat lain disebutkan: (وَ إِذَا صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُوْنَ الْقُرْآنَ) “Dan (ingatlah) ketika kami hedapkan serombongan jinn kepadamu yang mendengarkan al-Qur’ān.” (2073).
Dalam kitab Shaḥīḥ Muslim dan Sunan at-Tirmidzī diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, ia mengatakan:
مَا قَرَأَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) عَلَى الْجِنِّ، وَ مَا رَآهُمُ انْطَلَقَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) فِيْ طَائِفَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ عَامِدِيْنَ إِلَى سُوْقِ عُكَّاظٍ، وَ قَدْ حِيْلَ بَيْنَ الشَّيَاطِيْنِ وَ بَيْنَ خَبَرِ السَّمَاءِ، وَ أُرْسِلَتْ عَلَيْهِمُ الشُّهُبُ، قَالُوْا: مَا ذَاكَ إِلَّا مِنْ شَيْءٍ حَدَثَ، فَاضْرِبُوْا مَشَارِقَ الْأَرْضِ وَ مَغَارِبَهَا، فَانْظُرُوْا مَا هذَا الَّذِيْ حَالَ بَيْنَنَا وَ بَيْنَ خَبَرِ السَّمَاءِ؟ فَانْطَلَقُوْا يَضْرِبُوْنَ مَشَارِقَ الْأَرْضِ وَ مَغَارِبَهَا، فَمَرَّ النَّفَرُ الَّذِيْنَ أَخَذُوْا نَحْوَ تِهَامَةَ وَ هُوَ بِنَخْلٍ عَامِدِيْنَ إِلَى سُوْقِ عُكَّاظٍ، وَ هُوَ يُصَلِّيْ بِأَصْحَابِهِ صَلَاةَ الْفَجْرِ، فَلَمَّا سَمِعُوا الْقُرْآنَ اسْتَمُعُوْا لَهُ وَ قَالُوْا: هذَا الَّذِيْ حَالَ بَيْنَنَا وَ بَيْنَ خَبَرِ السَّمَاءِ، فَرَجَعُوْا إِلَى قَوْمِهِمْ فَقَالُوْا: يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا، يَهْدِيْ إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَ لَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا. فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ عَلَى نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ (ص): قُلْ أُوْحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ.
Rasūlullāh s.a.w. tidak pernah membacakan al-Qur’ān kepada jinn dan tidak juga melihat mereka. (Alasannya adalah) ketika Nabi s.a.w. bersama beberapa orang sahabatnya berniat untuk mengadakan perjalanan ke pasar ‘Ukkāzh, ternyata ada sekawanan syaithan yang biasanya mencuri kabar dari langit tiba-tiba tidak dapat mendengarnya lagi karena terhalang oleh sesuatu, dan ada pula dari mereka yang dihantam oleh meteor, lalu mereka pun memutuskan untuk kembali ke markas mereka, lalu mereka pun memutuskan untuk kembali ke markas mereka. Melihat mereka kembali tanpa membawa hasil, para pimpinan mereka pun bertanya: “Apa yang terjadi dengan kalian?” mereka menjawab: “Kami telah dihalangi oleh sesuatu hingga kami tidak dapat mendengarkan kabar dari langit, dan bahkan beberapa kawan kita yang berusaha mencoba lagi ternyata harus berhadapan dengan hantaman meteor.” Lalu para pimpinan mereka berkata: “Di balik ini semua pasti ada sesuatu yang telah terjadi. Pergilah kalian mengitari bumi dari barat hingga timur, dan carilah apa yang menjadi penghalang kita untuk mendengar berita dari langit!” Lalu sekawanan jinn tadi pun langsung berangkat mengitari bumi dari barat hingga timur.
Tidak lama kemudian beberapa di antara mereka melihat sekelompok manusia yang berada di kota Tihāmah hendak melakukan perjalanan menuju pasar ‘Ukkāzh, namun sebelum berangkat mereka terlebih dahulu melakukan shalat. Dan ternyata, mereka itu adalah Nabi s.a.w. bersama para sahabatnya yang sedang melaksanakan shalat Shubuḥ. Dan setelah jinn-jinn itu mendengar lantunan ayat-ayat al-Qur’ān, mereka berkata: “Rupanya inilah yang menghalangi kita untuk dapat mencuri kabar dari langit.” Lalu mereka pun berangkat pulang hendak melaporkan apa yang mereka dengar di muka bumi, mereka berkata: wahai kaum jinn sekalian: “Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’ān yang menakjubkan. (Yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya.”
Setelah itu, Allah s.w.t. menurunkan ayat ini kepada Nabi s.a.w.: “Katakanlah (hai Muḥammad): Telah diwahyukan kepadaku bahwa: sekumpulan jinn telah mendengarkan (al-Qur’ān).” (2084).
Dengan isnād yang sama, terdapat matan tambahan yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzī, dari Ibnu ‘Abbās, ia mengatakan: yang terjadi dengan bangsa jinn itu terdapat pada firman Allah s.w.t.: (لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللهِ يَدْعُوْهُ كَادُوْا يَكُوْنُوْنَ عَلَيْهِ لِبَدًا) “Dan bahwa tatkala hamba Allah (Muḥammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah), hampir saja jinn-jinn itu desak-mendesak mengerumuninya” (2095).
Ibnu ‘Abbās melanjutkan: ketika bangsa jinn itu melihat Nabi s.a.w. melaksanakan shalat bersama dengan para sahabatnya, mereka pun ikut menjadi ma’mum di belakang Nabi s.a.w. dan bersujud bersamanya, mereka merasa takjub dengan ketaatan yang dimiliki oleh para sahabat Nabi s.a.w. itu. Lalu mereka juga mengadukan hal ini kepada bangsa jinn yang lain: (لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللهِ يَدْعُوْهُ كَادُوْا يَكُوْنُوْنَ عَلَيْهِ لِبَدًا) “Dan bahwa tatkala hamba Allah (Muḥammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah), hampir saja jinn-jinn itu desak-mendesak mengerumuninya”. Maksudnya, bahwa tatkala Muḥammad berdiri menyembah-Nya, hampir saja para sahabatnya itu berdesak-desakan mengerumuninya (2106). HR. at-Tirmidzī, lalu ia mengomentari bahwa hadits ini termasuk hadits ḥasan shaḥīḥ.
Makna ayat yang diterangkan dalam riwayat di atas menunjukkan bahwa Nabi s.a.w. tidak melihat para jinn, walaupun mereka pada saat itu berada bersama dengan Nabi s.a.w. dan mendengar lantunan ayat al-Qur’ān yang beliau baca. Dan pada hadits di atas juga menunjukkan bahwa bangsa jinn juga ikut bersama syaithan dalam mencuri-curi kabar dari langit, karena mereka juga terkena lemparan meteor, dan mereka juga terkadang disebut dengan sebutan syaithan, sebagaimana pada firman Allah s.w.t. (شَيَاطِيْنَ الْإِنْسِ وَ الْجِنِّ) “Yaitu syaithan-syaithan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jinn.” (2117).
Memang makna syaithan sendiri menurut bahasa adalah semua yang menyimpang dan keluar dari ajaran Allah.
Sebuah riwayat lain dari at-Tirmidzī, dari Ibnu ‘Abbās, menyebutkan:
كَانَ الْجِنُّ يَصْعَدُوْنَ إِلَى السَّمَاءِ يَسْتَمِعُوْنَ الْوَحْيَ، فَإِذَا سَمِعُوا الْكَلِمَةَ زَادُوْا فِيْهَا تِسْعًا، فَأَمَّا الْكَلِمَةُ فَتَكُوْنُ حَقًّا، وَ أَمَّا مَا زَادُوْهُ فَيَكُوْنُ بَاطِلًا، فَلَمَّا بُعِثَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) مُنِعُوْا مَقَاعِدَهُمْ، فَذَكَرُوْا ذلِكَ لِإِبْلِيْسَ وَ لَمْ تَكُنِ النُّجُوْمُ يُرْمَى بِهَا قَبْلَ ذلِكَ، فَقَالَ لَهُمْ إِبْلِيْسُ: مَا هذَا إِلَّا مِنْ أَمْرٍ قَدْ حَدَثَ فِي الْأَرْضِ، فَبَعَثَ جُنُوْدَهُ فَوَجَدُوْا رَسُوْلَ اللهِ (ص) قَائِمًا يُصَلِّيْ بَيْنَ جَبَلَيْنِ – أُرَاهُ قَالَ بِمَكَّةَ – فَلَقُوْهُ فَأَخْبَرُوْهُ، فَقَالَ: هذَا الَّذِيْ حَدَثَ فِي الْأَرْضِ.
Ketika itu, bangsa jinn naik ke atas langit untuk mendengarkan wahyu yang akan diturunkan, namun satu kalimat yang mereka dengarkan mereka tambahkan sembilan kalimat lainnya. Satu kalimat yang mereka dengar itu adalah kalimat yang benar, sedangkan sembilan kalimat tambahannya adalah kalimat yang batil, Lalu setelah Muḥammad s.a.w. diutus sebagai Nabi, mereka tercegah dari rutinitas mereka itu, dan mereka pun akhirnya mengadu kepada Iblīs karena mereka belum pernah di kejar-kejar oleh meteor sebelumnya, Iblīs pun menjawab: “Hal ini terjadi pasti ada kaitannya dengan suatu kejadian yang ada di bumi!” kemudian Iblīs pun mengirim bala tentaranya untuk memeriksa apa yang menjadi penyebabnya. Dan tidak butuh waktu yang lama bagi para tentara itu untuk menemukan penyebabnya, di mana mereka melihat Nabi s.a.w. sedang melaksanakan shalat di suatu tempat yang diapit oleh dua gunung – maksudnya adalah kota Makkah – . Maka mereka pun kembali kepada Iblīs dan memberitahukan hal yang baru saja mereka lihat, Iblīs pun langsung merasa yakin dan berkata: “Itulah kejadiann yang terjadi di bumi yang menyebabkan kita tidak lagi bebas untuk mendengarkan kabar dari langit!”.” (2128). HR. at-Tirmidzī, dan ia menilai bahwa hadits ini termasuk hadits ḥasan shaḥīḥ.
Riwayat ini dengan jelas membuktikan bahwa bangsa jinn juga dilemparkan dengan meteor sama seperti para syaithan.
Pada sebuah riwayat dari as-Suddī juga disebutkan, bahwa setelah mereka dilempari dengan meteor mereka menghadap Iblīs untuk memberitahukan mengenai apa yang terjadi, lalu Iblīs berkata: “Ambilkanlah sebongkah tanah dari setiap daerah agar aku dapat menciumnya dan mengetahui apa penyebabnya!” Lalu mereka melaksanakan perintah tersebut dan kembali kepada Iblīs setelah membawa apa yang diperintahkan kepada mereka, lalu setiap bongkahan tanah itu pun dicium oleh Iblīs, dan ia berkata: “Penyebab semua ini berada di kota Makkah!”
Kemudian Iblīs mengirimkan sekelompok bangsa jinn untuk melihat apa yang terjadi di kota Makkah.
Ada yang meriwayatkan bahwa jumlah kelompok jinn yang dikirim Iblīs pada saat itu adalah tujuh kelompok, dan salah satunya adalah Zauba‘ah, seperti yang diriwayatkan ‘Āshim, dari Zirr, “Lalu delegasi Zauba‘ah dan para sahabatnya itu berangkat menuju kediaman Nabi s.a.w.”
Ats-Tsumālī mengatakan: riwayat yang pernah kudengar adalah mereka berasal dari bani asy-Syaishabān, dan bani as-Syaishabān adalah bangsa jinn yang berjumlah paling banyak, memiliki kekuatan yang paling besar, dan pasukan Iblīs kebanyakan juga dari kaum mereka.
‘Āshim juga menyebutkan riwayat lain dari Zirr, bahwa mereka berjumlah tujuh kelompok, tiga kelompok berasal dari Ḥarrān dan empat kelompok lainnya berasal dari Nashībīn. Sedangkan Juwaibar meriwayatkan dari adh-Dhaḥḥāk, bahwa mereka berjumlah sembilan kelompok, yang kesemuanya berasal dari Nashībīn, namun bukan Nashībīn yang berada di ‘Irāq, tapi yang berada di Yaman.
Ada juga yang meriwayatkan, bahwa jinn yang diutus ke kota Makkah adalah jinn dari Nashībīn, sedangkan yang diutus ke Nakhlah (tepatnya ke kota Tihāmah yang tidak terlalu jauh dari kota Makkah) adalah jinn dari Nīnawaī. Dan semua riwayat ini telah kami sampaikan pada tafsir surah al-Aḥqāf. (2139).
Menurut ‘Ikrimah, surah yang dibaca oleh Nabi s.a.w. pada saat itu adalah surah al-‘Alaq: (اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ) “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan.” (21410).
Kami juga telah menjelaskan tentang definisi nama kelompok dari bangsa jinn pada tafsir surah al-Aḥqāf, oleh karena itu sebaiknya kami tidak mengulangnya lagi di sini.
Adapun pendapat kedua dari para ulama mengatakan bahwa Nabi s.a.w. melihat langsung jinn tersebut pada malam jinn (21511), dan inilah riwayat yang paling kuat.
‘Āmir asy-Sya‘bī meriwayatkan:
سَأَلْتُ عَلْقَمَةَ، هَلْ كَانَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ شَهِدَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ (ص) لَيْلَةَ الْجِنِّ؟ فَقَالَ عَلْقَمَةُ: أَنَا سَأَلْتُ ابْنَ مَسْعُوْدٍ فَقُلْتُ: هَلْ شَهِدَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ (ص) لَيْلَةَ الْجِنِّ؟ قَالَ: لَا وَلكِنَّا كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَفَقَدْنَاهُ فَالْتَمَسْنَاهُ فِي الْأَوْدِيَةِ وَ الشِّعَابِ، فَقُلْنَا اسْتُطِيْرَ أَوِ اغْتِيْلَ قَالَ: فِبِتْنَا بِشَرِّ لَيْلَةٍ بَاتَ بِهَا قَوْمٌ فَلَمَّا أَصْبَحْنَا إِذَا هُوَ جَاءٍ مِنْ قِبَلِ حِرَاءٍ، قَالَ: فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ فَقَدْنَاكَ فَطَلَبْنَاكَ فَلَمْ نَجِدْكَ، فَبِتْنَا بِشَرِّ لَيْلَةٍ بَاتَ بِهَا قَوْمٌ، فَقَالَ: أَتَانِيْ دَاعِي الْجِنِّ فَذَهَبْتُ مَعَهُ فَقَرَأْتُ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنَ، قَالَ: فَانْطَلَقَ بِنَا فَأَرَانَا آثَارَ نِيْرَانِهِمْ وَ سَـأَلُوْهُ الزَّادَ، فَقَالَ: لَكُمْ كُلُّ عَظْمٍ ذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ يَقَعُ فِيْ أَيْدِيْكُمْ أَوْفَرَ مَا يَكُوْنُ لَحْمًا، وَ كُلُّ بَعْرَةٍ عَلَفٌ لِدَوَابِّكُمْ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): فَلَا تَسْتَنْجُوْا بِهِمَا فَإِنَّهُمَا طَعَامُ إِخْوَانِكُمْ.
Aku pernah bertanya kapada ‘Alqamah: “Apakah dahulu Ibnu Mas‘ūd benar-benar bersama Nabi s.a.w. pada malam jinn,” lalu ‘Alqamah menjawab: “Aku juga pernah bertanya kepada Ibnu Mas‘ūd dan para sahabat Nabi lainnya apakah mereka benar-benar bersama Nabi s.a.w. pada malam tersebut, Ibnu Mas‘ūd menjawab: “Tidak, memang sebelum itu kami bersama-sama dengan Nabi s.a.w., namun kami kehilangan beliau. Ketika itu kami amat panik dan khawatir ada sesuatu yang terjadi terhadapnya, karena meskipun kami telah mencarinya ke seluruh pelosok tapi kami tidak juga menemukannya. Walaupun tidak nyenyak, malam itu kami tertidur karena kelelahan.”
Di pagi harinya, tiba-tiba beliau datang dari arah gua Ḥirā’, dan kami pun serentak menyambutnya dan berkata kepadanya: “Semalam ketika kami menyadari engkau tidak bersama kami, kami langsung mencarimu ke mana-mana, namun kami tidak dapat menemukanmu, lalu akhirnya kami pun tertidur walaupun tidak nyenyak seperti biasanya.” Kemudian Nabi s.a.w. berkata: “Semalam salah satu utusan dari bangsa jinn datang kepadaku, lalu ia mengajakku untuk pergi dengannya, karena dengan tujuan untuk meperdengarkan al-Qur’ān maka aku pun ikut dengannya.” Kemudian Nabi s.a.w. mengajak kami semua untuk menapaki jalanan yang beliau lalui semalam, dan memang benar, kami menemui jejak-jejak dan bekas-bekas api dari bangsa jinn.
Lalu asy-Sya‘bī melanjutkan: Karena merasa tidak puas, kami pun bertanya lagi tentang apa saja yang berkaitan dengan malam itu, lalu kami diberitahukan bahwa bangsa jinn yang ditemui oleh Nabi s.a.w. adalah jinn-jinn kepulauan (yang tinggal di daratan). Dan Nabi s.a.w. juga memberitahukan kepada bangsa jinn itu: “Kalian boleh memakan setiap tulang yang telah disebutkan atas nama Allah, dan bahkan tulang-belulang yang dijatahi untuk kalian itu lebih banyak daripada daging (yang dimakan manusia). Dan kalian juga akan mendapatkan kotoran hewan untuk diberikan kepada hewan-hewan tunggangan kalian.” Lalu Nabi s.a.w. bersabda kepada para sahabat: “Oleh karena itu, janganlah kamu beristinja’ (bersuci) dengan menggunakan keduanya (tulang dan kotoran hewan), karena keduanya adalah makanan bagi saudara-saudaramu dari bangsa jinn.” (21612).
Ibn-ul-‘Arabī berpendapat, (21713) Ibnu Mas‘ūd lebih mengetahui keadaan yang terjadi pada saat itu daripada Ibnu ‘Abbās, karena Ibnu Mas‘ūd berada di tempat kejadian, sedangkan Ibnu ‘Abbās hanya mendengar beritanya saja, dan menyaksikan langsung tidaklah sama dengan mendengar.
Ada juga yang mengatakan bahwa Nabi s.a.w. tidak hanya sekali didatangi oleh bangsa jinn, tapi dua kali, yaitu ketika di kota Makkah seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas‘ūd di atas tadi, dan yang kedua adalah ketika berada di Nakhlah seperti yang disebutkan pada riwayat Ibnu ‘Abbās.
Sedangkan al-Baihaqī mengatakan bahwa yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbās adalah ketika bangsa jinn pertama kali mendengar Nabi s.a.w. melantunkan al-Qur’ān dan mengetahui tentang keberadaan beliau. Pada waktu itu Nabi s.a.w. tidak membacakan lantunan ayat itu kepada bangsa jinn, dan beliau juga belum melihat mereka, persis seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbās. Kemudian untuk yang kedua kalinya, delegasi dari bangsa jinn diutus agar menemui Nabi s.a.w. untuk dibawa menemui bangsa jinn lainnya di tempat mereka agar Nabi s.a.w. dapat melantunkan ayat al-Qur’ān di hadapan mereka semua, persis seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas‘ūd.
Lalu al-Baihaqī melanjutkan: hadits-hadits yang shaḥīḥ menunjukkan bahwa Ibnu Mas‘ūd tidak bersama dengan Nabi s.a.w. pada malam jinn, ia dan para sahabat lainnya hanya melihat bekas api dan jejak tapak kaki para jinn ketika Nabi s.a.w. memperlihatkan arah perjalannnya pada malam itu. Namun, sebenarnya beberapa riwayat lain ada juga yang menyebutkan bahwa Ibnu Mas‘ūd pada malam itu ikut bersama dengan Nabi s.a.w., dan makna ini telah kami sampaikan sebelumnya pada tafsir surah al-Aḥqāf.
Riwayat dari Ibnu Mas‘ūd yang lain itu menyebutkan, bahwa Nabi s.a.w. pada waktu itu berkata kepada para sahabat: “Aku diperintahkan oleh Allah untuk membacakan ayat-ayat al-Qur’ān kepada bangsa jinn, siapakah di antara kalian yang mau ikut denganku?” Lalu para sahabat terdiam seribu bahasa, dan Nabi s.a.w. pun mengulang permintaannya lagi, namun para sahabat masih terdiam, lalu Nabi s.a.w. mengulangnya untuk ketiga kali, dan kali ini ‘Abdullāh bin Mas‘ūd menjawab: “Aku akan pergi bersamamu wahai Rasūlullāh.”
Lalu mereka berdua pun pergi, hingga akhirnya mereka sampai di bukit Hajun, tepatnya di sebuah lereng yang dinamai dengan lereng Abū Dubb. Dan tidak lama kemudian Nabi s.a.w. membuat suatu garis pembatas, lalu beliau berkata: “Engkau tidak perlu meneruskan perjalanan selanjutnya, tunggulah di sini dan jangan melewati garis ini.” Kemudian beliau melanjutkannya sendiri hingga tiba di ujung bukit Ḥajūn, lalu ada beberapa makhluk yang menyerupai anak-anak unta mengajak beliau turun dari bukit sambil menurunkan bebatuan dengan kaki mereka. Setelah itu mereka berjalan sambil memukul-mukul rebana seperti yang dilakukan oleh para wanita ‘Arab, hingga akhirnya mereka semakin jauh menghilang dan aku tidak dapat melihatnya lagi. Karena khawatir terjadi sesuatu terhadap beliau maka aku pun bangkit dan hendak menghampirinya, namun setelah aku melihatnya beliau malah mengisyaratkan tangannya agar aku segera duduk kembali.
Kemudian di tempat tersebut Nabi s.a.w. membacakan ayat-ayat suci al-Qur’ān. Suara beliau yang cukup tinggi pada saat itulah yang membuat aku mendengar lantunannya dari tempat dudukku. Sedangkan para jinn itu seakan melekat di atas tanah, hingga membuatku tidak dapat melihat mereka sama sekali.
Setelah Nabi s.a.w. selesai membaca ayat-ayat al-Qur’ān itu beliau menghampiriku dan berkata: “Apakah tadi engkau ingin menghampiriku?”, aku menjawab: “Betul wahai Rasūlullāh.” Beliau berkata lagi: “Engkau tidak perlu menghampiriku, karena jinn-jinn tersebut menjemputku untuk mendengarkan lanturan ayat al-Qur’ān, kemudian mereka akan pergi menuju kaum mereka masing-masing dan memberitahukan tentang peringatan yang disebutkan di dalam al-Qur’ān. Dan mereka juga menanyakan kepadaku apa yang diperbolehkan bagi mereka, lalu aku menjawab: “Tulang dan kotoran hewan. Oleh karena itu janganlah salah satu dari kalian nanti yang bersuci dengan menggunakan keduanya.” (21814).
‘Ikrimah mengatakan bahwa jumlah mereka yang berkumpul pada saat itu sekitar dua belas ribu jinn, yang rata-rata berasal dari pulau yang terpisah-pisah.
Pada riwayat lain dari Ibnu Mas‘ūd disebutkan: Lalu aku pun berangkat bersama-sama Nabi s.a.w. dan sesampainya kami di suatu masjid yang dekat dengan sebuah dinding yang sering disebut dengan dinding ‘Auf, beliau menggambarkan satu garis memanjang agar aku tidak melewatinya.
Lalu delegasi dari bangsa jinn menghampiri Nabi s.a.w., dan bentuk tubuh delegasi itu seperti orang-orang yang berasal dari suku Zūth yang wajahnya seperti cangkir yang lubang atasnya lebih kecil daripada lebar bawahnya. Lalu mereka bertanya kepada Nabi s.a.w.: “Siapakah anda?” beliau menjawab: “Aku adalah seorang Nabi utusan Allah.” Lalu mereka bertanya lagi: “Siapakah yang dapat bersaksi atas perkataanmu?: Nabi s.a.w. menjawab: “Pohon ini.” Lalu pohon tersebut datang dengan menggunakan akarnya, walaupun pohon tersebut hanya dapat berjalan dengan terseok-seok namun akhirnya pohon tersebut berdiri kokoh di hadapan Nabi s.a.w. Lalu Nabi s.a.w. berkata: “Apakah yang dapat engkau saksikan?” Pohon tersebut menjawab: “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.”
Setelah memperdengarkan kesaksiannya, pohon tersebut kembali lagi dengan mengulurkan akarnya ke sebuah batu, dan batu itu menyeretnya ke tempat semula. Walaupun berjalan dengan terseok-seok, akhirnya pohon tersebut kembali seperti sedia kala.
Diriwayatkan pula, bahwa setelah Nabi s.a.w. menyelesaikan pembacaan ayat-ayat suci al-Qur’ān, beliau menghampiri Ibnu Mas‘ūd dan berbaring di pangkuannya. Dan setelah terbangun dari tidur beliau bertanya kepada Ibnu Mas‘ūd: “Apakah ada air untuk dipakai berwudhu’?” Ibnu Mas‘ūd menjawab: “Tidak ada wahai Rasūlullāh, di sisiku ini hanya ada sebuah kantung yang isinya nabīdz (buah kurma yang direndam di air).” Lalu Nabi s.a.w. berkata: “Bukankah nabidz itu hanya campuran buah kurma dengan air?” Setelah mengatakan demikian Nabi s.a.w. pun akhirnya berwudhu’ dengan nabīdz tersebut.
Ketiga: Mengenai hukum air yang digunakan untuk beristinjā’ telah kami jelaskan pada tafsir surah al-Ḥijr (21915), dan untuk benda-benda lain yang dapat pula digunakan untuk beristinja’ juga telah kami jelaskan pada tafsir surah at-Taubah (22016), oleh karena itu kami rasa tidak perlu mengulanginya di sini.