قُلْ إِنْ أَدْرِيْ أَقَرِيْبٌ مَّا تُوْعَدُوْنَ أَمْ يَجْعَلُ لَهُ رَبِّيْ أَمَدًا. عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَّسُوْلٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَ مِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا. لِيَعْلَمَ أَنْ قَدْ أَبْلَغُوْا رِسَالَاتِ رَبِّهِمْ وَ أَحَاطَ بِمَا لَدَيْهِمْ وَ أَحْصَى كُلَّ شَيْءٍ عَدَدًا.
072: 25. Katakanlah (Muḥammad): “Aku tidak mengetahui, apakah adzab yang diancamkan kepadamu itu sudah dekat ataukah Tuhanku mentapkan waktunya masih lama.”
072: 26. Dia Mengetahui yang ghaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapa pun tentang yang ghaib itu.
072: 27. Kecuali kepada rasūl yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di depan dan di belakangnya.
072: 28. Agar Dia mengetahui, bahwa rasūl-rasūl itu sungguh, telah menyampaikan risalah Tuhannya, sedang (ilmu-Nya) meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu.
(al-Jinn [72]: 25-28.)
(رَبِّيْ أَمَدًا):
Nāfi‘, Ibnu Katsīr, Abū ‘Amr membaca (رَبِّيَ أَمَدًا).
(لَدَيْهِمْ):
Ḥamzah membaca (لَدَيْهُمْ).
(أَقَرِيْبٌ مَّا تُوْعَدُوْنَ) kata (أَقَرِيْبٌ) adalah mubtada’, (مَا) adalah fā‘il dari (أَقَرِيْبٌ) dengan makna (الَّذِيْ). Ia merupakan posisi khabar mubtada’ seperti ucapan mereka (أَقَائِمٌ أُخُوْكَ) dan (أَذَاهِبٌ الزَّيْدَانِ). ‘ā’id [dhamīr yang kembali kepada] (مَا) dibuang, perkiraannya adalah (أَقَرِيْبٌ مَّا تُوْعَدُوْنَهُ), namun hā’ dibuang. Boleh juga (مَا) di sini adalah mā mashdariyyah maka tidak ada ‘ā’id baginya.
(إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَّسُوْلٍ) kata (مَنِ) bisa sebagai mubtada’ dalam posisi rafa‘ sedang khabar-nya adalah (فَإِنَّهُ يَسْلُكُ). Bisa sebagai istitsnā’ munqathi‘ dalam posisi nashab.
(أَنْ قَدْ أَبْلَغُوْا) kata (أَنْ) adalah mukhaffah [bentuk ringan/tanpa tasydīd] dari tsaqīlah [ber-tasydīd], maksudnya (أَنَّهُ).
(وَ أَحْصَى كُلَّ شَيْءٍ عَدَدًا) kata (عَدَدًا) dibaca nashab sebagai tamyīz bukan sebagai mashdar. Sebab jika ia mashdar, di-idghām-kan (عَدًّا). Al-Qurthubī membolehkan nashab kata (عَدَدًا) sebagai mashdar. Yakni (أَحْصَى وَ عَدَّ كُلَّ شَيْءٍ عَدَدًا) atau di-nashab-kan sebagai ḥāl. Yakni (أَحْصَى كُلَّ شَيْءٍ فِيْ حَالِ الْعَدَدِ) “Dia menghitung segala sesuatu dalam keadaan berupa hitungan].
(إِنْ أَدْرِيْ) aku tidak tahu.
(مَّا تُوْعَدُوْنَ) “apa yang diancamkan kepada kalian” maksudnya adalah adzab.
(أَمَدًا) akhir dan ajal yang tidak bisa diketahui kecuali oleh Allah. (أَمَدٌ) zaman yang jauh.
(عَالِمُ الْغَيْبِ) apa yang ghaib bagi hamba-hamba.
(فَلَا يُظْهِرُ) tidak ada yang bisa melihat.
(عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا) hal yang ghaib yang hanya diketahui oleh ilmu-Nya.
(إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَّسُوْلٍ) sesungguhnya rasūl diberitahu oleh Allah akan beberapa yang ghaib sebagai mu‘jizat baginya.
(يَسْلُكُ) menjadikan dan mendirikan.
(مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ) di hadapan rasūl yang diridhai.
(رَصَدًا) penjaga dan pelindung berupa malaikat yang melindunginya sehingga dia bisa menyampaikan semua wahyu. Adapun karamah para wali mengenai hal-hal yang ghaib maka itu datang dari malaikat.
(لِيَعْلَمَ أَنْ قَدْ أَبْلَغُوْا) supaya pengetahuan Allah menjadi tampak sebagaimana yang terjadi dalam realita tanpa tambahan atau pengurangan. Atau supaya Nabi Muḥammad s.a.w., orang yang diberi wahyu itu mengetahui bahwasanya Jibrīl dan malaikat bersama Jibrīl itu telah menyampaikan wahyu tanpa ada penyimpangan dan perubahan. Oleh karena itu, (أَبْلَغُوْا) berdasarkan makna yang pertama adalah rasūl, berdasarkan makna kedua adalah para malaikat. Dhamir dijama‘kan adalah demi mempertimbangkan makna kata (مَن). (581)
(رِسَالَاتِ رَبِّهِمْ) mereka menyampaikan risalah Allah sebagaimana adanya tanpa perubahan.
(وَ أَحَاطَ بِمَا لَدَيْهِمْ) Dia mengetahui benar-benar apa yang ada pada para rasūl. Ini adalah ‘athaf muqaddar, yakni (فَعَلِمَ ذلِكَ) “maka Dia mengetahui hal itu dan ilmu-Nya mengetahui apa yang ada pada rasūl dengan sebenar-benarnya).
(وَ أَحْصَى كُلَّ شَيْءٍ عَدَدًا) dia menghitung bilangan segala sesuatu.
Muqātil mengatakan bahwa orang-orang musyrik ketika mendengar firman Allah s.w.t.:
“Sehingga apabila mereka melihat (adzab) yang diancamkan kepadanya, maka mereka akan mengetahui yang lebih lemah penolongnya dan lebih sedikit bilangannya.” (al-Jinn [72]: 24).
An-Nadhr bin al-Ḥārits mengatakan: “Kapankah hari yang diancamkan kepada kami akan terjadi?” Lalu Allah menurunkan ayat (قُلْ إِنْ أَدْرِيْ أَقَرِيْبٌ مَّا تُوْعَدُوْنَ) sampai akhir ayat.
“Katakanlah (Muḥammad): “Aku tidak mengetahui, apakah adzab yang diancamkan kepadamu itu sudah dekat ataukah Tuhanku mentapkan waktunya masih lama.”” (al-Jinn [72]: 25).
Katakan wahai rasūl: “Aku tidak menetahui mengenai dekatnya adzab yang mana kalian diancam oleh Allah. Aku juga tidak mengetahui apakah dekat waktu hari Kiamat itu atau jauh? Dan apakah Allah menjadikannya batas akhir dan waktu tertentu? Tidak ada yang mengetahui kapan hari Kiamat, kecuali Allah semata. Kandungan ayat ini adalah perintah dari Allah kepada rasūl-Nya agar berkata kepada manusia bahwasanya tidak ada pengetahuan baginya mengenai waktu hari Kiamat. Artinya, penyerahan pengetahuan kepasitan hari Kiamat hanyalah kepada Allah karena Dia adalah Dzāt Yang Maha Mengetahui yang ghaib.
Ini dikuatkan dengan riwayat yang ada pada hadits Imām Muslim dari ‘Umar ketika Jibrīl bertanya kepada Nabi Muḥammad s.a.w.: “Beritahulah aku mengenai hari Kiamat?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Orang yang ditanya mengenainya tidaklah lebih mengetahui daripada yang bertanya.”
“Dia Mengetahui yang ghaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapa pun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasūl yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di depan dan di belakangnya.” (al-Jinn [72]: 26-27).
Sesungguhnya Allah semata Yang Maha Mengetahui barang-barang ghaib. Tidak ada yang mengetahui yang ghaib yakni segala sesuatu yang ghaib/tidak tampak oleh para hamba. Tidak seorang pun dari mereka, kecuali para utusan yang diridhai. Allah memperlihatkan kepada mereka beberapa hal yang ghaib supaya menjadi mu‘jizat bagi mereka dan dalil yang benar akan kenabian mereka. Ini mencakup rasūl dari bangsa malaikat dan manusia. Seperti firman-Nya:
“Dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki.” (al-Baqarah: 255).
Di antara contoh Allah mengabarkan hal-hal yang ghaib kepada para rasūl adalah ucapan Nabi ‘Īsā a.s.:
“Dan aku beritahukan apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu.” (Āli ‘Imrān: 49).
Kemudian, Allah menciptakan untuk rasūl, pengawas dan penjaga dari malaikat yang menjaganya dari gangguan syaithan karena hal ghaib yang diperlihatkan oleh Allah kepada rasūl untuk mengendalikan wahyu, menghalangi para syaithan untuk mencuri kabar-kabar ghaib untuk diberikan kepada para dukun. Dalam firman ini ada, penyimpanan kalimat. Perkiraannya adalah kecuali rasūl yang diridhai, Allah menunjukkan kepada rasūl, hal yang ghaib melalui wahyu. Kemudian, menciptakan penjaga dari jenis malaikat di hadapan rasūl dan di belakangnya. Kata ar-Rashdu artinya para malaikat penjaga yang menjaga setiap rasūl dari gangguan jinn dan syaithan-syaithan.
Ayat ini adalah dalil mengenai batalnya perdukunan, ramalan bintang, dan sihir. Para pelakunya mengaku mengetahui yang ghaib tanpa adanya dalil. Ayat ini juga menunjukkan bahwa manusia yang diridhai Allah untuk membawa kenabian kadang-kadang ditunjukkan oleh Allah beberapa hal yang ghaib. Adapun ilmu para dukun dan tukang ramal adalah dugaan dan asumsi belaka. Hal itu tidak masuk dalam ilmu ghaib. Sementara itu, ilmu para wali dan penampakan keramat di tangan mereka adalah ilham yang diterima dari malaikat dan tidak bisa naik ke derajat ilmu para Nabi.
Ar-Rāzī mena’wiīkan ayat ini bahwa sesungguhnya aku tidak mengetahui waktu terjadinya hari Kiamat. Allah Maha Mengetahui yang ghaib, Dia tidak menunjukkan kepada siapa pun mengenai waktu terjadinya hari Kiamat. Itu adalah termasuk hal ghaib yang tidak ditunjukkan oleh Allah kepada siapa pun akan sedikit pun dari hal-hal ghaib, kecuali kepada para utusan-Nya. Hal itu karena dalil-dalil berikut:
Pertama, bahwasanya terbukti dengan hadits-hadits yang mendekati mutāwatir bahwa Syaqq dan Sathih adalah dua dukun yang mengabarkan kemunculan Nabi Muḥammad s.a.w. sebelum waktu kemunculannya. Dua orang itu di kalangan orang ‘Arab masyhur dengan ilmu macam ini sehingga Kaisar Romawi menjadikan keduanya referensi untuk mengetahui berita-berita mengenai Nabi Muḥammad s.a.w. Terbuktilah bahwa Allah kadang-kadang menunjukkan kepada selain rasūl sedikit dari yang ghaib,
Kedua, sesungguhnya semua pembesar kepercayaan dan agama menerapkan kebenaran ilmu ta‘bīr (pengungkapan, pena’wīlan rahasia-rahasia). Orang yang mengungkapkannya kadang-kadang mengabarkan terjadinya kejadian-kejadian yang akan datang dan dia benar dalam hari ini.
Ketiga, seorang dukun perempuan Baghdād yang dibawa oleh Sulthān Sinjar bin Rajā’ Syāh dari Baghdād sampai Khurāsān. Rajā’ menanyakan dukun perempuan itu mengenai keadaan-keadaan yang akan datang, lalu dia menyebutkan beberapa hal, kemudian terjadi sesuai dengan ucapannya.
Keempat, kita menyaksikan hal itu pada orang-orang yang mempunyai ilham yang benar. Ini tidak khusus bagi para wali, kadang-kadang terjadi pula pada para tukang sihir, kadang-kadang benar pula dalam kabar-kabar yang diberikan. Jika tukang sihir berbohong di sebagian besar kabar, kadang-kadang hukum perbintangan juga sesuai dengan realita, dan sesuai dengan masalahnya. Jika hal itu disaksikan dengan kasat mata, bisa dikatakan bahwa al-Qur’ān menunjukkan hal yang berbeda, yang mana bisa menyebabkan pencelaan pada al-Qur’ān. Ini batal maka kita mengetahui bahwa ta’wīl yang benar adalah yang telah kami sebutkan.” (592)
Menurut pendapatku bahwa ilmu ghaib yang menyeluruh hanya terbatas pada Allah semata sehingga para malaikat sebagaimana tersebut dalam surah al-Baqarah mengenai awal mula penciptaan makhluk, jinn seperti dalam surah Saba’, manusia seperti di akhir surah Luqmān. Mereka sama sekali tidak mengetahui ilmu ghaib. Mereka mengakui bahwa mereka tidak mengetahui yang ghaib. Adapun peristiwa-peristiwa yang disampaikan oleh ar-Rāzī kadang-kadang terjadi dengan ilham, baik itu untuk kebaikan atau tidak.
Kemudian Allah menyebutkan alasan Dia menjaga para rasūl, Allah berfirman:
“Agar Dia mengetahui, bahwa rasūl-rasūl itu sungguh, telah menyampaikan risalah Tuhannya” (al-Jinn [72]: 28).
Allah s.w.t. menjaga para rasūl-Nya dengan para malaikat supaya Allah mengetahui ilmu zhuhur (ilmu penampakan) dan penyingkapan dalam realita yang terjadi, bahwa para rasūl telah menyampaikan risalah-risalah Ilahi sebagaimana adanya tanpa ada tambahan atau pengurangan. Boleh juga maknanya: supaya Nabi mengetahui bahwa Jibrīl dan para malaikat telah menyampaikan wahyu dari Allah dengan sempurna tanpa pengurangan atau penggantian dan para malaikat telah menjaga wahyu sehingga mereka menyampaikannya dengan sempurna kepada para rasūl dari jenis manusia.
Yang dimaksud – sesuai dengan makna pertama – adalah bahwa Allah menjaga para rasūl-Nya dengan malaikat-Nya, supaya mereka mampu menyampaikan risalah-risalahNya dan menjaga wahyu yang diturunkan kepada rasūl kepada manusia. Selain itu, supaya Dia mengetahui bahwa mereka telah menyampaikan risalah Tuhan mereka. Ini seperti firman-Nya:
“Kami tidak menjadikan qiblat yang (dahulu) kamu (berqiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang.” (al-Baqarah: 143).
Juga seperti firman-Nya:
“Dan Allah pasti mengetahui orang-orang yang beriman dan dia pasti mengetahui orang-orang yang munafik.” (al-‘Ankabūt: 11).
Juga contoh-contoh lain mengenai ilmu Allah, bahwa Dia mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi secara pasti. Maksud dari apa yang tersebut dalam al-Qur’ān yakni alasan mengenai ilmu Allah adalah ilmu zhuhur bukan ilmu bada’. Allah s.w.t. mengetahui segala sesuatu sejak azali. Dia hanya menunjukkan ilmu-Nya kepada para hamba-Nya. (603) Oleh karena itu, Allah s.w.t. menegaskan makna itu dengan firman-Nya:
“Sedang (ilmu-Nya) meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu. (al-Jinn [72]: 28.)
Sesungguhnya Allah s.w.t. mengetahui benar-benar apa yang ada pada malaikat waktu pengawasan atau apa yang ada pada rasūl yang menyampaikan risalah-risalahNya dan keadaan-keadaan yang ada pada mereka. Allah mengetahui segala sesuatu apa yang telah terjadi dan akan terjadi, mengetahui semua hukum dan syari‘at-syari‘at. Kemudian Allah menyebutkan secara umum (mengenai) ilmu-Nya dengan firman-Nya:
“dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu. (al-Jinn [72]: 28.)
Allah membatasi segala sesuatu dalam keadaan terhitung dan terbatas, tanpa campur tangan seorang pun dari malaikat dan para pengantar ilmu.
Ayat-ayat di atas menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
Namun, kadang-kadang realita sesuai dengan kabar para peramal dan sebagainya mengenai beberapa kejadian di masa depan, demi mendasarkan pada beberapa dalil-dalil, petanda-petanda dan perhitungan-perhitungan. Namun, hal ini tidak cocok dengan kaidah umum. Tidak pula prinsip yang berlaku yang tidak salah. Ilmu tentang yang ghaib yang khusus milik Allah adalah ilmu yang menyeluruh dan benar di setiap keadaan. Sebagaimana Allah s.w.t. kadang-kadang memperlihatkan beberapa karamah dengan ilham di tangan beberapa wali yang ikhlas. Mereka mengabarkan terjadinya beberapa peristiwa di masa depan. Ini terbukti dengan contoh-contoh yang banyak, dulu dan sekarang. Ilmu modern menguatkannya, tetapi itu tidak boleh dianggap sebagai ciptaan, profesi, atau hukum segala sesuatu sebab referensi itu semua adalah kepada Allah, kekuasaan dan kehendak-Nya. Tidak pada eksperimen yang pasti atau perbuatan manusia sesuai yang diinginkan.
Az-Zajjāj berkata: artinya supaya Allah mengetahui bahwa para rasūl-Nya telah menyampaikan risalah Allah. Sebagaimana firman-Nya:
“Padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (Āli ‘Imrān: 142).
Supaya Allah mengetahui hal itu dengan ilmu musyāhadah (mengetahui sesuatu dalam keadaannya yang tampak), sebagaimana dia mengetahuinya dalam keadaan sesuatu itu tidak tampak (ghaib).