Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās dia berkata: “Jinn berkata: “Wahai Rasūlullāh, berilah kami idzin untuk mengikuti shalat bersamamu di masjidmu. Lalu Allah menurunkan ayat (وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا) ini diriwayatkan juga dari al-A‘masy.
Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Sa‘īd bin Jubair, dia berkata: “Jinn berkata kepada Nabi Muḥammad s.a.w.: “Bagaimana kami bisa mendatangi masjid sementara kami jauh darimu. Atau bagaimana kami jauh darimu.” Lalu turunlah ayat (وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ).
Sebab turunnya ayat ini sebagaimana disebutkan oleh asy-Syaukānī bahwa orang-orang kafir Quraisy berkata kepada Nabi Muḥammad s.a.w.: “Kamu membawa hal yang agung. Kamu telah memusuhi semua manusia. Surutkanlah dari dakwah ini, kami akan melindungimu.”
Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Ḥadhramī bahwasanya disebutkan ada satu jinn – termasuk pembesar jinn yang mempunyai banyak pengikut – berkata: “Muḥammad hanya ingin dilindungi Allah, aku akan melindunginya” lalu Allah menurunkan ayat: (قُلْ إِنِّيْ لَنْ يُجِيْرَنِيْ مِنَ اللهِ أَحَدٌ).
Allah mengabarkan jenis ketiga dari surah ini mengenai materi yang diwahyukan. Lalu Dia berfirman:
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah untuk Allah. Maka janganlah kamu menyembah apa pun di dalamnya selain Allah.” (al-Jinn [72]: 18).
Diwahyukan kepadaku bahwa masjid-masjid adalah khusus untuk Allah. Janganlah kalian menyembah apa pun selain Allah di dalamnya. Janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan apa pun.
Qatādah mengatakan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani jika masuk ke gereja dan kuil, mereka menyekutukan Allah. Lalu, Allah menyuruh Nabi-Nya agar mereka mengesakan-Nya semata. Firman Allah (للهِ) “kepunyaan Allah” adalah idhāfah tasyrīf (idhāfah untuk arti pemuliaan). Jika masjid dinisbahkan kepada selain Allah, maka penisbahan itu untuk menentukan kejelasan masjid tersebut. Sebagaimana dikatakan “masjid si fulan.”
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Allah s.w.t. memerintahkan hamba-Nya untuk mengesakan-Nya di tempat-tempat ibadah dan tidak boleh seorang pun disembah bersama-Nya serta tidak pula dia disekutukan.
Ḥasan al-Bashrī mengatakan: “Allah menghendaki pengertian untuk makna semua tempat.” Nabi Muḥammad s.a.w., sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhārī, Muslim, dan an-Nasā’ī dari Jābir bersabda: “Bumi dijadikan untukku sebagai masjid dan alat bersuci.” Seakan-akan Allah s.w.t. berfirman, bumi semuanya diciptakan untuk Allah, janganlah bersujud di atas bumi kepada selain penciptanya. Nabi Muḥammad s.a.w. juga bersabda: “Termasuk sunnah, jika seseorang masuk ke masjid hendaklah dia mengatakan: “Lā ilāha illallāh” (tiada tuhan selain Allah), sebab firman Allah:
“Maka janganlah kamu menyembah apa pun di dalamnya selain Allah” (al-Jinn [72]: 18)
Termasuk makna di dalamnya adalah perintah dzikrullāh dan berdoa kepada-Nya.
Kemudian Allah menyebutkan jenis keempat yang diwahyukan kepada Nabi:
“Dan sesungguhnya ketika hamba Allah (Muḥammad) berdiri menyembah-Nya (melaksanakan shalat), mereka (jinn-jinn) itu berdesakan mengerumuninya.” (al-Jinn [72]: 19).
Sesungguhnya tatkala Nabi Muḥammad s.a.w. berdoa kepada Allah dan menyembah-Nya, hampir saja jinn bergerombol dan bertumpuk-tumpuk di hadapannya karena penuh sesak untuk mendengar al-Qur’ān dari Nabi, dan kagum terhadap apa yang mereka lihat dari ibadah Nabi. Mereka melihat apa yang belum pernah dilihat dan mendengar apa yang belum mereka dengar. Dhamīr pada fi‘il (كَادُوْا) adalah kembali pada jinn. Ada yang mengatakan dhamīr itu kembali pada orang-orang musyrik.
Sejumlah ulama (571) berpendapat, tatkala Rasūlullāh s.a.w. berdiri sembari berkata: Lā ilāha illallāh dan mengajak manusia kepada Tuhan mereka, manusia dari bangsa ‘Arab yang kafir dan jinn berdesak-desakan di sekitar Nabi, bertumpuk-tumpuk dan berkelompok untuk memadamkan cahaya Allah dan membatalkan urusan ini. Allah tidak berkehendak, tetapi menolongnya, menyempurnakan cahaya-Nya dan memperlihatkannya kepada orang yang jauh darinya. Dhamīr pada kalimat (كَادُوْا) adalah kembali kepada manusia dan jinn. Ini adalah pilihan Ibnu Jarīr dan pendapat Qatādah. Pendapat yang lebih jelas adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsīr karena firman Allah s.w.t. sesudahnya:
“Katakanlah (Muḥammad): “Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya.” (al-Jinn [72]: 20).
Katakan wahai Muḥammad pada mereka yang berkumpul untuk membatalkan agamamu di sekitarmu: “Aku hanya berdoa kepada Tuhanku, menyembah-Nya semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, aku memohon perlindungan kepada-Nya, tawakkal kepada-Nya, dan aku tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun dalam beribadah,” kemudian serahkan urusan hidayah mereka kepada Allah s.w.t., lalu Allah s.w.t. berfirman:
“Katakanlah (Muḥammad): “Aku tidak kuasa menolak mudarat maupun mendatangkan kebaikan kepadamu.”” (al-Jinn [72]: 21).
Aku tidak mampu untuk menolak bahaya dari kalian. Tidak pula aku mampu untuk mengambil manfaat di dunia atau agama untuk kalian. Aku hanyalah manusia biasa seperti kalian yang diberi wahyu. Aku sama sekali tidak mempunyai apa pun untuk memberi hidayah kalian dan tidak pula menyesatkan kalian. Tempat kembali semua itu adalah kepada Allah s.w.t. Di sini, terdapat penjelasan akan kewajiban tawakkal kepada Allah, terus-menerus menyampaikan risalah tanpa peduli perlawanan mereka kepadanya dan intimidasi mereka jika tidak beriman.
Allah menegaskan makna itu, yakni ketidakmampuan Nabi-Nya untuk memberi hidayah kepada mereka dengan pernyataan ketidakmampuannya akan urusan dan masalahnya. Allah berfirman:
“Katakanlah (Muḥammad): “Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang dapat melindungiku dari (adzab) Allah dan aku tidak akan memperoleh tempat berlindung selain dari-Nya.” (Aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya.” (al-Jinn [72]: 22-23).
Katakan wahai Muḥammad kepada mereka: “Tidak ada seorang pun yang menolak adzab Allah dariku jika Dia menurunkannya kepadaku. Tidak ada penolong, tempat perlindungan bagiku selain Allah. Tidak pula ada yang bisa menyelamatkanku dan membebaskanku, kecuali aku menyampaikan risalah yang mana Allah mewajibkan pelaksanaannya kepadaku. Oleh karena itu, aku sampaikan risalah dari Allah itu, aku menjalankan risalah itu baik berupa perintah maupun larangan. Jika aku melakukannya, aku akan selamat. Jika tidak, aku akan binasa. Ini adalah seperti firman Allah s.w.t.:
“Wahai rasūl! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia.” (al-Mā’idah: 67).
Istitsnā’ (إِلَّا بَلَاغًا) boleh dari firman Allah s.w.t. (قُلْ إِنِّيْ لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَ لَا رَشَدًا) artinya, aku tidak kuasa mendatangkan untuk kalian kecuali hanya menyampaikan risalah kepada kalian.
Kemudian, Allah menyebutkan balasan orang-orang durhaka yang tidak melaksanakan tablīgh risalah dari Allah. Allah s.w.t. berfirman:
“Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasūl-Nya maka sesungguhnya dia akan mendapat (adzab) neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (al-Jinn [72]: 23).
Aku menyampaikan kepada kalian risalah Allah. Barang siapa yang durhaka setelah itu, baginya balasan yang sangat bahaya, yaitu api neraka Jahannam, bertempat di dalamnya selamanya. Tidak ada tempat untuk melarikan diri bagi mereka dari neraka itu serta tidak pula ada tempat keluar bagi mereka dari neraka. Firman Allah (أَبَدًا) adalah dalil bahwa durhaka (maksiat) di sini adalah syirik.
Kemudian, Allah mengancam orang-orang musyrik yang mempunyai pandangan lebih pendek daripada jinn dalam hal tidak beriman dengan ancaman berupa kekalahan dan kehinaan bagi mereka. Allah berfirman:
“Sehingga apabila mereka melihat (adzab) yang diancamkan kepadanya, maka mereka akan mengetahui yang lebih lemah penolongnya dan lebih sedikit bilangannya.” (al-Jinn [72]: 24).
Mereka masih saja dalam keadaan kafir sehingga jika orang-orang musyrik itu – dari bangsa jinn dan manusia – melihat apa yang diancamkan pada hari Kiamat. Pada hari itu, mereka akan mengetahui siapa yang lebih lemah penolongnya. Maksudnya, pasukan yang bisa dijadikan tempat pertolongan dan yang paling sedikit jumlahnya. Mereka ataukah orang-orang yang mengesakan Allah s.w.t.? Artinya justru orang-orang musyrik tidak mempunyai penolong sama sekali. Jumlah mereka lebih sedikit dari tentara Allah s.w.t.
Dari ayat-ayat di atas dapat diambil hal-hal sebagai berikut:
“Maka janganlah kamu menyembah apa pun di dalamnya selain Allah” (al-Jinn [72]: 18)
Karena doa mereka kepada Allah bersama dengan lain-Nya di Masjid-il-Ḥarām. Penjelasan di sini mencakup semua orang yang menyekutukan Allah dengan lain-Nya.
Mujāhid berkata: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani jika memasuki gereja dan kuil, mereka menyekutukan Allah, lalu Allah memerintah Nabi-Nya dan orang-orang Mu’min agar memurnikan doa hanya kepada Allah jika mereka memasuki semua masjid.”
Ibnu ‘Abbās meriwayatkan dari Nabi Muḥammad s.a.w.: “Jika masuk masjid, beliau mendahulukan kaki kanan dan berkata:
وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا. اللهُمَّ أَنَا عَبْدُكَ وَ زَائِرُكَ، وَ عَلَى كُلِّ مَزُوْرٍ حَقٌّ، وَ أَنْتَ خَيْرُ مَزُوْرٍ، فَأَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ أَنْ تَفُكَّ رَقَبَتِيْ مِنَ النَّارِ.
“Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. Ya Allah, aku hamba-Mu dan pengunjung-Mu, setiap yang dikunjungi mempunyai hak, Engkau adalah sebaik-baik yang dikunjungi. Maka aku mohon kepada-Mu dengan rahmat-Mu hendaklah Engkau bebaskan diriku dari api neraka.”
Jika keluar dari masjid, beliau mendahulukan kaki kiri dan berkata:
اللهُمَّ صُبَّ عَلَيَّ الْخَيْرَ صَبًّا، وَ لَا تَنْزَعْ عَنِّيْ صَالِحَ مَا أَعْطَيْتَنِيْ أَبَدًا، وَ لَا تَجْعَلْ مَعِيْشَتِيْ كَدًّا، وَ اجْعَلْ لِيْ فِي الْأَرْضِ جَدًّا.
“Ya Allah, curahkanlah kepadaku kebaikan, janganlah Engkau cabut dariku kebaikan apa yang Engkau berikan kepadaku selamanya. Janganlah Engkau jadikan kehidupanku sengsara, jadikan untukku kekayaan di bumi.”
Pertama, menyembah Allah semata tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun.
Kedua, penyerahan urusan hidayah hanya kepada Allah. Dia tidak mampu menolak bahaya dari kaumnya atau menarik kebaikan untuk mereka. Dia tidak memiliki kekufuran dan keimanan. Tempat kembali itu semua adalah hanya kepada Allah.
Ketiga, Nabi Muḥammad s.a.w. tidak mempunyai pelindung dari adzab Allah. Jika dia berhak menerima adzab itu, tidak ada tempat berlindung yang digunakan untuk berlindung dan tidak ada penolong baginya jika dia durhaka kepada Tuhannya.