Kami tidak tahu – sebab penjagaan langit ini – apakah keburukan atau adzab yang dikehendaki oleh Allah untuk diturunkan kepada penduduk bumi atau Tuhan mereka menghendaki kebaikan dan kesalehan dengan mengutus Nabi yang reformis. Ini termasuk tata krama mereka dalam pengungkapan kalimat. Di mana mereka menyandarkan keburukan pada bukan pelaku dan menyandarkan kebaikan kepada Allah s.w.t. disebut dalam Shaḥīḥ:
وَ الشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ.
“Keburukan bukan kepada-Mu.”
Allah s.w.t. mengabarkan tentang jinn bahwa mereka mengabarkan tentang diri mereka ketika mereka menyeru sahabat mereka untuk beriman kepada Nabi Muḥammad s.a.w. Sebelum mendengarkan al-Qur’ān, di antara kami ada yang beriman dan berkelakuan baik memiliki sifat saleh, di antara kami juga ada kaum yang sebaliknya, tidak saleh atau kafir. Kami adalah kelompok-kelompok yang terpecah-pecah, kelompok-kelompok berlainan serta memiliki keinginan-keinginan yang berbeda-beda. Yang dimaksud adalah mereka bermacam-macam. Di antara mereka ada yang Mu’min, di antara mereka ada yang fasiq, ada yang kafir sebagaimana keadaan manusia. Sa‘īd bin Musayyab berkata: “Mereka ada yang Muslim, Yahudi, Nasrani, dan Majusi.
Kami mengetahui bahwa kekuasaan Allah adalah hakim bagi kami. Jika Allah sudah berkehendak kepada kami. Kami tidak bisa terlepas dari kekuasaan Allah dan tidak bisa meninggalkan-Nya, baik kami berada di bumi atau lari menuju langit. Dia Maha Kuasa kepada kami. Tak seorang pun dari kami yang bisa melemahkan-Nya.
Ketika kami mendengar al-Qur’ān, kami membenarkannya bahwa itu dari sisi Allah. Kami tidak mendustakannya, sebagaimana orang-orang kafir dari golongan manusia yang mendustakannya. Barang siapa yang membenarkan apa yang diturunkan Allah kepada para utusan-Nya, janganlah takut untuk dikurangi kebaikannya, jangan pula takut dimusuhi, dizhalimi dan melampaui batas dari Allah dengan menambahi kejelekan-Nya.
Sebagian dari kami ada yang Mu’min, taat kepada Tuhan dan beramal saleh. Sebagian dari kami ada juga yang jahat, zhalim, dan menyimpang dari jalan kebenaran, kebaikan dan manhaj iman yang wajib. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan memasrahkan dirinya kepada Allah dengan menaati syari‘at-Nya, maka mereka akan menuju dan mencari jalan yang bisa menyampaikan kepada kebahagiaan, mencari keselamatan dari adzab untuk diri mereka. Ini adalah pahala bagi mereka yang memiliki iman.
Perlu dicatat, bahwa al-Qāsith adalah orang yang menyimpang dari yang hak dan berpaling dari kebenaran. Berbeda dengan al-Muqsith, dia adalah orang yang adil sebab dia berpaling untuk menuju kebenaran. Al-Qāsithūn adalah orang-orang kafir yang berpaling dari jalan hak, berasal dari kata (قَسَطَ) artinya menyimpang. (المقسط) artinya orang yang menegakkan keadilan, dari kata (أَقْسَطَ) artinya adil.
Kemudian Allah mencela jinn kafir dengan ucapan mereka sendiri:
“Dan adapun yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi bahan bakar bagi neraka Jahannam.” (al-Jinn [72]: 15).
Artinya adapun orang-orang yang menyimpang, berpaling dari manhaj Islam, maka mereka menjadi bahan bakar api neraka yang digunakan untuk menyalakan, sebagaimana orang-orang kafir dari bangsa manusia juga dijadikan bahan bakar api neraka.
Setelah menjelaskan jenis pertama dari isi wahyu yang disampaikan kepada rasūl, Allah menyebutkan jenis kedua isi wahyu yang disampaikan kepada rasūl, dalam firman-Nya:
“Dan sekiranya mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), niscaya Kami akan mencurahkan kepada mereka air yang cukup. Dengan (cara) itu Kami hendak menguji mereka. Dan barang siapa berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam adzab yang sangat berat.” (al-Jinn [72]: 16-17).
Diwahyukan kepadaku bahwasanya jika jinn dan manusia istiqāmah pada jalan Islam, Kami akan mencurahkan kepada mereka air yang banyak. Kami benar-benar akan memberi mereka kebaikan yang banyak lagi luas untuk menguji mereka. Artinya Allah memperlakukan mereka sebagaimana perlakuan orang yang menguji sehingga Kami mengetahui syukur mereka terhadap nikmat-nikmat itu. Jika mereka taat kepada Tuhan mereka, Kami akan memberi mereka pahala. Jika mereka membangkang-Nya, Kami akan menyiksa mereka di akhirat, Kami tarik nikmat mereka, atau Kami biarkan mereka kemudian Kami binasakan. Sebagaimana dijelaskan oleh ayat berikut:
“Barang siapa berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam adzab yang sangat berat.” (al-Jinn [72]: 17).
Artinya, barang siapa yang berpaling dari al-Qur’ān atau dari nasihat, dia tidak melakukan perintah-perintah dan tidak meninggalkan larangan-larangan, Tuhan akan memasukkannya pada adzab yang berat dan sulit yang tidak ada kenyamanan sama sekali di dalamnya.
Ayat-ayat di atas menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
Ar-Rāzī mengatakan bahwa yang paling mendekati kebenaran adalah bahwa panah api itu telah ada sebelum pengutusan Nabi. Hanya saja ditambahkan jumlahnya setelah Nabi diutus, dijadikan lebih sempurna dan lebih kuat. Inilah yang ditunjukkan oleh lafal al-Qur’ān sebab al-Qur’ān berfirman:
“Maka kami mendapatinya penuh.” (al-Jinn [72]: 8).
Ini menunjukkan bahwa yang terjadi adalah penuh dan banyak. Demikian juga firman-Nya:
“Kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat.” (al-Jinn [72]: 9).
Artinya, kami mendapati di langit beberapa tempat duduk yang sepi dari penjaga dan anak-anak panah. Sekarang tempat-tempat duduk itu semua penuh. (551)
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu (Muḥammad), melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri.” (Yūsuf: 109).
Tersebut dalam hadits shaḥīḥ.
بُعِثْتُ إِلَى الْأَحْمَرِ وَ الْأَسْوَادِ.
“Aku diutus kepada bangsa merah dan hitam.” (562)
Artinya adalah kepada bangsa manusia dan jinn.
Balasan keimanan adalah orang tidak akan takut dikurangi kebaikannya dan tidak pula takut ditambahi kejelekannya.
وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا. وَ أَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللهِ يَدْعُوْهُ كَادُوْا يَكُوْنُوْنَ عَلَيْهِ لِبَدًا. قُلْ إِنَّمَا أَدْعُوْ رَبِّيْ وَ لَا أُشْرِكُ بِهِ أَحَدًا. قُلْ إِنِّيْ لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَ لَا رَشَدًا. قُلْ إِنِّيْ لَنْ يُجِيْرَنِيْ مِنَ اللهِ أَحَدٌ وَ لَنْ أَجِدَ مِنْ دُوْنِهِ مُلْتَحَدًا. إِلَّا بَلَاغًا مِّنَ اللهِ وَ رِسَالَاتِهِ وَ مَنْ يَعْصِ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا. حَتَّى إِذَا رَأَوْا مَا يُوْعَدُوْنَ فَسَيَعْلَمُوْنَ مَنْ أَضْعَفُ نَاصِرًا وَ أَقَلُّ عَدَدًا.
072: 18. Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah untuk Allah. Maka janganlah kamu menyembah apa pun di dalamnya selain Allah.
072: 19. Dan sesungguhnya ketika hamba Allah (Muḥammad) berdiri menyembah-Nya (melaksanakan shalat), mereka (jinn-jinn) itu berdesakan mengerumuninya.
072: 20. Katakanlah (Muḥammad): “Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya.”
072: 21. Katakanlah (Muḥammad): “Aku tidak kuasa menolak mudarat maupun mendatangkan kebaikan kepadamu.”
072: 22. Katakanlah (Muḥammad): “Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang dapat melindungiku dari (adzab) Allah dan aku tidak akan memperoleh tempat berlindung selain dari-Nya.”
072: 23. (Aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasūl-Nya maka sesungguhnya dia akan mendapat (adzab) neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
072: 24. Sehingga apabila mereka melihat (adzab) yang diancamkan kepadanya, maka mereka akan mengetahui yang lebih lemah penolongnya dan lebih sedikit bilangannya.”
(al-Jinn [72]: 18-24).
(وَ أَنَّهُ لَمَّا قَامَ):
Nāfi‘ membaca (وَ إِنَّهُ لَمَّا قَامَ).
(قُلْ إِنَّمَا):
Imām ‘Āshim dan Ḥamzah membaca (قُلْ إِنَّمَا), sementara imam-imam yang lain membaca (قَالَ إِنَّمَا).
(وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ) Kata (وَ أَنَّ) bisa dalam posisi rafa‘ karena ‘athaf pada firman-Nya (أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ) atau dengan posisi jarr dengan memperkirakan adanya pembuangan huruf jarr dan tetap mengamalkannya (menjadikan tetap terkena hukum dari huruf jarr itu) setelah pembuangan itu. Artinya, janganlah kamu menyembah seseorang pun bersama Allah sebab masjid-masjid adalah kepunyaan-Nya. Atau dalam posisi nashab dengan memperkirakan pembuangan huruf jarr. Setelah huruf itu dibuang, fi‘il bersambung dengan huruf itu, lalu dia me-nashab-kannya.
(وَ أَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللهِ) kata (أَنَّ) bisa di-fatḥah karena ‘athaf pada (أَنَّ) yang di-fatḥah karena (أُوْحِيَ) atau dibaca kasrah karena ‘athaf pada (إِنَّ) yang di-kasrah setelah kata (قَالُوْا) sedang dhamīr-nya adalah dhamīr sya’n.
Kalimat (إِلَّا بَلَاغًا) bisa di-nashab sebagai mashdar sementara istitsnā’ di sini adalah istitsnā’ muttashil. Perkiraannya adalah (إِنِّيْ لَنْ يُجِيْرَنِيْ مِنَ اللهِ أَحَدٌ وَ لَنْ أَجِدَ مِنْ دُوْنِهِ مُلْتَحَدًا. إِلَّا بَلَاغًا) “Sesungguhnya Aku sekali-kali tiada seorang pun dapat melindungiku dari (adzab) Allah dan sekali-kali Aku tiada akan memperoleh tempat berlindung selain daripada-Nya. Jika aku tidak benar-benar menyampaikan risalah Tuhanku”. Bisa pula dibaca nashab karena ia adalah istitsnā’ munqathi‘. Artinya, tidak ada yang melindungiku, namun jika aku menyampaikan risalah Tuhanku, Dia akan mengasihiku.
Kata (خَالِدِيْنَ) adalah ḥāl dari dhamīr (وَ مَنْ) dalam firman-Nya (وَ مَنْ يَعْصِ اللهَ) demi mempertimbangkan maknanya, yakni jama‘/plural.
(فَسَيَعْلَمُوْنَ مَنْ أَضْعَفُ نَاصِرًا) yang bermakna pertanyaan (siapa), dalam posisi rafa‘ sebagai mubtada’, sementara kata (أَضْعَفُ) menjadi khabar-nya, sedang (نَاصِرًا) menjadi tamyīz yang dibaca nashab, bisa pula bermakna (الَّذِيْ) “yang” dalam posisi nashab sebagai maf‘ūl dari (فَسَيَعْلَمُوْنَ) sementara (أَضْعَفُ) adalah khabar dari mubtada’ yang dibuang. Taqdīr-nya (perkiraannya) adalah (مَنْ هُوَ أَضْعَفُ) “siapakah yang dia lebih lemah”.
Kata (ضَرًّا) dan (رَشَدًا) keduanya ath-Thibāq.
(وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ) tempat-tempat shalat yang khusus untuk Allah.
(فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا.) janganlah kalian menyembah selain Allah di dalam masjid, yakni dengan menyekutukan-Nya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani jika mereka masuk ke gereja dan kuil mereka.
(لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللهِ) maksudnya adalah Nabi Muḥammad s.a.w. sesuai dengan kesepakatan semua ulama.
(يَدْعُوْهُ) dia menyembah-Nya di Nakhlah.
(كَادُوْا) hampir saja jinn yang mendengarkan bacaan Nabi.
(لِبَدًا) kelompok-kelompok. Bentuk jama‘ dari (لبدة). Maksudnya adalah mereka menjadi berdesak-desakan karena bersemangat untuk mendengarkan al-Qur’ān. Orang ‘Arab mengatakan (تَلَبَّدَ الْقَوْمُ) jika suatu kaum berkumpul. Di antaranya juga adalah ucapan mereka (لَبَدَةُ الْأَسَدِ) untuk menunjukkan makna rambut yang berkumpul di sekitar leher singa.
(قُلْ إِنَّمَا أَدْعُوْ رَبِّيْ وَ لَا أُشْرِكُ بِهِ أَحَدًا) aku menyembah Tuhanku, Tuhan Yang Esa, tanpa menyekutukan-Nya. Tidak ada alasan bagi kalian untuk mengingkari atau merasa aneh.
(ضَرًّا وَ لَا رَشَدًا) sesat dan bahaya serta tidak pula ada manfaat dan kebaikan.
(لَنْ يُجِيْرَنِيْ مِنَ اللهِ) tidak ada yang memberiku manfaat, tidak ada yang membelaku dari adzab-Nya, jika aku membangkang-Nya.
(مِنْ دُوْنِهِ) selain Allah.
(مُلْتَحَدًا) tempat berlindung atau tempat berlindung di mana aku bisa berlindung di tempat itu.
(إِلَّا بَلَاغًا) kecuali menyampaikan risalah-risalahNya. Ini adalah istitsnā’ dari maf‘ūl.
(أَمْلِكُ) [aku memiliki kemampuan] maksudnya, aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepadamu melainkan hanya menyampaikan kepada kalian. Artinya, penyampaian wahyu dan risalah kenabian. Antara mustatsnā minhu dan istitsnā’, ada i‘tirādh (kalimat penyela) yang menegaskan penafian kemampuan. Atau mustatsnā dari firman-Nya (مُلْتَحَدًا) maksudnya, jika aku tidak benar-benar menyampaikan, aku tidak menemukan tempat perlindungan dari hukuman Allah.
Kata (وَ رِسَالَاتِهِ) di-‘athaf-kan pada kata (بَلَاغًا).
(وَ مَنْ يَعْصِ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ) barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasūl-Nya, yakni dalam mengesakan-Nya, tidak beriman kepada-Nya. Sebab konteks kalimat (فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِيْنَ فِيْهَا) mereka masuk ke dalam neraka Jahannam selama mereka ada di dalamnya.
Kata (خَالِدِيْنَ) dibuat dalam bentuk jama‘ karena mempertimbangkan makna jama‘ pada kata (وَ مَنْ يَعْصِ) [barang siapa yang mendurhakai].
Firman Allah (لَهُ) dipergunakan untuk mempertimbangkan kalimat (حَتَّى إِذَا رَأَوْا مَا يُوْعَدُوْنَ) artinya apa yang diancamkan kepada mereka, yakni hukuman di dunia seperti Perang Badar, atau di akhirat dengan adzab api neraka.
Kata (حَتَّى) adalah ibtida’iyyah (kata yang ada di permulaan kalimat). Di dalamnya ada makna tujuan akhir dari sesuatu yang telah ditentukan sebelumnya. Artinya mereka masih dalam kekafiran sampai mereka melihat adzab. Atau kata (حَتَّى) berkaitan dengan firman-Nya: (يَكُوْنُوْنَ عَلَيْهِ لِبَدًا) mereka menampakkan permusuhan kepada Nabi.
(فَسَيَعْلَمُوْنَ) mereka akan mengetahui ketika adzab menimpa mereka pada Perang Badar, atau pada hari Kiamat.
(مَنْ أَضْعَفُ نَاصِرًا وَ أَقَلُّ عَدَدًا.) siapa yang pasukannya paling lemah dan jumlahnya paling sedikit. Nabi atau mereka.