Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir al-Azhar (Bagian 6)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir al-Azhar

IV

قُلْ إِنَّمَا أَدْعُوْ رَبِّيْ وَ لَا أُشْرِكُ بِهِ أَحَدًا. قُلْ إِنِّيْ لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَ لَا رَشَدًا. قُلْ إِنِّيْ لَنْ يُجِيْرَنِيْ مِنَ اللهِ أَحَدٌ وَ لَنْ أَجِدَ مِنْ دُوْنِهِ مُلْتَحَدًا. إِلَّا بَلَاغًا مِّنَ اللهِ وَ رِسَالَاتِهِ وَ مَنْ يَعْصِ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا. حَتَّى إِذَا رَأَوْا مَا يُوْعَدُوْنَ فَسَيَعْلَمُوْنَ مَنْ أَضْعَفُ نَاصِرًا وَ أَقَلُّ عَدَدًا. قُلْ إِنْ أَدْرِيْ أَقَرِيْبٌ مَّا تُوْعَدُوْنَ أَمْ يَجْعَلُ لَهُ رَبِّيْ أَمَدًا. عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَّسُوْلٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَ مِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا. لِيَعْلَمَ أَنْ قَدْ أَبْلَغُوْا رِسَالَاتِ رَبِّهِمْ وَ أَحَاطَ بِمَا لَدَيْهِمْ وَ أَحْصَى كُلَّ شَيْءٍ عَدَدًا.

072: 20. Katakanlah: “Yang aku seru hanya Tuhanku dan tidaklah aku mempersekutukan dengan Dia sesuatu juapun.”

072: 21. Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidaklah kuasa mendatangkan kepada kamu, baik kemudaratan dan tidak pula yang menyenangkan.”

072: 22. Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini, tiada seorangpun yang dapat melindungiku dari Allah dan sekali-kali tidaklah akan kudapat selain Dia tempat bersembunyi.”

072: 23. Kecuali hanya menyampaikan daripada Allah dan tugas-tugas yang Dia amanatkan. Dan barang siapa yang mendurhaka kepada Allah dan Rasūl-Nya maka sesungguhnya untuk mereka adalah api neraka Jahannam, dalam keadaan kekal mereka di dalamnya selama-lamanya.

072: 24. Sehingga apabila mereka lihat kelak apa yang dijanjikan kepada mereka itu, maka akan mereka ketahuilah siapa yang paling lemah penolongannya dan siapa yang lebih kecil bilangannya.

072: 25. Katakanlah: “Tidaklah aku mengetahui, apakah telah dekat apa yang dijanjikan kepada mereka itu ataukah Tuhanku akan menjadikan adzab itu, masa yang panjang lagi.”

072: 26. Yang Maha Mengetahui apa yang ghaib, dan tidak ada yang dapat menyatakan yang ghaib itu seorang jua pun.

072: 27. Kecuali barang siapa yang Dia ridhai dari rasūl. Maka sesungguhnya Dia mengadakan di hadapannya dan di belakangnya penjaga-penjaga.

072: 28. Karena Dia hendak membuktikan bahwa mereka telah menyampaikan tugas-tugas amanat dari Tuhan mereka dan Diapun meliputi apa yang ada pada mereka dan Dia hitung sesuatu berapa bilangannya.

***

Sampai pada ayat yang ke-20 boleh dikatakan bahwa kisah tentang jinn-jinn yang mendengar al-Qur’ān lalu beriman kepada Rasūl dan ceritera tentang percakapan mereka telah selesai. Yang jadi hikmat tertinggi dari turunnya Surat Jinn ini ialah untuk membuktikan kepada kaum Quraisy yang masih musyrik itu bahwa meskipun mereka tidak mau menerima seruan dan da‘wah Nabi, namun bangsa jinn yang halus itu ada yang baru sekali mereka dengar, merekapun terus beriman dan terus pula mengajak kawannya yang lain supaya turut beriman. Maka banyaklah kata hikmah terungkap dalam pengislaman makhluk yang halus itu.

Nampak pula dalam rentetan ayat ini bahwa tidaklah semua diketahui oleh Nabi bahwa ada makhluk halus yang beriman kepadanya. Setelah Tuhan memberitahu dengan perantaraan wahyu barulah Nabi mengetahuinya. Dan dapatlah pula diketahui bahwasanya perjuangan bangsa jinn menegakkan kebenaran atau hendak menuju jalan lurus kepada Tuhan sama juga sulitnya dengan yang ditempuh oleh manusia. Sehingga Tuhanpun menjanjikan bagi barang siapa yang beristiqamah, tetap teguh dan kuat, tidak beranjak dan tidak menyimpang dari tujuan semula, bahwa Tuhan akan memberinya air yang segar, air yang jernih dan sejuk, sebagai obat haus dari perjalanan yang payah dan melelahkan menegakkan Kebenaran.

Sekarang pada ayat ke-20 kembalilah Tuhan menyuruh Rasūl-Nya menjelaskan pendirian, yang dikemukakannya di hadapan orang-orang masih musyrik itu;

Katakanlah” – Ya Muḥammad! – (Pangkal ayat 20): “Yang aku seru hanya Tuhanku”. – Aku tidak dapat menyeru yang lain. Sebab yang lain itu tidak lebih tidak kurang, hanya makhluk semacam aku jua; “dan tidaklah aku mempersekutukan dengan Dia sesuatu juapun.” (Ujung ayat 20).

Artinya, bahwa bagaimanapun kalian menyakiti aku, menghalang-halangi langkahku dan membujuk merayu aku agar berdamai dengan kalian, lalu bersama-sama menyembah dan memuja berhala yang kalian sembah dan puja, namun aku tidaklah dapat merobah pendirianku dan mengkhianati isi hatiku. Aku tidak dapat mempersekutukan yang lain dengan Allah. Untuk menegakkan pendirian itu aku bersedia menerima apa saja yang hendak kalian timpakan ke atas diriku.

Kadang-kadang datanglah tantangan yang sudah melewati batas dari mereka, yang masih musyrik itu. Sampai pernah mereka mengatakan kalau memang berhala yang kami sembah ini salah, apa hukuman yang akan engkau jatuhkan kepada kami? Apakah engkau sanggup membinasakan kami? Tantangan ini disuruh jawab oleh Tuhan:

Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidaklah kuasa mendatangkan kepada kamu, baik kemudaratan dan tidak pula yang menyenangkan.”” (Ayat 21).

Keyakinan Tauhid memang begitu. Di dalam kepercayaan yang demikian teguhnya kepada Tuhan dia selalu mengakui bahwa dirinya tidak apa-apa, dirinya tidak dapat berbuat-buat menurunkan bahaya kepada yang menantangnya dan tidak pula dapat memberikan upah atau penghargaan kepada yang beriman kepadanya, itupun adalah urusan Tuhan semata-mata. Bagaimanapun dia ditantang supaya suka memperlihatkan kekuasaan namun dia mengakui terus-terang bahwa dia adalah manusia sebagai orang-orang yang didatanginya dan dida‘wahinya itu jua.

Janganlah kalian sampai menantang aku meminta ketentuan, karena aku tidak ada kuasa apa-apa, baik untuk membawa bahaya bagi kalian atau untuk membela kalian. Sedangkan diriku sendiri tidaklah aku dapat menangkis jika Tuhan menghendaki sesuatu atas diriku.

Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini, tiada seorangpun yang dapat melindungiku dari Allah” (Pangkal ayat 22). Jika Allah hendak mendatangkan bahaya kepada diriku, tidak seorangpun yang dapat melindungiku dari bahaya itu. Sebab tidak ada satu kekuatanpun pada makhluk untuk menangkis kehendak dari Yang Maha Kuasa; “dan sekali-kali tidaklah akan kudapat selain Dia tempat bersembunyi.” (Ujung ayat 22). Kalau disuku kata pertama dikatakan bahwa tidak seorangpun dapat melindungi, ialah supaya jangan ada terkhayal dalam ingatan bahwa akan ada makhluk yang kuat menantang Allah. Di ujung ayat disebutkan bahwa tempat berlindung atau tempat bersembunyi melindungkan diri dari murka Allah hanyalah kembali kepada Allah jua. Lari menghampirinya untuk mengelakkan murkanya. Taubat berarti kembali; Maka janganlah lari ke tempat jauh, karena tidak ada yang jauh dari bawah kekuasaan Allah. Lebih baik meniarap, sujud, tunduk menekur ke bawah cerpu (sandal dari kulit yang bentuknya seperti terompah) Tuhan memohon ampun dan maghfirat. Inilah yang diajarkan Nabi kepada mereka yang selama ini berkeras kepala itu.

Kecuali hanya menyampaikan daripada Allah dan tugas-tugas yang Dia amanatkan.” (Pangkal ayat 23). Oleh sebab itu telah dijelaskanlah oleh Nabi s.a.w. bahwa kewajiban beliau buat menghukum orang, bukan mengutuk orang, bukan memurkai yang durhaka. Kewajiban beliau hanya dua, yaitu pertama ialah balāgh, menyampaikan. Disebut juga tabligh. Kedua ialah melaksanakan tugas-tugas atau mission, yaitu inti sari yang akan di-tablīgh-kan itu, menunjukkan contoh dan teladan dengan perbuatan, yang ber-tablīgh adalah satu di antaranya. Di sinilah bertemu empat missi, empat risalah yang wajib lengkap pada seorang Rasūl. Yaitu Shiddīq (jujur), Amānah (Setia menyampaikan pesan), Tablīgh (menyampaikan), dan Fathānah (Bijaksana). Kesatuan dari yang empat inilah risalah atau missi yang jadi kemestian seorang Rasūl. Mustahil dia pendusta, atau khianat, atau menyembunyikan sebagian dari wahyu atau goblok tidak mengetahui keadaan manusia yang didatanginya.

Dan barang siapa yang mendurhaka kepada Allah dan Rasūl-Nya maka sesungguhnya untuk mereka adalah api neraka Jahannam”. Sebagai hukuman atas keras kepala batunya menolak seruan kebenaran; “dalam keadaan kekal mereka di dalamnya selama-lamanya.” (Ujung ayat 23). Karena jiwa mereka sudah terlalu kotor, laksana sehelai kain bagus yang sudah terlalu lama terbenam di dalam luluk atau lumpur. Meskipun kemudian telah dapat dikeluarkan, namun kalau dicuci bagaimanapun dengan sabun dalam air jernih yang tergenang, namun dia tidak dapat bersih lagi; Sebab luluk lumpur dosa itu telah jadi satu dengan tiap-tiap helai benangnya.

Sehingga apabila mereka lihat kelak apa yang dijanjikan kepada mereka itu” (Pangkal ayat 24). Yaitu adzab api neraka Jahannam yang dijanjikan itu; “maka akan mereka ketahuilah siapa yang paling lemah penolongannya”. Walaupun waktu di dunia dia merasai banyak penolong, banyak pembantu dan banyak pengawal. Di neraka kelak tidak seorang juapun penolong, pembantu dan pengawal itu yang muncul. “Dan siapa yang lebih kecil bilangannya”. (Ujung ayat 24).

Hayunan kata dari ayat ini ialah memberi ingat kaum musyrikin atau penantang Kebenaran Allah yang dibawa Rasūl, yang membangga karena dia berkuasa, mempunyai banyak penolong dan pembela, dan membanggakan karena banyak pengikut yang setia. Kalau sudah mendekam dalam penjara neraka, mana lagi pembela? Mana lagi banyak teman dan banyak pengikut? Jangankan di akhirat! Sedangkan di dunia, seorang yang berkuasa besar di kala musanya, apabila terbukti bersalah melanggar undang-undang Negara, lalu dihukum dan dipenjarakan, siapa lagi yang akan menolong sampai di sana? Banyak kali dialami bahwa manusia memuja-muja hanyalah sementara “tampuk masih bergetah”; Kalau tampuk (ujung tangkai yang melekat pada buah) sudah layu, satu lalatpun tidak akan hinggap lagi.

Katakanlah: “Tidaklah aku mengetahui, apakah telah dekat apa yang dijanjikan kepada mereka itu.” (Pangkal ayat 25). Tadi sudah ada ancaman, bahwa barang siapa yang durhaka kepada Allah dan Rasūl akan jadi kayu api neraka Jahannam dan kekal di sana selamanya. Mereka bertanya: “Bila itu akan kejadian.” Bila adzab akan jatuh kepada kami? Atau ini hanya omong kosong saja, atau ancaman mempertakut-takuti kami yang tidak takut? Akan sepatlah kejadian itu. Maka tibalah jawaban Nabi dengan suruhan Allah bahwa beliau sendiri tidaklah tahu apakah telah dekat masa itu; “ataukah Tuhanku akan menjadikan adzab itu, masa yang panjang lagi.” (Ujung ayat 25). Itu adalah ilmu Allah semata-mata. Meskipun sebagai Nabi, beliau yakin adzab siksaan itu pasti datang, namun beliau tidak mengetahui bila waktunya. Tetapi permulaan adzab telah datang kepada mereka tidak lama kemudian. Pemimpin-pemimpin musyrikin sebagian besar tewas binasa dalam peperangan Badr, malahan Abū Lahab mati terkejut menerima berita kekalahan.

Tuhan itu ialah: “Yang Maha Mengetahui apa yang ghaib”. (Pangkal ayat 26). Kunci keghaiban itu dipegang sendiri oleh Tuhan, bahkan banyak di antaranya malaikat sendiripun tidak tahu: “dan tidak ada yang dapat menyatakan yang ghaib itu seorang jua pun”. (Ujung ayat 26).

Dengan ayat ini dijelaskan bahwa tidak seorangpun yang mengetahui keadaan yang ghaib; tidak Nabi, tidak Rasūl, tidak jinn dan tidak malaikat, Rahasia yang ghaib semata-mata dalam genggaman Tuhan. Oleh sebab itu tidaklah dapat dipercayai kalau ada seorang manusia yang mengakui dirinya bisa mengetahui yang ghaib, apa yang akan terjadi di belakang hari. Di dalam Surat ke-31, Luqmān ayat penghabisan (34), diterangkan ada lima hal yang hakikatnya ghaib bagi manusia; 1) Ilmu tentang bila akan terjadi hari kiamat, 2) kekuasaan menurunkan hujan, 3) pengetahuan tentang nasib anak yang masih terkandung di dalam rahim ibunya, 4) pengetahuan apa yang akan dikerjakan besok hari, meskipun telah direncanakan dan ke-5) seorangpun tidak ada yang tahu di bumi mana dia akan meninggal dunia. Yang sangat mengetahui soal-soal itu dengan teliti hanyalah Tuhan saja!

Tetapi ada juga orang yang dikecualikan, lalu diberi agak sedikit pengetahuan tentang yang ghaib;

Kecual kepada Rasūl yang diridhai-Nya”. (Pangkal ayat 27). An-Nasafī menjelaskan ayat ini dalam tafsirnya; Artinya ialah bahwa yang diberi pengecualian ialah Rasūl yang diridhai oleh Allah buat diberi pengetahuan setengah dari ilmu yang ghaib”. Artinya tidaklah seluruh yang ghaib diberitahukan Tuhan kepada Rasūl yang diridhai-Nya itu. Sekian ringkasan tafsiran an-Nasafī.

Abūs-Su‘ūd menjelaskan lagi dalam tafsirnya: “Maka tidaklah Allah membukakan rahasia yang ghaib itu sesempurna-sempurnanya kepada Rasūl yang diridhai itu sampai mencapai ‘ain-ul-yaqīn. Tuhan menganugerahkan kepadanya sebagian dari yang ghaib yang ada sangkut-pautnya dengan risalatnya.” Sekian ringkasan tafsir dari Abūs-Su‘ūd ditambahkan lagi beberapa perumpamaan anugerah Tuhan kepada Rasūl-Nya yang diridhai-Nya itu ialah seumpama terkanaan Nabi Yūsuf tentang makanan yang akan disediakan penjaga-penjara untuknya dan untuk kedua orang pengawal raja yang sama terpenjara, atau ta‘bir-ta‘bir mimpi yang beliau jelaskan sejelas-jelasnya, sampai mimpi raja akan terjadi tujuh tahun subur bumi dan tujuh tahun kemarau. Dan pada Nabi kita Muḥammad s.a.w. dibukakan pula beberapa kali rahasia yang ghaib. Misalnya tentang kematian Negus (Raja) Ḥabsyī yang telah memeluk Agama Islam itu, bahwa dia telah meninggal tadi malam, lalu disembahyang-ghaibkan di Madīnah oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya pada pagi harinya. Atau pertanyaan beliau kepada pamannya ‘Abbās tentang uang yang disuruhnya simpan kepada istrinya Ummul Fadhal seketika akan terjadi peperangan Badr, padahal percakapan suami istri empat mata. Atau kepastian beliau bahwa orang Rūm sesudah kalah berperang dengan orang Persia (Iran) ketika Nabi belum Hijrah, namun dalam beberapa tahun saja sesudah itu, Rūm pasti menang kembali, sehingga beliau idzinkan sahabat-sahabatnya Abū Bakar bertaruh dengan orang Quraisy tentang kemenangan Rūm yang sudah pasti itu.

Lanjutan ayat mengatakan lagi; “Maka sesungguhnya Dia mengadakan di hadapannya dan di belakangnya penjaga-penjaga.” (Ujung ayat 27).

Rasūl-rasūl yang telah diridahi oleh Tuhan itu selalu dikawal, selalu dijaga baik di mukanya atau di belakangnya. Al-Qasyānī menjelaskan: “Penjagaan itu, baik dari sisi Allah sendiri yang selalu menghadapkan wajah kepadanya, sesudah itu ialah Rūḥ-ul-Quddūs dan berbagai Nūr (cahaya) Malakūt, yaitu ‘Alam Malaikat dan ‘Alam Rabbānī. Ataupun dari penjagaan pada badan diri Rasūl itu sendiri; Maka perangai-perangainya yang utama dan kelakuannya yang mulia disertai sinar-sinar rohani yang timbul memancar dari dalam dirinya sendiri berkat taatnya selalu kepada Tuhan dan teguh setianya mengerjakan ibadat, semuanya itu menjadi pengawal bagi Rasūl itu dari gangguan-gangguan jinn, dan terpelihara pula lidahnya daripada keseleo, terlanjur menambah atau mengurangi wahyu yang dia terima, sehingga tidak bercampur-aduk dengan waham, waswas dan khayal, hingga melancarlah wahyu itu dari ma‘rifatnya yang yakin, maknanya yang suci, alirannya yang ghaib dan kasyaf yang hakiki.” Demikian al-Qasyānī.

Karena Dia hendak membuktikan bahwa mereka telah menyampaikan tugas-tugas amanat dari Tuhan mereka.” (Pangkal ayat 28). Artinya dengan anugerah kelebihan yang istimewa disertai kawalan yang ketat itu, Tuhan hendak membuktikan atau melihat nyata bahwa Rasūl-Nya yang diridhai-Nya telah melakukan tugas dengan sempurna sebagaimana yang dikehendaki Tuhan; “Diapun meliputi apa yang ada pada mereka”. Sehingga lengkap dan langsunglah Rasul pilihan itu dalam perlindungan Tuhan; “Dan Dia hitung sesuatu berapa bilangannya”. (Ujung ayat 28). Sehingga tidak ada sesuatu yang bergerak yang terlepas dari hitungan Tuhan.

Dengan demikian sempurnalah pengawalan dan tilikan Tuhan kepada Rasūl dan genaplah janji Tuhan di dalam melindungi seluruh ‘Alam ini dan sampailah Raḥmān dan Raḥīm Tuhan kepada hamba-Nya sekalian; Āmīn.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *