Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir al-Azhar (Bagian 5)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir al-Azhar

III

وَ أَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُوْنَ وَ مِنَّا الْقَاسِطُوْنَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُوْلئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا. وَ أَمَّا الْقَاسِطُوْنَ فَكَانُوْا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا. وَ أَنْ لَّوِ اسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَّاءً غَدَقًا. لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ وَ مَنْ يُعْرِضْ عَنْ ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَابًا صَعَدًا. وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا. وَ أَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللهِ يَدْعُوْهُ كَادُوْا يَكُوْنُوْنَ عَلَيْهِ لِبَدًا.

072: 14. Dan sesungguhnya kami, ada di antara kami yang menyerah diri (kepada Tuhan) dan ada yang menyimpang; Maka barang siapa yang menyerah, itulah mereka yang memilih jalan yang benar.

072: 15. Dan adapun orang yang menyimpang, maka adalah mereka itu untuk Jahannam jadi kayu api.

072: 16. Dan bahwasnya kalau mereka tetap lurus menempuh jalan itu niscaya akan Kami beri minum mereka dengan air yang segar.

072: 17. Untuk akan Kami beri cobaan mereka padanya. Dan barang siapa yang berpaling daripada peringatan Tuhannya, niscaya mereka akan dibawanya kepada adzab yang amat berat.

072: 18. Dan bahwasanya masjid-masjid itu adalah untuk Allah semata-mata, maka janganlah kamu seru bersama Allah sesuatu juapun.

072: 19. Dan bahwasanya tatkala hamba Allah itu telah berdiri (sembahyang) menyeru akan Dia, nyarislah mereka itu desak mendesak mengerumuninya.

***

Kemudian itu jinn tadi berkata lagi, sepanjang yang diceriterakan oleh Tuhan kepada Rasūl-Nya Muḥammad s.a.w.: “Dan sesungguhnya kami, ada di antara kami yang menyerah diri” (Pangkal ayat 14). Sebagaimana diketahui “menyerah diri” adalah arti yang terpenting dari kalimat Islam, Mereka itu telah mengakui bahwa di antara mereka adalah Muslimin; artinya mereka telah mengakui bahwa “tidak ada Tuhan yang lain lagi, kecuali Allah”; “Dan ada yang menyimpang”. Menyimpang ialah, bahwa meskipun dalam batinnya sendiri telah mengakui bahwa tidak ada lagi jalan yang benar kecuali jalan Allah, tidak ada Tuhan selain Allah, tetapi karena dorongan nafsu menantang, mereka simpangkan jalan mereka dari kebenaran itu. Sebab itu Tuhan selanjutnya berfirman: “Maka barang siapa yang menyerah” – tegasnya barang siapa yang telah memilih jalan Islam; “itulah mereka yang memilih jalan yang benar.” (Ujung ayat 14).

Maka selamatlah mereka dalam perjalanan itu. Sebab yang mereka tempuh ialah jalan yang sesuai dengan peri hidupnya yang sejati, yang bukan berlawan dengan batinnya sendiri.

Dan adapun orang yang menyimpang” (Pangkal ayat 15), daripada jalan yang benar dan tidak mau menyerahkan dirinya kepada Allah, melainkan menyerahkan diri kepada hawa nafsunya sendiri; “Maka adalah mereka itu untuk Jahannam jadi kayu api.” (Ujung ayat 15). Keterangan ayat yang demikian adalah kesimpulan yang wajar dari sikap memilih jalan hidup yang salah. Karena tidaklah mungkin susunan angka yang salah memberikan jumlah yang benar.

Dan bahwasnya kalau mereka tetap lurus menempuh jalan itu” (Pangkal ayat 16). Yang dimaksud dengan jalan yang tetap lurus, tidak berbelok dan tidak menyimpang ialah niat dan sengaja, azam atau keyakinan yang terletak dalam hati dan kesadaran manusia.

Garis lurus ialah jarak yang paling dekat di antara dua titik. Maka kita dapat mengukur dengan penglihatan hubungan tempat kita tegak melihat dengan objek yang dilihat oleh mata kita. Misalnya puncak gunung yang tinggi, atau sebrang luatan yang kita lihat di tepi pantai. Tetapi apabila kita tempuh dengan badan kita, jelaslah bahwa lurusnya hanya pada penglihatan saja. Adapun jalan buat mencapai tujuan mata itu tidaklah lurus, melainkan jika dia di puncak gunung, terpaksalah gunung didaki. Kalau di seberang laut, terpaksalah lautan itu dilayari; Ternyatalah perjalanan berbelok-belok, atau terpaksa pelayaran menempuh laut itu kadang-kadang bertentangan dengan angin, sehingga haluan bahtera terkencong bukan dengan kemauan kita ke tempat yang lain, sehingga pernah dibuat orang jadi syi‘ir:

Tidaklah tiap-tiap yang diinginkan seseorang akan dapat dicapainya;

(Sebab) angin berhembus bukanlah selalu menuruti keinginan kapal.”

Tetapi keikhlasan hati sejak mulai berjalan atau mulai berlayar, itulah yang tidak boleh berobah. Walaupun jalannya sukar, mendaki, menurun, melereng. Ketika mendaki keringat mengalir sampai ke kaki. Ketika melalui lurah dan gurun, badan penat peluhpun turun, namun tujuan tidak boleh berobah. Akhir kelaknya niscaya akan sampai juga kepada yang dituju.

Demikianpun juga ketika berlayar menghitung lautan. Perahu yang didorongkan oleh angin yang menghembus kain layar adalah menjadi keahlian bagi nakhoda mengatur layar itu sehingga dapat berpirau (berputar atau menyerong ke kanan atau ke kiri (tidak langsung mengarah ke tujuannya)). Walaupun melawan angin, namun tujuan tidaklah lepas, meskipun pelayaran itu akan lambat sampai. Biar lambat asal selamat!

Pengalaman membuktikan bahwa perjalanan menuju titik tujuan tertentu tidaklah sesusah memikirkan dan melihatnya. Itulah sebabnya maka kita disuruh selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadat, terutama dengan sembahyang. Dan dalam sembahyang selalu kita membaca al-Fātiḥah, yang satu di antara inti ayatnya ialah “Ihdinā-sh-shirāth-al-mustaqīm” (Tunjukilah kami jalan yang lurus).

Jalan yang lurus, ash-shirāth-al-mustaqīm itu, atau Istiqāmah, tegak teguh dan tetap tiada menyimpang, dinamai juga Sabīlillāh! Jalan Allah! Berkali-kali diperingatkan supaya kita Ber-JIHĀD, bekerja keras, bersungguh-sungguh, berjuang dengan segenap tenaga menempuh dan menegakkan jalan Allah itu. Sehingga JIHĀD dijadikan sebagian yang sangat utama dalam menegakkan agama.

Lantaran itulah maka orang yang tetap lurus, tidak menyimpang dalam menempuh jalan itu dijanjikan oleh Tuhan pada lanjutan ayat: “Niscaya akan Kami beri minum mereka dengan air yang segar” (Ujung ayat 16). Kepayahan mendaki atau menurun, perjuangan yang kadang-kadang meminta tenaga tidak terbatas, bahkan kadang-kadang mengalirkan keringat, bahkan air mata, bahkan darah, yang ditempuh oleh seorang yang setia kepada Tuhannya, penuh iman penuh taqwa sudahlah sepatutnya jika Tuhan menyambut kesampaiannya kepada tujuan dengan air yang jernih dan segar, sejuk dan menghilangkan dahaga!

Ayat yang selanjutnya memberi kejelasan lagi bagaimana sukar menempuh jalan yang lurus itu; “Untuk akan Kami beri cobaan mereka padanya.” (Pangkal ayat 17). Tegasnya ialah bahwa berjalan lurus, berniat lurus di atas jalan yang ditentukan oleh Tuhan bukanlah perkara mudah; percobaannya amat banyak! Percobaan dari halangan musuh, rayuan hawa nafsu, gamitan dari syaithan dan iblīs dan barang benda dunia yang disangka air, padahal gejala panas yang bernama fatamorgana. Dari jauh kelihatan seperti air; setelah ditempuh hanya kekeringan jua yang bertemu. Tetapi, sekali Allah telah berjanji bahwa barang siapa yang dapat melepaskan diri dari cobaan dan ujian, dia akan ditunggu Tuhan dengan air yang menyegarkan tenaga, maka Tuhan tidak akan mungkir kepada janjinya lagi: “Dan barang siapa yang berpaling daripada peringatan Tuhannya,” karena kurang yakinnya akan janji Tuhannya; “Niscaya mereka akan dibawanya kepada adzab yang amat berat.” (Ujung ayat 17). Adzab yang berat itu ialah di dunia dan di akhirat. Seorang yang sengaja menyimpang dari jalan yang benar karena dorongan hawa nafsu, hanya sebentar saja yang merasakan senang, yaitu sebelum kehendak nafsunya lepas. Dorongan nafsu pertama itu dinamai Nafs-ul-Ammārah, nafsu pendorong. Setelah badan terdorong timbullah tekanan bathin dari Nafs-ul-Lawwāmah, nafsu yang menyesali diri. Sesal yang tidak berkeputusan. Bertambah sadar manusia akan dirinya, bertambah dia insaf akan salahnya jalan yang dia tempuh, bertambahlah keras desakan sesal! Kalau jalan keluar, yaitu taubat kembali kepada Allah, orang itu akan disiksa, akan diadzab amat berat di dunia ini oleh dirinya sendiri. Orang yang putus asa banyak yang ingin menenangkan fikiran dengan meminum minuman keras! Padahal setelah dia sadar kembali akan dirinya, penyesalan bathin tidaklah dapat disembuhkan dengan mabuk itu.

Entah apa pula adzab siksaan berat yang akan dirasakannya di akhirat kelak.

Dan bahwasanya masjid-masjid itu adalah untuk Allah semata-mata.” (Pangkal ayat 18). Bunyi ayat inipun masih ada sambungan dengan ayat-ayat sebelumnya. Kita bersujud, kita bertekun. Kita mendirikan rumah-rumah ibadat, terutama yang bagi kita pemeluk Agama Islam dinamai masjid, yang berarti tempat bersujud. Yang kita sujud di sana, sampai kita merendahkan diri mencecahkan kening kita ke lantai atau ke atas tanah sekalipun, tidak lain hanya Allah. Allah tidak boleh kita persekutukan dengan yang lain. Yang kita sembah, kita puji dan puji hanya Allah saja! Maka yang kita tuju hanya Allah saja, tidak ada tujuan lain. Garis paralel, dua sesaing, selamanya tidak akan bertemu ujungnya. Apatah lagi kalau tiga garis paralel, sebagaimana kepercayaan orang Kristen, atau berbilang tempat sujud sebagai beberapa agama yang lain. “Maka janganlah kamu seru bersama Allah sesuatu juapun”. (Ujung ayat 18).

Inilah ketegasan Tauhid dan inilah kesatuan tujuan. Inilah yang dirumuskan di dalam ucapan yang masyhur:

اللهُمَّ أَنْتَ مَقْصُوْدِيْ وَ رِضَاكَ مَطْلُوْبِيْ

Ya Tuhanku! Engkaulah tujuanku dan Ridha Engkaulah yang kuharapkan.”

Maka orang yang mula-mula sekali menegakkan jalan itu dan menempuh jalan yang lurus dengan dirinya sendiri akan jadi teladan dari ummatnya ialah Nabi Muḥammad s.a.w. Tugasnya begitu berat. Dia diutus bukan kepada manusia saja, malahan kepada jinn juga! Tetapi dia pula orang yang paling banyak menderita karena menegakkan jalan itu. Lanjutan ayat menjelaskan:

Dan bahwasanya tatkala hamba Allah itu telah berdiri (sembahyang) menyeru akan Dia.” (Pangkal ayat 19). Sebagaimana yang digariskan Tuhan itu, yaitu hanya Allah yang diserunya, hanya kepada Allah dia sujud, dan dia tidak sujud kepada yang lain sedikitpun; “Nyarislah mereka itu desak mendesak mengerumuninya.” (Ujung ayat 19).

Menurut riwayat yang disampaikan oleh Sa‘īd bin Jubair yang diterimanya dari pada gurunya Ibnu ‘Abbās, ayat inipun masih mengisahkan kesan yang didapat oleh jinn yang melihat Nabi s.a.w. melakukan sembahyang shubuḥ itu. Begitu besar dan berat percobaan yang ditimpakan oleh kaumnya, kaum Quraisy terhadap dirinya karena menyampaikan da‘wahnya, namun sembahyang beliau dan sujud beliau kepada Tuhan bertambah khusyu‘ dan sahabat-sahabat beliaupun menjadi ma’mum dengan setia, berkerumun mendekati beliau. Ini disaksikan oleh jinn-jinn dan disampaikannya kepada teman-temannya yang tidak hadir.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *