“Dan sesungguhnya adalah lelaki dari kalangan manusia memperlindungkan diri kepada beberapa laki-laki dari kalangan jinn,” (Pangkal ayat 6).
Surat ini seluruhnya mengakui bahwa jinn itu memang ada! Dari sejak zaman jahiliyyah lagi, orang sudah percaya akan adanya jinn. Orang ‘Arab jahiliyyah ada kepercayaan bahwa di lekak-lekuk tempat yang seram, di bukit, di gunung, di lembah ada jinn-jinn penguasa. Maka kalau mereka berjalan ke mana-mana, mereka lebih dahulu memberi hormat kepada “penjaga” atau “penguasa” tempat itu.
Kepercayaan inipun merata rupanya di mana-mana. Pada suku-suku bangsa kita di Indonesia, Melayu, dan Jawa juga ada kepercayaan akan jinn-jinn itu. Berbagai namanya pada istilah kita: Dewa, dewi, peri, mambang, begu, hantu, orang sibunian, dan lain-lain sebagainya. Bangsa kitapun memuja dan memanggil mereka meminta hindarkan dari bala. Setiap tahun nelayan di Laut Utara Pulau Jawa menghantarkan sajen (sajian) kepala kerbau ke tengah-tengah laut untuk menghormati jinn penguasa laut. Demikian pula di Pantai Timur Semenanjung Tanah Melayu (Kelantan, Terengganu). Mantra dukun-dukun di kampung saya di waktu masih kecil terdengar memanggil:
“Nan di bigak dan di bigau,
Nan di Sarojo Tuo,
Nan di puncak Singgalang,
Nan di puncak Merapi.” dan sebagainya,
dan sebagainya.
Bahkan sampai sekarang di Sumatera Timur masih tertinggal kebiasaan “menepung tawari”, yang bermaksud memuja jinn supaya jangan mengganggu kepada orang yang ditepung tawari itu.
Inilah yang dijelaskan oleh jinn sendiri, pengakuan mereka kepada Allah, lalu disampaikan Allah berupa wahyu kepada Nabi kita Muḥammad s.a.w. dan disuruh Nabi kita menyampaikan kepada kita, di awal ayat ke-1 dengan kalimat QUL; Katakanlah! Artinya sampaikanlah kepada ummatmu, bahwa banyak laki-laki di antara manusia memperlindungkan diri kepada laki-laki dari kalangan jinn-jinn “nan di bigak, nan di bigau” (????? – bigak = ?????, bigau = pendek, penunggu hutan) dan sebagainya itu; Akibatnya bagaimana?
Lanjutan ayat menjelaskan:
“Maka mereka itu telah menjadikan mereka itu menyombong.” (Ujung ayat 6).
Tegas sekali rangkaian pangkal ayat dengan ujung ayat. Ada manusia yang mencari perlindungan kepada jinn, padahal tempat kita berlindung yang sejati ialah Allah. Bahkan kita disuruh berlindung kepada Allah daripada pengaruh syaithan yang dirajam. Sekarang si manusia itu berlaku terbalik; kepada jinn atau syaithan mereka meminta perlindungan dari bahaya. Apa jadinya? Karena jinn itu jelas sama-sama makhluk dengan dia, dan jinn itu tidak mempunyai kuasa apa-apa, lantaran dia yang dipuja, oleh si manusia tadi, maka tidaklah kena alamat yang dituju. Maka menyombonglah jinn dan syaithan, berlantas kena angan kepada manusia yang melindungkan dirinya itu. Sebab tahu bahwa si manusia tidak tahu akan harga dirinya. Selanjutnya bukanlah manusia tadi menjadi tenang, bahkan menjadi bertambah kacau fikiran. Sebab bergantung kepada akar lapuk.
Memang ada jinn yang kafir dan ada jinn yang Islam. Meminta perlindungan kepada jinn yang kafir, yang “pemimpin besarnya” ialah Iblīs, sudah terang melanggar larangan Allah sendiri:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتِّخِذُوْهُ عَدُوًّا.
“Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh kamu, sebab itu maka hendaklah kamu anggap dia jadi musuh.” (Surat ke-35, Fāthir ayat 6).
Kalau Syaithan Iblīs telah memusuhi kita, adakah pantas kita melindungkan diri kepadanya? Artinya melindungkan diri kepada musuh sendiri? Niscaya jalan yang sesatlah yang akan dia anjurkan.
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa kita boleh memperlindungkan dari atau dengan kata yang lebih halus “meminta tolong”, dan kata yang lebih halus lagi “mengambil jinn jadi khadam”, itupun tiada layak.
Di dalam al-Qur’ān Tuhan menjelaskan bahwa Tuhan memuliakan Anak Ādam, mengangkatnya tinggi di darat dan di laut, dan memberinya rezeki dengan yang baik-baik, dan lebihkan Anak Ādam dari kebanyakan isi ‘alam ini, sebagaimana tersebut dalam Sūrat 17 al-Isrā’ ayat 7. Dan Tuhan menyatakan bahwa yang Tuhan jadikan khalifahnya di muka bumi adalah Insan, bukan jinn, bahkan bukan malaikat!
Suatu riwayat dari Ibnu ‘Abbās mengatakan bahwa jinn yang Islam, jika berjumpa dengan manusia yang Muslim, jinn itulah yang segan dan lari. Kalau sembahyang, jinnlah yang jadi ma’mum di belakang, bukan manusia. Dan dijelaskan pula bahwa jinn itu sangatlah segan kepada manusia, baik jinn yang kafir atau jinn yang Islam.
Oleh sebab itu, adalah amat janggal kalau manusia yang melindungkan diri kepada jinn. Tentu saja kacau-balaulah manusia karena berkalang ketumpuan (?????), yang lebih tinggi martabatnya merendahkan diri kepada yang lebih rendah. Tanda bukti lagi atas kemuliaan manusia ialah bahwa Nabi Muḥammad, seorang manusia diutus kepada manusia dan jinn.
Di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini, Jinn sendiri yang memberi ingat bahwa ada laki-laki dari kalangan manusia memperlindungkan diri kepada laki-laki dari kalangan jinn, akibatnya ialah kacau-balaulah fikiran. Maksud Allah menaikkan derajat kita mendekati Tuhan, menjadi orang yang bertaqwa sehingga lebih mulia di sisi Tuhan, bahkan disuruh agar berdoa memohon kepada Tuhan, bukan saja menjadi orang yang bertaqwa bahkan menjadi Imām pula dari orang yang bertaqwa bukan menjadi khadam jinn dan syaithan.
Mujāhid menafsirkan sebagaimana terjemahan kita; Yaitu karena manusia pergi memperlidungkan diri kepada jinn, maka si jinn itu menjadi sombong.
Tetapi Qatādah, Abul-‘Āliyah, Rabī‘ dan Ibnu Zaid menafsirkan: “Oleh karena manusia telah pergi memperlindungkan dirinya kepada jinn, dia pun diperbodoh oleh jinn itu, sehingga kian lama fikirannya kian kacau, dan kian lama fikirannya kian takut kepada jinn.” Padahal Allah menentukan tempat takut hanya Allah.
Sa‘īd bin Jubair menafsirkan, bahwa lantaran si manusia itu memperlindungkan diri kepada jinn, maka bertambah lama bertambah condonglah si manusia tadi kepada kafir.
Al-Qurthubī menegaskan: “Tidak tersembunyi lagi bahwa pergi memperlindungkan diri kepada jinn, bukan kepada Allah adalah syirik dan kufur.”
Ada orang-orang “berdukun” yang katanya memelihara jinn Islam. Jinn itu katanya bisa disuruh-suruh. Malahan bisa disuruh mengambil mutiara ke dasar laut. Kalau dicari benar-benar fakta atau kenyataan dari berita ini, tidaklah bertemu pangkalnya yang benar dapat dipertanggung-jawabkan.
Tidak juga mustahil bahwa ada jinn itu disuruh Tuhan berkhidmat kepada manusia, tetapi itu hanya kemungkinan saja. Yang terang beralasan, baik dari al-Qur’ān atau dari Hadits-hadits Nabi ialah bahwa malaikat bisa disuruh Tuhan mengawal manusia, karena teguh imannya. (Lihat surat 41, Fushshilat ayat 30).
(“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.”)
Bersabda Nabi s.a.w.:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ (ر) عَنِ النَّبِيِّ (ص) قَالَ: إِذَا قَالَ الْإِمَامُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَقُوْلُوْا اللهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ. فَإِنَّ مَنْ وَاقَفض قَوْلُهُ قَوْلَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Daripada Abū Hurairah r.a. daripada Nabi s.a.w. berkata dia: “Berkata Nabi s.a.w.: “Apabila imām telah mengatakan: “Sami‘allāhu liman ḥamidah” (Allah mendengar barang siapa yang memuji-Nya), hendaklah dia menyambut dengan ucapan: “Allāhumma rabbanā lakal-ḥamdu” (Ya Tuhanku! untuk Engkaulah sekalian puji). Maka barang siapa yang bersamaan kata-katanya itu dengan kata-kata malaikat, niscaya akan diampuni mana yang telah terdahulu dari dosanya.” (HR. Bukhārī dan Muslim)
Hadits-hadits semacam ini banyak; Hadits malaikat bersama orang yang mengejar shaf pertama, malaikat bersama orang yang menyusun shaf baik-baik. Hadits bahwa malaikat menyampaikan kepada Nabi s.a.w., tiap-tiap shalawat dan salam yang diucapkan umatnya kepada Nabi s.a.w. dan lain-lain sebagainya.
Mengapa kita ragu akan kebenaran al-Qur’ān lalu kita masuk berkhayal?