Dari perjalanan besar dengan kesannya yang dalam terhadap pemandangan-pemandangan dan sentuhannya yang banyak, ayat-ayat berikutnya membawa mereka kembali kepada fenomena-fenomena alam tempat mereka menempuh kehidupan duniawi. Sedangkan, mereka lalai terhadap isyārat-isyārat adanya pengaturan yang sedemikian rupa, yang juga meliputi mereka, beserta keadaan-keadaan yang diatur sedemikian rapi di hadapan mereka:
فَلَا أُقْسِمُ بِالشَّفَقِ. وَ اللَّيْلِ وَ مَا وَسَقَ. وَ الْقَمَرِ إِذَا اتَّسَقَ. لَتَرْكَبُنَّ طَبَقًا عَنْ طَبَقٍ.
“Maka, Aku bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja, dengan malam dan apa yang diselubunginya, dan dengan bulan apabila jadi purnama, sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan)” (al-Insyiqāq: 16-19).
Fenomena-fenomena alam yang dikemukakan secara berturut-turut dengan sumpah ini, bertujuan untuk mengarahkan perhatian manusia kepadanya, dan menerima isyārat-isyārat dan kesan-kesannya. Semua itu adalah fenomena-fenomena yang memiliki karakter khusus, karakter yang menghimpun antara kekhusyū‘an yang tenang dan keagungan yang menakutkan. Bayang-bayang pemaparan ini sangat serasi dengan bayang-bayang permulaan surah dan pemandangan-pemandangan yang bersifat umum.
Syafaq, cahaya merah ini terjadi pada waktu yang penuh ketundukan tetapi menakutkan, sesudah terbenamnya matahari. Pasalnya, sesudah terbenamnya matahari, jiwa manusia merasakan ketakutan sekaligus ketenangan yang mendalam. Hati pun merasakan ma‘na keberpisahan dari waktu siang, kesedihan yang membisu, dan keterharuan yang dalam. Hal ini sebagaimana ia merasakan ketakutan dengan datangnya malam dan gelap yang mencekam. Namun, pada akhirnya mendatangkan kekhusyū‘an, ketakutan yang tersembunyi, dan ketenangan.
“…. Dengan malam dan apa yang diselubunginya….”
Yaitu malam dan segala sesuatu yang dikandungnya.
Ungkapan umum ini menyebutkannya secara global tanpa perincian, serta kesan keagungan dan kebesarannya. Malam menghimpun, mengumpulkan, dan mengandung banyak hal. Ia membawa pikiran melayang jauh sampai ke ujung persoalan yang dikandung dalam waktu malam, yang meliputi benda-benda, makhlūq-makhlūq hidup, peristiwa-peristiwa, perasaan-perasaan, alam-alam yang samar dan tersembunyi, serta yang merayap di bumi dan menebar dalam hati.
Setelah itu, kembalilah dari perjalanan panjang ini. Tetapi, belum tuntas juga melukiskan segala sesuatu yang dikandung oleh nash al-Qur’ān yang singkat: “Dengan malam dan apa yang diselubunginya….”
Nash yang dalam dan mengagumkan ini menimbulkan rasa takut dan ketundukan serta ketenangan yang selaras dengan suasana cahaya merah di waktu senja yang juga menimbulkan rasa khusyū‘, takut, dan keheningan.
“…. Dan dengan bulan apabila jadi purnama….”
Sebuah pemandangan yang penuh ketenangan, keindahan, dan pengaruh yang besar. Yaitu, bulan pada malam-malam kesempurnaan cahayanya yang memancarkan sinarnya ke bumi dengan sinar yang santun dan khusyū‘. Juga mengesankan ketenangan yang anggun serta hamparan yang luas di dunia nyata dan yang tersimpan di dalam perasaan. Ini adalah suatu suasana yang memiliki hubungan yang halus dengan nuansa cahaya merah di waktu senja, dan malam dengan segala sesuatu yang diselubunginya. Keduanya bertemu dalam keagungan, kekhusyū‘an, dan ketenangan.
Fenomena-fenomena alam yang indah, agung, anggun, menakutkan, dan mengesakan ini dikemukakan oleh al-Qur’ān dengan ungkapannya yang hanya sepintas kilas. Ungkapan yang digunakan untuk menyapa hati manusia, yang lupa terhadap sapaan alam semesta kepadanya. Digunakannya semua ini dalam bersumpah adalah untuk menonjolkannya terhadap hati dan nurani, tentang daya hidup, keindahan, isyārat-isyārat, kesan-kesan, dan petunjuk-petunjuknya yang menunjukkan kepaa adanya “Tangan” yang memegang dan mengendalikan alam semesta ini dengan kadar ukurannya. Juga yang melukiskan langkah-langkahnya serta mempertukarkan keadaan-keadaannya dan keadaan-keadaan manusia, hanya saja mereka lupa:
“…..Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).”
Ya‘ni, kamu akan mengalami dan melalui keadaan demi keadaan, sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan kondisi-kondisi yang digariskan untukmu. Diungkapkannya penderitaan terhadap keadaan-keadaan yang silih berganti dengan istilah “mengendarainya/melaluinya”. Sedangkan, ungkapan mengendarai urusan-urusan, bahaya-bahaya, kengerian-kengerian, dan keadaan-keadaan itu sudah biasa di kalangan bangsa ‘Arab. Hal ini seperti perkataan mereka: “Sesungguhnya, orang yang terpaksa itu mengendarai kesulitan urusan, sedang ia mengetahui apa yang ditempuhnya.”
Kondisi-kondisi ini seakan-akan merupakan binatang tunggangan yang dinaiki manusia satu demi satu. Masing-masing kendaraan itu membawa mereka sesuai dengan kehendak taqdir yang membimbing dan memandunya di jalan. Maka, disampaikanlah mereka ke ujung perjalanan yang membawa mereka kepada permulaan tahapan baru lagi, yang sudah ditentukan dan ditetapkan. Misalnya, penentuan kondisi-kondisi yang silih berganti pada alam semesta seperti cahaya merah di waktu senja, malam dan apa yang diselubunginya, dan bulan ketika jadi purnama. Sehingga, menyampaikan mereka untuk bertemu Tuhannya, sebagaimana yang dibicarakan dalam paragraf terdahulu.
Kejadian yang berturut-turut dan serasi itu disebutkan di dalam paragraf-paragraf surah ini. Terdapat peralihan yang halus dari satu ma‘na ke ma‘na yang lain, dari satu perjalanan ke perjalanan lain. Hal ini merupakan salah satu ciri al-Qur’ān yang sangat indah.
Di bawah bayang-bayang lintasan pandangan terakhir ini, dan pemandangan-pemandangan serta perjalanan-perjalanan yang disebutkan terdahulu di dalam surah ini, datanglah keheranan terhadap urusan orang-orang yang tidak mau beriman. Padahal, di depan mereka terdapat sekian perkara yang dapat membawa kepada keimanan dan petunjuk-petunjuk iman itu di alam diri mereka dan di alam semesta ini:
فَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ. وَ إِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنُ لَا يَسْجُدُوْنَ.
“Mengapa mereka tidak mau beriman? Apabila al-Qur’ān dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujūd” (al-Insyiqāq: 20-21).
Ya! Mengapa mereka tidak mau beriman?
Sesungguhnya, hal-hal yang memotivasi keimanan di dalam kilasan pandangan terhadap alam semesta dan pada keadaan diri manusia itu, senantiasa menghadap kepada hati manusia ketika ia mau memusatkan perhatiannya, dan banyak sekali unsur-unsur itu. Begitu banyaknya unsur yang dalam, kuat, dan berat dalam timbangan hakikat, dan mengepung hati ini kalau ia lepas darinya. Unsur-unsur itu senantiasa membisikinya dan menyapanya dengan lemah-lembut. Juga memanggil-manggilnya kalau ia mau memasang telinganya dan mengkonsentrasikan hatinya kepadanya.
“Mengapa mereka tidak mau beriman? Apabila al-Qur’ān dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujūd.”
Allah berbicara kepada mereka dengan bahasa fitrah. Juga membuka hati mereka terhadap hal-hal yang memotivasi keimanan dan petunjuk-petunjuknya yang ada di dalam diri dan alam semesta. Di dalam hati ini terhimpunlah perasaan-perasaan taqwā, khusyū‘, taat, dan ketundukan kepada Pencipta alam semesta yaitu “sujūd”.
Sesungguhnya, alam ini begitu indah dan mengesankan. Terdapat padanya sentuhan-sentuhan dan kesan-kesan yang dapat membawa hati manusia untuk berhubungan kepada alam dan Pencipta alam yang indah ini. Juga tertuang padanya hakikat alam yang besar dan mengesankan dengan hakikat Penciptanya Yang Maha Agung: “Maka, mengapa mereka tidak mau beriman? Apabila al-Qur’ān dibacakan kepada mereka, maka mereka tidak bersujūd”
Sungguh itu merupakan sesuatu yang benar-benar mengherankan. Hal tersebut dikemukakan dalam paparan ini untuk menjelaskan keadaan orang-orang kafir yang sebenarnya dan tempat kembali yang sudah menantikan mereka:
بَلِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يُكَذِّبُوْنَ. وَ اللهُ أَعْلَمُ بِمَا يُوْعُوْنَ. فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيْمٍ.
“Bahkan orang-orang kafir itu mendustakan (nya). Padahal Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan (dalam hati mereka). Maka, beri kabar gembiralah mereka dengan ‘adzāb yang pedih” (al-Insyiqāq: 22-24).
Bahkan, orang-orang kafir mendustakannya secara mutlak. Maka, mendustakan itu sudah menjadi karakter, ciri, dan watak dasar mereka. Sedangkan, Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dalam hati mereka, yang berupa kejahatan, keburukan, dan motif-motif yang mendorong mereka melakukan pendustaan ini.
Pembicaraan tentang mereka ditinggalkan, dan diarahkanlah firman kepada Rasūl yang mulia: “Maka, beri kabar gembiralah mereka dengan ‘adzāb yang pedih.” Aduh sialnya mereka, diberi kabar gembira yang tidak menyenangkan. Juga yang tidak menimbulkan keinginan untuk melihat kabar gembira dari pembawa kabar gembira itu.
Pada waktu yang sama dibentangkanlah apa yang sedang menunggu orang-orang mu’min yang tidak pernah mendustakan. Karena itu, mereka melakukan persiapan dengan ‘amal shāliḥ untuk menyongsong apa yang bakal mereka terima. Pembeberan ini disebutkan dalam rangkaian ayat itu seakan-akan merupakan pengecualian dari tempat kembalinya orang-orang kafir yang suka mendustakan:
إِلَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُوْنٍ.
“Tetapi, orang-orang yang beriman dan ber‘amal shāliḥ, bagi mereka pahala yang tidak putus-putusnya.” (al-Insyiqāq: 25).
Inilah yang oleh para ahli bahasa dikatakan sebagai istitsnā’ munqathi‘ “pengecualian yang terputus”. Karena, orang-orang yang beriman dan ber‘amal shāliḥ sama sekali tidak termasuk kelompok orang yang mendapatkan kabar gembira yang mereka dikecualikan darinya itu. Akan tetapi, gaya bahasa seperti ini memiliki kesan yang lebih kuat terhadap sesuatu yang dikecualikan itu.
Pahala yang tidak putus-putusnya itu ialah pahala yang kekal dan tidak pernah terputus di negeri akhirat yang kekal abadi nanti.
Dengan kesan yang pasti dan singkat itu, diakhirilah surah yang singkat ini. Tetapi, jauh jangkauannya di medan alam semesta dan hati nurani.