Menuju Tuhan.
Di dalam suasana ketundukan dan kepatuhan ini, datanglah seruan yang tinggi kepada manusia. Sedangkan, di depannya terdapat alam semesta dengan langit dan buminya yang patuh kepada Tuhannya sedemikian rupa.
يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَى رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيْهِ.
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (al-Insyiqāq: 6)
“Hai manusia….”, yang telah diciptakan oleh Tuhannya dengan sebaik-baiknya, telah diberi-Nya keistimewaan “kemanusiaan” yang menjadikannya sebagai makhlūq unik di alam semesta, dan telah dilimpahkan karunia-Nya hingga dapat menyucikan diri atau menggapai tingkatan yang tak terbatas, sesungguhnya kamu akan menempuh perjalanan hidupmu di muka bumi dengan bekarja keras, memikul beban hidupmu, mencurahkan segenap tenagamu, dan membelah jalanmu untuk sampai kepada Tuhanmu pada akhirnya. Maka, kepada-Nyalah tempat kembali setelah bekerja, berusaha keras, dan berjuang.
Hai manusia, kamu harus bekerja keras untuk mendapatkan kesenanganmu. Karena, engkau tidak dapat mendapatkannya di bumi ini kecuali dengan usaha dan kerja keras. Kalau bukan kerja keras fisik, maka kerja keras pikiran dan perasaan, berhasil atau tidak. Yang berbeda hanya jenis usaha dan kepayahannya. Sedangkan, hakikat kerja keras itu sudah menjadi kepastian dalam kehidupan manusia. Kemudian, pada akhirnya, akhir perjalanan adalah kepada Allah jua.
Hai manusia, kamu tidak akan dapat istirahat di bumi selamanya. Sesungguhnya peristirahatan yang nyaman sebenarnya ada di sana, di akhirat nanti, bagi orang yang tunduk dan patuh kepada Ilahi. Kepayahan dan kerja kerasnya sama di bumi ini, meskipun berbeda warna kulit dan makanannya. Adapun akibatnya berbeda-beda, manakala kamu telah sampai kepada Tuhanmu. Yang satu akan mendapatkan kepayahan yang berbeda dengan kepayahan ketika di dunia. Sedangkan, yang satunya akan mendapatkan keni‘matan yang dapat menghapuskan segala penderitaan selama di dunia. Sehingga, seakan-akan ia tidak pernah bekerja keras dan berpaya-lelah.
Hai manusia yang memiliki keisitmewaan “kemanusiaan”, mengapakah kamu tidak memilih untuk dirimu sesuatu yang sesuai dengan keistimewaan yang telah diberikan Allah kepadamu? Pilihlah untuk dirimu keistirahatan dari kerja keras dan kelelahan ketika kamu bertemu dengan-Nya.
Karena sentuhan yang terkandung di dalam seruan ini, maka ia akan sampai ke tempat-tempat kembalinya orang-orang yang telah bekerja keras ketika mereka telah sampai ke akhir perjalanan. Mereka akan bertemu dengan Tuhannya setelah bekerja keras dan berpayah-lelah ini:
فَأَمَّا مَنْ أُوْتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِيْنِهِ. فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيْرًا. وَ يَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِهِ مَسْرُوْرًا. وَ أَمَّا مَنْ أُوْتِيَ كِتَابَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ. فَسَوْفَ يَدْعُو ثُبُوْرًا. وَ يَصْلَى سَعِيْرًا. إِنَّهُ كَانَ فِيْ أَهْلِهِ مَسْرُوْرًا. إِنَّهُ ظَنَّ أَنْ لَّنْ يَحُوْرَ. بَلَى إِنَّ رَبَّهُ كَانَ بِهِ بَصِيْرًا.
“Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah. Dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak: “Celakalah aku”. Dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Sesungguhnya, dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir). Sesungguhnya, dia yakin bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada Tuhannya). (Bukan demikian), yang benar, sesungguhnya Tuhannya selalu melihatnya.” (al-Insyiqāq: 7-15)
Orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanan adalah orang yang diridhāi Allah dan berbahagia, yang beriman dan suka berbuat kebaikan. Sehingga, Allah ridhā kepadanya dan menetapkan keselamatan untuknya. Ia akan dihisab dengan hisab yang mudah, tidak akan didebat dan ditanya dengan pertanyaan yang rumit dan sulit. Keterangan ini diberikan oleh Rasūlullāh s.a.w. dalam hadits-hadits beliau.
Dari ‘Ā’isyah r.a., ia berkata: “Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
مَنْ نُوْقِشَ الْحِسَابَ عُذِّبَ. قَالَتْ: قُلْتُ: أَفَلَيْسَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيْرًا؟ قَالَ: لَيْسَ ذلِكَ بِالْحِسَابِ، وَ لكِنْ ذلِكَ الْعَرْضُ. مَنْ نُوْقِشَ الْحِسَابَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عُذِّبَ.
“Barang siapa dibantah (ditanya dengan rumit dan sulit) dalam hisabnya, berarti dia telah disiksa.” Saya bertanya: “Bukankah Allah ta‘ālā telah berfirman: “Maka, dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah?” Nabi menjawab: “Itu bukan hisab, tetapi itu hanya pembeberan saja. Barang siapa yang dihisab dengan cermat pada hari kiamat, berarti dia telah disiksa.” (HR. Bukhārī, Muslim, at-Tirmidzī, dan an-Nasā’ī).
Dari ‘Ā’isyah r.a., ia berkata: “Saya mendengar Rasūlullāh s.a.w. di dalam salah satu shalatnya mengucapkan:
اللهُمَّ حَاسِبْنِيْ حِسَابًا يَسِيْرًا.
“Ya Allah, hisablah aku dengan hisab yang mudah.”
Setelah selesai, saya bertanya: “Wahai Rasūlullāh, “apakah hisab yang mudah itu?” Beliau menjawab: “Yaitu kitabnya akan dilihat, lantas dilewati begitu saja. Barang siapa yang dihisab dengan cermat, wahai ‘Ā’isyah pada hari itu, maka binasalah ia.” (HR. Aḥmad).
Inilah hisab yang mudah yang akan diperoleh orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya. Kemudian ia akan selamat: “Dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira.” Yaitu, kaumnya yang telah selamat dan telah mendahuluinya ke surga.
Itulah ungkapan yang menunjukkan berhimpunnya orang-orang yang bersesuaian atas iman dan keshāliḥan dari kalangan ahli surga semuanya, dan orang yang dicintainya (yang sama-sama beriman) dari kaum keluarga dan sahabatnya. Ungkapan ini juga menggambarkan keadaan orang-orang yang kembali kepada kelompoknya sesama Mu’min, dengan saling mencintai dan menyayangi setelah menghadapi suasana yang sulit dalam penghisaban. Mereka kembali dengan riang gembira, selamat, dan bertemu satu sama lain di dalam surga.
Demikianlah kondisi yang bertentangan dengan kondisi orang yang disiksa, binasa, dan dihukum karena ‘amalannya yang jelek. Ya‘ni, orang yang diberikan kitabnya sedangkan dia sudah merasa tidak senang:
“Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak: “Celakalah aku”. Dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (al-Insyiqāq: 10-12)
Adapun yang kita jumpai dalam ungkapan-ungkapan al-Qur’ān sebelumnya adalah kitab yang diberikan dari sebelah kanan dan dari sebelah kiri. Di dalam surah ini terdapat bentuk baru, yaitu diberikannya kitab dari sebelah belakang. Tidak tertutup kemungkinan bahwa orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kiri itu juga diberikan dari arah belakangnya. Maka, hal ini menggambarkan keadaan orang yang merasa benci, terpaksa, dan sangat bersedih menghadapi kondisi waktu itu.
Kita tidak mengetahui bagaimana hakikat kitab itu. Juga bagaimana cara memberikannya dari sebelah kanannya, dari sebelah kirinya, atau dari belakangnya. Kita hanya beroleh kesimpulan tentang selamatnya mereka sebagaimana dinyatakan dalam kalimat pertama, dan hakikat kebinasaan sebagaimana kita ketahui dari pernyataan kedua. Kedua hal ini merupakan dua buah hakikat yang dimaksudkan untuk kita yakini. Sedangkan, hal-hal yang ada di belakang itu hanyalah untuk menghidupkan pemandangan dan memperdalam kesannya di dalam perasaan. Allah lebih mengetahui hakikat yang sebenarnya tentang apa yang terjadi itu dan bagaimana terjadinya.
Maka, orang yang bekerja keras menghabiskan kehidupannya di muka bumi dan menempuh jalannya dengan kerja keras pula menuju Tuhannya – cuma sayangnya di dalam dosa, kemaksiatan, dan kesesatan – itu mengetahui ujung perjalanannya dan sedang menuju ke tempat kembalinya. Juga mengetahui pula bahwa kesengsaraannya di akhirat ini adalah kesengsaraan yang panjang tidak ada hentinya, dan tidak ada kesudahannya kali ini. Karena itu, ia berteriak: “Celaka aku!”
Ia meneriakkan kebinasaan itu agar dapat menyelamatkannya dari kesengsaraan yang dihadapi. Namun, ketika seseorang meneriakkan kesengsaraannya agar terlepas darinya, ternyata ia berada di tempat yang tidak ada sesuatu pun lagi yang dapat melindunginya. Sehingga, kebinasaan itu hanya menjadi khayalan yang amat jauh dari realitas. Ma‘na inilah yang dimaksudkan oleh al-Mutanabbi di dalam perkataannya:
“Cukup menjadi penyakit bagimu
jika kamu lihat kematian sebagai penawar
dan cukuplah harapan-harapan itu
jika ia hanya angan-angan kosong.”
Itulah kecelakaan yang tidak ada lagi kecelakaan yang melebihi itu; dan itu adalah kesengsaraan yang tidak ada lagi kesengsaraan yang melebihi itu!
“…..Dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)…..”
Inilah kecelakaan yang ia teriakkan agar ia terbebas darinya. Akan tetapi, jauh dan jauh sekali kemungkinan ia terlepas darinya!
Di depan pemandangan kesengsaraan dan kecelakaan ini, rangkaian ayat berikutnya kembali kepada membicarakan masa lalu orang yang celaka itu. Juga membicarakan sikap dan keadaan yang menyebabkannya sengsara seperti ini:
“Sesungguhnya, dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir). Sesungguhnya, dia yakin bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada Tuhannya).” (al-Insyiqāq: 13-14).
Itulah keadaannya ketika di dunia dahulu. Ya, begitulah keadaannya. Sekarang kita, bersama al-Qur’ān, sedang berada pada hari hisab dan pembalasan. Kita tinggalkan dunia di belakang kita dengan sejauh-jauhnya, baik waktu maupun tempatnya.
“Sesungguhnya, dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir)”, dengan melupakan apa yang ada di belakang masa kini. Ia juga lalai terhadap apa yang telah menunggunya di akhirat nanti. Ia tidak memperhitungkannya dan tidak menyiapkan bekal untuknya.
“Sesungguhnya, dia yakin bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada Tuhannya)”, tidak akan kembali kepada Penciptanya. Seandainya dia yakin akan kembali kepada Tuhannnya setelah berakhirnya perjalanan hidupnya di dunia, niscaya dia akan mencari bekal dan akan menabung untuk menghadapi hari perhitungan!
“(Bukan demikian), yang benar, sesungguhnya Tuhannya selalu melihatnya.”
Ia yakin bahwa ia tidak akan kembali kepada Tuhannya. Akan tetapi, sebenarnya Tuhannya selalu melihat segala urusannya, memantau keadaan yang sebenarnya, serta mengetahui gerak dan langkahnya. Juga mengetahui bahwa ia akan kembali kepada-Nya, dan Dia akan membalas segala kelakuannya.
Begitulah keadaannya ketika perjalanannya telah sampai kepada kadar ini dalam ‘ilmu Allah, suatu hal yang pasti akan terjadi.
Gambaran tentang orang yang celaka ini, yang dahulu selalu bergembira di kalangan kaumnya yang sama-sama di dalam kehidupan dunia yang pendek dan harus ditempuh dengan kerja keras, berkebalikan dengan gambaran kehidupan orang yang berbahagia, ya‘ni orang yang kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) di dalam kehidupan akhirat yang panjang, bebas, indah, menyenangkan, ni‘mat, dan jauh dari segala kepayahan dan keletihan kerja.