“TERBELAH”
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Dengan Nama Allah, Yang Maha Pengasih, Lagi Maha Penyayang.
إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ
Surah ini mulai dengan gambaran tentang akhir alam semesta. Insyaqqa, akar dari insyiqāq berarti ‘terbelah, terpecah’, dan menunjukkan keretakan yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga. Kekuatan yang menyebabkan sistem tersebut berantakan sangatlah besar sehingga nampak sekali tidak adanya pola kehancuran terakhir yang sudah ditentukan sebelumnya. Keserampangan nyata dari babak akhir ini, secara linguistik menurut al-Qur’an, berbeda dengan awal penciptaan yang telah ditentukan secara cermat (Q.S. 21:30). Kata kerja yang digunakan adalah fataqa (membelah pada lipatan). Fataqa dilakukan tidak secara serampangan, karena lipatan sepanjang mana penciptaan berlangsung sudah ditentukan sebelumnya, sebagaimana tersirat dalam makna kata kerja tersebut.
وَ أَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَ حُقَّتْ
Ketaatan serta kebenaran di sini menunjuk kepada lelangit yang mengikuti takdimya, yang menunjukkan sifat-sifat ini melalui tindakan-tindakannya. Udzun berarti ‘telinga’, dari adzina, yang berarti ‘mendengarkan, menyimak, mengizinkan’. Itu artinya langit telah mendengarkan, dan dengan demikian telah berhubungan dengan sumber pesan. ‘Beri saya idzn artinya ‘Beri saya izin’, yakni aspek lain dari bersatu dengan takdir.
وَ إِذَا الْأَرْضُ مُدَّتْ
Madda berarti ‘mengulurkan, membentangkan, mengembangkan’. Ketika seseorang berlomba dengan orang yang lebih kuat dari dirinya dan ia meminta madad (dari akar kata yang sama), maksudnya adalah ‘mendahului pada permulaan’. Nuansa penghancuran bumi diungkapkan dengan jelas dalam konteks dua ayat yang sebelumnya dan berikutnya.
وَ أَلْقَتْ مَا فِيْهَا وَ تَخَلَّتْ
Bumi telah mengembangkan diri, menghampar secara sempuma, dan telah menyemburkan semua yang ada di dalamnya. Keseimbangannya terganggu dan terhenti. Gaya gravitasi dan semua antarhubungan yang cocok dengan itu tidak lagi mendominasi.
وَ أَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَ حُقَّتْ
Lagi-lagi dengan ketaatannya langit menunjukkan takdirnya. Kewajibannya adalah mendatangkan stabilitas tertentu dan kemudian lenyap. Gambaran ini menjadi sangat jelas sekaitan dengan apa yang akan terjadi pada beberapa aspek bumi lainnya, seperti pegunungan.
يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَى رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيْهِ
Setelah diberikan gambaran tentang babak akhir di mana penciptaan akan hancur, kita melihat bahwa kehancuran dan keterpecahan akan terefleksi dalam kesadaran manusia. Kādiḥ adalah orang yang bekerja atau berjuang untuk mencapai sesuatu. Berjuang, berusaha keras, atau bekerja juga berarti mencari makanan dalam arti duniawi. Salah seorang hamba Allah yang mulia di Afrika Utara biasa merajut satu topi sehari. Ia mengerjakannya di pagi hari lalu membawanya ke pasar. Semua pedagang mengenalnya dan ingin menjual hasil karyanya. Orang pertama yang menjumpai dia akan mendapat topi dan menjualnya. Hamba Allah yang mulia ini kemudian berkata, “Sekarang aku telah menggoncangkan pohon palem!”
Pasti ada goncangan pohon palem, sebagaimana dilakukan oleh Maryam, ibunda Sayyidina ‘Īsā (Yesus), sebelum ia melahirkannya, dan korma-korma berjatuhan ke atasnya untuk memuaskan rasa laparnya. Perjuangan mesti ada, karena kita berusaha keras mendapatkan pengetahuan tentang Rubūbiyyah (Ketuhanan). Kita harus berjalan terus, kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya.
Meskipun kita tidak mengembangkan hati dan kecerdasan kita, namun secara fisik kita sedang berkembang dan menjadi keras karena pengapuran dan tua secara biologis. Itulah bagian dari capaian potensi penuh manusia yang, dari satu sudut pandang, hanyalah proses penuaan. Meskipun kita tidak bisa menyamakan pertumbuhan ini dengan aspek-aspek sebanding dari perilaku yang benar, namun satu aspek dari diri kita sendiri akan bergerak menuju Rubūbiyyah, dan itulah aspek fisik yang loyal terhadap Penciptanya melalui kematian (wafah). Wafā’ (dari akar kata yang sama) adalah pemenuhan suatu kewajiban, pembayaran utang, loyalitas dan penyelesaian. Tawaffa berarti ‘ia menunjukkan loyalitasnya (pada ketetapan) melalui kematian’. Kita akan menjumpai dan mengetahui babak akhir itu, dan kita akan mengetahui bahwa yang ada hanyalah Rabb (Tuhan).
فَأَمَّا مَنْ أُوْتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِيْنِهِ
Ayat ini membawa kita ke ujung waktu. Tangan kanan, seperti disebutkan sebelumnya, secara tradisional melambangkan kehormatan dan tindakan serta catatan positif. Tangan kiri selalu berarti negatif. Oleh karena itu, ayat ini menunjukkan bahwa di ujung waktu, manusia yang perbuatannya benar akan ditunjukkan pada kebersihan atau kemurnian dari semua tindakan masa lalunya.
فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيْرًا
Perhitungannya akan dimudahkan. Perjalanannya dari fase kesadaran dalam dunia ini ke dunia berikutnya akan dilancarkan, dan perpindahannya akan dimudahkan. Ia akan laksana bangun dari tidur yang sangat lelap.
Namun ini tidak berarti bahwa orang tersebut akan harus menghadapi dewan pemeriksa. Perpindahannya akan mudah karena ia sudah bangun sepenuhnya dan siap untuk menjalani pemeriksaan. Perjuangan dan kerja kerasnya berada pada jalur yang benar, di jalan Allah (fī sabīlillāh).
وَ يَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِهِ مَسْرُوْرًا
Ia akan kembali kepada apa yang patut diterimanya. Masrūr (gembira) berasal dari kata kerja sarra yang berarti ‘senang, gembira’ dan, dalam bentuk lain, ‘menyimpan rahasia, menyembunyikan, mempercayakan’. Ini berarti bahwa kebahagiaan sejati adalah suatu rahasia, suatu keadaan batin. Sarīr adalah ‘tempat tidur atau mimbar’, sesuatu yang di atasnya seseorang berbaring dan dibuat menyenangkan. Sarīrah, berarti ‘rahasia’ atau ‘paling dalam’, menunjukkan hati. Maka orang yang diberi buku catatannya pada tangan kanannya akan kembali kepada lingkungannya yang sudah akrab dan, dengan demikian, menyenangkan baginya, dan bagi orang-orang yang dia rindukan, pada tempat yang menjadi haknya.
وَ أَمَّا مَنْ أُوْتِيَ كِتَابَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ
Ini menggambarkan seseorang yang tidak mau menghadapkan mukanya. Sepanjang hidupnya ia tidak ingin memeriksa catatannya, melihat apa dan siapa dia, atau bagaimana dia jadinya. Oleh karena itu dia tidak ingin melihat buku catatannya, maka dipaksakanlah kepadanya dari belakang punggungnya, yang menunjukkan bahwa dia tidak sadar. Hal ini juga berarti bahwa perkara yang lebih suka ia sembunyikan itu adalah sesuatu yang memalukan.
فَسَوْفَ يَدْعُوْ ثُبُوْرًا
Tsabara adalah ‘mundur, hilang, hancur, lari, binasa’. Tsubūr adalah penghancuran, ibaratnya seseorang yang benar-benar terkepung sehingga tidak bisa lagi berpikir atau bertindak; pikirannya beku sehingga tidak bisa lagi berfungsi. Tiba-tiba ia menyadari bahwa dari sejak itu seterusnya di alam tersebut ia tidak punya investasi, tak ada yang dikerjakan. Pada saat itu ia berteriak minta dibinasakan, karena ia tahu bahwa hanya kehancuran yang menunggunya.
وَ يَصْلَى سَعِيْرًا
Dia tahu bahwa dirinya berada dalam api neraka (jahannam). Orang ini sudah pernah merasakan sebagian sa’īr (api yang menghanguskan) dalam kehidupan dia sebelumnya melalui berbagai perlengkapan yang mengepung dirinya sendiri untuk memperkuat sistemnya yang merugikan.
إِنَّهُ كَانَ فِيْ أَهْلِهِ مَسْرُوْرًا
Ia berusaha berada di tengah keluarganya, di tengah golongannya. Ia berusaha memperkuat apa yang diimaninya, yang sebenarnya ketidakimanan, dengan berada bersama mereka.
إِنَّهُ ظَنَّ أَنْ لَّنْ يَحُوْرَ
Kita semua senang dengan apa yang kita miliki, dengan tanah kaveling kita. Kesadaran penting terhadap kebertanggungjawaban (akuntabilitas) total sudah tidak ada. Garis pedoman untuk kembali kepada Allah tidak menjadi garis pedoman utamanya.
بَلَى إِنَّ رَبَّهُ كَانَ بِهِ بَصِيْرًا
Tentu saja Tuhan meliputi segala sesuatu, karena segala sesuatu dalam jangkauan pandangan-Nya. Tak ada yang luput dari-Nya.
فَلَا أُقْسِمُ بِالشَّفَقِ
Sambil berbicara tentang akhir dunia, ayat ini menggunakan ketakterelakkan dari kejadian sehari-hari untuk menekankan poin berikutnya, yakni, akhir zaman dan, dengan demikian, akhir waktu untuk kita dapat beramal.
Syafaq adalah warna merahnya langit dari sejak matahari terbit sampai senjakala. Kata ini awalnya dari kata kerja yang berarti ‘takut’. Mempunyai syafaqah, atau rasa sayang, berarti merasa kasihan, tapi makna hakikinya terjalin dengan rasa takut dalam arti mengkhawatirkan seseorang. Ketika hari menjelang malam, manusia tidak bergerak dengan bebas; mereka menjadi lebih waspada. Maka seruan di sini adalah untuk menyaksikan akhir siang hari dan awal malam hari, permulaan dari yang tak dikenal, kehidupan selanjutnya, permulaan dari kesadaran berikutnya.
وَ اللَّيْلِ وَ مَا وَسَقَ
‘Malam’ bisa berarti benar-benar malam hari dan bisa juga suatu wilayah yang tidak kita kenal, atau suatu situasi atau perbatasan yang sama sekali tidak kita ketahui. Hukum-hukum lain berlaku pada malam hari ketika berbagai hal tidak lagi sejelas dalam cahaya siang yang terang.
وَ الْقَمَرِ إِذَا اتَّسَقَ
Sinar bulan sampai pada kita melalui pantulan, tidak langsung seperti sinar matahari. Cahayanya bersinar paling terang ketika bulan sedang penuh (purnama), ketika ia berfungsi dalam kapasitas maksimalnya sebagai pemantul.
لَتَرْكَبُنَّ طَبَقًا عَنْ طَبَقٍ
Allah sedang berkata bahwa begitu kita mengalami dan menyaksikan semua tahap dan fase ini, kehidupan manusia akan sampai pada akhirnya. Masa ini akan sampai pada akhirnya dan fase berikutnya akan mulai. Ini berarti bahwa waktu hanya berakhir selama satu hari saja, inilah mengapa menurut al-Qur’an orang-orang di kehidupan selanjutnya mengatakan bahwa kehidupan dunia ini terasa bagaikan hanya sehari saja.
Ayat ini berkenaan dengan berbagai fase dan sistem berbeda yang berjalan dalam kehidupan ini, dan menunjukkan bahwa satu sistem berhubungan dengan sistem lainnya. Sebagian orang menafsirkan ayat ini sebagai gambaran tentang perjalanan manusia ke angkasa luar.
Namun makna utamanya adalah bahwa satu sistem didasarkan pada sistem lainnya, bahwa sistem malam didasarkan pada sistem siang, dan satu sistem mengikuti sistem lainnya secara berurutan. Hal ini terjadi pada dunia nampak dan dunia tidak nampak. Harapannya di sini adalah bahwa kita akan melintasi lapisan-lapisan ini, kita akan melakukan perjalanan melalui beberapa bagian dan tahapan, satu persatu, satu hari setelah hari lainnya, satu tingkat kesadaran setelah tingkat kesadaran lainnya, satu kehidupan setelah kehidupan lainnya, karena kehidupan ini hanyalah suatu tahap dalam takdir manusia.
فَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Manusia akan mengalami semua ini, sesudah ia secara langsung menyaksikan siang dan malam, dan diberitahu tentang akhir kehidupan ini dan kehidupan berikutnya, lantas mengapa ia sampai tidak percaya? Mengapa ia sampai tidak mencari perlindungan dengan pengetahuan itu untuk mendatangkan kedamaian bagi dirinya?
وَ إِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنُ لَا يَسْجُدُوْنَ
Ketika realitas, kitab kolektif yang dihimpun dan memuat semua pengetahuan yang telah ditunjukkan kepada kita, dimasukkan ke dalam ingatan langsung dan dibacakan secara lahiriah, lantas dialami secara batiniah, mengapa manusia tidak bersujud dan berserah diri? Jika pengetahuan batin, bahwa sebenarnya ia bukan apa-apa, sampai kepadanya, maka, secara batiniah, ia harus mengakui ketiadaapa-apaannya, kesangatmiskinannya yang total.
بَلِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يُكَذِّبُوْنَ
Jawabannya adalah bahwa mereka yang terputus (dengan kebenaran—peny.) menyangkal fakta bahwa mereka berada di bawah Yang Maharahman, yang senantiasa memberi dan menyinari. Namun itulah kerugian mereka.
وَ اللهُ أَعْلَمُ بِمَا يُوْعُوْنَ
Wa‘a berarti ‘mengumpulkan, menahan dalam ingatan’, sementara wa‘i, dari akar kata yang sama, berarti ‘kesadaran, keinsafan, kepenuhperhatianan’. Kata yū‘ūn di sini menunjuk kepada apa yang mereka sembunyikan di dalam dada mereka, apa yang mereka simpan dan rahasiakan. Allah tahu yang disembunyikan dan yang dinampakkan. Yang disembunyikan adalah hukum abadi, tapi yang mereka munculkan adalah ketidakimanan mereka.
فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيْمٍ
Di sini konteks yang lazim dari basysyirhum dibalik: selain diberitahu kabar baik, mereka juga diberitahu tentang hukuman yang menyakitkan. Mereka yang ingkar pasti sudah memiliki benih kesadaran akan pengetahuan tentang keesaan Allah (tauḥīd). Tapi mereka mengingkarinya secara batiniah, oleh karena itu pengingkaran mereka juga akan menjelma secara lahiriah.
إِلَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُوْنٍ
Surah ini diakhiri dengan nada positif. Ia mengatakan bahwa beginilah hukum: dunia akan berakhir, suka atau tidak manusia harus bekerja keras, dan mereka akan maju dari satu fase ke fase lainnya. Ketika kita melihat semua fase ini, yang merupakan tanda-tanda perubahan penciptaan, kita mengetahui bahwa semua perubahan ini terjadi di dalam sesuatu yang tidak berubah. Orang yang mempercayai keesaan yang meliputi semua, lalu menerjemahkan kepercayaan itu ke dalam perbuatan yang benar, ia akan mendapat ganjaran yang ghayru mamnūn (tidak pernah berhenti atau berkurang). Mann, dari akar kata yang sama dengan mamnūn, berarti ‘nikmat’ atau berkah. Di sini nikmat tersebut tidaklah terbatas karena ia menyangkut ketakberbatasan waktu. Dunia ini terbatas, sedangkan dunia akan datang tidak terbatas karena ia melampaui ruang dan waktu.