Selanjutnya, ditegaskan lagi persimpangan antara manhaj Rasūlullāh s.a.w. dan manhaj jahiliah, bahwa mereka lupa melihat kebaikan buat diri mereka, bahwa cita-cita mereka sangat rendah, dan padangan mereka sangat kerdil. Allah berfirman:
إِنَّ هؤُلَاءِ يُحِبُّوْنَ الْعَاجِلَةَ وَ يَذَرُوْنَ وَرَاءَهُمْ يَوْمًا ثَقِيْلًا.
“Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat (hari akhirat).” (al-Insān: 27).
Mereka yang sangat rendah keinginan dan cita-citanya, yang kecil tuntutannya dan kerdil pandangannya… Mereka yang kecil dan hina serta tenggelam dalam kehidupan duniawi dan tidak memperdulikan hari yang berat, berat tanggungjawabnya, berat akibatnya, dan berat timbangannya dalam timbangan yang sebenarnya…., mereka ini tidak pantas diikuti jalan hidupnya, tidak pantas berkompromi dengan orang-orang mu’min dalam tujuan dan cita-cita hidup. Tidak layak dihiraukan apa yang ada pada mereka dari kehidupan dunia ini, seperti kekayaan, kekuasaan, dan kesenangan, karena semua itu hanya akan berlangsung singkat dan segera lenyap. Kesenangan dan kekayaan mereka itu hanya sedikit, sedang mereka sendiri adalah orang-orang yang kerdil dan hina.
Kemudian ayat itu mengisyāratkan betapa mereka tidak memikirkan kebaikan yang hakiki bagi dirinya sendiri. Karena itu, mereka memilih kehidupan dunia yang akan segera lenyap dan tidak memedulikan hari yang berat yang sudah menantikan mereka di sana dengan rantai untuk merantai kakinya dan belenggu untuk membelenggu tangannya, serta api neraka yang menyala-nyala, setelah menjalani hisab dengan sangat sulit.
Maka ayat ini merupakan kelanjutan ayat di atas untuk memantapkan hati Rasūlullāh s.a.w. dan orang-orang mu’min bersama beliau, di dalam menghadapi orang-orang yang telah diberi kesenangan dari kehidupan duniawi ini, di samping sebagai ancaman bagi pecinta-pecinta dunia itu dengan hari yang berat.
Ayat berikutnya masih memaparkan kehinaan urusan mereka di sisi Allah yang telah memberikan mereka kekuatan dan keperkasaan, padahal Allah berkuasa untuk melenyapkan mereka dan menggantinya dengan yang lain. Akan tetapi, Allah membiarkan mereka karena suatu hikmat sesuai dengan qadar-Nya terdahulu:
نَحْنُ خَلَقْنَاهُمْ وَ شَدَدْنَا أَسْرَهُمْ، وَ إِذَا شِئْنَا بَدَّلْنَا أَمْثَالَهُمْ تَبْدِيْلًا.
“Kami telah menciptakan mereka dan menguatkan persendian tubuh mereka, apabila Kami menghendaki, Kami sungguh-sungguh mengganti (mereka) dengan orang-orang yang serupa dengan mereka.” (al-Insān: 28).
Poin ini mengingatkan orang-orang yang membangga-banggakan kekuatannya, dengan menunjukkan kepada mereka sumber kekuatan itu sendiri, bahkan sumber keberadaan mereka sendiri. Kemudian ditenangkanlah hati orang-orang yang beriman – ketika mereka dalam kondisi lemah dan dalam jumlah yang sedikit – bahwa yang memberi kekuatan itu adalah Tuhan yang mereka menisbatkan diri kepada-Nya dan menjalankan dakwah-Nya, sebagaimana ayat ini juga menetapkan di dalam jiwa mereka akan hakikat qadar Allah dan hikmah yang dimaksudkan di belakangnya, yang segala peristiwa berjalan sesuai dengannya, hingga Allah memutuskan semua urusan, sedang(kan) Dia adalah sebaik-baik pemberi keputusan.
“Apabila Kami menghendaki, Kami sungguh-sungguh mengganti (mereka) dengan orang-orang yang serupa dengan mereka….”
Maka mereka dengan kekuatannya tidak akan dapat melepaskan diri dari kekuasaan Allah, karena Allah-lah yang menciptakan mereka dan memberi kekuatan kepada mereka. Dia berkuasa menciptakan orang-orang yang seperti mereka untuk menggantikan mereka…. Nah, apabila Allah memberi tangguh kepada mereka dan tidak mengganti mereka dengan orang-orang lain seperti mereka, maka yang demikian itu adalah karunia-Nya dan ni‘mat-Nya, dan itu sudah menjadi keputusan-Nya dan kebijaksanaan-Nya….
Dari sini maka ayat ini sebagai susulan untuk memantapkan hati Rasūlullāh s.a.w. dan orang-orang yang bersama beliau, dan untuk menetapkan hakikat kedudukan mereka dan kedudukan orang lain. Sebagaimana ayat ini juga merupakan sentuhan terhadap hati orang-orang yang tenggelam dalam kehidupan dunia, yang terpedaya oleh kekuatan keluarganya, agar mereka mengingat ni‘mat Allah, yang mereka bangga-banggakan tetapi tidak mereka syukuri, dan agar mereka menyadari adanya ujian yang tersembunyi di balik ni‘mat ini, yaitu ujian yang telah ditetapkan buat mereka pada permulaan surah.
Kemudian diingatkannya mereka terhadap kesempatan yang diberikan kepada mereka dan al-Qur’ān menawarkan kepada mereka, dan surah ini pun mengingatkan mereka:
إِنَّ هذِهِ تَذْكِرَةٌ، فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيْلًا.
“Sesungguhnya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan, maka barang siapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya.” (al-Insān: 29).
Kemudian poin ini diakhiri dengan menyebutkan kemutlakan kehendak Allah dan dikembalikannya segala sesuatu kepada-Nya, agar arah terakhir adalah kepadanya (kehendak Allah), dan kepasrahan terakhir kepada keputusan-Nya, dan agar manusia melepaskan kekuatannya dan menghimpunkan kepada kekuatan kehendak-Nya, dan daya-upayanya kepada daya-upayaNya…. Inilah Islam yang sebenarnya:
وَ مَا تَشَاءُوْنَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللهُ، إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكَيْمًا.
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (al-Insān: 30).
Hal itu supaya hati manusia mengerti bahwa Allah itu berbuat dan berkehendak, yang bertindak dan Maha Kuasa, sehingga hati itu mengetahui bagaimana ia menghadap kepada-Nya dan menyerah kepada kekuasaan-Nya. Dan ini adalah lapangan hakikat ini, yang di lapangan inilah ia berlaku sebagaimana disebutkan dalam nash-nash seperti ini, di samping menetapkan apa yang dikehendaki Allah buat mereka, untuk memberi kemampuan kepada mereka buat mengetahui yang hak dan yang bāthil, dan memilih arah kepada ini atau yang itu, sesuai dengan kehendak Allah Yang Maha Mengetahui terhadap hakikat hati. Dan apa saja yang diberikan Allah kepada hamba-hambaNya seperti pengetahuan dan pengertian, penjelasan tentang jalan kehidupan, pengutusan para Rasūl, dan penurunan al-Qur’ān, semua ini berujung pada qadar Allah, yang menjadi tempat berlindungnya orang yang berlindung, lantas ia mendapat taufīq untuk sadar dan taat. Apabila ia tidak mengetahui di dalam hatinya terhadap hakikat kekuasaan yang berlaku, dan tidak berlindung kepadanya agar menolongnya dan memberinya kemudahan, maka dalam hati yang demikian ini tidak terdapat petunjuk dan kesadaran, dan tidak ada taufīq (pertolongan) kepada kebaikan….
Karena itu:
يُدْخَلُ مَنْ يَشَاءُ فِيْ رَحْمَتِهِ، وَ الظَّالِمِيْنَ أَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيْمًا.
“Dia memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya (surga). Dan bagi orang-orang zhālim disediakan-Nya ‘adzāb yang pedih.” (al-Insān: 31).
Itulah kehendak mutlak yang bertindak sesuai kehendaknya. Dan, di antara kehendaknya ialah memasukkan ke dalam rahmat-Nya orang yang dikehendaki-Nya, yaitu orang-orang yang mencari perlindungan kepada-Nya, yang mencari pertolongan kepada-Nya dengan melakukan ketaatan, dan memohon taufīq-Nya supaya diberi petunjuk:
“Dan bagi orang-orang zhālim disediakan-Nya ‘adzāb yang pedih.”
Mereka telah diberi tempo dan diberi kesempatan, untuk sampai kepada ‘adzāb yang pedih ini.
Penutup ini serasi benar dan dengan bagian permulaan dan menggambar akhir ujian, yang untuk diuji inilah Allah menciptakan manusia dari nuthfah yang bercampur, dan diberi-Nya pendengaran dan penglihatan, serta ditunjukkannya jalan ke surga atau ke neraka……