Setelah selesai menyampaikan panggilan ke surga dan keni‘matannya yang nyaman dan menyenangkan, maka dipecahkanlah keadaan kaum musyrikīn yang terus-menerus menentang dan mendustakan, yang tidak mengerti hakikat dakwah, lantas mereka melakukan penawaran kepada Rasūlullāh s.a.w. agar beliau menghentikan dakwahnya, atau berhenti dari mencela mereka. Di antara penawaran mereka kepada Nabi s.a.w. dan memfitnah kaum mu’minin, mengganggu mereka, menghalangi mereka dari jalan Allah, dan berpaling dari kebaikan, surga, dan keni‘matan….. di antara semua ini datanglah segmen terakhir dalam surah ini untuk memecahkan sikap demikian itu dengan metode al-Qur’ān-ul-Karīm:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنْزِيْلًا. فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَ لَا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُوْرًا. وَ اذْكُر اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَ أَصِيْلًا. وَ مِنَ الَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَ سَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيْلًا.
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’ān kepadamu (hai Muḥammad) dengan berangsur-angsur. Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka. Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang. Dan pada sebagian dari malam, maka sujūdlah kepada-Nya dan bertasbīḥlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari.” (al-Insān: 23-26).
Dalam empat ayat ini tersimpan sebuah hakikat besar dari hakikat-hakikat dakwah imaniah. Suatu hakikat bagaimana seharusnya para juru dakwah ke jalan Allah hidup padanya dalam waktu yang panjang, mendalaminya secara sempurna, dan memikirkan serta merenungkan materi-materi petunjuknya yang realistis dengan nuansa kejiwaan dan keimanan yang agung.
Rasūlullāh s.a.w. menghadapi kaum musyrikin dengan mengajak mereka kepada agama Allah Yang Maha Esa. Akan tetapi, beliau tidak hanya menghadapi persoalan ‘aqīdah saja di dalam jiwa mereka. Seandainya yang beliau hadapi itu hanya persoalan ‘aqīdah, niscaya hal itu akan sangat mudah bagi beliau, karena ‘aqīdah syirik yang tipis yang mereka pegang itu tidak memiliki kekuatan dan kemantapan bila berhadapan dengan ‘aqīdah Islam yang kuat, jelas, dan mudah. Akan tetapi, kondisi lingkungan yang meliputi ‘aqīdah dan sikap hidup inilah yang menjadikan mereka menentang dakwah demikian keras, sebagaimana dibuktikan oleh sejarah dan diceritakan oleh al-Qur’ān dalam beberapa tempatnya atau surahnya…. Kedudukan sosial, kebanggaan terhadap tata nilai yang berlaku di lingkungan tersebut, dan keuntungan-keuntungan materi merupakan unsur pertama yang menjadikan mereka berpegang teguh pada ‘aqīdah yang rapuh dan jelas-jelas bāthil, untuk menghadapi ‘aqīdah yang kokoh, jelas, dan lurus. Kemudian bentuk-bentuk dan tata kehidupan jahiliah dengan segala kesenangannya, kelezatannya, dan syahwatnya juga menambah perlawanan, penentangan, dan keengganan terhadap ‘aqīdah baru itu (Islam) dengan segala pengarahan akhlāq dan tata nilainya yang tinggi, yang tidak mentolerir manusia melepaskan nafsu dan syahwatnya dengan sebebas-bebasnya, dan tidak mentolerir mereka menjalani kehidupan yang buruk dan gila-gilaan dengan terlepas dari kendali akhlāq.
Sebab-sebab ini, baik yang berhubungan dengan status sosial, norma-norma kemasyarakatan, kekuasaan, materi, dan kepentingan-kepentingan maupun yang berhubungan dengan tradisi, kebiasaan, dan bentuk-bentuk kehidupan yang penuh taqlīd (ikut-ikutan), ataupun yang berhubungan dengan keterlepasan dari nilai-nilai dan ikatan-ikatan akhlāq, semua itu senantiasa dihadapi oleh dakwah periode awal, dan itu pulalah yang senantiasa dihadapi dakwah di bumi mana pun dan generasi kapan pun. Ini mencerminkan unsur-unsur yang tetap di dalam peperangan ‘aqīdah, yang menjadikannya sebagai peperangan yang keras yang tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat, dan menjadikan kesulitan-kesulitannya, beban-bebannya, kemantapan atasnya merupakan tugas-tugas yang paling sulit.
Oleh karena itu, sudah seharusnya bagi para juru dakwah kepada agama Allah di penjuru dunia mana pun dan pada saat kapan pun agar menempuh kehidupan panjang di dalam hakikat besar yang terkandung di dalam ayat-ayat itu. Dan, situasi saat turunnya ayat-ayat itu kepada Rasūlullāh s.a.w. adalah situasi suatu peperangan yang dialami oleh setiap juru dakwah kepada agama Allah di bumi mana pun dan pada saat kapan pun.
Rasūlullāh s.a.w. telah menerima tugas dari Tuhannya untuk memberikan peringatan kepada manusia, dan dikatakan kepadanya:
“Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan.” (al-Muddatstsir: 1-2).
Maka ketika beliau bangkit untuk menjalankan tugas, segera saja beliau berhadapan dengan unsur-unsur dan sebab-sebab yang senantiasa menghalang-halangi masyarakat dari menerima dakwah yang baru itu, unsur-unsur yang menebarkan ke dalam jiwa mereka perasaan untuk mempertahankan apa yang menjadi pegangan mereka selama ini – meskipun mereka sudah merasakan kelemahan dan keamburadulannya – dan memotivasi mereka untuk bersikap keras dan kasar, kemudian mendorong mereka untuk melakukan pembelaan yang keras terhadap ‘aqīdah atau kepercayaan tata aturan, kedudukan, dan kepentingan-kepentingan mereka, tradisi kehidupan mereka, kelezatan-kelezatan, dan syahwat mereka…. dan lain-lain hal yang sangat berat dihadapi oleh dakwah yang baru.
Pembedaan yang keras ini tercermin dalam berbagai bentuk. Pertama, menyiksa dan menyakiti golongan minoritas mu’min yang telah menerima dakwah yang baru itu, dan berusaha memfitnahnya dari ‘aqīdahnya dengan berbagai siksaan dan ancaman. Kemudian menjelek-jelekkan ‘aqīdah Islamiah ini dan menebarkan debu-debu di sekitarnya dan sekitar Nabinya s.a.w. dengan bermacam-macam tuduhan dan dengan menggunakan bermacam-macam cara, supaya tidak bergabung padanya orang-orang mu’min baru. Karena, mencegah manusia dari bergabung di bawah bendera ‘aqīdah itu kadang-kadang lebih mudah daripada memfitnah orang-orang yang telah mengetahui hakikat ‘aqīdah itu dan telah merasakannya.
Kedua, berusaha membujuk dan merayu Rasūlullāh s.a.w. – di samping mengancam dan mengganggu – agar mau berkompromi dengan mereka di tengah jalan dan menghentikan celaan terhadap ‘aqīdah, tata aturan, dan tradisi mereka, dan mau berdamai dengan mereka terhadap sesuatu yang ia sukai dan disukai oleh mereka, sebagaimana yang biasa dilakukan manusia yang di tengah perjalanannya ketika terjadi perselisihan lantas mereka mau melakukan kompromi terhadap kepentingan-kepentingan, keuntungan-keuntungan materi, dan terhadap urusan-urusan tanah air ini. (141).
Cara-cara begini atau yang serupa dengannya merupakan sesuatu yang selalu dihadapi oleh juru dakwah ke jalan Allah di setiap tempat dan setiap generasi.
Nabi s.a.w., meskipun beliau seorang rasūl yang dipelihara Allah dari fitnah dan dilindungi-Nya dari gangguan manusia, namun beliau juga seorang manusia biasa yang menghadapi kenyataan yang berat di kalangan minoritas mu’minīn yang lemah, dan Allah tentu mengetahui hal ini; karena itu tidak dibiarkan-Nya beliau sendirian, dan tidak dibiarkan-Nya menghadapi kenyataan berat ini dengan tanpa pertolongan dan pengarahan kepada petunjuk-petunjuk dan rambu-rambu jalan. Ayat-ayat ini memuat hakikat pertolongan, bantuan, dan pengarahan itu:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’ān kepadamu (hai Muḥammad) dengan berangsur-angsur.” (al-Insān: 23).
Inilah perhatian pertama terhadap sumber penugasan dakwah ini dan sumber hakikatnya bahwa dakwah ini adalah dari Allah; Dia adalah sumber dakwah satu-satunya dan Dialah yang menurunkan al-Qur’ān, maka tidak ada sumber lain bagi dakwah dan tidak mungkin dicampur hakikatnya dengan sesuatu yang lain yang mengalir dari sumber ini. Sumber selain ini tidak boleh diterima, tidak boleh dipakai, dan tidak boleh dipinjam untuk menetapkan ‘aqīdah ini, juga tidak boleh dicampur dengan sesuatu apa pun…. Kemudian, Allah yang telah menurunkan al-Qur’ān dan memberi tugas untuk mendakwahkan al-Qur’ān ini tidak akan membiarkan dakwah itu dan tidak akan membiarkan juru dakwahnya, karena Dialah yang menugaskannya dan menurunkan al-Qur’ān kepadanya.
Akan tetapi, kebāthilan terus merebak, keburukan terus meluas, gangguan menimpa orang-orang mu’min, dan fitnah terus memantau mereka. Sarana penghalangan dari jalan Allah dikuasai oleh musuh-musuh dakwah, dilakukan, dan terus dijalankan, melebihi keajegan mereka membela ‘aqīdahnya, undang-undangnya, tradisinya, kerusakannya, dan keburukan-keburukan yang mereka masuki. Kemudian mereka menawarkan perdamaian, membagi negara menjadi dua, dan bertemu di tengah jalan….Ini merupakan tawaran yang sukar ditolak dalam kondisi sulit seperti itu.
Di sini datanglah peringatan kedua:
“Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka.” (al-Insān: 24).
Urusan-urusan itu digantungkan kepada qadar Allah. Dia memberi kesempatan kepada kebāthilan dan keburukan, memberi waktu yang panjang untuk memberi ujian dan cobaan kepada orang-orang yang beriman. Semua itu karena adanya hikmah yang hanya Dia yang mengetahui, yang dengannya Dia jalankan qadar-Nya dan Dia laksanakan ketetapan-Nya….: “Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu…..” ketika tiba waktu yang ditentukan……Bersabarlah terhadap gangguan dan fitnah. Bersabarlah menghadapi kebāthilan yang menang, dan kejahatan yang berkembang. Kemudian lebih bersabarlah berpegang pada kebenaran yang diberikan kepadamu yang diturunkan bersama al-Qur’ān. Bersabarlah dan janganlah kamu dengar tawaran mereka untuk berdamai dan berkompromi di tengah jalan menurut perhitungan ‘aqīdah: “dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka.” Karena mereka tidak akan mengajakmu kepada ketaatan, kebajikan, dan kebaikan, sebab mereka adalah orang-orang yang suka berbuat dosa dan melakukan kekufuran. Mereka hanya akan mengajakmu kepada dosa dan kekufuran ketika mereka mengajakmu untuk berkompromi di tengah jalan dakwahmu, dan ketika mereka menawarkan kepadamu sesuatu yang mereka kira akan menyenangkanmu dan memuaskanmu.
Mereka memberikan tawaran kepada beliau untuk menjadi penguasa, untuk mendapatkan harta yang menyenangkan, dan untuk mendapatkan keni‘matan fisik. Maka mereka menawarkan kepadanya kedudukan dan kekayaan, hingga beliau menjadi orang yang paling kaya di antara mereka, sebagaimana mereka menawarkan kebaikan-kebaikan (duniawi) yang sarat dengan fitnah, ketika ‘Utbah bin Rabī‘ah berkata kepada beliau: “Tinggalkanlah tugas dakwah ini nanti kukawinkan engkau dengan putriku, karena aku adalah orang Quraisy yang memiliki putri-putri yang cantik-cantik…..” Semua tawaran yang diberikan pada pemeluk kebāthilan itu adalah untuk membeli para juru dakwah di setiap bumi dan setiap generasi!
“Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka.” (al-Insān: 24).
Karena tidak ada kompromi antara engkau dan mereka, serta tidak mungkin dapat dipasang jembatan penyeberangan di atas jurang yang luas yang memisahkan antara manhaj-mu dan manhaj mereka, dan pandanganmu dengan pandangan mereka terhadap alam wujūd, yang memisahkan antara kebenaranmu dan kebathilan mereka, keimananmu dengan kekafiran mereka, cahayamu dengan kegelapan mereka, dan antara pengetahuanmu terhadap kebenaran dengan kejahilan dan kejahiliahan mereka.
Bersabarlah, walaupun masanya panjang, fitnahnya berat, tipu-dayanya kuat, dan jalannya juga panjang….
Akan tetapi bersabar itu berat dan membutuhkan perbekalan dan faktor penunjang yang jelas:
“Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang. Dan pada sebagian dari malam, maka sujūdlah kepada-Nya dan bertasbīḥlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari.” (al-Insān: 25-26).
Inilah bekal itu! Sebutlah nama Tuhanmu pada waktu pagi dan petang, dan bersujūdlah dan bertasbīḥlah kepada-Nya pada malam yang panjang…., karena yang demikian itu adalah berhubungan dengan Sumber Yang telah menurungkan al-Qur’ān kepadamu, dan memberikan jaminan kepadamu di dalam melaksanakan dakwah. Dialah sumber kekuatan, perbekalan, dan pertolongan….Berhubungan dengan-Nya melalui berdzikir, ber‘ibadah, berdoa, dan bertasbīḥ dalam malam yang panjang….. Karena jalan dakwah itu panjang dan bebannya berat, dan sudah tentu membutuhkan perbekalan yang banyak dan dukungan yang besar. Di sanalah, di malam panjang itu, ketika ia bertemu dengan Tuhannya di malam sunyi, dalam bisikan syahdu, dalam kecerahan dan dalam keluluhan jiwa di hadapan Ilahi, memancarlah kekuatan untuk memikul tugas dan beban, memancarlah darinya kekuatan bagi kelemahan dan keminoritasan. Pada waktu itu ruh dapat merasakan perasaan-perasaan dan kesibukan-kesibukan yang kecil-kecil dan lembut-lembut, dan melihat tugas yang agung dan amanat yang besar, sehingga terasa kecil duri-duri dan hambatan-hambatan yang ditemuinya di tengah jalan.
Sesungguhnya Allah Maha Penyayang. Ia menjamin dakwah hamba-Nya, menurunkan al-Qur’ān kepadanya, serta mengertahui beban-beban tugasnya dan hambatan-hambatan jalannya. Karena itu, tidak dibiarkan-Nya Nabi-Nya s.a.w. tanpa pertolongan dan bantuan. Bantuan yang diberikan Allah s.w.t. ini merupakan bekal yang sebenarnya serta layak bagi perjalanan berat di jalan yang penuh duri itu….. Inilah bekal ashḥāb-ud-da‘wah “para pelaku dakwah” ke jalan Allah di setiap tempat dan setiap generasi, karena dakwah itu adalah satu, kondisi yang dihadapinya adalah satu jua, sikap kebāthilan terhadapnya adalah satu, sebab-sebab yang menjadikan orang bersikap demikian adalah satu, dan sarana-sarana kebāthilan itu sendiri pada dasarnya adalah satu. Oleh karena itu, hendaklah sarana-sarana dan jalan-jalan kebenaran itu adalah sarana-sarana yang diketahui Allah sebagai sarana-sarana jalan dakwah ini.
Hakikat yang seharusnya para juru dakwah hidup di dalamnya adalah hakikat yang diberitahukan Allah kepada shāḥib-ud-da‘wah pertama Nabi s.a.w., yaitu bahwa penugasan dakwah itu turun dari sisi Allah, karena Dia adalah pemilik dakwah itu, dan kebenaran yang diturunkan-Nya tidak mungkin boleh dicampur dengan kebāthilan yang diserukan oleh orang-orang yang suka berbuat dosa dan kafir itu. Oleh karena itu, tidak ada kerja sama antara kebenaran dan kebāthilan, karena keduanya merupakan dua sistem yang berbeda, dan dua jalan yang tidak mungkin bertemu.
Adapun jika kebāthilan dengan segala kekuatan dan pasukannya dapat mengalahkan golongan mu’min yang minoritas dan lemah, maka hal itu adalah untuk suatu hikmah yang hanya Allah yang mengetahuinya. Karena itu, diperlukan kesabaran sehingga Allah mendatangkan keputusan-Nya. Hendaklah terus memohon kekuatan dan pertolongan kepada Allah dengan berdoa dan bertasbīḥ kepada-Nya pada malam-malam yang panjang, untuk menjadi bekal di dalam menempuh jalan ini…..
Sungguh ini merupakan hakikat yang besar yang harus dimengerti dan dijalani dalam kehidupan para penempuh jalan dakwah ini…..