Surah ini dimulai dengan mengingatkan kejadian manusia dan ketentuan Allah dalam menciptakan mereka itu sebagai sasaran ujian, dan diakhiri dengan menerangkan akibat atau konsekuensi ujian tersebut, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah sejak menciptakannya dahulu. Dengan permulaan dan penutup yang demikian ini surah ini memberi petunjuk tentang apa yang ada di belakang kehidupan ini, yaitu adanya rencana dan pengaturan, yang tidak boleh manusia mengabaikannya begitu saja, tanpa merenungkan dan memikirkannya, karena dia adalah makhlūq yang diciptakan untuk diuji, dan dia sudah diberi karunia pemahaman dan pemikiran supaya selamat di dalam menghadapi ujian itu.
Di antara permulaan dan penutup terdapat lukisan-lukisan al-Qur’ān yang panjang tentang pemandangan-pemandangan keni‘matan. Atau lukisan ini merupakan lukisan terpanjang apabila kita perhatikan apa yang disebutkan di dalam surah al-Wāqi‘ah di dalam menggambarkan bermacam-macam keni‘matan, yang secara garis besar merupakan keni‘matan indrawi, di samping penerimaan (‘amal) dan penghormatan.
Surah ini dengan perinciannya dan pemaparan keindraan keni‘matan itu memberikan kesan sebagai surah Makkiyyah, yang mana masyarakat waktu itu masih dekat dengan zaman jahiliah, masih kuat bergantung kepada kesenangan-kesenangan indrawi (lahiriah) di mana keni‘matan-keni‘matan indrawi ini sangat menyenangkan dan menarik hati mereka. Keni‘matan macam ini memang senantiasa menarik perhatian banyak orang, dan layaklah mereka diberi balasan dengan sesuatu yang sangat menggembirakan hatinya. Allah Maha Mengetahui tentang apa yang baik bagi mereka dan bagi hati mereka, dan apa yang sesuai dengan kebenaran dan perasaan mereka.
Di sana terdapat sesuatu yang lebih tinggi dan lebih halus daripada itu sebagaimana yang disebutkan dalam surah al-Qiyāmah: “Wajah-wajah (orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (al-Qiyāmah: 22-23).
هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِيْنٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُوْرًا. إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ، نَبْتَلِيْهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيْعًا بَصِيْرًا. إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيْلَ إِمَّا شَاكِرًا وَ إِمَّا كَفُوْرًا.
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (al-Insān: 1-3).
Pertanyaan pada permulaan surah ini adalah litaqrīr (untuk menetapkan); akan tetapi penyebutannya dengan redaksional seperti ini seakan-akan untuk bertanya kepada diri manusia itu sendiri: apakah dia tidak mengetahui bahwa pernah datang kepadanya suatu masa yang waktu itu dia belum berwujūd apa-apa yang dapat disebut? Kemudian, apakah dia tidak memikirkan dan merenungkan hakikat ini? Selanjutnya, mengapa dia tidak merenungkan pada dirinya suatu perasaan akan adanya tangan yang membawanya ke pentas kehidupan, memberinya cahaya, dan menjadikannya sesuatu yang dapat disebut padahal sebelumnya dia belum merupakan sesuatu yang dapat disebut-sebut?
Banyak sekali isyārat yang keluar dari belakang kalimat tanya dalam konteks ini, yaitu isyārat-isyārat yang halus dan mendalam, yang menebarkan berbagai renungan di dalam jiwa.
Pertama, mengarahkan jiwa manusia untuk merenungkan kondisi sebelum diciptakannya manusia dan sebelum terwujūdnya. Ia hidup dalam masa itu bersama alam, namun masih kosong dari manusia….Bagaimanakah keadaannya waktu itu….? Manusia adalah makhlūq yang terpedaya terhadap dirinya dan harga dirinya, sehingga ia lupa bahwa alam ini sudah ada dan sudah hidup dalam waktu yang amat panjang sebelum ia terwujūd. Barang kali alam semesta sendiri tidak pernah mengharapkan diciptakannya makhlūq yang bernama “manusia” ini, sehingga muncullah makhlūq ini atas kehendak Allah.
Kedua, mengarahkan jiwa manusia untuk merenungkan saat diwujūdkannya manusia di alam semesta ini, dan dimunculkannya bermacam-macam bayangan dan lukisan masa itu yang tidak ada yang mengetahui bagaimana keadaan yang sebenarnya kecuali Allah, dan merenungkan bagaimana keadaan semesta dengan ditambahkannya makhlūq baru ini, yang sudah ditentukan urusannya di dalam perhitungan Allah sebelum ia terwujūd, yang diperhitungkan peranannya di dalam program semesta yang panjang.
Ketiga, mengarahkan jiwa manusia untuk merenungkan tangan kekuasaan yang memunculkan makhlūq baru ini ke panggung alam semesta, yang menyiapkannya untuk memainkan peranannya dan menyiapkan peranan untuk dimainkannya, dan mengikatkan benang-benang kehidupannya dengan poros semesta seluruhnya, dan telah menyiapkan untuknya kondisi-kondisi yang menjadikan keberadaannya dapat menunaikan peranannya dengan mudah. Dan sesudah itu, tangan kekuasaan itu masih terus mengikuti dan memantau setiap langkahnya, dengan mengikatnya dengan benang untuk memandunya bersama seluruh benang pengikat alam semesta yang besar ini.
Masih banyak lagi isyārat dan renungan yang bermacam-macam, yang dilepaskan oleh nash ini di dalam nurani….. yang membangkitkan kesadaran di dalam hati tentang adanya maksud, tujuan, dan ketentuan di dalam penciptaan insan dan alam semesta, di dalam perjalanan hidupnya, dan di tempat kembalinya di akhirat nanti.
Adapun perkembangan manusia sesudah itu beserta keberadaannya, maka ia mempunyai cerita lain:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (al-Insān: 2).
Al-Amsyāj, artinya yang bercampur. Ini boleh jadi mengisyāratkan adanya percampuran antara sel sperma laki-laki dan sel telur wanita setelah terjadinya pembuahan. Boleh jadi yang dimaksud dengan percampuran ini adalah warisan-warisan yang tersimpan di dalam nuthfah, yang di dalam istilah ilmiahnya mereka namakan dengan “gen”, yaitu plasma yang membawa sifat keturunan dari seseorang kepada janin, yang karenanya nuthfah manusia berproses untuk membentuk janin manusia, bukan janin makhlūq hidup lainnya, sebagaimana ia juga mewariskan sifat-sifat tertentu dalam keluarga….. Mungkin juga yang dimaksud dengan percampuran ini adalah percampuran dari warisan-warisan yang beraneka macam…..
Manusia diciptakan oleh tangan kekuasaan sedemikian rupa dari nuthfah yang bercampur, bukanlah suatu hal yang sia-sia dan kebetulan belaka. Akan tetapi ia diciptakan untuk diuji dan diberi cobaan. Sedang Allah s.w.t. mengetahui siapakah gerangan manusia itu? Apakah ujian yang diberikannya? Dan, apa buah ujian itu? Akan tetapi, yang dimaksud adalah untuk memunculkannya di panggung kehidupan di alam semesta ini dengan segala tanggung-jawab yang harus dipikulnya terhadap apa saja yang diperbuatnya, kemudian diberi balasan sesuai dengan hasilnya.
Oleh karena itu, dijadikanlah dia dapat mendengar dan melihat, ya‘ni diberinya bekal dengan alat-alat pemahaman, agar dia mampu menerima dan merespons, dan agar dapat mengerti segala sesuatu serta semua norma dan nilai, lantas memilahnya dan memilihnya, dan ia tempuhlah ujian itu sesuai dengan pilihannya…..
Kalau begitu, irādah Allah mengembangkan jenis makhlūq (manusia) ini dan perwujūdan personal-personalnya dengan sarana yang telah ditentukan-Nya, yang diciptakan-Nya dari nuthfah yang bercampur… di belakangnya tentu ada hikmah-hikmah tertentu dan maksud-maksud tertentu, bukan sia-sia tiada guna…. Di belakangnya ada ujian dan cobaan. Oleh karena itu, diberi-Nyalah mereka perangkat untuk menerima dan merespons, memahami dan memilih. Dan segala sesuatu pada makhlūq-Nya serta pembekalannya dengan perangkat-perangkat pengetahuan dan ujiannya dalam kehidupan…..semuanya dengan ukuran tertentu!
Kemudian, di samping pengetahuan, dia juga dibekali kemampuan untuk memilih jalan, dan diterangkan-Nya untuknya jalan yang bisa menyampaikan kepada-Nya. Setelah itu, dibiarkan-Nya dia untuk memilihnya sendiri, atau memilih jalan yang sesat dan menempuh jalan yang sesat itu, yang tidak dapat menyampaikannya kepada Allah:
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (al-Insān: 3).
Diungkapkannya petunjuk dengan kata “syukur” karena syukur merupakan getaran terdekat yang datang ke dalam hati orang yang mendapat petunjuk, sesudah ia mengetahui bahwa dahulunya ia bukan merupakan sesuatu pun yang dapat disebut-sebut, lalu Tuhannya menghendakinya menjadi sesuatu yang dapat disebut, dan diberinya pendengaran dan penglihatan, dan dibekalinya dengan kemampuan untuk memahami dan mengerti. Kemudian ditunjukkan kepadanya jalan dan dibiarkannya dia untuk memilihnya…..Syukur adalah getaran pertama yang datang ke dalam hati yang beriman di dalam momentum ini. Karena itu, kalau dia tidak bersyukur, dia kafir….. Digunakannya bentuk kata “kafūr” ini adalah untuk menunjukkan intensitas kekafiran.
Manusia merasakan keseriusan urusan ini dan kecermatannya sesudah dikemukakannya tiga macam sentuhan tersebut, dan tahulah ia bahwa ia adalah makhlūq yang diciptakan untuk tujuan tertentu, ia terikat pada poros asli (و أنه مشدود إلى محور), dan ia dibekali dengan pengetahuan dan pengertian, dan karena itulah ia akan dihisab dan dimintai pertanggungjawaban, dan ia di sini (di dunia ini) adalah untuk diuji dan untuk menempuh ujian itu. Maka selama masa hidupnya di muka bumi, adalah masa ujian yang harus ditempuhnya, bukan masa untuk bermain dan bersenang-senang serta berbuat yang sia-sia.
Dari tiga buah ayat pendek yang menelorkan renungan-renungan yang lembut dan mendalam, ditelorkan pulalah adanya beban berat yang harus dipikulnya yang harus dipertanggungjawabkannya dan harus disikapi dengan penuh keseriusan dan kepatuhan, yang harus diaplikasikan di dalam kehidupan ini, sebagai pelaksanaan ujian yang diharapkan membawa hasil dan nilai yang baik.
Ketiga ayat yang pendek ini mengubah pandangannya tentang tujuan keberadaannya, mengubah perasaannya tentang keberadaannya, dan mengubah pandangannya terhadap kehidupan dan nilainya secara umum.
Selanjutnya, dipaparkanlah apa yang bakal diperoleh manusia setelah menempuh ujian ini dan setelah memilih jalan kesyukuran atau kekafiran.
Apa yang akan diperoleh orang-orang kafir, dipaparkan di dalam ayat-ayat berikut ini secara global, karena bayang-bayang surah ini adalah bayang-bayang kemakmuran lahiriah dalam lukisan dan kesan, dan bayang-bayang panggilan persuasif terhadap keni‘matan yang menyenangkan. Adapun mengenai ‘adzāb, maka diisyāratkannya secara global:
إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِيْنَ سَلَاسِلَاْ وَ أَغْلَالًا وَ سَعِيْرًا.
“Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu, dan neraka yang menyala-nyala.” (al-Insān: 4).
Rantai untuk kaki dan belenggu untuk tangan, dan neraka yang menyala-nyala yang orang-orang yang dirantai dan dibelenggu itu dilemparkan ke dalamnya.
Kemudian cepat-cepat disebutkanlah keni‘matan-keni‘matan yang banyak:
إِنَّ الْأَبْرَارَ يَشْرَبُوْنَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُوْرًا. عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللهِ يُفَجِّرُوْنَهَا تَفْجِيْرًا.
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur, (yaitu) mata air (dalam surga) yang darinya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya.” (al-Insān: 5-6).
Kalimat ini menunjukkan bahwa minuman orang-orang yang baik di dalam surga itu dicampur dengan kafur, yang mereka minum dengan gelas yang dicidukkan dari mata air dialirkan dengan sebaik-baiknya untuk mereka, yang banyak dan melimpah….. Orang-orang ‘Arab dahulu biasa mencampurkan ke dalam gelas-gelas khamr dengan kāfūr pada suatu waktu, dan pada waktu yang lain mencampurnya dengan kāfūr, untuk menambah keni‘matan rasanya. Maka dengan pemaparan ayat ini mereka mengetahui bahwa di surga terdapat minuman yang bersih yang dicampur dengan kāfūr, dengan pencampuran yang sempurna dan komposisi yang tepat. Adapun kualitas minuman ini, maka dapatlah dipahami bahwa ia lebih manis daripada minuman dunia, dan kelezatannya berkali lipat melebihinya. Dan di dunia ini kita tidak bisa membandingkan kualitas dan jenisnya dengan kelezatan di surga nanti. Maka penyebutan sifat-sifat minuman ini hanyalah untuk mendekatkan kepada perasaan saja, karena Allah mengetahui bahwa manusia tidak mampu menggambarkan sesuatu yang ghaib dan tersembunyi ini kecuali sebagaimana yang dilukiskan itu saja.
Penyebutan mereka pada ayat pertama dengan ‘abrār” (orang-orang yang suka berbuat kebajikan) dan pada ayat kedua dengan “ibādallāh” (hamba-hamba Allah) adalah untuk menyenangkan, menghormati, dan mengumumkan keutamaannya suatu kali, dan pada kali lain untuk menunjukkan kedekatannya kepada Allah dalam hamparan ni‘mat dan kemuliaan.