Surah al-Insan 76 ~ Tafsir al-Azhar (8/9)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-Insan 76 ~ Tafsir al-Azhar

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنْزِيْلًا. فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَ لَا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُوْرًا. وَ اذْكُر اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَ أَصِيْلًا. وَ مِنَ الَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَ سَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيْلًا. إِنَّ هَؤُلَاءِ يُحِبُّوْنَ الْعَاجِلَةَ وَ يَذَرُوْنَ وَرَاءَهُمْ يَوْمًا ثَقِيْلًا. نَحْنُ خَلَقْنَاهُمْ وَ شَدَدْنَا أَسْرَهُمْ، وَ إِذَا شِئْنَا بَدَّلْنَا أَمْثَالَهُمْ تَبْدِيْلًا. إِنَّ هذِهِ تَذْكِرَةٌ، فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيْلًا. وَ مَا تَشَاءُوْنَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللهُ، إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكَيْمًا، يُدْخَلُ مَنْ يَشَاءُ فِيْ رَحْمَتِهِ، وَ الظَّالِمِيْنَ أَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيْمًا.

76: 23. Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada engkau al-Qur’ān (hai Muḥammad) dengan sempurna turun.
76: 24. Maka sabarlah engkau atas ketentuan Tuhan engkau, dan janganlah engkau ikuti orang-orang yang berdosa atau yang kafir di kalangan mereka.
76: 25. Dan sebutlah nama Tuhan engkau pagi dan petang.
76: 26. Dan pada sebahagian malam, hendaklah engkau sujud kepada-Nya, dan ucapkanlah tasbihlah kepada-Nya pada malam yang panjang.
76: 27. Sesungguhnya orang-orang itu lebih suka kepada yang cepat dapat, dan mereka abaikan di belakang mereka hari yang berat (hari akhirat).
76: 28. Kamilah Yang Menciptakan mereka dan Kami kuatkan persendian mereka; Dan jika Kami mau, niscaya ganti mereka dengan orang-orang yang serupa mereka, benar-benar penggantian.
76: 29. Sesungguhnya ini adalah peringatan. Maka barang siapa yang suka, diambilnyalah jalan kepada Tuhannya.
76: 30. Dan tidaklah mereka akan suka, kecuali jika Allah menghendaki; Sesungguhnya Allah adalah Maha Tahu, Maha Bijaksana.
76: 31. Dia masukkan barang siapa yang Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya (surga); Dan akan hal orang-orang yang aniaya, Dia sediakan untuk mereka adzab yang pedih.

 

Setelah menceritakan keindahan nikmat yang akan diterima oleh Auliyā’ Allāh atau ‘Ibād Allāh di syurga kelak, Tuhan mengembalikan peringatannya kepada Nabi Muḥamamd s.a.w. yang diberi tanggung jawab menyampaikan da‘wah ini, terutama kepada kaumnya di masa itu, kaum Quraisy yang masih tetap berkeras dan bertahan dalam kemusyrikannya;

Sesunguhnya Kami telah menurunkan kepada engkau al-Qur’ān, dengan sempurna turun.” (Ayat 23). Sesungguhnya hal ini sudahlah dimaklumi dan sejak semula Rasūl Allāh telah mengerti akan hal itu. Tetapi maksud ayat ialah sebagai penghargaan Tuhan terhadap kepada Rasūl yang telah Dia utus itu. Meskipun bagaimana kaumnya menolaknya tidak mau percaya kepada seruannya, tidak mau menerima da‘wahnya, namun yang disampaikannya itu bukanlah karangannya sendiri, tetapi sabda Tuhan, wahyu Ilahi. Turun kepadanya dengan teratur. Oleh sebab Tuhan itu adalah kemuliaan yang setinggi-tingginya, maka wahyu yang dibawakan malaikat kepada Rasūl itu turun. Karena dari yang sangat tinggi kepada yang rendah. Di ujung ayat dikuatkan dengan kata-kata tanzīla sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbās, ialah turun dengan teratur, tidak sekaligus melainkan berkala-kala dalam masa 23 tahun.

Maka sabarlah engkau atas ketentuan Tuhan engkau”. (Pangkal ayat 24). Soal ketentuan Tuhan atau Hukum Tuhan yang dimaksud di sini, yang Nabi s.a.w. hendaklah sabar menghadapinya dan menunggunya ialah soal waktu! Sudahlah pasti bahwa Kebenaran itu akan menang juga pada akhirnya. Tetapi bilakah waktunya datang kemenangan itu? Ini sangat bergantung kepada kesabaran manusia. Karena kadang-kadang, meskipun manusia telah yakin bahwa yang benar akan menang dan yang salah akan hancur, namun dia sebagai manusia, tidak sabar menunggu. Rasanya terlalu lama. Maka sebagai seorang Rasūl, seorang Nabi yang memikul tanggung jawab seberat itu, Muḥammad sangat memerlukan kesabaran dan tahan hati. “Dan janganlah engkau ikuti orang-orang yang durhaka atau orang-orang kafir di kalangan mereka.” (Ujung ayat 24).

Tersebut di dalam kitab-kitab tafsir dan sejarah menurut apa yang diriwayatkan oleh Muqātil bahwa dua orang pemuka Quraisy yang sangat menolak da‘wah Nabi s.a.w. dan mempertahankan kemusyrikan itu, ‘Utbah bin Rabī‘ah dan al-Walīd bin al-Mughīrah pernah mendatangi Nabi s.a.w. Datang kedua-duanya ialah membujuk Nabi agar berhenti dari melakukan da‘wah ini. Bila dia berhenti melakukan da‘wah ini, perdamaian akan terjadi. Sebab hati mereka tidak akan disakitkan lagi sangatlah menyinggung perasaan dan dapat menghilangkan rasa hormat orang kepada mereka. Padahal mereka sebagai pemuka-pemuka Quraisy adalah keseganan bangsa ‘Arab seluruhnya.

‘Utbah bin Rabī‘ah membujuk, bila Nabi berhenti dari melakukan da‘wah ini dia bersedia menerima beliau sebagai menantunya. Akan dikawinkan dengan anak perempuannya. Dia membanggakan bahwa anak perempuannya adalah salah seorang gadis tercantik dalam kalangan Quraisy. Dan untuk perkawinan itu Muḥammad tidak usah memikirkan membayar mahar (mas kawin).

Al-Walīd bin al-Mughīrah menawarkan pula: “Jika engkau melakukan pekerjaanmu yang telah ditolak mentah-mentah oleh seluruh pemuka kaummu ini adalah karena engkau kekurangan harta, maka aku akan menyediakan bagimu berapa harta yang engkau perlukan. Maka menurut riwayat Muqātil itu sesudah Rasūlullāh disuruh sabar menunggu keputusan dari Tuhan, apa yang dilakukan Tuhan terhadap kaum yang menolak seruan yang tidak lain maksudnya hanyalah untuk kebahagiaan mereka, yang seorang adalah orang yang berdosa; karena bujukannya kepada Nabi s.a.w. agar menghentikan da‘wahnya, dengan menjanjikan upah seorang gadis cantik adalah satu perbuatan dosa yang hina sekali. Sebab tidak timbul dari hati yang jujur. Dan al-Walīd yang hendak “membeli” Nabi dengan uangnya asal mau berhenti berda‘wah, adalah seorang yang kafūr; yang nyata-nyata menolak kebenaran dan kedua orang ini sama saja hinanya di hadapan Tuhan.

Orang yang berdosa, ialah dosa karena perbuatannya dan orang yang kafir ialah karena telah menolak sejak dari hati jiwanya.

Ar-Rāzī dalam tafsirnya menimbulkan suatu pertanyaan: “Sudah jelas bahwa Nabi s.a.w. sekali-kali tidak akan menuruti bujukan orang yang berdosa atau orang yang kafir itu, tetapi mengapa masih ada larangan Tuhan lagi? Lalu beliau memberikan jawabannya: “Maksudnya ialah untuk memberi penjelasan kepada manusia bahwa mereka perlu selalu diberi ingat dan diberi petunjuk, karena manusia itu mempunyai syahwat yang kalau diperturutkan bisa membawanya kepada kerusakan. Dan kalau seseorang amat memerlukan bimbingan Taufik dan bantuan dari Allah, maka Rasul-lah orang yang lebih utama mendapat bimbingan itu, karena dia adalah ma‘shum; artinya selalu dipelihara dan dijaga Tuhan. Kalau ini sudah diketahui, merekapun perlulah mendekatkan diri kepada Allah dan memohon kepada-Nya agar dipelihara dari pengaruh syubhāt dan syahwat.” Demikian ujar Rāzī.

Tetapi meskipun dalam sebab-sebab turun ayat sebagai yang dikatakan Muqātil itu, yaitu ‘Utbah bin Rabī‘ah yang membujuk Nabi kita dengan gadis cantik dan al-Walīd bin al-Mighīrah yang membujuk beliau dengan harta, lalu yang pertama dikatakan orang yang berdosa dan yang kedua disebut orang yang kafūr, namun ayat ini akan berlaku terus untuk selamanya, bagi barang siapa yang meneruskan da‘wah menerima pusaka dari nabi-nabi, yaitu Ulama-ulama Islam yang berjuang dengan tulus ikhlas menggerakkan agamanya. Orang-orang berdosa dan orang-orang yang tidak mau percaya kepada agama akan membujuk dengan berbagai bujukan agar dia meninggalkan perjuangan. Maka pegangan mereka tentu pegangan Nabi s.a.w. ini pula.

Untuk menguatkan jiwa menghadapi perjuangan dan untuk meneguhkan hati dan melatih kesabaran, datanglah ayat Tuhan selanjutnya:

Dan sebutlah nama Tuhan engkau pagi dan petang.” (Ayat 25). Menyebut nama Tuhan atau dzikr, yang dimaksud utama ialah sembahyang. “Dan pada sebagian malam hendaklah engkau sujud kepada-Nya.” (Pangkal ayat 26).

Dalam ayat 25 dan pangkal ayat 26 ini telah tercakup waktu sembahyang yang lima. Di ayat 25 disebutkan agar menyebut nama Allah pagi dan petang. Pagi ialah waktu subuh. Petang ialah waktu zhuhur dan ‘ashar. Sebab masuknya waktu zhuhur ialah setelah tergelincir matahari (zawāl) atau lepas tengah hari dan itu telah disebut “setelah petang”. Di pangkal ayat ke-26 dikatakan “dan pada sebahagian malam hendaklah engkau sujud kepadanya”, ialah waktu maghrib dan waktu ‘isyā’. Kemudian ditambahkan pada lanjutan ayat: “Dan ucapkanlah tasbih terhadap-Nya pada malam yang panjang.” (Ujung ayat 26). Yang dimaksud mengucapkan tasbih pada malam yang panjang ialah shalat tahajjud atau qiyām-ul-lail. Beberapa ayat yang lain, terutama sebuah Surat khusus “al-Muzzammil” Surat ke-73 adalah anjuran sembahyang tahajjud. Dalam Surat 17, al-Isrā’ ayat 79 terang-terang disebut tentang tahajjud. Tambah larut malam tambah penting artinya bangun tahajjud. Sehingga beberapa ‘Ulama berpendapat bahwa bagi Ummat Muḥammad tahajjud tidak wajib lagi setelah diganti dengan sembahyang lima waktu, tetapi bagi Nabi sendiri tetap wajib.

Sembahyang lima waktu ditambah dengan tahajjud di malam yang panjang itu adalah alat penting bagi memperkaya jiwa dan memperteguh hati di dalam menghadapi tugas berat melakukan da‘wah. Oleh sebab itu maka sesudah Nabi disuruh sabar menunggu keputusan Tuhan dan dilarang mengikuti kehendak orang yang berdosa atau orang kafir, ‘ibadat sembahyang atau dzikr inilah yang disuruh sangat pentingkan kepada Nabi.

Sebab rasa dekat kepada Tuhan itulah sumber kekuatan sejati bagi manusia. Terutama di dalam melakukan tugas yang bertanggungjawab seperti itu.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *