مُتَّكِئِيْنَ فِيْهَا عَلَى الْأَرَائِكِ، لَا يَرَوْنَ فِيْهَا شَمْسًا وَ لَا زَمْهِرِيْرًا. وَ دَانِيَةً عَلَيْهِمْ ظِلَالُهَا وَ ذُلِّلَتْ قُطُوْفُهَا تَذْلِيْلًا. وَ يُطَافُ عَلَيْهِمْ بِآنِيَةٍ مِنْ فِضَّةٍ وَ أَكْوَابٍ كَانَتْ قَوَارِيْرَاْ. قَوَارِيْرَاْ مِنْ فِضَّةٍ قَدَّرُوْهَا تَقْدِيْرًا. وَ يُسْقَوْنَ فِيْهَا كَأْسًا كَانَ مِزَاجُهَا زَنْجِبِيْلًا. عَيْنًا فِيْهَا تُسَمَّى سَلْسَبِيْلًا. وَ يَطُوْفُ عَلَيْهِمْ وِلْدَانٌ مُخَلَّدُوْنَ إِذَا رَأَيْتَهُمْ حَسِبْتَهُمْ لُؤْلُؤًا مَنْثُوْرًا. وَ إِذَا رَأَيْتَ ثَمَّ رَأَيْتَ نَعِيْمًا وَ مُلْكًا كَبِيْرًا. عَالِيَهُمْ ثِيَابُ سُنْدُسٍ خُضْرٌ وَ اِسْتَبْرَقٌ وَ حُلُّوْا أَسَاوِرَ مِنْ فِضَّةٍ وَ سَقَاهُمْ رَبُهُمْ شَرَابًا طَهُوْرًا. إِنَّ هذَا كَانَ لَكُمْ جَزَاءً وَ كَانَ سَعْيُكُمْ مَشْكُوْرًا.
076: 13. Di dalamnya mereka duduk bertelekan di atas dipan-dipan, mereka tidak merasakan di dalamnya (teriknya) matahari dan tidak pula dingin yang menggigit.
076: 14. Dan naungan (pohon-pohon surga itu) dekat di atas mereka dan buahnya dimudahkan memetiknya semudah-mudahnya.
076: 15. Dan diedarkan kepada mereka bejana-bejana dari perak dan piala-piala yang bening laksana kaca,
076: 16. (yaitu) kaca-kaca (yang terbuat) dari perak yang telah diukur mereka dengan sebaik-baiknya.
076: 17. Di dalam surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe.
076: 18. (Yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan salsabil.
076: 19. Dan mereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan muda yang tetap muda. Apabila kamu melihat mereka, kamu akan mengira mereka mutiara yang bertaburan.
076: 20. Dan apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar.
076: 21. Mereka memakai pakaian sutra halus yang hijau dan sutra tebal, dan dipakaikan kepada mereka gelang terbuat dari perak, dan Tuhan memberikan kepada mereka minuman yang bersih.
076: 22. Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu, dan usahamu adalah disyukuri (diberi balasan).
“Mereka duduk bertelekan di dalamnya, di atas mahligai-mahligai; (Pangkal ayat 13). Arā’ik kita artikan: mahligai-mahligai, tempat kedudukan disediakan untuk orang-orang yang dimuliakan, yang kadang-kadang disebut juga singgasana. Yang duduk kesana tidaklah sembarang orang; sekurang-kurangnya ialah Menteri-menteri besar dan orang-orang yang berjabatan tinggi. Di dalam Kitab-kitab bahasa Melayu lama, selalu disebut mahligai dan singgasana sebagai tempat duduk bersandar orang yang tinggi kedudukannya. “Tidak mereka lihat padanya Matahari”, maksudnya di sini tidak mereka rasakan di sana panas karena cahaya Matahari sebagaimana yang biasa dirasakan oleh manusia di musim panas, di negeri yang berhawa panas; “Dan tidak terlalu sejuk”. (Ujung ayat 13). Yaitu kesejukan yang biasa dirasakan di musim dingin di negeri yang mempunyai musim dingin yang sangat, sehingga salju jadi turun dan orang sangat kedinginan.
“Dan dekat kepada mereka naungannya.” (Pangkal ayat 14). Artinya bahwa naungan dari kayu-kayuan yang tumbuh di dalam taman syurga itu sangatlah dekat kepada mereka sehingga hawanya jadi bertambah nyaman. Maka bertambah senanglah orang-orang yang sudi berbuat kebajikan di kala hidupnya itu di dalam syurga yang telah disediakan itu: “Dan dimudahkan memetik buah semudah-mudahnya.” (Ujung ayat 14). Qatādah menafsirkan: “Dirundukkan buah itu ke bawah, sehingga terjangkau oleh tangan sekalian orang yang berada di sekelilingnya. Dapat dicapai oleh orang yang berdiri, orang yang duduk bahkan orang yang tengah berbaring sekalipun.”
“Dan diedarkan kepada mereka bejana-bejana dari perak dan cangkir-cangkir yang jernih laksana kaca.” (Ayat 15). Di sini diberitakan pula dari hal kaca. Dari sana orang-orang yang diberi ganjaran kemuliaan karena kesudian berbuat kebajikan itu. “Kaca-kaca dari perak yang telah mereka ukur sebaik-baik ukuran.” (Ayat 16). Diukur sebaik-baik ukuran ialah supaya sesuai besarnya dengan besar atau tinggi atau rendah orang yang akan memegangnya, sehingga tidak berlebih dari ukuran dirinya dan tidak pula terkurang.
“Dan diberi minum mereka di dalamnya dengan piala.” (Pangkal ayat 17). Dengan menyebutkan pula piala sebagai tempat air minum yang lain, di samping mangkuk-mangkuk dan cangkir-cangkir, dapatlah dimengerti bahwa di dalam syurga itu tempat air minum bukanlah satu macam saja; sebagaimana di dunia inipun dalam rumah-rumah tangga orang yang mampu dapat dilihat berbagai gelas, cangkir, mangkuk, cawan dan piala; yang semuanya itu digunakan untuk tempat air minum; “Yang campurannya adalah sepedas”. (Ujung ayat 17). Sepedas atau jahe!
Dari zaman dahulu orang ‘Arab suka sekali meminum minuman yang dicampurkan sepedas atau jahe yang dimasak lebih dahulu dan diminum sedang panas-panas, terutama jadi minuman di musim dingin. Mereka namai syarbat = yang berarti minuman. Minuman bercampur jahe (sepedas) ini dibuat oleh bangsa kita dan dipakai juga nama ‘Arabnya lalu di Indonesiakan dengan nama serbat. Dinamai oleh orang Banggali mandret!
“Mata-air di dalamnya dinamai salsabīl”, (Ayat 18). Mata-air atau telaga yang jadi sumber dari air minum yang sejuk dan enak itu bernama Salsabīl. Abul-‘Āliyah dan Muqātil menafsirkan bahwa Salsabīl ialah nama air yang dapat dialirkan dengan pipa kepada tiap-tiap rumah mereka, Air itu mengalir sejak dari pangkalnya di bawah ‘arasy. Dikatakan dinamai, bahwa yang menamainya salsabīl itu ialah malaikat-malaikat yang mengawalnya.
“Dan di kelilingi mereka itu oleh pelayan-pelayan yang tetap muda.” (Pangkal ayat 19). Disediakan diri mereka oleh Tuhan agar tetap muda; sebab pelayan-pelayan itu bukanlah bangsa manusia, melainkan sejenis malaikat juga, sebagai jenis lain, yaitu pelayan yang perempuan yang biasa disebut bidadari. Pelayan-pelayan yang tetap muda itu, niscaya cantik manis belaka, sehingga sifat kecantikan itu digambarkan pada lanjutan ayat: “Apabila engkau melihat mereka, engkau sangka mereka itu mutiara yang bertaburan.” (Ujung ayat 19).
Alangkah indahnya perumpamaan ini. Laksana mutiara yang bertaburan di sana sini, di mana saja mereka berjalan, melayani ke sana ke mari, menyelenggarakan dan menghormati ‘Ibād Allāh atau orang-orang yang sudi berbuat kebajikan itu kelihatan rupa yang elok, tingkah laku yang baik dan gerak-gerik yang menimbulkan kasih-sayang dan rasa hormat, sesuai dengan kebesaran tempat.
Dengan ayat ini terjawablah cemooh penuh ejekan, yang selalu ditaburkan oleh musuh-musuh Islam, yang siang malam mencari dalih untuk mencari kelemahan-kelemahan dalam ajaran Islam. Mereka mengatakan bahwa di dalam al-Qur’ān terlalu banyak dibicarakan tentang anak-anak bidadari, yang berupa gadis-gadis cantik, akan jadi istri daripada orang-orang laki-laki yang masuk syurga. Lalu dikatakan bahwa Islam hanya mementingkan didikan yang menimbulkan syahwat saja, penarik hati laki-laki, sedang dalam Qur’ān – kata mereka – tidak ada tersebut tentang anak-anak muda laki-laki. Dengan ayat ini tertolaklah cemooh yang sebagai menepuk air di dulang itu. Dengan ayat ini diterangkan jelas sekali bahwa orang-orang yang mendapat ganjaran masuk syurga itu dilayani, dihormati oleh pelayan-pelayan yang tetap muda. Tandanya dalam syurga bukan saja ada bidadari, tetapi juga ada “bidadara”, atau yang biasa disebut peri atau mambang. Tetapi dalam ayat ini tidaklah disebutkan bahwa pelayan tetap muda itu bertugas juga untuk mengobat hati gadis-gadis yang tidak sempat bersuami lalu menginggal dunia. Karena pendidikan al-Qur’ān demikian halus dan tinggi, tidak mau menyinggung perasaan gadis-gadis dengan kata demikian.
“Dan apabila engkau lihat”, (Pangkal ayat 20), sesudah melihat bagaimana cantik, sopan, tingkah laku dan hormat pelayan yang tetap muda itu, yang bertebaran dalam syurga laksana mutiara, “Di sana engkau lihat aneka nikmat dan Kerajaan Besar.” (Ujung ayat 20).
Pelayannya tetap muda dan cakap, bertebaran dalam syurga laksana mutiara terserak, memberikan warna-warni yang indah; di sana sini terdapat nikmat yang tidak berkeputusan, singgasana dan mahligai, tempat duduk beralaskan permadani sutra, tempat bersandar yang empuk, piala dan mangkuk dan cangkir penuh minuman yang lezat cita, kesuburan dan makanan yang cukup di dalam suatu Kerajaan Besar; Kerajaan Allah!
Kerajaan Besar! Kerajaan Tuhan, Kerajaan Syurga Jannat-un-Na‘īm. Hamba-hamba Allah yang telah diparenai (dipersilahkan) duduk di atas mahligainya masing-masing itu hidup laksana raja-raja besar pula. Bagaimana tidak akan dikatakan laksana Raja Besar, sedangkan malaikat saja bila akan masuk berziarah mengucapkan Selamat Datang kepadanya, selalu memulai ucapan dengan “SALĀM.”
وَ الْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُوْنَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ – سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ.
“Dan malaikat masuk mendatangi mereka dari tiap-tiap pintu (mengucapkan: “Selamat sejahtera atas kamu, oleh karena kesabaran kamu, maka inilah yang seindah-indah kediaman terakhir.” (13, ar-Ra‘d 23-24).
Al-Kalbī mengatakan bahwa Tuhan mengutus Malaikat sebagai utusan istimewa menyampaikan Salam Tuhan disertai “karamah” (Kemuliaan) dan bingkisan pakaian, makanan, minuman dan peralatan selengkapnya kepada Waliyullāh yang sedang duduk menunggu dalam istana kediamannya. Sebelum masuk malaikat utusan itu mengucapkan salam dan memohon izin masuk”; Itulah Kerajaan Besar”. Demikian tafsiran al-Kalbī.
“Di atas mereka adalah kain sutra halus yang hijau dan sutra tebal.” (Pangkal ayat 21). Ibnu ‘Abbās memberi penjelasan bahwa “di atas mereka” itu berarti bahwa pakaian itu berlapis-lapis; sebelah dalam sutra hijau halus dan lapis sebelah luar sutra tebal, karena pakaian luar lebih tebal dari pakaian dalam.” Maka kita umpamakanlah bahwa pakaian lapisan sebelah dalam ialah kain sutra halus berwarna hijau. Itulah ibarat gamis atau kemeja. Lapis sebelah luar sutra yang tebal, ialah umpama baju jas atau jubah. Dijelaskan pula bahwasanya di dalam syurga itu laki-laki sudah diizinkan memakai kain sutra. “Dan mereka diperhiasi dengan gelang dari perak.” – Berkata ahli tafsir; Sedangkan gelang dari perak sudah dijadikan perhiasan, apatah lagi gelang dari emas. “Dan diberi minum mereka oleh Tuhan mereka dengan minuman yang suci-bersih.” (Ujung ayat: 21).
Minuman adalah amat penting. Ada minuman yang kotor atau membekaskan kotor, membuat orang jadi mabuk. Ada minuman yang membawa kesehatan dan kesegaran dan membuka fikiran. Maka minuman syurga yang akan diberikan itu dijamin kebersihannya, sesuai dengan suasana syurga sebagai tempat ganjaran mulia bagi makhluk yang dimuliakan.
Berkata seorang Ulama bernama Thayyib al-Jamāl, bahwa pada suatu hari dia sembahyang bermakmum di belakang gurunya Sahl bin ‘Abdullāh bin Yūnus at-Tustarī, Shūfī ahli Sunnah yang besar itu. Sesampai bacaan pada ayat ini:
وَ سَقَاهُمْ رَبُّهُمْ شَرَابًا طَهُوْرًا.
“Dan diberi minum mereka oleh Tuhan mereka dengan minuman yang suci-bersih.”
Kedengaran bibir dan lidahnya bergerak sebagai orang minum.
Lalu sehabis sembahyang Thayyib al-Jamāl bertanya: “Tuan Guru! Aku dengar Tuan sehabis membaca ayat itu seperti minum dan melulur air.”
Lalu dia menjawab: “Demi Allah! Kalaulah tidak aku rasakan kelezatan membacanya yang sama dengan kelezatan meminumnya, tidaklah dia akan ku baca!”
“Sesungguhnya ini adalah ganjaran untuk kamu.” (Pangkal ayat 22).
Artinya bahwa setelah orang-orang yang sudi berbuat kebajikan semasa hidupnya itu, dan telah diangkat martabatnya lalu disebut ‘Ibād Allāh sama bersemayam di singgasana, mahligai atau istana-istana indah sebagai Waliyullāh di dalam Kerajaan Allah, syurga jannatun na‘im, ketika itulah Allah menyampaikan penghargaan dan pujian kepada mereka, bahwa semua yang mereka nikmati ini adalah sebagai ganjaran belaka dari kepayahan mereka berjuang dan yakin memegang petunjuk Tuhan sepanjang hidup; yang kadang-kadang jatuh lalu tegak lagi dan maju lagi, dan terhalang lagi, namun tujuan tidak pernah lepas: “Dan adalah usaha kamu itu disyukuri”. (Ujung ayat 22). Nampaklah bahwa semua usaha dihargai oleh Tuhan dan dinilai dengan setinggi-tingginya, dan inilah semuanya bekas dari ‘amalanmu itu kamu rasakan nikmatnya sekarang ini.