Surah al-Insan 76 ~ Tafsir al-Azhar (6/9)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-Insan 76 ~ Tafsir al-Azhar

Dan mereka memberi makan makanan dalam hal cinta kepadanya.” (Pangkal ayat 8). Artinya bahwa di dalam mereka sangat memerlukan makanan, di waktu itu pulalah mereka dengan segala kerelaan hati memberikan makanan itu; “Kepada orang miskin, anak yatim dan orang tawanan.” (Ujung ayat 8).

Kesimpulannya ialah bahwa ‘Ibād Allāh itu adalah orang pemurah. Sehingga makanan yang sedang diperlukannya, dengan senang hati diberikannya kepada fakir miskin dan anak yatim. Yaitu anak yatim yang miskin pula. Pemurah timbul karena hati terbuka, karena percaya bahwa Tuhan akan mengganti dengan yang baru. Dalam jiwanya ada perasaan belas kasihan kepada orang yang lemah. Rasa syukur atas rezeki yang diberikan Tuhan.

Tentang fakir miskin dan anak yatim sudah banyak dibicarakan dalam surat-surat yang telah lalu. Cuma dalam hal yang terakhir, yaitu orang-tawanan; inilah yang patut diketahui lebih meluas.

Asal kata orang tawanan ialah orang yang ditawan dalam peperangan. Orang yang terdesak tidak dapat melawan lagi. Diapun tunduk. Menurut peraturan peperangan, orang yang tertawan itu tidak boleh diperangi lagi. Senjatanya dilucuti dan dia ditahan; ditahan sampai peperangan damai! Di waktu itu akan terjadi pertukaran tawanan. Kalau negeri itu kalah terus, sehingga mereka tidak dapat lagi menebus diri, biasanya mereka terus menjadi budak, hamba sahaya. Maka selama mereka masih dalam tawanan, wajiblah bagi yang menawan memeliharanya dan menjaga kesehatannya. Beri dia ladenan yang baik. Beri dia makanan yang patut dan beri mereka pengobatan. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa menyediakan makan yang patut, makanan yang dicintai sendiri oleh yang memberikan adalah termasuk perangai orang yang sudi berbuat kebajikan, bahkan perangai budi mulia bagi ‘Ibād Allāh!

Rasulullah s.a.w. sendiri telah melakukan ini dalam peperangan Badr. Kaum Muslimin dalam peperangan Badr telah dapat menawan 70 orang musyrikin, yang selama ini sangat memusuhi Islam, sampai mengusir Nabi dari kampung halamannya dan mereka telah berperang dengan hebat sekali di Padang Badr itu. Tetapi setelah Musyrikin kalah, banyak yang tertawan di samping banyak yang mati, beliau suruh sediakan makanan mereka selama tertawan itu dengan sebaik-baiknya. Bahkan mereka didahulukan makan daripada mereka, ketika makan tengah hari (Ghadā’).

Menurut ‘Ikrimah dan Sa‘īd bin Jubair yang dimaksud dengan orang tawanan bukan semata-mata orang tawanan. Budak-budak, hamba-hamba sahaya pun harus diperlakukan dengan baik. Sehingga memerdekakan budak dipandang suatu amalan yang utama. Sehingga pesan Rasūlullāh sehari sebelum beliau meninggal dunia ialah:

الصَّلَاةُ وَ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ.

Peliharalah sembahyang dan pelihara pula hamba sahaya kamu.”

Lalu mereka katakan isi hati mereka;

Sesungguhnya, kami memberi makan kamu ini, lain tidak, adalah semata-mata karena mengharapkan keridhaan Allah.” (Pangkal ayat 9). Inilah dasar tulus ikhlas ketika memberikan. Tapi sudah dikatakan bahwa orang yang mereka berikan itu ialah makanan yang sedang sangat dikasihi. Yang diberi makan itu ialah orang miskin, anak yatim dan orang-orang dalam tawanan. Artinya orang yang tipis sekali harapan akan dapat membalas budi di hari depan. Itulah pemberian setulus-tulusnya. Jika orang mengadakan kanduri besar, memanggil orang menghadiri satu walimah, dengan memotong sapi dan kambing, umumnya yang diundang datang ialah orang-orang kaya! Di zaman modern kita ini sangat diharap orang kaya itu, akan membawakan “cadeau” atau oleh-oleh bagi yang mengadakan jamuan. Tetapi kalau memberi makan fakir-miskin, anak yatim dan orang tawanan, apalah yang diharapkan dari orang itu? Seorang yang sudi berbuat kebajikan, atau orang-orang yang disebut ‘Ibād Allāh tidaklah mengharapkan balasan apa-apa dari mereka itu. Mereka miskin, lemah dan tidak berdaya buat membalas budi. Yang mereka harapkan hanyalah satu saja: yaitu Allah ridha, Allah senang menerima ‘amalan mereka itu; “Tidaklah kami mengharapkan daripada kamu akan balasan” supaya atau waktu kelak kami dijamu pula; “dan tidak pula ucapan terima kasih.” (Ujung ayat 9).

Apabila seseorang memberikan pertolongan kepada orang lain, lalu dia mengharap agar orang itu membalas budinya atau mengucapkan terima kasih kepadanya, nyatalah bahwa dia memberi itu tidak dengan tulus ikhlas. Nyatalah bahwa dia ingin mementingkan diri sendiri. Jatuhlah harga dari perbantuan yang dia berikan itu. Di dalam Surat ke-2 al-Baqarah ayat 264 dijelaskan benar-benar bahwa ini bukanlah perbuatan orang yang beriman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَا تُبْطِلُوْا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَ الْأَذَى.

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu rusakkan sedekah kamu dengan menyebut-nyebutkan dan menyakiti.”

Sebentar-sebentar sedekahnya disebutnya kepada orang lain. Dan jika bertemu dengan orang yang pernah ditolongnya itu, disakitinya hati orang itu dengan menyebut kembali jasanya yang telah lalu. Dalam ayat itu dikatakan bahwa perbuatan demikian adalah kelakuan orang yang menafkahkan hartanya karena ingin di riya’, yaitu supaya dilihat orang, bukan supaya dilihat Allah.

Oleh sebab itu lanjutan perkataan dari orang yang sudi berbuat kebajikan dan mendapat julukan ‘Ibād Allāh itu ialah: “Sesungguhlah kami takut kepada Tuhan kami pada hari yang muka jadi masam.” (Pangkal ayat 10). Orang yang beriman takutlah memikirkan hari kiamat itu. Di sana muka akan di dunia merasa diri sangat penting! Merasa diri sangat berjasa karena suka menolong orang, suka berkurban, sebab itu suka disebut di mana-mana, suka dipuji. Namun setelah datang hari kiamat, sebelah matapun mereka tidak dilenggong (????? dilihat dengan satu mata saja ?????) oleh Tuhan. Diri menjadi kecil dan hina: “Dan kesulitan timpa bertimpa.” (Ujung ayat 10).

Kesulitan timpa-bertimpa sebab di hari itulah akan terbuka segala rahasia yang tersembunyi. Akan terbuka rahasia segala amalan yang dikerjakan bukan karena Allah.

Ibnu ‘Abbās memberikan tafsir tentang muka masam (‘abūsan = (عَبُوْسًا)) yaitu bahwa muka menjadi muram dan masam karena sulitnya yang direnungkan tentang nasib diri sendiri; kesalahan sudah terang, hukuman belum jatuh!.

Al-Akhfasy memberi tafsir tentang qamtharīr = (قَمْطَرِيْرًا), yang kita artikan kesulitan timpa bertimpa; “Hari yang penuh dengan penderitaan dan terlalu lama, terlalu panjang.”

Allah melindungi mereka pada hari itu.” (Pangkal ayat 11). Allah akan memberikan perlindungan kepada orang-orang yang sudi berbuat kebajikan dan yang dijuluki Tuhan dengan ‘Ibād Allāh itu pada hari yang penuh kemuraman dan kemasaman wajah dan kesulitan yang berkepanjangan itu; Sebab mereka kalau memberi bukanlah karena mengharapkan balas jasa manusia dan bukan supaya diucapkan terima kasih. Semata-mata karena mengharapkan ridha Allah-lah mereka itu beramal. Kesukaran-kesukaran yang mereka hadapi di kala hidup tidak akan mereka temui lagi di alam akhirat: “Dan akan mempertemukan mereka dengan kejernihan.” – yaitu kejernihan muka karena rasa syukur yang ada dalam hati. Dan akan lebih terasa lagi kata-kata nadhratan = (نَضْرَةً) di ayat ini, bila dipertautkan dengan kata-kata nādhirah pada ayat 22 dari surat yang baru lalu (75: al-Qiyāmah), yaitu wajah yang berseri-setinggi dari itu: “dan kegembiraan”. (Ujung ayat 11). Jika kejernihan jelas pada wajah, kegembiraan terasa dalam hati! Bahkan kegembiraan hati itulah yang membayang kepada kejernihan muka.

Dia ganjari mereka karena kesabaran mereka”. (Pangkal ayat 12). Sejak memulai hidup, bahkan sejak mulai melancar ke dunia dari dalam perut ibu, sampai tegak dan dewasa, tidaklah sunyi manusia dari percobaan. Dalam ayat 2 di permulaan surat sudah dikatakan terlebih dahulu; nabtalīhi = (نَبْتَلِيْهِ), Kami cobai dia! Ketangkasan dan keteguhan hati, ketabahan dan sabar menghadapi percobaan itu akan menyebabkan manusia lulus dengan selamat. Untuk itu pastilah dia diberi ganjaran oleh Tuhan: “Dengan syurga dan sutera.” (Ujung ayat 11). Syurga sebagai tempat kediaman yang penuh bahagia dan nikmat dan sutera sebagai pakaian kemuliaan.

Sabda Nabi s.a.w.:

رَوَى ابْنُ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ سُئِلَ عَنِ الصَّبْرِ فَقَالَ: الصَّبْرُ أَرْبَعَةٌ: أَوَّلُهَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأَوَّلِ، وَ الصَّبْرُ عِنْدَ آدَاءِ الْفَرَائِضِ، وَ الصَّبْرُ عَلَى اجْتِنَابِ مَحَارِمِ اللهِ، وَ الصَّبْرُ عَلَى الْمَصَائِبِ.

Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar bahwa Nabi s.a.w. ditanyai orang tentang sabdar. Lalu beliau menjawab: “Sabar itu ada empat: Pertama sabar seketika pukulan pertama, kedua sabar ketika melakukan pekerjaan yang difardhukan Tuhan, ketiga sabar dalam menjauhi apa yang dilarang oleh Allah, keempat sabar ketika percobaan datang menimpa.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *