Nadzar = (النذر)
Nadzar ialah janji seorang dengan Allah. Janji Allah kepada hamba-Nya bernama Wa‘d (الْوَعْدُ). Janji manusia semasa manusia disebut ‘Ahd = (الْعَهْدُ), dan ‘Aqd = (الْعَقْدُ).
Menurut ‘urf (kebiasaan) yang ditentukan syara‘ tentang Nadzar hendaklah diucapkan: “Aku berjanji dengan Allah akan mengerjakan demikian.”
Yang di-nadzar-kan ialah pekerjaan yang tidak wajib. Kalau sudah dijadikan nadzar dia telah jadi wajib.
Kalau secara umum saja, artinya apa juapun yang dijanjikan di hadapan Allah untuk dikerjakan, meskipun tidak mungkin dapat dikerjakan, bernama juga nadzar. Sebab itu dibuat orang qa‘idah nadzar secara umum ialah:
مَا أَوْجَبَهُ الْمُكَلَّفُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ شَيْءٍ يَفْعَلُهُ.
“Apa yang diwajibkan oleh seorang mukallaf kepada dirinya sendiri untuk dikerjakan.”
Tetapi oleh karena tidak semua nadzar musti dilaksanakan, malahan ada yang haram dikerjakan, misalnya berjanji di hadapan Allah hendak membalas dendam kepada seseorang, padahal membalas dendam terlarang dalam agama, maka nadzar seperti itu nadzar juga namanya dalam bahasa, tetapi haram dalam pelaksanaan. Oleh sebab itu maka ‘Ulama’ fiqih membuat istilah tentang nadzar yang sah ialah:
إِيْجَابُ الْمُكَلَّفِ عَلَى نَفْسِهِ مِنَ الطَّاعَاتِ مَا لَوْ لَمْ يُوْجِبْهُ لَمْ يَلْزِمْهُ.
“Nadzar; Yaitu seorang mukallaf mewajibkan kepada dirinya sendiri suatu perbuatan taat, yang kalau tidaklah diwajibkannya, tidaklah musti dikerjakannya.”
Ucapan nadzar misalnya ialah sekira-kira: “Aku berjanji di hadapan Allah akan mengerjakan puasa dua hari jika aku selamat dari bahaya ini.”
“Menjadi janjiku dengan Allah akan sembahyang dua raka‘at jika anakku lahir dengan selamat.”
Penulis tafsir ini pernah ber-nadzar: “Aku berjanji jika selamat keluar dari penjara karena penganiayaan ini, sesampai di luar akan puasa tiga hari berturut-turut.”
Aku: “Kalau pangkatku ini naik, aku berjanji akan pergi mengerjakan ‘Umrah dalam bulan puasa” dan sebagainya.
Oleh karena janji ini adalah langsung dengan Tuhan, tidaklah memerlukan didengar oleh orang lain. Maka segala yang telah dijanjikan akan dikerjakan itu, baik perbuatan yang sunnat menurut hukum agama, ataupun pekerjaan yang mubāḥ (tidak disuruh dan tidak dilarang), kalau sudah di-nadzar-kan, menjadi wājib-lah dilaksanakan. Tetapi kalau ada hambatan buat mengerjakannya, sehingga tidak jadi terkejakan menurut nadzar, wajiblah dibayar kaffārah (denda). Dan Kaffārah-nya ia kaffārah sumpah; Memerdekakan budak, atau memberi makan fakir miskin sepuluh orang, atau memberi fakir miskin pakaian persalinan sepuluh orang, atau dibayar. Kalau salah satunya itu tidak sanggup atau tidak dapat menyediakannya, hendaklah puasa tiga hari berturut-turut. (Lihatlah kembali Sūrat ke-5, al-Mā’idah ayat 89, dalam Juzu’ ke-5).
Imām Mālik menjelaskan bahwa nadzar itu memang sama dengan sumpah. Sebab itu maka kaffārah-nya adalah kaffārah sumpah.
Maka tidaklah boleh ber-nadzar akan berbuat maksiat. Kalau seseorang terlanjur membuat nadzar akan berbuat maksiat, dia tetap haram melakukannya dan dia wajib membayar kaffārah juga. Sebab dia telah membuat suatu janji dengan Allah.
Bersabda Rasūlullāh s.a.w.:
مَنْ نَذَرَ نَذْرًا فِيْ مَعْصِيَّةٍ فَكَفَّارَتُهُ كَفَّارَةُ يِمِيْنٍ.
“Barang siapa ber-nadzar dengan satu nadzar pada perbuatan maksiat, maka kaffarah-nya adalah sumpah juga.” (Dirawikan oleh Muslim dari Ibnu ‘Abbās).
Sebab itu maka dalam sabda yang lain dijelaskan juga oleh Nabi s.a.w.:
لَا نَذَرَ إِلَّا فِيْمَا ابْتَغَى بِهِ وَجْهَ اللهِ.
“Tidak ada nadzar melainkan pada perkara yang mengharapkan wajah Allah”, (Dirawikan oleh Imām Aḥmad dan Abū Dāūd dari hadits ‘Āmir bin Syu‘aib, dari ayahnya dari neneknya).
Ada orang ber-nadzar hendak naik hajji dengan berjalan kaki. Kemudian ternyata dia tidak sanggup mengerjakannya. Maka disuruhlah dia membayar kaffārah.
Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhārī dan Ibnu ‘Abbās, pada suatu hari Rasūlullāh s.a.w. sedang berpidato. Kelihatan oleh beliau seorang laki-laki berdiri seorang diri. Namanya Abū Isrā’īl. Lalu Nabi bertanya: “siapa orang itu.” Lalu dijawab orang: “Namanya Abū Isrā’īl, dia ber-nadzar akan tegak berdiri di bawah panas matahari, tidak akan duduk, tidak akan bercakap-cakap dan tidak akan berteduh dan akan terus puasa.”
Mendengar itu bersabdalah Nabi s.a.w.:
مُرُوْهُ لِيَتَكَلَّمَ وَ لِيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ.
“Suruhlah dia, biar dia bercakap, dan biar berlindung dari panas matahari dan biar dia duduk dan hendaklah dia teruskan puasanya.”
Dari segala keterangan itu didapatlah bahwa kalau kita membuat nadzar hendaklah dikira-kira apa yang akan di-nadzar-kan. Dan sebuah hadits lagi dapatlah dijadikan pedoman dalam menentukan nadzar. Nabi s.a.w. bersabda:
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيْعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ وَ مَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِي اللهَ فَلَا يَعْصِهِ.
“Barang siapa yang ber-nadzar akan taat kepada Allah, hendaklah lakukan taat itu. Dan barang siapa yang ber-nadzar akan mendurhaka kepada Allah, maka janganlah Allah didurhakai.” (Dirawikan oleh Bukhārī daripada hadits ‘Ā’isyah).
Lalu sambungan ayat: “Dan mereka takut akan hari, yang siksaannya sangat merata.” (Ujung ayat 7). Inilah ciri-ciri dari orang-orang yang sudi berbuat kebajikan, yang kemudian, dinaikkan Allah martabatnya lalu diberi gelaran ‘Ibād Allāh, hamba-hamba Tuhan, yang benar-benar menghambakan diri. Janji dengan manusia diteguhi, janji dengan Allah diteguhi. Kalau nyata tidak akan sanggup dia tidak mau membuat nadzar, karena itu bukanlah perangai orang yang disebut ‘Ibād Allāh. Sebab mereka insaf bahwa perbuatan di dunia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan kelak kemudian hari. Sebab itu mereka merasa sangat takut akan tempelak Tuhan kelak kemudian hari, di waktu siksa dan adzab Tuhan merata meliputi seluruh ‘alam di hari kiamat itu.