Dan di dalam bibit yang sangat kecil itu pula telah terjadi persediaan seorang anak akan menurut bentuk ayahnya atau ibunya, malahan “kombinasi” warna kulit ayah dengan warna kulit ibu. Selanjutnya urutan ayat: “Lalu Kami uji dia.” Sejak tubuhnya terlancar dari dalam perut ibunya karena telah sampai bilangan bulannya, mulai saja masuk ke tengah alam terbuka ini dia telah kena uji. Sikap yang dilakukannya terlebih dahulu, sebagai naluri atau instinct kehendak hidup ialah bergerak dan menangis. Hidup yang senang dalam suhu teratur dalam rahim ibu dengan tiba-tiba berobah. Mulai dia menantang udara! Dia menangis karena terkejut dan dia bergerak menandakan ingin hidup. Sejak masa itu tidaklah lepas dia, si manusia itu daripada ujian. Kuatkah dia menantang hidup, dapatkah dia menyesuaikan diri dengan ‘alam keliling. Dia akan merasakan lapar, dia akan buang air besar dan buang air kecil. Alat pertama hanya menangis dan menangis. Tetapi semuanya itu dengan berangsur-angsur akan diatasinya: “Maka Kami jadikanlah dia mendengar, dan melihat.” (Ujung dari ayat 2). Dia akan lalu di tengah-tengah ‘alam. Dari kecil dia akan besar. Dari anak dalam pangkuan, dia akan tegak, dia akan berlari, dia akan berjuang mengatasi hidup itu. Maka diberikan Tuhanlah kepadanya dua alat yang amat penting bagi menyambungkan kehidupan pribadinya dengan alam kelilingnya itu. Diberikan pendengaran dan penglihatan. Maka pendengaran dan penglihatan itu adalah untuk mengontakkan pribadi si manusia dengan alam kelilingnya tadi. Supaya didengarnya suara lalu diperbedakannya mana yang nyaring dan mana yang badak, mana suara dekat dan mana suara jauh. Dengan penglihatan dilihatnya besar dan kecil, jauh dan dekat, atas dan bawah, indah dan buruk. Kian sehari kian berkembanglah bakatnya sebagai insan, yang telah diberi Allah persediaan bathin yang bernama akal.
Di samping persediaan akal dalam jiwa dan pendengaran disertai penglihatan dalam jasmani, lalu Allah memberikan petunjuk jalan.
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan.” (pangkal ayat 3). Dengan sebab diberi petunjuk jalan, langsung dari Tuhan ini, jadilah dia manusia yang mulai dikenal, berbeda dengan makhluk yang lain. Dia tidak lagi sesuatu yang tidak jadi sebutan. Makhluk-makhluk lain yang ada di muka bumi ini, binatang-binatang itu tidak ditunjuki jalan sebagaimana yang ditunjukkan kepada manusia. Bilamana manusia telah mengembara di atas permukaan bumi, bila mereka dengar dan lihat alam keliling, kebesaran langit, sinar Matahari, lembutnya cahaya bulan, mengagumkan keindahan dan kesempurnaan, mereka akan sampai kepada kesimpulan tentang adanya Yang Maha Kuasa atas alam ini. Sehingga bangsa-bangsa yang disebut masih pada pangkal permulaan hidup (Primitif) pun dengan nalurinya sampai juga kepada kepercayaan tentang adanya Yang Maha Kuasa. Tetapi kisah Tuhan tidaklah cukup hingga itu saja, malahan Tuhan sendiri memberikan bimbingan hidup itu dengan menurunkan wahyu, dengan mengirimkan Rasul-rasul untuk memperkenalkan tentang adalah Allah Yang Maha Kuasa. Oleh sebab itu maka petunjuk Allah dapatlah dibagi atas: 1). Naluri, 2). Hasil pendengaran dan penglihatan yang bernama pengalaman, 3). Hasil renungan akal, dan 4). Petunjuk Ilahi dengan agama. Maka dengan petunjuk yang keempat ini cukuplah petunjuk yang diberikan Tuhan, sehingga makhluk yang tadinya tidak masuk hitungan itu, tidak menjadi sebutan karena tidak penting, telah terangkat martabatnya sangat tinggi; menjadi khalifat Allah di muka bumi memikul amanat tanggung jawab itu. Sehingga jadi berartilah permukaan bumi ini, karena manusia ada di dalamnya.
“Maka ada kalanya yang bersyukur dan ada kalanya yang kafir.” (Ujung ayat 3).
Bila manusia sadar akan dirinya niscaya bersyukurlah kepada Tuhan; sebab dari makhluk yang tadinya tidak diingat, tidak jadi sebutan, dia telah ada dalam dunia. Dari segumpal air kental laksana kanji dia telah lahir jadi manusia. Diberi alat penghubung antara dia dengan alam, yaitu pendengaran dan penglihatan. Diberi akal, diberi fikiran dan diberi budi dan pekerti. Menjadilah dia apa yang di zaman modern sekarang ini disebut “manusia-budaya”. Tetapi niscaya ada pula manusia yang tidak ingat akan anugerah Tuhan itu. Disediakan segala-galanya buat dia, sebagaimana tersebut di dalam surat-ul-Baqarah ayat 29:
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا.
“Dialah yang telah menciptakan untuk kamu apapun yang ada di bumi ini semuanya.”
Diterimanya nikmat tetapi tidak disyukurinya, dimakannya pemberian namun dia tidak berterima kasih. Pemberian-pemberian Tuhan disalah gunakannya. Memang ada manusia yang suka melupakan jasa itu. Sebab itu di ujung ayat dikatakan bahwa orang yang semacam itu kufur, namanya. Dalam kata biasa disebut “Orang yang selalu melupakan jasa.”
Orang yang seperti itu biasanya bukanlah dia berjasa dalam dunia ini. Martabatnya jatuh, hanya sehingga jadi “homo-sapiens”, binatang yang berfikir. Mereka tidak turut membina dan membangun di muka bumi ini.
Tetapi manusia yang bersyukur tadi itulah manusia yang memenuhi tugas sebagai insan. Dia menginsafi guna apa dia hidup di dunia ini, bahwa dia diciptakan Tuhan adalah dengan karena tujuan tertentu. Penciptaannya adalah dalam linkungan satu bundaran yang dimulai dari lahir, diadakan perhentian di waktu mati, untuk meneruskan lagi sesudah mati kepada hidup akhirat. Dunia dilalui bukanlah menempuh jalan yang datar bertabur kembang saja, melainkan pasti sanggup dan tahan menghadapi berbagai ujian. Dengan ujian diuji di antara emas urai dengan loyang tembaga. Seluruh hidup ini dilalui untuk menempuh jalan. Tanda lulus akan dirasakan kelak. Maka kalau setengah orang memandang bahwa hidup ini hanya lahwun wa la‘ibun, main-main dan sanda gurau, seorang mu’min memandang hidup ialah buat Iman dan ‘Amal yang shalih.