Surah al-Insan 76 ~ Tafsir al-Azhar (2/9)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-Insan 76 ~ Tafsir al-Azhar

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang

 

هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِيْنٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُوْرًا. إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيْهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيْعًا بَصِيْرًا. إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيْلَ إِمَّا شَاكِرًا وَ إِمَّا كَفُوْرًا.

076:1. Sudahkah datang kepada manusia, suatu waktu daripada masa, yang dia di waktu itu belum merupakan sesuatu yang jadi sebutan?
076:2. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia daripada setitik mani yang bercampur, lalu Kami uji dia; Maka Kami jadikanlah dia mendengar, lagi melihat.
076:3. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan; adakalanya yang bersyukur dan adakalanya yang kafir.

DARI TIDAK PENTING MENJADI PENTING

Sudahkah datang kepada manusia, suatu waktu daripada masa, yang dia di waktu itu belum merupakan sesuatu yang jadi sebutan?” (Ayat: 1). Ayat ini berupa pertanyaan. Tetapi pertanyaan yang meminta perhatian. Beribu tahun lamanya manusia menjadi persoalan. Sebab di antara beberapa banyak makhluk Ilahi di dunia ini, manusia paling istimewa. Dia mempunyai akal, dia mempunyai ingatan dan kenangan dan dia mempunyai gagasan tentang sesuatu yang hendak dikerjakan. Tetapi sudahkah datang masanya bagi manusia buat mengingati suatu zaman, yang di zaman itu manusia belum berarti apa-apa? Atau belum dianggap penting?

Beberapa ahli tafsir, di antaranya al-Qurthubī dan termasuk juga ar-Rāzī sendiri menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan manusia di sini ialah Ādam sendiri; sebab Sufyān Tsaurī dan ‘Ikrimah dan as-Suddī. Dikatakan bahwa “suatu waktu daripada masa” yang manusia belum jadi sebutan itu ialah tatkala empat puluh tahun lamanya tubuh Ādam sudah dibentuk daripada tanah, masih tergelimpang belum bernyawa di antara Makkah dengan Thā’if. Tuhan menjadikannya daripada tanah, lalu ditelentangkan selama empat puluh tahun, kemudian ditempa dia menjadi tanah liat yang kering (hama’in masnūn), empat puluh tahun pula. Lalu diteruskan menjadi kering sebagai tembingkar (shalshālin) empat puluh tahun pula; barulah disempurnakan kejadiannya sesudah seratus duapuluh tahun. Waktu itu barulah ditiupkan pada dirinya ROH!

Tetapi setengah pemberi tafsir membantah penentuan bilangan tahun itu. Katanya HĪNUN MIN-AD-DAHRI.

حِيْنٌ مِنَ الدَّهْرِ

Artinya: ialah suatu waktu yang tidak diketahui berapa lamanya.

Belum merupakan sesuatu yang menjadi sebutan”, maksudnya kata mereka – ialah baru semata-mata bertubuh dan berupa, tetapi masih tanah, tidak disebut dan tidak diingat, tidak ada yang mengetahui siapa namanya dan guna apa dia diperbuat.” Lalu Yaḥyā bin Salām mengatakan: “Tidak menjadi sebutan dan ingatan dalam kalangan makhluk-makhluk Allah, meskipun sudah diketahui dan disebut di sisi Allah sendiri.” Kemudianlah baru diketahui manusia dalam kalangan malaikat karena Tuhan menyatakan hendak mengadakan khalīfah, dan tersebut pula bahwa Allah menawarkan amanat kepada langit dan bumi dan gunung-gunung. Semua keberatan memikul amanat itu, lalu dipikul oleh manusia. Waktu itulah baru manusia terkenal dan jadi sebutan.

Kemudian Qatādah menafsirkan pula, bahwa pada mulanya manusia belum menjadi sebutan, karena manusia dijadikan kemudian sekali. Yang lebih dahulu dijadikan ialah makhluk yang lain, bahkan binatang-binatang. Manusia dijadikan kemudian.”

Begitulah cara menafsirkan pada zaman lama, delapan atau sembilan ratus tahun yang lalu. Ketika pengetahuan manusia terbatas hingga demikian. Tetapi setelah zaman baru sekarang ini, abad kedua puluh tafsir itu sudah lain lagi. Sayyid Quthub dalam tafsirnya yang terkenal “Fī Zhilāl-il-Qur’ān” (Di bawah lindungan al-Qur’ān) telah menulis lain. Beliau berkata:

“Banyak hal yang terkenang oleh kita ketika merenungkan pertanyaan ini. Satu di antaranya membawa jiwa kita tertuju kepada masa sebelum insan terjadi, dan alam dalam permulaan wujud. Dikenangkan masa bahwa yang maujud ini terbentang, namun manusia belum ada waktu itu. Bagaimanakah keadaan alam di masa itu? Manusia ini kadang-kadang sombong dan terlalu menilai diri terlalu tinggi, sehingga dia lupa bahwa yang wujud ini seluruhnya telah ada juga sebelum manusia ada, berlama masa berjuta bilangan tahun. Mungkin alam di waktu itu tidak ada mengira-ngira akan ada suatu makhluk yang bernama insan, sampai muncul makhluk ini ke muka bumi, dari kehendak Allah Maha Kuasa.

Sekali lagi pertanyaanpun tertuju kepada masa tiba-tiba munculnya yang bernama manusia itu; berbagai macamlah penggambaran tentang timbulnya manusia, bagaimana cara timbulnya, yang pada hakikatnya sejati hanya Allah Yang Maha Tahu; bagaimana pembawaan makhluk baru ini ketengah-tengah alam, yang telah ditentukan duduknya oleh Tuhan sebelum dia ada.

Kemudian pindahlah pertanyaan kepada yang satu lagi, yaitu pertanyaan tentang Qudrat Iradat dari Yang Maha Kuasa, Pencipta itu, yang telah membawa makhluk baru ini ke tengah medan wujud; bagaimana Tuhan menyediakannya, bagaimana Tuhan mempersambungkan hidupnya itu dengan putaran wujud, supaya dapat dia menyesuaikan diri dengan keadaan keliling. Banyak lagi pertanyaan lain dan renungan lain, tentang sampai adanya manusia dalam “alam ini”.

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setitik nuthfah yang bercampur.” (Pangkal ayat 2). Artinya, bahwa manusia yang tadinya tiada terkenal itu, yang tiada jadi sebutan di dalam bumi yang begitu luas, yang sekarang telah muncul sebagai makhluk yang hidup, asal-usul kejadiannya ialah daripada nuthfah, yaitu titikan mani, atau khama. Sebagaimana yang telah diterangkan juga pada ujung Sūrat-ul-Qiyāmah.” Sehingga ujung surat Sūrat-ul-Qiyāmah dengan sendirinya sambut bersambut dengan pangkal dari Sūrat-ul-Insān, yang satu memperjelas yang lain. Nuthfah itu adalah setitik atau segumpal air mani yang telah bercampur. Yaitu bercampurnya bibit halus laksana cacing dari mani laki-laki dengan bibit halus laksana telor dari mani si perempuan. Bila kedua aliran mani telah bertemu, maka lekatlah ujung bibit dari laki-laki itu pada telor kecil bibit si perempuan. Bilamana telah lekat, mereka tidak berpisah lagi. Mereka telah dikumpulkan, dicampurkan jadi satu menjadi nuthfah, dan mulailah dia dieramkan di dalam rahim (peranakan) si perempuan.

Dari semula lagi sudah ada ketentuan bahwa ini adalah bibit manusia! Walaupun misalnya dicampurkan bibit mani selain dari manusia ke dalam mani itu, kalau bukan pasangannya, tidaklah dia akan menjadi. Teropong manusia, teleskop yang paling halus hanya akan menampak bintil kecil sangat, kecil sekali. Tidaklah ada berbeda pada pandangan mata misalnya di antara sebuah bibit manusia dengan sebuah bibit macan atau kera! Tetapi sejak semula itu telah ada pembahagiannya. Mani seekor kera betina tidaklah akan dapat dipersatukan, atau di-nuthfah-kan dengan mani seorang manusia laki-laki dan sebaliknya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *