Hati Senang

Surah al-Infithar 82 ~ Tafsir Syaikh Fadhlallah (1/3)

Tafsir Juz ‘Amma
(Judul Asli: Beams of Illumination)
Oleh: Syaikh Fadhlallah Haeri

SURAH AL-INFITHĀR

“TERBELAH”

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan Nama Allah, Yang Maha Pengasih, Lagi Maha Penyayang

 

Tema dan pola surah ini mirip dengan surah at-Takwīr, tetapi maknanya berbeda. Surah ini memperingatkan kita bahwa manifestasi penciptaan akan berakhir dan mendeskripsikan bagaimana kejadian tersebut berlangsung dengan cara yang secara nalar dapat kita pahami. Nalar kita memahami kenyataan bahwa segala sesuatu yang diciptakan berasal dari zat padat yang memuai, kemudian rusak dan selanjutnya terjadi pembaharuan. Setiap perubahan tersebut tidak ada yang menjelma ke dalam bentuk atau pola yang tidak berakhir. ‘Akhir’ ini senantiasa berada di sepanjang bentangan waktu, dan objek kajian kita adalah pengetahuan mutlak yang tidak berubah dengan berjalannya waktu, yakni pengetahuan yang sah dan benar selamanya.

Surah ini dimulai dengan deskripsi tentang alam semesta dan lelangit, kemudian berlanjut ke tingkat duniawi—kuburan—yang merupakan tujuan akhir dari wujud sadar. Bahkan realitas yang menurut perkiraan kita sebagai wujud akhir pun akan hancur.

إِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْ

  1. Tatkala langit terbelah

Ayat ini berbicara tentang akhir waktu dan awal kehidupan berikutnya. Infatharat berasal dari kata kerja yang artinya ‘retak, koyak atau pecah berantakan’. Fithrah, dari akar kata yang sama, berarti ‘sifat bawaan lahir, naluri’. Kata fitrah secara inheren mengingatkan pada gagasan tentang ‘asal-mula’, dan, sebagaimana nampak dari bentuk-bentuk katanya yang sekaitan, menunjukkan bahwa asal-mula sesuatu bersumber dari retakan. Al-Qur’an mengatakan bahwa bumi berbentuk telur, dan ketika air muncul maka bumi pun retak sehingga memudahkan terjadinya pertumbuhan sesuatu dari dalam bumi. Berdasarkan apa yang nampak dan secara simbolis, segala sesuatu berasal dari satu sumber awal yang mendadak masuk ke dalam arus penciptaan yang bersaluran banyak.

Lelangit dipersatukan oleh kekuatan-kekuatan berbeda yang menjaga agar bintang-bintang dan planet-planet tetap berada dalam orbitnya yang teratur. Jika sistem tersebut retak, maka tatanan ini akan rusak. Implikasinya di sini adalah bahwa bila sistem eksistensi di alam ini—baik untuk kita maupun untuk makhluk lain, seperti jin—sudah mencapai suatu titik yang merupakan akhir perkembangan, maka sistem tersebut akan mulai runtuh. Setiap sistem yang ada bersifat terbatas kecuali yang hakiki, yakni Allah yang meliputi semua sistem. Ia Tidak Berbatas dan karena alasan inilah maka muncul batas-batas yang penuh makna. Setiap batasan berasal dari Yang Tak Berbatas, dan karena berasal dari Yang Tak Berbatas, maka ia mesti terbatas. Waktu dapat dipahami hanya karena ada ketidakberwaktuan, yang maknanya sudah terkandung dalam diri manusia.

وَ إِذَا الْكَوَاكِبُ انْتَثَرَتْ

  1. Dan tatkala bintang-bintang bertebaran.

Beginilah yang terjadi sebagai akibat dari ayat pertama. Intatsarat artinya ‘bertaburan secara serampangan’. Kawākib adalah ‘planet-planet’. Menurut pendapat kita, ketika lelangit retak, planet-planet yang terdekat kepada kita akan bertaburan. Kekuatan yang dengan kuat menjaganya agar tetap dalam orbit akan hancur dengan sendirinya.

Kawkaba, akar kata yang merupakan asal kata kawākib, artinya ‘bersinar cemerlang’, terutama digunakan untuk menggambarkan kilau besi yang mengkilat. Jika suatu ‘hari’ digambarkan sebagai kawkabi, berarti hari tersebut memiliki arti penting atau kesulitan tertentu. Dalam hal ini, menurut pendapat kita, kata tersebut menunjuk kepada berbagai unsur di alam raya yang keberadaannya menonjol dalam sistem tata surya, dan mereka bersinar dengan kecemerlangan yang lebih besar dibanding sinar benda langit lainnya.

Intatsara yang berarti ‘bertaburan atau berhamburan, bertebaran’, menunjukkan bahwa pertaburan ini terjadi secara serampangan meskipun mengikuti pola tertentu. Gerakannya acak, namun tidak tanpa makna, dan bersifat abstrak. Kata intatsarat menimbulkan kesan menaburkan benih di atas tanah. Dari sudut pandang si penabur, si pelaku, maka penaburan ini mengikuti pola tertentu, yakni pola yang ditentukan oleh beberapa faktor seperti ukuran tangan dan gerakan serta iramanya yang normal, meskipun dari sudut pandang pengamat atau peneliti penaburan tersebut nampak serampangan. Tindakan menebar itu sendiri adalah menaburkan, namun ia mengikuti pola tertentu yang sudah ditetapkan.

وَ إِذَا الْبِحَارُ فُجِّرَتْ

  1. Dan tatkala lautan naik meluap-luap.

Bila kekuatan atau sistem yang menjaga keutuhan alam semesta lenyap, maka terjadilah ledakan. Fujjirat berasal dari fajjara, yang berarti ‘menyebabkan mengalir, membelah, meledak’. Sistem yang ada akan meluap melampaui batas asalnya dan hancur dengan cepat.

Kata kerja fajara merupakan sumber kata yang kaya makna, yang makna-maknanya semua bertalian secara logis, sehingga perlu mendapat perhatian lebih jauh. Fajr (subuh) dihubungkan dengan fajara. Malam, yakni kegelapan yang menyelubungi, dirobek oleh sorotan pertama cahaya pagi, karena itu kata tersebut diartikan ‘fajar sidik’. Infijār adalah ‘ledakan, letusan, atau letupan’. Dalam al-Qur’an, fujūr (kejahatan, imoralitas, kejangakan) biasanya menunjukkan pelanggaran, tindakan kelewat batas, melampaui batas jalan. Bila seseorang dikatakan sebagai seorang fājir maka artinya orang tersebut merosot akhlaknya dan bermoral bejat tak punya malu.

Salah satu makna fajjara yang paling penting dalam al-Qur’an terdapat dalam ayat berikut: Sebuah mata air dari mana hamba-hamba Allah minum, mereka memancarkannya dengan berlimpah (Q.S.76:6). Pengertiannya di sini adalah bahwa mata air itu ada dalam diri kita sendiri. Mata air tersebut, yakni tempat fithrah (sifat yang orisinil), berada di dalam hati manusia, tapi ia harus diletuskan dan dipancarkan. Untuk itu kita harus dapat mencapai mata air itu. Untuk membuka deposit box di sebuah bank saja kita harus berjalan melalui beberapa lorong guna mencapainya. Demikian juga hati: untuk mencapainya, kita harus berjalan melewati semua ruang-ruang menakutkan yang telah kita buat dan kita bangun dalam perjalanan hidup ini.

Ḥasan al-Bashrī, salah seorang murid ‘Alī ibn Abī Thālib, mengatakan bahwa maksud dari ayat ini berkenaan dengan ‘air yang mengering’ karena air tersebut mengalir kembali ke sumber asalnya. Planet-planet yang menahan kita dalam orbit, yang berhubung dengan kita dan paling berpengaruh terhadap kehidupan kita, akan bertebaran. Demikian pula, lautan akan kosong, yang padat akan kembali mencair, dan uap akan kembali hampa. Kita akan melihat segala sesuatu terbalik dan kita pasti akan mengalaminya.

وَ إِذَا الْقُبُوْرُ بُعْثِرَتْ

  1. Dan tatkala kuburan-kuburan dibuka.

Kini keruntuhan dunia semakin dekat. Tempat istirahat terakhir adalah kuburan, yang merupakan tempat kedamaian. Ba‘tsara, akar dari bu‘tsirat, berarti ‘tersebar di sana-sini, terbalik, menjebloskan ke dalam kekacauan’. Ayat ini menggambarkan akibat lain dari terjadinya gangguan, antara lain, dalam daya gravitasi dan sentrifugal yang mempersatukan dunia. Pemakaman akan menyembul dan kuburan-kuburan akan terbuka. Apa pun yang disembunyikan dan dirahasiakan oleh setiap jiwa akan tersingkap melalui pembukaan ini.

عَلِمَتْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ وَ أَخَّرَتْ

  1. Setiap jiwa akan mengetahui apa yang ditempatkan di depan dan apa yang dibiarkan di belakang.

Nafs di sini berarti ‘roh’, atau ‘jiwa’. Akar katanya dihubungkan dengan tanaffasa, yang merupakan kata kerja ‘bernafas’. Nafs adalah entitas kompleks yang meliputi sebab sejati eksistensinya, yakni roh. Kata rūḥ dalam bahasa ‘Arab berkaitan dengan ‘angin’, karena sifatnya yang bebas mengalir. Nafs juga memiliki semua ciri buatan yang dicangkokkan kepada roh sebagai akibat dari perwujudannya. Kata nafs dan rūḥ kadang dapat dipertukarkan. Hubungan mereka bagaikan matahari kepada bumi: diri disadarkan oleh roh.

Bila semua tiang lahiriah telah roboh, seperti pada Hari Kebangkitan, setiap diri akan menjalani realitasnya, dan realitas ini dibentuk oleh amal-amalnya dan oleh apa yang telah dipeliharanya sebelum dunia wujud lahiriah runtuh.

Qaddamat, di sini diterjemahkan sebagai ‘[ia] menempatkan di depan’, kata kerja yang akarnya adalah qadam, artinya ‘kaki’, yakni, apa yang kita letakkan di hadapan kita untuk bergerak ke depan menuju sesuatu yang baru. Kita hanya mengupayakan apa yang sesuai dengan tujuan kita. Kalau tujuan kita adalah menyampaikan dan memperoleh pengetahuan tentang realitas, maka semua kekuatan di sekitar kita akan membantu.

Ayat ini mengatakan bahwa bila semua peristiwa tersebut tadi terjadi, maka niat seseorang akan terlihat jelas oleh dirinya sendiri, meskipun sebelumnya mungkin ia nyaris tidak memikirkan alasan untuk melakukan sesuatu perbuatan. Itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa lebih baik sama sekali tidak berbuat sebelum niat kita jelas, karena perbuatan hanya sesuai dengan niat yang mendahuluinya, dan kehidupan kita akan diuji. Jika kita memulai dengan hal nyata, maka kita akan membuat kemajuan. Umpamanya, menafkahi keluarga adalah suatu perbuatan yang patut dipuji. Karena bertindak dengan niat yang baik maka seseorang akan mencapai suatu titik di mana ia mulai haus akan pengetahuan, dan hal ini membawa dia kepada pengingatan akan Allah (zikir), yang pada gilirannya menggiring kepada kesunyian batin. Jika kita berbuat dengan ketulusan hati, maka keadaan zikir akan dicapai bagaimana pun juga, karena, seperti dikata-kan dalam al-Qur’an, “Sesungguhnya Ia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang!’

Akhkhara artinya ‘menunda, menangguhkan, menghalangi, mengembalikan’, secara tidak langsung menunjuk kepada apa yang telah disembunyikan. Kita adalah hasil dari apa yang telah kita tinggalkan, masa lalu kita. Sebagai individu, sebagai manusia, kita adalah jumlah dari perbuatan dan pemikiran masa lalu kita, yang disembunyikan, ditangguhkan, atau yang diungkapkan. Yang berpotensi terjadi di masa mendatang adalah tujuan kita dan yang sebenarnya akan terjadi adalah perwujudan tujuan itu. Kedua unsur ini saling berinteraksi satu sama lain dan juga dengan lingkungan luar, dan hasil dari interaksi-interaksi ini adalah masa akan datang. Jika manusia mengetahui apa yang ada di belakang dan di depan dirinya, maka ia sudah menguasai seluruh cakrawala dan berhubungan dengan cakrawala tersebut.

Makna ayat ini adalah bahwa pada hari itu setiap nafs akan benar-benar menampakkan diri, warna, nada, dan iramanya. Roh berawal sebagai kekuatan sejati, dan substansinya terbuat dari suatu unsur yang dengan itu setiap roh lain dapat berhubungan. Oleh karena itu setiap roh akan melihat roh lainnya dengan jelas, tidak seperti sekarang di mana kita dapat menyembunyikan bagian-bagian dari diri kita yang tidak ingin diketahui orang lain. Oleh karena itu, semakin terbuka kita di sini dan saat ini, dan semakin siap kita hidup di sini dan saat ini, maka kita pun semakin siap untuk menghadapi yang akan terjadi kelak. Kita harus memperhatikan cara hidup kita, sepenuhnya dan secara total. Jika seseorang sungguh-sungguh ingin menerapkan hal ini, ia akan mencapai kesimpulan bahwa cara mewujudkannya adalah dengan membersihkan setiap niat dan merangkaikannya dengan perbuatan yang benar dan dengan sungguh-sungguh bersikap terbuka, tidak menutup-nutupi, dan siap ditanya.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.