Ruh ini merupakan karunia Allah yang terbesar bagi manusia. Dengan adanya ruh inilah ia menjadi “insān”, dan dengan sebutan inilah Allah berfirman kepadanya: “Yā ayyuh-al-insān “Hai manusia.….”. Dengan itu pula Allah mencelanya dengan celaan yang memalukan: “Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah?” Suatu celaan langsung dari Allah kepada manusia. Allah s.w.t. memanggilnya, lalu ia berhenti di hadapan-Nya dengan sikap tak acuh, berbuat dosa, teperdaya, tidak menghormati keagungan Allah, dan tidak beradab yang baik terhadap-Nya. Kemudian Allah menghadapinya dengan mengingatkannya kepada ni‘mat yang sangat besar, tetapi kemudian ia suka mengabaikan kewajiban, tidak sopan, dan teperdaya.
Ini adalah celaan yang mencairkan. Ketika manusia membayangkan hakikat sumber kejadiannya, hakikat siapa yang menginformasikan ini, dan hakikat sikapnya di hadapan Tuhan yang menyerunya dengan sebutan itu, maka kemudian Allah mencelanya dengan celaan seperti ini:
“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah? Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang. Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.”.
Kemudian diungkapkan sebab-sebab keteperdayaan dan kedurhakaan manusia, yaitu karena mendustakan hari perhitungan. Kemudian ditetapkanlah hakikat adanya hisab atau perhitungan dan berbedanya pembalasan yang bakal diterima manusia, yang semuanya dikemukakan dalam bentuk penegasan yang intensitas:
كَلَّا بَلْ تُكَذِّبُوْنَ بِالدِّيْنِ. وَ إِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِيْنَ. كِرَامًا كَاتِبِيْنَ. يَعْلَمُوْنَ مَا تَفْعَلُوْنَ. إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِيْ نَعِيْمٍ. وَ إِنَّ الْفُجَّارَ لَفِيْ جَحِيْمٍ. يَصْلَوْنَهَا يَوْمَ الدِّيْنِ. وَ مَا هُمْ عَنْهَا بِغَائِبِيْنَ.
“Bukan hanya durhaka saja, bahkan kamu mendustakan hari pembalasan. Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan. Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh keni‘matan. Sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka. Mereka masuk ke dalamnya pada hari pembalasan. Mereka sekali-kali tidak dapat keluar dari neraka itu. (al-Infithār: 9-16)
Lafal (كَلَّا) adalah untuk membentak, menakut-nakuti, dan mencegah dari sesuatu yang mereka berada padanya. Sedangkan lafal (بَلْ) merupakan kata untuk menunjukkan penyimpangan dari pembicaraan sebelumnya dan untuk memasukkan nuansa baru dalam pembicaraan itu, nuansa penjelasan, nuansa penetapan, dan nuansa penegasan, yang berbeda dengan celaan, peringatan, dan pelukisan di muka.
“Bukan hanya durhaka saja, bahkan kamu mendustakan hari pembalasan….”
Kamu mendustakan perhitungan, hukuman, dan pembalasan. Inilah yang menyebabkan keteperdayaan dan kesombronoan. Karena itu, tidak mungkin hati yang mendustakan hari perhitungan dan pembalasan dapat istiqāmah terhadap petunjuk, kebaikan, dan ketaatan.
Akan tetapi, kadang-kadang ada hati yang meningkat dan lembut. Lalu, ia taat kepada Tuhannya dan menyembah-Nya dengan penuh kecintaan, bukan karena takut terhadap ‘adzāb-Nya dan bukan karena mengharapkan pahala-Nya. Namun, ia berbuat begitu hanya karena beriman kepada hari pembalasan dan takut kepadanya. Ia juga selalu membayangkan untuk bertemu dengan Tuhannya yang ia cintai dan rindukan. Adapun ketika manusia benar-benar mendustakan hari pembalasan, maka tidak mungkin ia bersikap sopan dan taat karena tidak ada cahaya baginya. Hati semacam ini tidak mungkin hidup dan nuraninya tidak mungkin bangkit.
Kamu dustakan hari pembalasan, padahal kamu akan datang ke sana. Semua yang pernah kamu kerjakan akan dihitung dan dipertanggungjawabkan. Tidak ada sesuatu pun yang terabaikan dan terlupakan: “Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Para pengawas itu adalah ruh-ruh yang ditugaskan untuk mengawasi manusia. Yaitu, malaikat-malaikat yang selalu menyertai dan mengawasi mereka, serta menghitung segala sesuatu yang timbul dari manusia. Kita tidak mengetahui bagaimana semua ini terjadi, dan kita juga tidak ditugasi untuk mengetahui bagaimana caranya. Karena Allah mengetahui bahwa kita dibekali dengan instrumen untuk mengetahuinya. Juga tidak ada kebaikannya bagi kita untuk mengetahuinya. Karena, hal itu tidak termasuk dalam tugas kita dan bukan tujuan keberadaan kita.
Dengan demikian, tidak penting bagi kita untuk tenggelam di dalam membicarakan sesuatu yang di luar ukuran yang disingkapkan Allah kepada kita dari urusan ghaib ini. Cukuplah bagi hati kita sebagai manusia untuk merasakan bahwa kita tidak dibiarkan sia-sia tanpa tugas dan kewajiban serta pertanggungjawaban. Kita rasakan dan sadari juga bahwa bagi kita ada malaikat-malaikat pengawas yang selalu menulis ‘amal perbuatan kita dan mengetahui segala sesuatu yang kita kerjakan. Sehingga, hati kita selalu ingat dan sadar serta bersikap sopan. Nah, inilah tujuan yang dimaksudkan!
Karena nuansa surah ini adalah nuansa kemurahan dan kemuliaan, maka disebutkanlah di sini sifat-sifat para malaikat pengawas itu bahwa mereka adalah “mulia (di sisi Allah)”. Tujuan penyebutan ini adalah untuk menimbulkan perasaan malu di dalam hati dan bersikap baik di hadapan malaikat-malaikat yang mulia itu. Karena, tabiat manusia ialah merasa sungkan dan malu serta merendah dan menghina diri di hadapan orang-orang yang terhormat, baik dengan perkataan, gerakan, maupun perbuatan. Nah, bagaimanakah ia ketika merasakan dan membayangkan bahwa di dalam semua keadaannya ia berada di hadapan malaikat-malaikat pengawas “yang mulia”, yang sudah tentu tidak pantas baginya mempertontonkan perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan kecuali yang mulia.
Al-Qur’ān hendak menumbuhkan di dalam hati manusia perasaan yang paling luhur di dalam menetapkan hakikat ini. Ya‘ni, dengan memberikan lukisan yang realitis dan hidup serta dekat dengan pemahaman manusia.
Selanjutnya, al-Qur’ān menetapkan tempat kembalinya orang-orang yang berbakti dan orang-orang yang durhaka sesudah hisab ini, sesuai dengan catatan para malaikat mulia yang senantiasa menulis perbuatan-perbuatan mereka:
“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh keni‘matan. Sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka. Mereka masuk ke dalamnya pada hari pembalasan. Mereka sekali-kali tidak dapat keluar dari neraka itu. (al-Infithār: 13-16)
Itulah tempat kembali yang sudah dipastikan dan akibat yang sudah ditetapkan, bahwa orang-orang yang banyak berbakti akan sampai ke surga yang penuh keni‘matan, sedang orang-orang yang durhaka akan sampai ke neraka. Al-barr “orang yang berbakti” ialah orang yang suka melakukan amalan-amalan kebajikan (al-birr) sehingga menjadi kebiasaan dan sifat yang lekat baginya, dan amalan al-birr itu ialah semua kebaikan secara mutlak. Sifat ini bayangannya selaras benar dengan kemuliaan dan kemanusiaan, sebagaimana sifat kebalikannya ya‘ni al-fujjār “orang-orang yang durhaka” adalah tidak beradab dan suka bergelimang dalam melakukan dosa dan kemaskiatan. Sehingga, jaḥīm “neraka” itu serasi benar bagi orang-orang yang durhaka!
Kemudian keadaan mereka bertambah jelas dengan keterangan ayat berikut: “….Mereka masuk ke dalamnya pada hari pembalasan….”
Yang kemudian dipertegas lagi dengan ayat: “Mereka sekali-kali tidak dapat keluar dari neraka itu….”, serta tidak dapat lari dan lepas darinya setelah masuk ke dalamnya, walaupun hingga suatu waktu saja.
Maka, sempurnalah sudah penggunaan gaya bahasa pertentangan di dalam menyebutkan antara orang-orang yang banyak berbakti dan orang-orang yang durhaka, antara keni‘matan dan neraka Jaḥīm. Ditambah dengan penjelasan dan penetapan keadaan orang-orang yang akan masuk neraka itu.
Karena hari pembalasan ini menjadi titik sentral pendustaan mereka, maka dibicarakan kembalilah hari ini sesudah dikemukakannya peristiwa yang terjadi sesudahnya. Dibicarakan kembali untuk menetapkan hakikat keberadaannya dan untuk menunjukkan betapa besar dan menakutkannya hari itu yang disebutkannya dengan menunjukkan ketidaktahuan mereka. Disebutkan pula apa yang bakal menimpa diri manusia, yaitu kelemahan total dan keterlepasan sama sekali dari pertolongan seseorang dan dari melakukan tindakan saling menolong. Juga ditetapkan kesendirian Allah terhadap semua urusan pada hari yang amat sulit itu.
وَ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّيْنِ. ثُمَّ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّيْنِ. يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِّنَفْسٍ شَيْئًا وَ الْأَمْرُ يَوْمَئِذٍ للهِ
“Tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? (Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikit pun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah. (al-Infithār: 17-19)
Pertanyaan dengan menyebutkan ketidaktahuan yang ditanya itu biasa terjadi dalam al-Qur’ān. Gaya penuturan seperti ini akan menimbulkan kesan dalam hati bahwa urusan yang ditanyakan itu sangat besar dan melebihi jangkauan pengetahuan manusia yang terbatas, melebihi apa yang dibayangkan, melampaui kebiasaan. Diulangnya pertanyaan itu semakin menambah besarnya urusan dan peristiwa tersebut.
Setelah itu, datanglah penjelasan yang selaras dengan lukisan tersebut:
“….(Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikit pun untuk menolong orang lain….”
Manusia berada dalam kelemahan total dan ketidakberdayaan secara totalitas. Kesedihan, kesusahan, dan kesibukan manusia memikirkan dirinya sendiri menjadikannya lupa terhadap orang-orang yang pernah dikenalnya selama ini.
“Segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah. (al-Infithār: 17-19)
Hanya Allah Sendiri yang mengurusnya. Sebetulnya segala urusan di dunia dan akhirat hanyalah Allah Sendiri yang menguasainya. Akan tetapi, pada hari pembalasan, hakikat ini tampak begitu jelas, yang kadang-kadang di dunia dilupakan oleh orang-orang yang lupa dan teperdaya. Maka, pada hari itu tidak ada lagi kesamaran dan ketersembunyian dari orang yang tertipu dan terfitnah.
Sungguh serasi penyebutan peristiwa besar, diam, menyedihkan, dan agung pada ujung surah ini dengan peristiwa besar yang bergerak, bergejolak, dan menggoncangkan yang disebutkan pada permulaan surah. Terhimpitlah perasaan di antara dua peristiwa besar itu, yang kedua-duanya sangat membingungkan, mengerikan, dan menakutkan. Di antara keduanya terdapat celaan yang tinggi, memalukan, dan mencairkan perasaan.