Surah al-Ikhlash 112 ~ Tafsir Nur-ul-Qur’an (Bagian 2)

TAFSIR NUR-UL-QUR’AN
(Diterjemahkan dari: Nur-ul-Qur’an: An Enlightening Commentary into the Light of the Holy Qur’an).
Oleh: Allamah Kamal Faqih Imani
Penerjemah Inggris: Sayyid Abbas Shadr Amili
Penerjemah Indonesia: Rahadian M.S.
Penerbit: Penerbit al-Huda

Rangkaian Pos: Surah al-Ikhlash 112 ~ Tafsir Nur-ul-Qur'an

TAFSIR

 

Ayat pertama surah ini merupakan satu jawaban atas pertanyaan yang diajukan berulang-ulang oleh banyak orang dari pelbagai kelompok atau suku-suku yang menanyakan perihal sifat-sifat dan identitas Allah. Jawaban itu ialah: “Katakanlah: “Dia-lah Allah, Tuhan Yang Maha Esa

Ayat itu dimulai dengan istilah ‘Arab huwa, Dia, yakni kata ganti orang ketiga tunggal dan merujuk pada sesuatu yang diketahui seluruhnya, tetapi bersifat ambigu dan tidak diidentifikasi dengan apapun, sebagai lawan dari istilah kata ganti orang pertama tunggal, yakni “aku” dalam referensi yang umum digunakan. Sesungguhnya hal ini merupakan sebuah kode perujukan pada fakta, bahwa Wujud-Nya Yang Suci tersembunyi dan tak satu pun pemikiran atau imajinasi manusia yang sanggup menyentuh-Nya, sekalipun tanda-tanda Eksistensi-Nya telah memenuhi dunia secara total, lebih jelas dan bening daripada apapun. Fakta ini terkandung dalam Surah Fushshilat: 53: “Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di ufuk (dunia), dan pada diri mereka sendiri hingga menjadi jelas bagi mereka bahwa Dia adalah Yang Maha Benar….

Dengan demikian, ayat ini menjelaskan fakta yang tidak diketahui itu dengan mengatakan bahwa: “Allah itu Maha Esa.”

Sementara, kata qul di sini berarti “ungkapkanlah kebenaran ini dan katakan kepada yang lainnya.”

Sebuah hadits dari Imām Muḥammad bin ‘Alī al-Bāqir a.s. menyatakan, setelah menyampaikan pernyataan tauhid ini ia berkata: “Kaum musyrik dan penyembah berhala menunjuk berhala-berhala mereka dengan menggunakan kata ganti demonstratif dan berkata: “Wahai Muḥammad, inilah tuhan-tuhan kami yang bisa dilihat. Engkau juga harus menjelaskan Tuhanmu sehingga kami bisa melihat dan memahami.” Kemudian Allah menurunkan ayat-ayat ini: “Katakanlah: “Dialah, Allah, Tuhan Yang Maha Esa”.” Huruf h dalam kata huwa menunjukkan pembenaran akan hal ini dan menjadikannya sebagai hal penting. Dan huruf w adalah kata ganti orang ketiga yang menunjukkan pengertian bahwa ia tersembunyi dari pandangan mata dan ia di luar batas sentuhan indrawi.” (81).

Dalam hadits lain, Amīr-ul-Mu’minīn ‘Alī bin Abī Thālib a.s. berkata: “Pada malam menjelang Perang Badar aku melihat Nabi Khidhir dalam mimpiku. Aku meminta kepadanya sesuatu yang dengannya aku akan menaklukkan musuh-musuh. Ia berkata kepadaku: “Katakanlah: yā hū yā man lā huwa illā hū (Wahai Dia, wahai Dzāt yang tiada dia selain Dia). Esok paginya, aku menyampaikan apa yang aku alami semalam kepada Rasūlullāh s.a.w. dan beliau berkata: “Wahai ‘Alī, engkau telah diajari nama teragung Allah.” Itu sebabnya, aku mengulang-ulang membaca kalimat ini dalam Perang Badar.” (92)

‘Ammār bin Yāsir mendengar bahwa ‘Alī bin Abī Thālib a.s. membaca lafazh tadi sebagai kebiasaan. Ketika ‘Ammār turut berjihad dalam Perang Shiffīn, ia bertanya kepadanya gerangan apakah itu. ‘Alī a.s. “Itulah nama teragung (Allah) (al-ism-ul-a‘zham) dan tiang tauhid.” (103)

Allah adalah kata ganti nama bagi Tuhan, dan makna dalam ucapan Imām ‘Alī a.s. adalah bahwa dalam kata tersebut terkumpul semua sifat karunia dan keagungan-Nya. Itulah sebabnya ungkapan tersebut dinamakan “nama-nama teragung”.

Kata atau nama yang pantas ini tidak digunakan kepada sesuatu selain Tuhan, sementara nama-nama Allah lainnya biasanya merujuk pada salah satu sifat keindahan dan keagungan-Nya yang acap kali juga digunakan untuk selain Diri-Nya.

Akar dari kata “Allah” ini disebutkan secara berbeda-beda yakni: ilāhat, alāhah, alilāhah, ilāh, walih. Meskipun demikian, kata “Allah” – darimanapun akar katanya – telah digunakan sebagai sebuat kata benda yang cocok yang diterapkan kepada “Wujud yang mesti-ada dengan Diri-Nya sendiri yang mengandungi semua sifat kesempurnaan; suatu nama yang cocok yang menyatakan tuhan hakiki, memuat seluruh keutamaan, nama-nama suci; suatu kesatuan yang memiliki semua intivasi benda-benda dan segala sesuatu yang ada.”

Nama sakral ini disebutkan dalam al-Qur’ān suci hampir seribu kali, yakni lebih banyak daripada nama lain dari Nama Suci-Nya. Nama ini memberi cahaya dalam hati kita, menjadikan kita teguh dan tenang, serta mengantarkan kita pada sebuah dunia yang penuh kesucian dan kedamaian.

Kata aḥad adalah turunan dari kata waḥdah. Sebagian orang percaya bahwa aḥad dan wāḥid punya arti yang sama dalam banyak kasus. Dalam hal ini, aḥad bisa saling dipertukarkan dengan wāḥid ketika kata ini digunakan sebagai julukan yang diterapkan pada Allah. Sebab al-aḥad, sebagai suatu julukan, hanya diterapkan kepada Allah saja, dan menandakan “Yang Maha Esa”; Ruh; Dia yang senantiasa sendiri dan hanya satu atau Tak bisa dibagi-bagi; atau Dia yang tak punya kedua (untuk berbagi) dalam ketuhanan-Nya, ataupun dalam Dzāt-Nya, ataupun dalam Sifat-sifatNya.

Siapapun bisa mengatakan huw-al-wāḥid dan huw-al-aḥad dan, dalam pola sejenis, aḥad tanpa menggunakan artikel (al) digunakan sebagai julukan, khususnya berkaitan dengan Allah. Ia bisa saling dipertukarkan, dalam hal ini (namun tidak dalam hal-hal lain), dengan wāḥid. Dalam ayat ini aḥad merupakan suatu pengganti bagi Allah, persis seperti suatu kata benda tak tentu yang kadang-kadang menjadi pengganti untuk sebuah kata benda tentu.

Akan tetapi, sebagian penafsir lain berpendapat, bahwa ada perbedaan luas antara kata ‘Arab ini aḥad dan wāḥid, di mana umumnya dua kata tersebut dianggap bermakna “keesaan”. Untuk menunjukkan keesaan Allah, dikatakan dalam ayat ini, bahwa Tuhan adalah Allah, yakni Maha Esa, Maha Esa dalam arti keesaan mutlak dari Eksistensi Dzāt-Nya, bukan dalam arti bilangan dari kata “satu” yang mempunyai kedua dan ketiga. Ia adalah Satu yang tak punya kedua dan ketiga.

Ungkapan Satu (Maha Esa) wujud maknanya adalah “HANYA” dan, dalam memandang eksistensi-Nya, semua potensi akal manusia lumpuh tak berdaya. Dia Maha Esa dalam arti semacam itu yang, bahkan Sifat-Nya adalah Dzāt-Nya dan tidak dan tak akan pernah bisa berpisah dari-Nya.

Dengan demikian, semua konsep khayali yang muncul dari doktrin-doktrin poleteistik dan fenomena pluralitas merupakan tiupan mematikan yang pernah digambarkan Islam tentang Allah.

Dia Maha Esa yang tak satupun bisa dibandingkan dengan-Nya, yang tidak memiliki permulaan atau akhir, tidak dibatasi oleh waktu, ruang, atau lingkungan. Suatu Realitas yang di hadapannya segala sesuatu tidak memeliki keberadaan mandiri. Dialah Pencipta, Yang Maha Esa, dan segala sesuatu adalah ciptaan-Nya.

Sebuah hadits dari Imām Muḥammad Bāqir a.s. menyebutkan: “Aḥad” dan “wāḥid” kedua-duanya mempunyai satu konsep, yakni Maha Esa yang tak satu pun bisa dibandingkan dengannya, dan tauhid merupakan pengakuan akan keesaan-Nya.” (114)

Dalam al-Qur’ān wāḥid dan aḥad keduanya merujuk pada Allah, Yang Maha Esa, yang hanya satu-satunya.

Dalam ayat berikutnya, julukan lain dari Dzāt Suci-Nya dirujukkan pada: Allah, Yang Maha Abadi…..

Banyak pengertian disebutkan untuk ash-shamad dalam riwayat-riwayat, tafsir-tafsir, dan kamus-kamus Islam.

Rāghib menyebutkan dalam al-Mufradāt bahwa “ash-Shamad artinya seorang Tuan; yang menjadi tempat rujukan dalam masalah-masalah penting.” Sebagian lain berpendapat bahwa ash-shamad artinya “sesuatu yang di dalamnya tidak kosong melainkan berisi penuh.”

Shamad” juga berarti “Tuan”, ketika diterapkan kepada Allah, karena masalah-masalah tergantung kepada-Nya. Shamad berarti yang tinggi atau diangkat pada ketinggian yang paling puncak, dan majikan yang kepadanya orang lain menyerahkan dirinya, tertarik pada atau membutuhkan akan, atau Dzāt yang tidak ada lagi siapa atau apapun di atas-Nya, atau Dzāt yang terus ada setelah semua makhluk-Nya binasa.

Imām Ḥusain bin ‘Alī bin Abī Thālib a.s. dalam sebuah hadits menyatakan lima pengertian ash-Shamad, yaitu:

1. Tuhan yang ketuhanannya telah mencapai titik atau derajat yang paling tinggi.

2. Dzāt dan Wujud yang terus-menerus ada alias abadi.

3. Eksistensi yang tidak mempunyai ruang kosong di dalamnya.

4. Dzāt yang tidak membutuhkan asupan, baik berupa makanan ataupun minuman.

5. Dzāt yang tidak tidur. (125)

Sebuah hadits lain berasal dari ‘Alī bin Ḥusain a.s., berbunyi: “Shamad adalah Dzāt yang tidak punya sekutu, dan itu tidak sulit bagi-Nya untuk melindungi segala sesuatu, tak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya.” (136)

Sebagian mufassir lain mengatakan bahwa shamad artinya: “tak tergantung pada siapapun” – Maha Sempurna – Dzāt yang kepada-Nya segala sesuatu menentukan pilihan: Maha Abadi karena kebutuhan segala sesuatu kepada-Nya, baik untuk keberadaan maupun kesempurnaan: Dzāt yang tidak membutuhkan makanan apapun – Maha Berdiri sendiri untuk dipahami eksistensi-Nya, setiap pikiran terperangkap dalam pesona dan ketakjuban. Tak sesuatupun yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya yang serba-meliputi – yang tak bisa ditampung dalam apapun, bahkan tidak pula intelek: abadi dalam semua aspek keberadaan dan sifat.

Istilah shamad mempunyai pengertian yang luas yang kita tidak bisa menyebutkannya secara sempurna. Atau, dengan kata lain, nama-nama atau sifat-sifat yang disebutkan untuk menguraikan wataknya tidak bisa diterjemahkan untuk memberi pengertian pasti terhadap makna sepenuhnya dari istilah-istilahh tersebut.

Sebuah hadits menyatakan, penduduk kota Bashrah menulis sepucuk surat kepada Imām Ḥusain bin ‘Alī a.s. dan menanyakan pengertian shamad. Beliau menjawab: “Dengan Nama Allah Maha Pengasih Maha Penyayang. Maka janganlah tenggelam dalam pembicaraan sia-sia mengenai al-Qur’ān dan janganlah berselisih tentangnya dan janganlah berbicara tentangnya ketika engkau tidak mengetahuinya. Sesungguhnya aku mendengar dari kakekku Rasūlullāh s.a.w., berkata: “Siapa pun yang berbicara tentang al-Qur’ān tanpa mengetahuinya, tempat tinggalnya adalah neraka.” Allah Sendiri telah mengartikan ash-shamad sebagai “Ia tidak beranak, tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” Memang Allah adalah ash-shamad yang tidak berasal dari sesuatu, ataupun tidak di dalam sesuatu, atau di atas sesuatu. Dialah Pencipta segala sesuatu dan semua hal berasal dari-Nya melalui kekuatan-Nya; apa-apa yang telah Dia ciptakan untuk binasa akan binasa atas kehendak-Nya dan apa-apa yang telah Dia ciptakan untuk tetap ada akan tetap ada dalam ilmu-Nya. Inilah Allah, ash-Shamad.” (147)

Ayat berikutnya menolak pandangan kaum Kristen, Yahudi, dan kaum musyrik ‘Arab yang menyatakan bahwa Allah mempunyai seorang anak atau ia seorang ayah. Ayat yang dimaksud adalah:

Ia tidak beranak, tidak pula diperanakkan.

Berlawanan dengan ayat ini adalah ungkapan dari mereka yang percaya pada konsep trinitas: Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Ruh Kudus.

Orang Kristen mengenai “Yesus” sebagai Putra Tuhan. Kaum Yahudi percaya bahwa ‘Uzair (Ezra) adalah putra Tuhan, Orang-orang Yahudi berkata: “‘Uzair itu putra Allah.”. Orang-orang Kristen berkata: “al-Masīḥ itu putra Allah.” Demikianlah ucapan dari mulut-mulut mereka; (dalam hal ini) mereka hanya meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu; Allah melaknati mereka; Bagaimana mereka sampai berpaling! (QS. at-Taubah: 30).

Kaum musyrik ‘Arab percaya bahwa malaikat-malaikat itu adalah putri-putri Allah: …. dan mereka (dengan bodoh) tanpa ilmu pengetahuan mengangkat anak laki-laki dan anak perempuan untuk-Nya. (QS. al-An‘ām: 100).

Hal yang dapat dipahami dari sejumlah riwayat Islam bahwa melahirkan pada ayat yang sedang dikupas ini mempunyai makna yang lebih luas. Ia menafikan benda-benda material yang tampak dan tak tampak yang muncul dari-Nya, atau sebaliknya, Dia, Dzāt Yang Maha Suci muncul dari suatu materi dan non-materi.

Dalam surat Imām Ḥusain a.s. yang ditujukan kepada penduduk Bashrah mengenai tafsir istilah shamad di atas, beliau menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan: lam yalid yakni tidak ada sesuatu pun yang dipancarkan dari-Nya – baik benda-benda materi ataupun seorang anak, ataupun hal-hal lain yang muncul dari makhluk hidup, atau sesuatu yang non-material seperti jiwa.

Tak sesuatu pun muncul dari Diri-Nya seperti tidur, imajinasi, kecemasan, kesedihan, kebahagiaan, tertawa, menangis, cemas dan harap, keberanian dan kepengecutan, rasa lapar dan kekenyangan.

Allah lebih agung ketimbang (segala) sesuatu yang terpancar dari-Nya atau bahwa Dia (tidak) melahirkan sesuatu yang material atau non-material. Tidak pula Dia dilahirkan dari sesuatu yang material atau lembut…. Tidak seperti makhluk hidup yang datang dari sesuatu lain, tanaman dari bumi, air dari sumur, buah-buahan dari perpohonan, ataupun sejenisnya, yang mengeluarkan benda-benda dari sumber-sumber mereka, seperti pandangan dari mata, pendengaran dari telinga, penciuman dari hidung, pencicipan dari mulut, pembicaraan dari lidah, pengetahuan dan pemahaman dari hati (wawasan dan jiwa) dan partikel-partikel api dari batu…..” (158)

Menurut hadits ini, melahirkan mempunyai pengertian yang luas, sehingga ia bisa mencakup segala sesuatu yang memancar dari sesuatu yang lain, dan ini sesungguhnya merupakan pengertian kedua dari ayat yang pertama, dan pengertian lahirnya merupakan pengertian yang disebutkan dalam permulaan ayat. Selain itu, pengertian kedua, dengan analogi pengertian pertama, sangat bisa diterima dan dimengerti. Sebab, sekiranya Allah tidak punya anak, itu karena Dia jauh dari sifat-sifat materi. Pengertian ini juga benar untuk sifat-sifat lain dari materi.

Dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.

Istilah kufw semula bermakna “setara dari sudut pandang posisi dan derajat”, kemudian ia digunakan untuk makna setiap kesamaan.

Menurut ayat ini, Dzāt Suci Allah bebas dari semua sifat atau rintangan yang dimiliki makhluk, juga bebas dari semua kekurangan dan batasan. Ini adalah “Keesaan Sifat” yang berhubungan dengan “Kesatuan Angka”.

Oleh sebab itu, Dia Tunggal dalam Dzāt, dalam Sifat, dan dalam Perbuatan. Dia Unik dari semua ukuran.

Amīr-ul-Mu’minīn ‘Alī a.s. berkata: “…. tidak ada perubahan yang terjadi pada Diri-Nya, dan tidak pula pengurangan, pembagian, penyusutan, pembusukan, penghilangan atas kekuasaan dan keagungan-Nya yang mungkin, Dia tidak dilahirkan dari siapapun, tidak pula Dia melahirkan siapapun… Tak ada kesetaraan bagi-Nya yang dapat menandingi-Nya dan tak ada sesuatu seperti Dia untuk menyamai-Nya. Dia mampu menghancurkan segala sesuatu yang Dia ciptakan sendiri dengan sedemikian cara sehingga semuanya itu akan berhenti ada dan lenyap dalam ketiadaan….” (169)

Ini merupakan suatu tafsiran yang menarik mengingat ia mengupas butir-butir yang paling halus ihwal keesaan. Ayat ini mengingatkan kita agar tidak melekatkan sifat-sifat dan kualitas-kualitas kita kepada Allah s.w.t., dan dengan demikian, tidak menciptakan citra kita yang disucikan sebagai tuhan personal.

 

Catatan:


  1. 8). Biḥār-ul-Anwār, jilid 3, hal. 221, hadits ke-12. Ibid, hal. 222. 
  2. 9). Ibid, hal. 222. 
  3. 10). Ibid. 
  4. 11). Biḥār-ul-Anwār, jilid 3, hal. 222. 
  5. 12). Ibid, hal. 223. 
  6. 13). Ibid. 
  7. 14). Majma‘-ul-Bayān, jilid 10, hal. 565. 
  8. 15). Biḥār-ul-Anwār, jilid 3, hal. 224; Majma‘-ul-Bayān, jilid 10, hal. 566. 
  9. 16). Nahj-ul-Balāghah, Khutbah ke-186 (versi bahasa ‘Arab).