Hadis yang menceritakan tentang memperbanyak bacaan sūrat-ul-Ikhlāsh dalam semua keadaan. Al-Hafizh Abu Ya‘la mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq al-Musayyabi, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, dari al-A‘la ibnu Muhammad ats-Tsaqafi yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Anas ibnu Malik mengatakan bahwa ketika kami sedang bersama Rasulullah s.a.w. di medan Tabuk, maka terbitlah matahari dengan sinar dan cahayanya yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Lalu datanglah Malaikat Jibril kepada Nabi s.a.w. Maka Nabi s.a.w. bertanya: “Hai Jibril, mengapa kulihat matahari hari ini terbit dengan sinar dan cahaya yang belum pernah kulihat sebelumnya seperti itu.
Jibril menjawab, bahwa sesungguhnya hal itu disebabkan Mu‘awiyah ibnu Mu‘awiyah al-Laitsi, dia telah meninggal dunia pada hari ini di Madinah, maka Allah mengirimkan kepadanya tujuh puluh ribu malaikat untuk menshalatkannya.” Rasulullah s.a.w. bertanya: “Mengapa demikian?” Jibril menjawab, bahwa dia adalah orang yang banyak membaca Qul Huwallāhu Aḥad di malam dan siang harinya, dan saat ia berdiri, berjalan, dan duduknya. Maka maukah engkau, ya Rasulullah; aku mengambil segenggam tanah kuburnya, lalu engkau menshalatkannya?” Rasulullah s.a.w. menjawab: “Ya”, maka Rasulullah s.a.w. menshalatkannya.
Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Abu Bakar al-Baihaqi di dalam kitab Dalā’il-un-Nubuwwah-nya melalui jalur Yazid ibnu Harun, dari al-A‘la ibnu Muhammad, tetapi ia orang yang dicurigai sebagai pemalsu hadis; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Jalur lain. Abu Ya‘la mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ibrahim asy-Syami alias Abu ‘Abdullah, telah menceritakan kepada kami ‘Utsman ibn-ul-Haitsam (mu’adzdzin masjid Basrah yang ada padaku), dari Mahmud alias Abu ‘Abdullah, dari ‘Atha’ibnu Abu Maimunah, dari Anas yang mengatakan bahwa Jibril turun menemui Nabi s.a.w., lalu berkata: “Telah meninggal dunia, Mu‘awiyah ibnu Mu‘awiyah al-Laitsi, apakah engkau ingin menshalatkan jenazahnya?” Nabi s.a.w. menjawab: “Ya.” Maka Jibril memukulkan sayapnya ke bumi, maka tiada suatu pohon pun dan tiada pula suatu dataran tinggi pun melainkan merendah, maka Jibril mengangkat dipan Nabi s.a.w. sehingga Nabi s.a.w. dapat melihat jenazah Mu‘awiyah al-Laitsi, lalu beliau bertakbir menshalatkannya, sedangkan di belakang beliau terdapat dua shaf dari para malaikat, yang setiap shafnya terdiri dari tujuh puluh ribu malaikat.
Maka Nabi s.a.w. bertanya: “Hai Jibril, karena apakah dia mendapat kedudukan yang tinggi seperti ini dari Allah s.w.t.?” Jibril menjawab: “Ini berkat kecintaannya kepada Qul Huwallāhu Aḥad yang selalu dibacanya saat datang dan perginya, saat berdiri dan duduknya, dan dalam semua keadaannya.”
Imam Baihaqi telah meriwayatkannya melalui riwayat Utsman ibn-ul-Haitsam (juru adzan), dari Mahbub ibnu Hilal, dari ‘Atha’ ibnu Abu Maimunah, dari Anas, lalu disebutkan hal yang semisal; dan inilah sanad yang benar. Sedangkan Mahbub ibnu Hilal menurut Abu Hatim ar-Razi orangnya tidak terkenal. Dan hadis ini telah diriwayatkan pula melalui berbagai jalur yang lain, yang sengaja tidak kami utarakan untuk menpersingkat, tetapi semuanya berpredikat dha‘īf.
Hadis lain mengenai keutamaan sūrat-ul-Ikhlāsh dan sūratu Mu‘awwidzatain. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul-Mughirah, telah menceritakan kepada kami Mu‘adz ibnu Rifa‘ah, telah menceritakan kepadaku ‘Ali ibnu Yazid, dari al-Qasim, dari Abu Umamah, dari ‘Uqbah ibnu ‘Amir yang mengatakan bahwa ia bersua dengan Rasulullah s.a.w., lalu ia memulai salam kepada beliau dan memegang tangannya, kemudian bertanya: “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang dapat menyelamatkan orang mu’min?” Rasulullah s.a.w. menjawab:
يَا عُقْبَةُ اِخْرِسْ لِسَانَكَ وَ لْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَ ابْكِ عَلَى خَطِيْئَتِكَ.
“Hai ‘Uqbah, jagalah lisanmu, jadikanlah rumahmu seakan-akan luas buat dirimu, dan menangislah atas kekeliruanmu.”
‘Uqbah ibnu ‘Amir melanjutkan, bahwa lalu ia bersua lagi dengan Rasulullah s.a.w. di lain waktu. Maka beliaulah yang memulai salam kepadanya, lalu beliau memegang tangannya dan bersabda:
يَا عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ أَلَا أُعَلِّمُكَ خَيْرَ ثَلَاثِ سُوَرٍ أَنْزِلَتْ فِي التَّوْرَاتِ وَ الْإِنْجِيْلِ وَ الزَّبُوْرِ وَ الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ؟ قَالَ: قُلْتُ بَلَى جَعَلَنِيَ اللهُ فِدَاكَ. قَالَ: فَأَقْرَأَنِيْ قُلْ هُوَ اللهُ أَحْدٌ – وَ قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ – وَ قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ.
“Hai ‘Uqbah, maukah aku ajarkan kepadamu sebaik-baik tiga surat yang diturunkan di dalam Taurat, Injil, Zabur, dan al-Qur’an-il-‘Azhim?” Aku menjawab: “Tentu saja mau, semoga Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu.” Maka Rasulullah s.a.w. membacakan kepadaku Qul Huwallāhu Aḥad (sūrat-ul-Ikhlāsh), Qul A‘ūdzu Birabb-il-Falaq, dan Qul A‘ūdzu Birabb-in-Nās (sūrat-ul-Falaq dan sūrat-un-Nās).”
Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda:
يَا عُقْبَةُ لَا تَنْسَهُنَّ وَ لَا تَبِتْ لَيْلَةً حَتَّى تَقْرَأَهُنَّ.
“Hai ‘Uqbah, jangan engkau lupakan ketiga surat ini dan janganlah kamu tidur di malam hari sebelum membacanya.”
‘Uqbah mengatakan bahwa setelah itu ia tidak pernah melupakan ketiga surat tersebut sejak Nabi s.a.w. mengatakan: “Jangan kamu melupakannya.” Dan ia tidak pernah pula tidur di malam hari melainkan membaca ketiga surat itu.
‘Uqbah melanjutkan, bahwa lalu ia bersua lagi dengan Rasulullah s.a.w., maka ia memulai membaca salam dan memegang tangannya lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, ceritakanlah kepadaku tentang amal-amal yang paling utama.” Rasulullah s.a.w. menjawab:
يَا عُقْبَةُ صِلْ مَنْ قَطَعَكَ وَ أَعْطِ مَنْ حَرَمَكَ وَ أَعْرِضْ عَمَّنْ ظَلَمَكَ.
“Hai ‘Uqbah, bersilaturahmilah dengan orang yang memutuskannya darimu, dan berilah orang yang tidak pernah memberimu, dan berpalinglah dari orang yang berbuat zhalim kepadamu.”
Imam Tirmidzi telah meriwayatkan sebagiannya di dalam kitab Zuhud melalui hadis ‘Abdullah ibn Zhahir, dari ‘Ali ibnu Yazid, dan ia mengatakan bahwa hadis ini ḥasan. Imam Ahmad telah meriwayatkannya melalui jalur lain, bahwa telah menceritakan kepada kami Husain ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Abbas, dari Usaid ibnu ‘Abd-ur-Rahman al-Khas‘ami, dari Farwah ibn Mujahid al-Lakhami, dari ‘Uqbah ibnu ‘Amir, dari Nabi s.a.w., lalu disebutkan hal yang semisal; Imam Ahmad meriwayatkannya secara munfarid.
Hadis lain sehubungan dengan istisqā’ dengannya. Imam Bukhari mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami al-Mufadhdhal, dari ‘Aqil, dari Ibnu Syihab,, dari ‘Urwah, dari ‘A’isyah r.a. yang mengatakan bahwa Nabi s.a.w. apabila beristirahat di peraduannya di setiap malam, terlebih dahulu beliau menghimpunkan kedua telapak tangannya, kemudian meniup keduanya setelah membaca sūrat-ul-Ikhlāsh, sūrat-ul-Falaq, dan sūrat-un-Nās, setelah itu beliau usapkan kedua telapak tangannya ke bagian tubuhnya yang dapat dicapai oleh kedua tangannya, yaitu kepalanya dan bagian depan tubuhnya; beliau melakukan ini sebanyak tiga kali.
Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh para pemilik kitab sunnah melalui hadis ‘Uqail dengan sanad yang sama.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan nama Allah, Yang Maha Pemurah, Lagi Maha Penyayang
Al-Ikhlāsh, ayat 1-4
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ. اللهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ. وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Katakanlah: ‘Dialah Allah Yang Mahaesa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”
Dalam pembahasan yang terdahulu telah disebutkan latar belakang penurunannya. ‘Ikrimah mengatakan bahwa ketika orang-orang Yahudi berkata: “Kami menyembah ‘Uzair anak Allah.” Dan orang-orang Nasrani mengatakan: “Kami menyembah al-Masih putra Allah.” Dan orang-orang Majusi mengatakan: “Kami menyembah matahari dan bulan.” Dan orang-orang musyrik mengatakan: “Kami menyembah berhala.” Maka Allah menurunkan firman-Nya kepada Rasul-Nya:
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ.
“Katakanlah: ‘Dialah Allah Yang Mahaesa.” (Al-Ikhlāsh: 1)
Yakni: Dialah Tuhan Yang Satu, Yang Esa, Yang tiada tandingan-Nya, tiada pembantu-Nya, tiada lawan-Nya, tiada yang serupa dengan-Nya, dan tiada yang setara dengan-Nya. Lafaz ini tidak boleh dikatakan secara itsbat terhadap seseorang kecuali hanya Allah s.w.t. Karena Dia Maha Sempurna dalam segala sifat dan perbuatan-Nya.
Firman Allah s.w.t.:
اللهُ الصَّمَدُ.
“Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (al-Ikhlāsh: 2).
‘Ikrimah telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah yang bergantung kepada-Nya semua makhluk dalam kebutuhan dan sarana mereka. ‘Ali ibnu Abi Thalhah telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah Tuhan Yang Maha Sempurna dalam perilaku-Nya, Maha Mulia yang Maha Sempurna dalam kemuliaan-Nya, Maha Besar yang Maha Sempurna dalam kebesaran-Nya, Maha Penyantun yang Maha Sempurna dalam sifat penyantun-Nya, dan Maha Mengetahui yang Maha Sempurna dalam pengetahuan-Nya, dan Maha bijaksana yang Maha Sempurna dalam kebijaksanaan-Nya. Dialah Allah s.w.t. yang berhak memiliki sifat ini yang tidak layak bagi selain-Nya. Tiada yang dapat menyamai-Nya dan tiada yang setara dengan-Nya, Maha Suci Allah Yang Maha Esa lagi Maha Menang. Al-A‘masy telah meriwayatkan dari Syaqiq, dari Abu Wa’il sehubungan dengan makna firman-Nya:
اللهُ الصَّمَدُ.
“Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (al-Ikhlāsh: 2).
Tuhan Yang akhlak-Nya tiada yang menandingi-Nya. ‘Ashim telah meriwayatkan hal yang semisal dari Abu Wa’il, dari Ibnu Mas‘ud.
Malik telah mereiwayatkan dari Zaid ibnu Aslam sehubungan dengan makna firman-Nya:
اللهُ الصَّمَدُ.
“Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (al-Ikhlāsh: 2).
Yakni as-Sayyid alias penguasa. Al-Hasan dan Qatadah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah Yang Kekal sesudah makhluk-Nya. Al-Hasan telah mengatakan pula sehubungan dengan makna firman-Nya:
اللهُ الصَّمَدُ.
“Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (al-Ikhlāsh: 2).
Artinya: Yang Hidup, Yang terus-menerus mengurus makhluk-Nya, Yang tiada kematian bagi-Nya. ‘Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
اللهُ الصَّمَدُ.
“Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (al-Ikhlāsh: 2).
Yang tidak ada sesuatu pun keluar dari-Nya dan tidak makan. Ar-Rabi‘ ibnu Anas mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Seakan-akan pendapat ini menjadikan firman berikutnya merupakan tafsirnya, yaitu firman-Nya:
لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ.
“Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan.” (Al-Ikhlāsh: 3)
Pendapat ini merupakan pendapat yang jayyid. Dalam hadis terdahulu telah disebutkan melalui riwayat Ibnu Jarir, dari Ubay ibnu Ka‘b sebuah hadis mengenainya yang menerangkannya dengan jelas. Ibnu Mas‘ud, Ibnu ‘Abbas, Sa‘id ibn-ul-Musayyab, Mujahid, ‘Abdullah ibnu Buraidah dan ‘Ikrimah juga, serta Sa‘id ibnu Jubair, ‘Atha’ ibnu Abu Rabah, ‘Athiyyah al-Aufi, adh-Dhahhak, dan as-Suddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
اللهُ الصَّمَدُ.
“Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (al-Ikhlāsh: 2).
Yakni tiada berongga. Sufyan telah meriwayatkan dari Manshur, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya:
اللهُ الصَّمَدُ.
“Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (al-Ikhlāsh: 2).
Maksudnya, yang padat dan tiada berongga. Asy-Sya‘bi mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah yang tidak makan dan tidak minum. ‘Abdullah ibnu Buraidah mengatakan pula sehubungan dengan makna firman-Nya:
اللهُ الصَّمَدُ.
“Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (al-Ikhlāsh: 2).
Yaitu cahaya yang berkilauan. Semua pendapat di atas diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, al-Baihaqi, dan ath-Thabari, demikian pula Abu Ja‘far ibnu Jarir telah mengetengahkan sebagian besar darinya berikut sanad-sanadnya.
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepadaku al-‘Abbas ibnu Abi Thalib, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu ‘Amr ibnu Rumi, dari ‘Ubaidillah ibnu Sa‘id penuntun al-A‘masy, telah menceritakan kepada kami Shalih ibnu Hayyan, dari ‘Abdullah ibnu Buraidah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa ia merasa yakin bahwa Buraidah telah me-rafa‘-kan hadis berikut; ia mengatakan bahwa ash-Shamad artinya yang tiada berongga. Ini gharib sekali, tetapi yang shaḥīḥ hal ini mauqūf hanya sampai pada ‘Abdullah ibnu Buraidah.
Al-Hafizh Abul-Qasim ath-Thabrani dalam kitab sunnah-nya mengatakan sesudah mengetengahkan banyak pendapat tentang tafsir ash-Shamad. Bahwa semuanya itu benar termasuk sifat Rabb kita; yaitu yang menjadi tempat bergantung bagi segala keperluan. Dia adalah menjadi tujuan semuanya. Dia tidak berongga, tidak makan, dan tidak minum. Dan Dia kekal sesudah semua makhluk fana’. Hal yang semisal dikatakan oleh Baihaqi.
Firman Allah s.w.t.:
لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ. وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlāsh: 3-4)
Dia tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tidak mempunyai istri.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlāsh: 4)
Yakni tiada beristri; hal ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
بَدِيْعُ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ، أَنَّى يَكُوْنُ لَهُ وَلَدٌ وَ لَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ، وَ خَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ، وَ هُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ.
“Dia pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri, Dia menciptakan segala sesuatu.” (al-An‘ām: 101).
Yaitu Dialah Yang memiliki segala sesuatu dan Yang Menciptakannya, maka mana mungkin Dia mempunyai tandingan dari kalangan makhluk-Nya yang menyamai-Nya atau mendekati-Nya, Maha Tinggi lagi Maha Suci Allah dari semuanya itu. Allah s.w.t. telah berfirman:
وَ قَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمنُ وَلَدًا. لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا. تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَ تَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَ تَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا. أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمنِ وَلَدًا. وَ مَا يَنْبَغِيْ لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا. إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَ الأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمنِ عَبْدًا. لَقَدْ أَحْصَاهُمْ وَ عَدَّهُمْ عَدًّا. وَ كُلُّهُمْ آتِيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْدًا
“Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwah Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” (Maryam: 88-95).
Dan firman Allah s.w.t.:
وَ قَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمنُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ، بَلْ عِبَادٌ مُكْرَمُوْنَ. لَا يَسْبِقُوْنَهُ بِالْقَوْلِ وَ هُمْ بِأَمْرِهِ يَعْمَلُوْنَ.
“Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak,” Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan, mereka tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintahNya.” (al-Anbiyā’: 26-27).
Dan firman Allah s.w.t.:
وَ جَعَلُوْا بَيْنَهُ وَ بَيْنَ الْجِنَّةِ نَسَبًا، وَ لَقَدْ عَلِمَتِ الْجِنَّةُ إِنَّهُمْ لَمُحْضَرُوْنَ. سُبْحَانَ اللهِ عَمَّا يَصِفُوْنَ.
“Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah dan antara jin. Dan sesungguhnya jin mengetahui bahwa mereka benar-benar akan diseret (ke neraka). Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan.” (ash-Shaffāt: 158-159).
Di dalam kitab Shaḥīḥ Bukhārī disebutkan:
لَا أَحَدَ أَصْبَرُ عَلَى أَذًى سَمِعَهُ مِنَ اللهِ إِنَّهُمْ يَجْعَلُوْنَ لَهُ وَلَدًا وَ هُوَ يَرْزُقُهُمْ وَ يُعَافِيْهِمْ.
“Tiada seorang pun yang lebih sabar daripada Allah terhadap perlakuan yang menyakitkan; sesungguhnya mereka menganggap Allah beranak, padahal Dialah yang memberi mereka rezeki dan kesejahteraan.”
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul-Yaman, telah menceritakan kepada kami Syu‘aib, telah menceritakan kepada kami Abuz-Zanad, dari al-A‘raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi s.a.w. yang telah bersabda:
قَالَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ كَذَبَنِي ابْنُ آدَمَ وَ لَمْ يَكُنْ لَهُ ذلِكَ، وَ شَتَمَنِيْ وَ لَمْ يَكُنْ لَهُ ذلِكَ، فَأَمَّا تَكْذِيْبُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ لَنْ يُعِيْدَنِيْ كَمَا بَدَأَنِيْ، وَ لَيْسَ أَوَّلُ الْخَلْقِ بِأَهْوَنَ عَلَيَّ مِنْ إِعَادَتِهِ، وَ أَمَّا شَتَمُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ اتَّخَذَ اللهُ وَلَدًا وَ أَنَا الْأَحَدُ الصَّمَدُ لَمْ أَلِدْ وَ لَمْ أُوْلَدْ وَ لَمْ يَكُنْ لِيْ كُفُوًا أَحَدٌ.
“Allah s.w.t. berfirman: “Anak Adam telah mendustakan Aku – padahal Allah tidak pernah berdusta – dan anak Adam mencaci maki Aku – padahal tidak layak baginya mencaci maki Dia – . Adapun pendustaannya terhadap-Ku ialah ucapannya yang mengatakan bahwa Dia tidak akan mengembalikanku hidup kembali. Sebagaimana Dia menciptakanku pada permulaan – padahal penciptaan pertama itu tidaklah lebih mudah bagi-Ku dari pada mengembalikannya -. Dan adapun caci makinya kepada-Ku ialah ucapannya yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anak. Padahal Aku adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang bergantung kepada-Ku segala sesuatu, Aku tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tiada seorang pun yang setara dengan-Ku.”
Imam Bukhari telah meriwayatkannya pula melalui hadis ‘Abd-ur-Razzaq, dari Ma‘mar, dari Hammam ibnu Munabbih, dari Abu Hurairah secara marfū‘ dengan lafaz yang semisal; Imam Bukhari meriwayatkan keduanya secara munfarid melalui dua jalur tersebut.
Demikianlah akhir tafsir sūrat-ul-Ikhlāsh, segala puji bagi Allah atas limpahan karunia-Nya.