Ayat 2.
اللهُ الصَّمَدُ
112:2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Sesudah Allah menjelaskan bahwa Dia adalah Esa, unik dan tunggal, maka ayat kedua ini menegaskan bahwa “Dia saja tempat bergantung.” Ash-Shamad adalah salah satu dari al-Asmā’ al-Ḥusnā yang 99, yang kata tersebut hanya satu kali disebut dalam al-Qur’ān, yakni dalam surah al-Ikhlāsh ayat 2 yang sedang kita tafsirkan ini. Ibn ‘Abbās menjelaskan makna ash-Shamad ini, sebagai yang dikutip oleh Quraish Shihāb dalam bukunya “Menyingkap Tabir Ilahi”, dengan mengatakan bahwa ash-Shamad mengandung arti tokoh yang telah sempurna ketokohannya, yang mulia dan telah mencapai puncak kemuliaan, yang agung dan telah mencapai puncak keagungan, yang penyantun dan tiada melebihi santunannya, yang kaya dan tiada yang melebihi kekayaannya, yang perkasa yang sempurna keperkasaannya, yang mengetahui dan sempurna pengetahuannya, yang bijaksana dan tiada cacat dalam kebijaksanaannya.”
Dialah Allah Tuhan Yang Maha Esa tempat kita bertolak dan Dialah Allah Tuhan Yang Maha Esa tempat kita berlabuh. Dari Allah kita melangkah dan di hadapan Allah langkah kita berakhir. Dialah yang menjadi tujuan. Hanya Dia saja tempat bergantung. Semua tempat pergantungan yang ada di dunia berawal dari hamparan Raḥmān-Nya dan berujung di tepi hamparan Raḥīm-Nya.
لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ. وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
112:3. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan,
Ayat 3.
لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ.
112:3. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan
Dia, Allah Tuhan Yang Maha Esa itu, yang kepada-Nya semua makhluk mengarahkan tumpuan harapan, juga “tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.” Sifat tidak beranak dan tidak pula diperanakkan itu merupakan konsekwensi logis dari sifat Aḥad dan Shamad tadi. Sebagai eksistensi Yang Maha Esa dan Eksistensi yang menjadi tumpuan harapan, memang tidaklah beranak dan tidak pula diperanakkan. Sebab bila Dia beranak, Dia tidak lagi menjadi tumpuan harapan. Malah Dia yang mengharapkan sesuatu yakni memperoleh anak. Mengharapkan kehadiran seorang anak bagi makhluk, tertuma manusia adalah sesuatu yang sangat berarti. Juga bila dia diperanakkan, membuat dia menjadi tidak tunggal lagi, tetapi sudah mempunyai tiga eksistensi, yakni dirinya sendiri, ayahnya dan ibunya yang menjadi sebab dia lahir.
Bila dikaitkan dengan asbāb nuzūl surah al-Ikhlāsh ini maka penafsiran ayat ini lebih tertuju kepada ‘Arab Makkah yang bertanya kepada Nabi tentang Allah. Pada ayat ini Allah sekaligus mengritik agama nenek moyang ‘Arab Makkah yang meyakini bahwa Tuhan itu mempunyai anak. Ismail Faruqi dan Louis Lamya Faruqi, dalam buku mereka The Cultural Atlas of Islam, menggambarkan Tuhan-tuhan masyarakat Makkah ketika itu, dengan mengatakan: “Di Makkah dan juga seluruh Semenanjung Tanah ‘Arab, Allah diakui sebagai pencipta dari seluruh yang mawjūd (yang ada), Tuhan dunia, penguasa surga dan bumi, yang menguasai segala-galanya. Allah adalah nama Tuhan yang paling sering disebut, Namun begitu fungsi-Nya telah diamanahkan atau dijalankan oleh tuhan-tuhan lain yang rendah dan kesan-kesan hebatnya dinyatakan dalam matahari dan bulan sebagai contohnya. Nilai-nilaiNya telah ditukarkan kepada dewa dan dewi selain-Nya. Oleh yang demikian keseluruhan penyembahan wujud. Setiap anggota memenuhi keperluan masing-masing dan mewujudkan ciri-ciri, tempat, objek atau kuasa itu menggambarkan kewujudan Yang Maha Kuasa tersebut.
Al-Lāta ialah dewi yang diterangkan sebagai anak tuhan dan dikaitkan oleh sebahagian dari mereka dengan matahari, dan dengan bulan oleh sebahagian yang lain. Al-‘Uzzā adalah anak perempuan yang kedua bagi Tuhan dan ia dikaitkan dengan planet Zuhra. Anak perempuan yang ketiga ialah Manāt pula menggambarkan nasib. Dzush-Sharā dan Dzul-Khalāsh merupakan dewi-dewi yang mengambil nama tempat-tempat suci. Dzul-Kaffayn dan Dzul-Rijl dikaitkan dengang organ-organ tubuh yang sangat berarti. Wudd, Ya‘ūq, Yaghūts dan Suwā merupakan dewa-dewa yang mengambil nama-nama fungsi suci seperti mencintai, membantu, memelihara dan sebagainya. Tuhan Hubal yang mempunyai patung lebih besar di Ka‘bah dibuat dengan tangan dari emas. Al-Mālik (Raja), ar-Raḥmān (Pengasih), ar-Raḥīm (Yang senantiasa mengasihi) mewakili fungsi-fungsi suci yang agung bagi Tuhan-Tuhan yang lain. Nama-nama khas amatlah banyak dalam tulisan-tulisan purba, Nama-nama suci itu disambung dengan perkataan-perkataan seperti “hamba kepada”, “rekan kepada”, “dilindungi oleh”, “disayangi oleh” dsb.
Agaknya dengan tidak bermaksud merendahkan keyakinan dalam agama lain, Islam memang mengajarkan bahwa Allah itu adalah Tuhan yang tidak beranak dan bukan pula Tuhan yang diperanakkan. Terlepas dari pemaknaan anak dalam kasus ini, apakah anak dalam arti biologis atau bukan. Sebab fenomena kepurbakalaan masyarakat Makkah yang digambarkan di atas jelas memperlihatkan bahwa anak dewa atau anak Tuhan dalam keyakinan mereka bukanlah anak biologis.
Ayat 4.
وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
112:4. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.
Surah al-Ikhlāsh ini ditutup dengan ayat terakhir yang mempertegas eksistensi Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa, yakni dengan pernyataan: “tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” Dalam Keesaan-Nya itu tidak ada yang sama dengan Dia, tidak ada yang setara dengan Dia, tidak ada yang setingkat dengan Dia.
Dia beda dengan segala yang ada dan eksistensi-Nya mengatasi segala yang ada. Kualitas semua yang ada berada sangat jauh di bawah kualitas Dia. Oleh sebab itu, jangankan mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Mempersamakan-Nya saja sudah langkah yang keliru, apalagi mempersekutukan-Nya, memperserikatkan-Nya dengan yang lain.
Kenapa tauhid? Karena tauhid menurut Ismail Faruqi merupakan “the first principle of Islam and of everything Islamic.” (prinsip pertama dari agama Islam dan segala sesuatu yang Islami). Islam mengajarkan tentang tauhid dan mempersembahkan suatu konsepsi tentang Tuhan yang terhindar dari pandangan anthropormorpik sehingga dari aspek dan respek apapun Ia tidak dapat disamakan dengan apapun di alam ini.
Pemberitaan al-Qur’ān tentang Allah beranjak dari dasar pemahaman bahwa Allah itu sungguh-sungguh ada dan Ia adalah Maha Esa. Dialah penguasa alam semesta, dan segala proses yang terjadi di dalam alam berada di bawah aturan dan ketentuan-Nya. Lebih jauh lagi ditegaskan bahwa Dia adalah sumber kebaikan dan keindahan. Kehendak-Nya menjadi sunnatullāh (hukum alam) maupun hukum moralitas.
Oleh sebab itu, seluruh ciptaan-Nya, terutama manusia yang diciptakan dalam sebaik-baik ciptaan serta dilengkapi dengan kecakapan dan ketinggian akal budi, seharusnyalah berserah diri secara total kepada-Nya. Tidak ada sesuatupun yang lepas dari ketergantungan kepada-Nya. Segala sesuatu tunduk dan patuh, baik secara sadar maupun secara mekanik (thaw‘an aw karhan). Oleh sebab itu, Allah-lah sumber segala sesuatu dan Allah pulalah yang menjadi tujuan segala sesuatu.