Surah al-Ikhlash 112 ~ Tafsir as-Siraj-ul-Wahhaj (1/2)

Tafsir As-Siraj-ul-Wahhaj
Terang Cahaya Juz ‘Amma

Oleh: Prof. M. Dr. Yunan Yusuf
 
Diterbitkan oleh: PENAMADANI dan az-Zahrah.
 
Tafsir JUZ ‘AMMA
As-Siraj-ul-Wahhaj

(TERANG CAHAYA JUZ ‘AMMA)

Rangkaian Pos: Surah al-Ikhlash 112 ~ Tafsir as-Siraj-ul-Wahhaj

TAFSIR SURAH KE-112

سُوْرَةُ الْإِخْلَاصِ

Al-Ikhlāsh/Declaration of [God’s] Perfection/Suci dan Murni

AYAT 1 s/d 4

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

1. Iftitāḥ

Surah al-Ikhlāsh adalah surah ke 112 dalam urutan Mushḥaf ‘Utsmānī. Ia tergolong ke dalam surah-surah Makkiyyah, yang turun sebelum Nabi Muḥammad s.a.w. Hijrah ke Madīnah. Terdapat perbedaan pandangan dalam urutan nuzūl surah ini. Ada yang berpendapat ia berada pada urutan ke 19 dan ada yang berpendapat berada pada urutan ke 22, yang turun sesudah surah an-Nās dan sebelum surah an-Najm. Menurut Ibnu ‘Abbās jumlah ayatnya ada 4 ayat, jumlah katanya ada 15 kata dan jumlah hurufnya ada 47 huruf.

Banyak nama yang diberikan kepada surah al-Ikhlāsh ini. Mufassir Fakhruddīn ar-Rāzī, sebagaimana dinukil oleh Quraish Shihāb, menyebutkan bahwa terdapat sekitar dua puluh nama yang diberikan kepada surah al-Ikhlāsh. Di antara nama-nama itu adalah surah at-Tafrīd (Penegasan Allah), surah at-Tajrīd (Penafian segala sekutu bagi-Nya), surah an-Najah (Keselamatan), surah al-Wilāyah (Kedekatan kepada Allah), surah al-Ma‘rifah (Mengenal Allah), surah al-Jamāl (Keindahan), surah Qasyqasy (Penyembuhan dari kemusyrikan), surah al-Mudzdzakkirah (Pemberi peringatan), surah ash-Shamad (Tempat bergantung), surah al-Amān (rasa aman), dan sebagainya. Demikian dinukil oleh Quraish Shihāb ketika menafsirkan surah ini.

Kandungan isinya menyangkut penjelasan tentang akar tunggang ajaran Islam, yakni tauhid. Yakni ajaran tentang Keesaan Allah secara murni. Tauhid murni yang tidak dicemari oleh berbagai pandangan yang membawa kemusyrikan. Agaknya itulah sebabnya ia diberi nama dengan al-Ikhlāsh. Arti kata al-Ikhlāsh sendiri adalah suci atau murni, tanpa tercemar sedikitpun. Adapun asbāb-un-nuzūl surah ini adalah berkaitan dengan permintaan kaum Musyrikīn Makkah kepada Nabi Muḥammad s.a.w. untuk menjelaskan kepada mereka tentang Allah. Maka turunlah surat ini untuk menjelaskannya. Sebagaimana tergambar dari beberapa hadits berikut. Imām Tirmidzī, Imām Ḥākim, dan Imām Ibnu Khuzaimah telah mengetengahkan sebuah hadits melalui jalur Ibnu ‘Āliyyah yang ia terima dari Ubay Ibn Ka‘ab, bahwasanya orang-orang musyrik telah berkata kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Ceritakanlah kepada kami mengenai Tuhanmu.” Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Esa…..” hingga akhir surah.

Imām Ibnu Abī Ḥātim telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Ibn ‘Abbās, bahwasanya orang-orang Yahudi datang kepada Nabi s.a.w., di antara mereka terdapat Ka‘ab Ibn al-Asyraf dan Huyay ibn Akhtāb. Mereka berkata: “Hai Muḥammad, gambarkanlah kepada kami Tuhanmu yang telah mengutusmu.” Maka Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya: “Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Esa…..”

Akan tetapi Imām Abusy-Syaikh di dalam kitabnya al-‘Azhamah telah mengetengahkan sebuah hadits melalui jalur Abbān yang ia terima dari Anas r.a. yang telah menceritakan bahwasanya orang-orang Yahudi Khaibar datang kepada Nabi s.a.w., lalu mereka berkata: “Hai Abul-Qāsim, Allah telah menciptakan malaikat dari nūr al-Ḥijāb, Nabi Ādam dari lumpur hitam yang diberi bentuk, iblīs dari nyala api, langit dari asap, dan bumi dari buih air. Maka ceritakanlah kepada kami tentang Tuhanmu.” Nabi tidak menjawab mereka. Maka datanglah malaikat Jibrīl membawa surah ini, yaitu firman-Nya: “Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Esa…..” hingga akhir surah.

Surah yang lalu, yakni surah al-Masad, berbicara tentang kebatilan yang digerakkan oleh Abū Lahab untuk menentang dakwah Nabi Muḥammad s.aw.. Namun kebatilan yang ditegakkan oleh Abū Lahab itu mengalami kehancuran ketika berhadapan dengan kebenaran. Apakah kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muḥammad s.a.w. itu?

Surah ini menegaskan esensi kebenaran yang dibawa oleh Nabi itu adalah tauhid. Ajaran tentang Keesaan Allah secara murni yang tidak dicemari oleh berbagai pandangan yang membawa kemusyrikkan. Ajaran tauhid itulah yang ditentang oleh kaum kafir Quraisy yang termasuk di dalamnya Abū Lahab dan istrinya. Inilah munāsabah yang dapat ditarik dari kedua surah tersebut.

2. Allah, Tuhan Yang Maha Esa

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ. اللهُ الصَّمَدُ

112:1. Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
112:2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.

 

Ayat 1.

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ.

112:1. Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.

Untuk menjawab pertanyaan kaum musyrikin Mekkah, dan orang-orang yang membutuhkan penjelasan tentang siapa Allah, maka: “Katakanlah…..” kepada mereka. Berilah mereka penjelasan, berilah mereka wawasan. Yakni wawasan bahwa “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.” Dia adalah Allah Yang Maha Esa. Inilah akar tunggang dari aqidah Islam, pokok pangkal dari keyakinan Islam, puncak dari seluruh bangunan kepercayaan Islam. Pengakuan bahwa yang berhak dipertuhan itu hanya Allah saja, bukan yang lain. Dia Maha Esa dan Keesaan-Nya itu muthlaq. Tunggal, tidak berserikat dengan yang lain. Inilah yang disebut dengan tauḥīd.

Kata tauḥīd berasal dari bahasa ‘Arab waḥḥada, yuwaḥḥidu, tauḥīdan, yang berarti menyatukan Allah. Menyatukan itu ialah dalam pengertian membuat satu dalam ‘aqal, tetapi tidak dalam mempersatukan. Sebab harus dibedakan antara menyatukan dengan mempersatukan. Menyatukan membangun pemahaman tidak boleh ada yang lain kecuali Dia dan Dia hanya Satu. Sebaliknya mempersatukan mengandung arti membuat jadi satu hal-hal yang banyak dan berserak-serak. Kalau makna ini yang difahami maka itu berarti syirik.

Dalam bukunya al-Ḥushun al-Ḥamīdiyyah li Muḥāfazhah ‘alā al-‘Aqā’id al-Islāmiyyah, Ḥusain bin Muḥammad al-Jisr ath-Tharabulis, mengedepankan argument klasik tentang keesaan Allah, sbb.: “Keesaan itu wajib bagi Allah ta‘ālā, dalam arti bahwa Allah itu esa dalam dzāt, sifat dan perbuatan-Nya. Mustahil atas-Nya sifat kebalikan dari Esa yang Allah tidak Esa dalam dzāt-Nya, atau sifat-Nya, atau ada sekutu bagi-Nya yang menyertai Allah dalam tindakan-Nya.

Bukti bahwa Allah itu tidak tersusun baik dalam dzāt maupun sifat-Nya ialah seandainya Allah tersusun dalam dzāt atau sifat-Nya, niscaya Dia menyerupai sesuatu dalam salah satu ketentuan-ketentuan sifat dan dzāt-Nya. Bukti bahwa tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah dalam dzāt dan sifat-Nya itu ialah, seandainya ada sesuatu yang menyerupai Allah dalam dzāt-Nya, maka wajib bagi sesuatu itu hal-hal yang wajib bagi Allah, dan mustahil pula atas sesuatu itu hal-hal yang mustahil atas Allah s.w.t.

Atau seandainya ada sesuatu yang menyerupai Allah dalam sifat-sifatNya yang qadīm, lebih-lebih sempurnanya kekuasaan Allah terhadap seluruh makhluk, niscaya sesuatu yang menyerupai Allah dalam dzāt maupun sifat yang wajib dan qadīm dalam Tuhan pula. Seandainya ada Tuhan bersama Allah di dalam wujud-Nya, niscaya alam semesta ini tidak akan ada, karena alam akan binasa, sebagaimana ditegaskan dalam surah al-Anbiyā’ ayat 22:

لَوْ كَانَ فِيْهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللهُ لَفَسَدَتَا، فَسُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُوْنَ.

Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.”

Penjelasan terhadap dalil ini adalah sbb: Seandainya Tuhan alam semesta ini berbilang seperti dalam alam itu ada dua Tuhan atau lebih banyak lagi, karena tidak ada perbedaan dalam pembuktian ini, niscaya alam ini tidak akan dijumpai ada. Akan tetapi tidak adanya alam ini adalah sesuatu yang batal atau tertolak. Karena alam ini tetap ada dan tetap bisa disaksikan keberadaannya. Oleb sebab itu segala sesuatu yang menyampaikan pemikiran kepada berbilangnya Tuhan adalah batal. Konsekwensi logis dari batalnya berbilang Tuhan itu, menghasilkan bahwa Esanya Allah adalah sesuatu yang benar.

Atau diperkirakan adanya Tuhan itu dua, baik Tuhan itu bersepakat ataupun berselisih, maka alam ini pasti tidak ada. Sebab, jika kedua Tuhan itu membuat kesepakatan dalam menciptakan alam, maka tidak mungkin keduanya mewujudkan alam. Sebab bila alam itu hasil dari dua Tuhan yang merdeka, niscaya terdapat dua alam semesta. Padahal alam semesta ini hanya satu saja. Jika penciptaan alam yang dilakukan oleh dua Tuhan itu, hanya menghasilkan satu alam saja, maka pastilah masing-masing dari dua Tuhan itu, salah satunya, tidak dapat mewujudkan alam sendirian, tapi harus bersekutu dengan Tuhan yang lain.

Jika pemikiran itu yang diberlakukan maka dua Tuhan itu telah tersusun menjadi satu Tuhan, yang penciptaan alam ini dinisbatkan kepadanya tidak dinisbatkan kepada satu dari dua Tuhan itu secara merdeka. Karena dia adalah bahagian dari dzāt yang mewujudkan, bukan dzāt yang mencipta dengan merdeka. Padahal Tuhan alam semesta adalah Tuhan yang menciptakan alam dengan merdeka, karena Ia memiliki kekuatan dan kekuasaan yang sempurna. Sedangkan dzāt yang tidak merdeka adalah dzāt yang lemah dan memerlukan bantuan untuk dirinya.

Jika dikatakan hakikat Tuhan itu adalah eksistensi yang tersusun dari dua bagian, maka sebenarnya sudah jelas bahwa keadaan tersusunnya Tuhan, adalah pemikiran yang keliru dan salah, karena Tuhan mustahil tersusun dari unsur-unsur. Karena Tuhan itu wajib berbeda dengan alam yang sifat esensialnya adalah tersusun dari unsur-unsur. Atau tidak mungkin pula salah satu dari dua Tuhan itu saja yang menciptakan alam, karena itu berarti Tuhan mewujudkan yang sudah ada. Ini jelas-jelas mustahil.

Mustahil pula dalam pemikiran salah satu dari Tuhan itu menciptakan sebahagian saja dari alam semesta ini, sedangkan Tuhan yang lainnya mencipta yang sebahagian lagi. Ini berarti menunjukkan kelemahan kedua Tuhan tersebut, karena kedua Tuhan itu masing-masing mempunyai ketergantungan terhadap yang lainnya, dan berarti kedua Tuhan itu pasti lemah tidak punya kekuasaan dan kekuatan.

Jika kedua Tuhan berselisih, di mana salah satu dari kedua Tuhan bermaksud menciptakan alam, dan Tuhan yang lain bermaksud melenyapkan alam, maka tidak mungkin kehendak dari kedua Tuhan itu berlaku secara bersamaan, yakni alam ada dan alam tidak ada pada waktu bersamaan. Pemikiran ini sudah pasti jungkir balik, tidak dapat diterima oleh akal. Juga tidak boleh terjadi, kehendak salah satu Tuhan tidak terlaksana sedangkan kehendak Tuhan yang satu lagi terlaksana. Maka sudah pasti Tuhan yang kehendaknya tidak terlaksana, bukanlah Tuhan. Tuhan yang lain seperti itu pula, karena antara kedua Tuhan itu terdapat persamaan. Jika dikatakan bahwa kehendak salah satu dari Tuhan itu terlaksana, sedang kehendak Tuhan yang lain tidak terlaksana, maka Tuhan yang kehendaknya terlaksana, tentulah dia yang layak dikatakan Tuhan. Demikian kita kutipkan penjelasan Husein al-Jisr.

Memang argumen tentang Esanya Allah telah menghasilkan pemikiran kalam dalam Sejarah Pemikiran Islam. Pembahasan tentang Keesaan Allah sungguh-sungguh menjadi inti pembahasan, sehingga muncul sebuah disiplin ilmu dalam Ilmu-ilmu Islam yang disebut dengan Ilmu Tauhid.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *