Kedua: Dalam kitab Shaḥīḥ-ul-Bukhārī disebutkan, sebuah riwayat dari Abu Sa‘id-il-Khudri, ia berkata: Pada suatu hari ada seorang laki-laki yang mendengar seseorang membaca sūrat-ul-Ikhlāsh dan mengulang-ulangnya. Ketika pagi harinya laki-laki tersebut menghadap Nabi s.a.w. dan menceritakan hal itu, namun yang dihitung olehnya dan dilaporkan kepada Nabi s.a.w. hanya sedikitnya saja (sedikit dari qirā’ah sūrat-ul-Ikhlāsh yang dibaca oleh orang tadi), lalu Nabi s.a.w. berkata:
وَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ إِنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ.
“Demi Tuhan Yang menggenggam jiwaku, sūrat-ul-Ikhlāsh itu setara dengan sepertiga al-Qur’an.” (8201).
Riwayat lain dari Sa‘id menyebutkan, bahwa Nabi s.a.w. pernah bertanya kepada para sahabatnya:
أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ ثُلُثَ الْقُرْآنِ فِيْ لَيْلَةٍ؟ فَشَقَّ ذلِكَ عَلَيْهِمْ وَ قَالُوْا: أَيُّنَا يُطِيْقُ ذلِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ: اللهُ الْوَاحِدُ الصَّمَدُ ثُلُثُ الْقُرْآنِ.
“Apakah seseorang di antara kalian tidak mampu membaca sepertiga dari al-Qur’an dalam satu malam?” Maka hal itu tentu saja sangat berat untuk mereka, lalu mereka balik bertanya: “Adakah di antara kami yang dapat melakukannya wahai Rasulullah?” beliau menjawab: “Ketahuilah bahwa surah al-Ikhlash itu setara dengan sepertiga al-Qur’an.” (8212) H.R. Muslim, yang diriwayatkan dari Abu Darda’.
Imam Muslim juga meriwayatkan, dari Abu Hurairah, ia berkata: Nabi s.a.w. bersabda:
اِحْشُدُوْا فَإِنِّيْ سَأَقْرَأُ عَلَيْكُمْ ثُلُثَ الْقُرْآنِ. فَحَشَدَ مَنْ حَشَدَ ثُمَّ خَرَجَ نَبِيُّ اللهِ (ص) فَقَرَأَ: قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، ثُمَّ دَخَلَ. فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: إِنِّيْ أُرَى هذَا خَبَرٌ جَاءَهُ مِنَ السَّمَاءِ فَذَاكَ الَّذِيْ أَدْخَلَهُ، ثُمَّ خَرَجَ نَبِيُّ اللهِ (ص) فَقَالَ: إِنِّيْ قُلْتُ لَكُمْ سَأَقْرَأُ عَلَيْكُمْ ثُلُثَ الْقُرْآنِ، أَلَا إِنَّهَا تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ.
“Berkumpullah, karena aku akan membacakan kepada kalian sepertiga al-Qur’an.” Lalu orang-orang di sekitar Nabi s.a.w. pun berkumpul, kemudian Nabi s.a.w. masuk ke dalam rumahnya dan sesaat kemudian keluar lagi seraya melantunkan ayat-ayat dari sūrat-ul-Ikhlāsh, kemudian beliau masuk lagi ke dalam rumahnya. Para pendengar pun kebingungan dan saling bertanya satu sama lain, salah satu dari mereka mengatakan: “Aku berpendapat bahwa beliau akan menerima sesuatu dari langit, itulah yang membuat beliau masuk ke dalam rumahnya.” Tidak lama kemudian Nabi s.a.w. keluar dari rumahnya dan berkata: “Bukankah aku sebelumnya memberitahukan bahwa aku akan membacakan kepada kalian sepertiga dari al-Qur’an, ketahuilah bahwa sūrat-ul-Ikhlāsh itu setara denagn sepertiga al-Qur’an.” (8223).
Beberapa ulama berpendapat, bahwa setaranya surah ini dengan sepertiga al-Qur’an karena surah ini menyebut nama Allah yang berbeda dengan nama yang lain, dan nama ini juga tidak disebutkan pada surah lainnya, yaitu ash-shamad. Begitu pun juga dengan nama aḥad.
Beberapa ulama lainnya berpendapat, bahwa al-Qur’an itu terbagi menjadi tiga bagian, yang pertama adalah tentang hukum, bagian yang kedua adalah tentang janji dan ancaman, sedangkan bagian yang ketiga adalah tentang nama-nama Allah dan sifat-sifatNya. Karena Sūrat-ul-Ikhlāsh ini mencakup nama dan sifat Allah, maka surah ini disetarakan dengan sepertiga al-Qur’an.
Penafsiran yang terakhir ini didukung dengan hadits Nabi s.a.w. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abu Darda’, ia mengatakan bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda:
إِنَّ اللهَ جَزَّأَ الْقُرْآنَ ثَلاَثَةَ أَجْزَاءٍ، فَجَعَلَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ جُزْءًا مِنْ أَجْزَاءِ الْقُرْآنِ.
“Sesungguhnya Allah membagi al-Qur’an menjadi tiga bagian. Dan Allah menjadikan sūrat-ul-Ikhlāsh salah satu bagian dari ketiganya.” (8234) Ini adalah dalil tekstuil yang tidak perlu penafsiran lagi. Dan karena makna inilah dinamakannya sūrat-ul-Ikhlāsh. Wallāhu a‘lam.
Ketiga: Imam Muslim meriwayatkan, dari ‘A’isyah, bahwasanya Nabi s.a.w. pernah mengutus seseorang untuk memimpin satu pleton tentara muslimin dengan membawa suatu tugas. Orang tersebut juga diangkat oleh para sahabat lainnya untuk menjadi imam shalat mereka, namun mereka juga sedikit bingung, karena imam mereka selalu menutup qira’ah shalatnya dengan sūrat-ul-Ikhlāsh. Sepulangnya mereka dari tugas tersebut, mereka segera mengadukan hal ini kepada Nabi s.a.w., dan beliau berkata: “Tanyakanlah kepadanya mengapa ia melakukan hal itu.” Lalu mereka pun segera menanyakannya, dan orang tersebut menjawab: “Karena di dalam surah tersebut terdapat sifat Tuhan, oleh sebab itulah aku senang membaca surah tersebut.” Lalu jawaban ini disampaikan kepada Nabi s.a.w., yang disambut dengan kegembiraan beliau, lalu beliau bersabda: “Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah s.w.t. mencintainya.” (8245).
Sebuah riwayat lain juga disebutkan oleh at-Tirmidzi, dari Anas bin Malik, ia berkata: Pernah ada seorang laki-laki dari golongan Anshar yang dipercaya untuk menjadi imam di masjid Quba, Akan tetapi, setiap kali ia selesai membaca sūrat-ul-Fātiḥah ia selalu mengiringinya dengan membaca sūrat-ul-Ikhlāsh hingga selesai, dan setelah itu barulah ia membaca surah yang lainnya. Hal ini dilakukannya pada setiap rakaat, yang membuat para sahabat yang lain kebingungan, dan akhirnya memutuskan untuk berbicara kepadanya, mereka mengatakan: “Engkau selalu membaca sūrat-ul-Ikhlāsh setelah sūrat-ul-Fātiḥah, lalu apakah engkau tidak cukup dengan membaca surah tersebut hingga engkau juga membaca surah lainnya setelah itu? Alangkah lebih baiknya jika engkau mau memilih, antara hanya membaca sūrat-ul-Ikhlāsh, atau hanya membaca surah lainnya.” Ia menjawab: “Aku tidak mungkin tidak membaca sūrat-ul-Ikhlāsh. Kalau kalian masih menghendaki aku menjadi imam kalian maka ketahuilah bahwa aku akan terus membacanya, namun jika kalian tidak menghendaki bahwa aku akan terus membacanya, namun jika kalian tidak menghendaki maka kalian boleh mencari imam lainnya.” Namun sayangnya masyarakat di sana masih mempercayainya dan menganggapnya sebagai imam yang terbaik, mereka tidak mau jika harus memilih imam lainnya.
Ketika pada suatu hari Nabi s.a.w. mengunjungi mereka di sana, masyarakat pun segera menanyakan hal itu kepada beliau, lalu beliau bertanya kepada sang imam:
يَا فُلَانُ، مَا يَمْنَعُكَ مِمَّا يَأْمُرُ بِهِ أَصْحَابُكَ؟ وَ مَا يَحْمِلُكَ أَنْ تَقْرَأَ هذِهِ السُّوْرَةَ فِيْ كُلِّ رَكَعَةٍ؟ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنِّيْ أُحَبُّهَا فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): إِنَّ حُبَّهَا أَدْخَلَكَ الْجَنَّةَ.
“Wahai fulan, apa sebabnya kamu tidak mau mendengarkan permintaan mereka? Dan apa yang menyebabkan kamu selalu membaca sūrat-ul-Ikhlāsh pada setiap rakaatnya?” ia menjawab: “Wahai Rasulullah, aku sangat mencintai surah tersebut.” Lalu Nabi s.a.w. berkata: “Kecintaanmu terhadap surah itulah yang akan memasukkan kamu ke dalam surga di akhirat nanti.” (8256). At-Tirmidzi mengometari hadits ini termasuk hadits ḥasan gharīb shaḥīḥ.
Ibn-ul-‘Arabi mengatakan (8267): Ini adalah bukti diperbolehkannya mengulang suatu surah pada setiap rakaat. Dan aku juga pernah melihat seorang imam di salah satu mesjid yang secara turun-temurun, mereka hanya membaca sūrat-ul-Fātiḥah dan sūrat-ul-Ikhlāsh pada setiap rakaat ketika shalat tarawih di bulan Ramadhan. Dari dua puluh delapan imam di negeri Turki memang hanya di mesjid itulah yang membaca demikian, namun hal ini diperbolehkan sebagai keringanan dan mencari keutamaan surah tersebut. Lagipula, mengkhatamkan (menyelesaikan) satu al-Qur’an dalam satu bulan Ramadhan bukanlah sesuatu yang disunnahkan.
Menurut saya (al-Qurthubi): Pendapat ini juga disampaikan oleh Imam Malik, ia mengatakan: mengkhatamkan al-Qur’an pada shalat tarawih di mesjid bukanlah sautu rutinitas yang disunnahkan.
Catatan: