SŪRAT-UL-IKHLĀSH.
Firman Allah:
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ. اللهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ. وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
112:1. Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
112:2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
112:3. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan,
112:4. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.
(Sūrat-ul-Ikhlāsh, Ayat: 1-4.)
Untuk surah ini dibahas empat masalah:
Pertama: Firman Allah s.w.t.: (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ.) “Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.” Yakni, Yang Satu, Yang Tunggal, tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak ada persamaan-Nya, tidak ada anak, istri, sekutu, atau apapun juga.
Bentuk awal dari kata (أَحَدٌ) adalah waḥad, lalu huruf wau pada kata tersebut diganti menjadi alif. Adapun mengenai perbedaan antara kata aḥad dan kata wāḥid, telah kami sampaikan sebelumnya pada tafsir surat-ul-Baqarah, dan kami juga telah membahasnya secara lebih mendetail pada kitab kami yang lain, yaitu kitab yang kami beri nama al-Asnā fī Syarḥi Asmā’illāh-il-Ḥusnā.
Kata (أَحَدٌ) pada ayat ini marfū‘ (menggunakan ḥarakat dhammah pada akhir kata) atas dasar makna: huwa aḥad (Dia adalah Satu/Tunggal/Esa).
Namun ada juga yang berpendapat, bahwa makna dari ayat ini adalah: katakanlah, bahwasanya Allah itu Maha Esa.
Ada juga yang berpendapat, bahwa kata (أَحَدٌ) adalah badal dari lafzh-ul-jalālah (اللهُ).
Kebanyakan ulama membaca kata (أَحَدٌ) hanya menggunakan ḥarakat dhammah saja, tanpa tanwin (8131). Dengan tujuan, agar dibacanya lebih mudah jika ayat ini disambungkan dengan ayat setelahnya. Dengan begitu maka kedua kalimat tersebut akan terhindar dari bertemunya dua sukūn (pada akhiran un dan pada awalan al, yakni aḥad-ullāh-ush-shamad, namun beberapa ulama mengantisipasinya dengan memberi ḥakarat kasrah pada huruf nūn yang tergabung pada tanwin, mereka membacanya: aḥadu-n-illāh-ush-shamad.
Firman Allah s.w.t. selanjutnya: (اللهُ الصَّمَدُ.) “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” Yakni, yang disandarkan pada setiap kebutuhan. Begitulah makna yang diriwayatkan oleh adh-Dhahhak dari Ibnu ‘Abbas, seperti makna yang disebutkan pada firman Allah s.w.t.: (ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تُجْئَرُوْنَ.) “Dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya kamu meminta pertolongan.” (8142).
Para ulama bahasa mengatakan: kata ash-shamad artinya adalah tuan yang diandalkan ketika terjadi musibah atau membutuhkan sesuatu.
Sekelompok orang mengartikan kata ini dengan makna: Yang selalu ada dan selalu akan tetap ada, Yang terdahulu dan tidak akan hilang eksistensi-Nya.
Lalu ada juga yang menafsirkan, bahwa penafsiran ayat ini disebutkan pada ayat setelahnya, yaitu: “Tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.”
Makna ini pula yang disampaikan oleh Ubai bin Ka‘ab, ia mengatakan: ash-Shamad adalah Yang tidak memiliki anak dan tidak pula terlahirkan, karena setiap yang terlahirkan pasti akan mati, dan setiap yang mati pasti akan mewariskan.
‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Abu Wa’il Syaqiq bin Salamah, dan Sufyan, menafsirkan bahwa makna ash-shamad adalah seorang tuan yang memiliki kedudukan, kehormatan, dan kekuasaan yang paling tertinggi.
Abu Hurairah menafsirkan, bahwa maknanya adalah: yang tidak membutuhkan apapun dan siapapun, namun dibutuhkan oleh semuanya.
As-Suddi menafsirkan, bahwa maknanya adalah: Yang dituju ketika ada suatu kebutuhan dan Yang diminta pertolongan ketika ada suatu musibah.
Al-Husain bin al-Fadhl menafsirkan, bahwa maknanya adalah: Yang melakukan apapun yang dikehendaki dan memutuskan apapun yang diinginkan.
Muqatil menafsirkan, bahwa maknanya adalah: Yang sempurna yang tidak memiliki suatu aib atau kecelaan walau sedikit pun.
Al-Hasan (8153), ‘Ikrimah, adh-Dhahhak, dan Ibnu Jubair juga menafsirkan, bahwa maknanya adalah: yang tidak berlubang (tempat pembuangan) dan tidak memiliki perut (tidak butuh makanan untuk menjaga keberlangsungan hidup atau apapun juga).
Menurut saya (al-Qurthubi): Kami telah merincikan semua pendapat ulama mengenai kata ash-shamad dalam kitab kami yang lain, yaitu kitab al-Asnā.
Pendapat yang paling benar adalah pendapat yang memaknainya dengan memperhatikan kata awalnya, yaitu pendapat yang pertama. Rangkuman ini disampaikan oleh al-Khaththabi.
Surah ini adalah surah yang sangat agung maknanya, yang memiliki makna tauhid, yang diturunkan kepada Nabi s.a.w. sesuai dengan kondisi dan kejadian pada saat itu. Namun, sepertinya sebagian orang menganggap Kalim Ilahi ini sebagai kalimat biasa saja, dan di antara mereka ada yang mencoba untuk menghilangkan beberapa kata pada surah ini, mereka membacanya: huwallāh-ul-wāḥid-ush-shamad (8164), bahkan mereka membacanya di dalam shalat, ketika para jamaahnya semua mendengarkan ayat-ayat yang dibacanya.
Yang dihilangkan dari surah ini adalah kalimat qul huwa, mereka mengira bahwa kalimat tersebut tidak termasuk ayat al-Qur’an, dan mereka juga mengganti kata aḥad menjadi wāḥid, dan mengklaim bahwa kata itulah yang lebih benar, sedangkan yang dibaca oleh orang lain adalah salah dan qirā’ah yang tidak masuk akal.
Namun dengan membacanya seperti itu artinya mereka telah menghilangkan sebagian makna ayat, karena para ulama tafsir meriwayatkan, bahwa ayat ini diturunkan sebagai jawaban atas orang-orang musyrik ketika mereka berkata dengan Nabi s.a.w.: “Deskripsikanlah Tuhan kami kepada kami. Apakah Tuhanmu terbuat dari emas, atau terbuat dari tembaga, ataukah terbuat dari kuningan?” maka Allah menurunkan firman-Nya kepada Nabi s.a.w. sebagai jawaban atas mereka: (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ.) “Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.”
Pada kata (هُوَ) di sini terdapat bukti bahwa kalimat itu adalah jawaban dan respon dari suatu pertanyaan, apabila kata itu tidak disebutkan maka hilanglah sebagian makna ayat tersebut, sekaligus melangkahi Allah dan mendustakan Rasul-Nya.
Keterangan ini berdasarkan atas riwayat yang disampaikan oleh at-Tirmidzi, dari Ubai bin Ka‘ab, ia mengatakan bahwa pada ketika itu orang-orang musyrik berkata kepada Nabi s.a.w.: “Terangkanlah kepada kami bagaimana Tuhan kamu itu.” Lalu Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya: (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ. اللهُ الصَّمَدُ.) “Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu”.” (8175).
Al-Khaththabi mengartikan kata ash-shamad pada ayat ini dengan makna: Yang tidak memiliki anak dan tidak pula terlahirkan, karena setiap yang terlahirkan pasti akan mati, dan setiap yang mati pasti akan mewariskan, sedangkan Allah tidak akan pernah mati dan tidak pula mewariskan.
Adapun makna dari firman Allah s.w.t.: (وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ) “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” Adalah: Allah tidak serupa atau setara dengan siapapun, dan tidak ada yang dapat menyerupai atau menyetarakan-Nya.
Sebuah riwayat dari Abul-‘Aliyah menyebutkan, bahwa setelah Nabi s.a.w. menyebutkan tuhan-tuhan yang mereka sembah itu lalu mereka bertanya: “Gambarkanlah kepada kami mengenai Tuhan yang kamu sembah.” Lalu malaikat Jibril menyampaikan wahyu Allah kepada Nabi s.a.w.: (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ.) “Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.”
Lalu Abul-‘Aliyah juga menyebutkan riwayat yang sama dengan riwayat sebelumnya, namun pada riwayat ini Abul-‘Aliyah tidak menyebutkan nama Ubai bin Ka‘ab seperti sebelumnya, dan inilah yang lebih benar.
Keterangan ini disampaikan oleh at-Tirmidzi.
Menurut saya (al-Qurthubi): Pada hadits (yang dipersingkat) ini jelas sekali bahwa lafazh ayat adalah: (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ.) “Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.”, dan hadits ini juga menerangkan makna dari kata ash-shamad yang sebenarnya. Dan riwayat hadits yang sama juga disampaikan oleh ‘Ikrimah.
Ibnu ‘Abbas menafsirkan, bahwa makna dari firman Allah s.w.t.: (لَمْ يَلِدْ) “Dia tiada beranak.” Adalah: Allah tidak beranak seperti halnya Maryam. (وَ لَمْ يُوْلَدْ) “dan tiada pula diperanakkan.” Yakni: Allah tidak diperanakkan seperti halnya ‘Isa dan ‘Uzair.
Ayat ini sekaligus menjadi sindiran terhadap orang-orang Nashrani dan Yahudi yang menganggap ‘Isa dan ‘Uzair adalah Anak Allah.
(وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ) “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” Yakni: tidak ada yang menyerupai-Nya.
Pada ayat yang terakhir ini terdapat taqdīm dan ta’khīr (kata yang dimajukan dan kata yang diakhirkan), di mana khabar kāna (yaitu kata (كُفُوًا)) dimajukan terhadap isim kāna (أَحَدٌ). Biasanya kalimat yang menyebutkan kata kāna seperti ini maka yang disebutkan setelahnya adalah isim-nya dahulu baru setelah itu khabar-nya, namun untuk menyesuaikan irama akhir-akhirnya ayat agar terbentuk menjadi satu, maka khabar kāna pada ayat ini diakhirkan, dan bentuk kalimat seperti ini merupakan bentuk bahasa yang sangat tinggi.
Untuk qirā’ah, kata (كُفُوًا) pada ayat ini dibaca oleh sebagian ulama dengan menggunakan ḥarakat dhammah pada huruf fā’ (kufuan) dan sebagian lainnya menggunakan sukūn (kuf’an) (8186), namun kedua qirā’ah ini adalah bentuk bahasa yang benar, karena seperti yang telah kami jelaskan pada sūrat-ul-Baqarah, bahwa setiap isim yang terdiri dari tiga huruf dan huruf awalnya menggunakan harakat dhammah, maka pada huruf tengahnya boleh menggunakan sukun dan boleh juga menggunakan harakat dhammah. Kecuali, isim yang disebutkan pada firman Allah s.w.t. (وَ جَعَلُوْا لَهُ مِنْ عِبَادِهِ جُزْءًا.) “Dan mereka menjadikan sebagian dari hamba-hambaNya sebagai bagian daripada-Nya.” (8197).
Dan ada qirā’ah ketiga yang berbeda dari kedua qirā’ah di atas, yaitu qirā’ah yang dibaca oleh Hafsh, ia membacanya kufuwan (dengan menggunakan ḥarakat dhammah pada huruf fā’ namum tanpa menggunakan huruf hamzah di belakang kata), dan qirā’ah ini juga termasuk bentuk bahasa yang fasih.
Catatan: