(قُلْ هُوَ) Nama Allah s.w.t. yang mulia disebutkan dengan dhamīr sya’n bertujuan untuk ta‘zhīm dan ijlāl (pengagungan).
(اللهُ الصَّمَدُ) kedua kata tersebut berbentuk ma‘rifat berfaedah untuk takhshīsh (pengkhususan).
(لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ) dalam kalimat tersebut terdapat jinās nāqish karena perubahan harakat dan sebagian huruf.
(قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ) kalimat tersebut meniscayakan penafian sekutu dan anak, dan firman-Nya (وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ) merupakan takhshīsh (khusus) setelah ta‘mīm (umum) untuk menambah penjelasan dan penegasan terhadap apa yang disebut dengan tajrīd dan tafrīd (pengesaan).
Kata-kata (أَحَدٌ), (وَ لَمْ يُوْلَدْ), (الصَّمَدُ), (أَحَدٌ) adalah sajak murashsha‘.
(أَحَدٌ) satu dalam Dzat-Nya, tidak tersusun dari berbagai partikel materi dan tidak pula dari selain materi. Kata itu juga merupakan penyifatan keesaan dan penafian sekutu.
(الصَّمَدُ) tempat bergantung dalam segala kebutuhan secara permanen.
(لَمْ يَلِدْ) tidak beranak karena Dia tidak membutuhkan sesuatu untuk menolong-Nya. Dia juga berbeda jenis dengan selain-Nya dan ini merupakan penafian sesuatu yang menyerupai atau sejenis dengan-Nya.
(وَ لَمْ يُوْلَدْ) dan tidak diperanakkan, karena Dia Maha Terdahulu, bukan sesuatu yang baru. Segala sifat ḥudūts (baru) tidak ada pada-Nya. Dia disifati dengan qidam (terdahulu) dan awwaliyyah (paling awal).
(كُفُوًا) sekutu atau serupa. Maksudnya adalah tiada seorang pun yang menyerupai-Nya.
“Katakanlah (Muhammad): “Dialah Allah, Yang Maha Esa.” (al-Ikhlāsh: 1).
Wahai Rasul, katakanlah kepada orang yang memintamu untuk menyifati Tuhanmu, bahwa Allah Maha Esa dalam dzat dan sifat-Nya, serta tiada sekutu dan tandingan bagi-Nya. Ini merupakan penyifatan dengan keesaan dan menafikan sekutu. Maknanya adalah Dialah Allah yang kalian ketahui dan yakini bahwa Dia adalah Pencipta langit, bumi, dan kalian. Dia Maha Esa dengan sifat ketuhanan-Nya dan tiada sekutu bagi-Nya dalam ketuhanan. Ini menafikan berbilangnya dzat.
“Allah tempat meminta segala sesuatu.” (al-Ikhlāsh: 2).
Dzat yang dibuat bergantung dalam segala kebutuhan karena Dialah yang mampu untuk mewujudkannya. Maknanya, Allah adalah Dzat tempat bergantung seluruh makhluk, tiada seorang pun yang tidak membutuhkan-Nya, sedangkan Dia tidak membutuhkan mereka. Ini merupakan bantahan atas keyakinan kaum musyrikin ‘Arab dan orang-orang semisal mereka akan adanya perantara dan dzat selain Allah yang memberikan syafaat (pertolongan).
Ibnu ‘Abbas berkata mengenai tafsiran dari kata ash-Shamad: “Yaitu Dialah yang dituju oleh seluruh makhluk dalam memenuhi kebutuhan dan permintaan mereka.” Dia adalah Tuan yang telah sempurna kekuasaan-Nya, Dzat Maha Mulia yang sempurna kemuliaan-Nya, Dzat Maha Agung yang sempurna keagungan-Nya, Dzat Maha Lembut yang sempurna kelembutan-Nya, Dzat Maha Mengetahui yang sempurna illmu-Nya dan Dzat Maha Bijaksana yang sempurna kebijaksanaan-Nya. Demikian juga Dialah Dzat yang telah sempurna dalam segala kemuliaan dan kekuasaan-Nya, Dialah Allah s.w.t. Sifat-sifatNya ini tidak boleh disematkan melainkan kepada-Nya. Dia tidak mempunyai tandingan dan tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Maha Suci Allah yang Maha Esa dan Maha Menaklukkan.”
“(Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.” (al-Ikhlāsh: 3).
Tidak ada anak yang lahir dari-Nya dan Dia tidak lahir dari apa pun. Dia tidak sejenis dengan apa pun. Dia Maha Terdahulu, tidak sesuatu yang baru (diciptakan). Tidak ada permulaan bagi-Nya dan Dia bukan merupakan jisim. Ini merupakan penafian terhadap sekutu dan jenis, serta penyifatan qadīm (terdahulu) dan awwaliyyah (awal) serta menafikan ḥudūts (baru/diciptakan). Dalam kalimat pertama merupakan penafian adanya anak bagi Allah s.w.t. dan bantahan kepada kaum musyrikin yang menyangka bahwa para malaikat adalah putri-putri Allah. Bantahan juga terhadap orang-orang Yahudi yang mengatakan bahwa ‘Uzair adalah adalah putra Allah dan terhadap orang-orang Nashari yang mengatakan bahwa al-Masih adalah putra Allah. Sementara itu, pada kalimat kedua terdapat penafian adanya orang tua bagi Allah dan penafian bahwa Allah s.w.t. bermula dari ketidakadaan.
“Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (al-Ikhlāsh: 4).
Tiada seorang pun yang menandingi dan menyamai Allah. Ini merupakan penafian terhadap adanya istri bagi Allah s.w.t. dan bantahan terhadap kaum musyrikin ‘Arab yang meyakini bahwa Allah s.w.t. mempunyai tandingan dalam perbuatan-perbuatanNya, di mana mereka (kaum musyrikin) menjadikan para malaikat sebagai sekutu-sekutu Allah, dan berhala-berhala serta patung-patung sebagai tandingan bagi Allah s.w.t. Surah ini mempunyai kesamaan di dalam ayat-ayat yang lain, seperti firman Allah s.w.t.:
“Dia (Allah) Pencipta langit dan bumi. Bagaimana (mungkin) Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu.” (al-An‘ām: 101).
Yakni Dialah yang memiliki dan menciptakan segala sesuatu. Lantas bagaimana mungkin ada makhluk-Nya yang menandingi-Nya? Dan firman-Nya:
“Dan tidak mungkin bagi (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, melainkan akan datang kepada (Allah) Yang Maha Pengasih sebagai seorang hamba. Dia (Allah) benar-benar telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan setiap orang dari mereka akan datang kepada Allah sendiri-sendiri pada hari Kiamat.” (Maryam: 92-95).
Dan firman-Nya:
“Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pengasih telah menjadikan (malaikat) sebagai anak.” Maha Suci Dia. Sebenarnya mereka (para malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan, mereka tidak berbicara, mendahului-Nya dan mereka mengerjakan perintah-perintahNya.” (al-Anbiyā’: 26-27).
Dalam Shaḥīḥ Bukhari disebutkan:
لَا أَحَدَ أَصْبِرُ عَلَى أَذًى سَمِعَهُ مِنَ اللهِ، إِنَّهُمْ يَجْعَلُوْنَ لَهُ وَلَدًا، وَ هُوَ يَرْزُقُهُمْ وَ يُعَافِيْهِمْ.
“Tidak ada yang paling sabar atas ucapan yang menyakitkan yang melebihi kesabaran Allah. Mereka mengatakan bahwa Allah mempunyai anak, tetapi Allah tetap memberikan rezeki dan memaafkan mereka.”
Bukhari dan ‘Abd-ur-Razzaq meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi s.a.w., beliau bersabda:
قَالَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ: كَذَّبَنِي ابْنُ آدَمَ، وَ لَمْ يَكُنْ لَهُ ذلِكَ، وَ شَتَمَنِيْ وَ لَمْ يَكُنْ لَهُ ذلِكَ، فَأَمَّا تَكْذِيْبُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ: لَنْ يُعِيْدَنِيْ كَمَا بَدَأَنِيْ. وَ لَيْسَ أَوَّلُ الْخَلْقِ بِأَهْوَنَ عَلَيَّ مِنْ إِعَادَتِهِ، وَ أَمَّا شَتْمُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ: اِتَّخَذَ اللهُ وَلَدًا، وَ أَنَا الْأَحَدُ الصَّمَدُ، لَمْ أَلِدْ وَ لَمْ أُوْلَدْ، وَ لَمْ يَكُنْ لِيْ كُفُوًا أَحَدٌ.
“Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Anak Adam mendustakan-Ku dan seharusnya tidak demikian. Dia juga mencela-Ku dan seharusnya tidak demikian. Adapun pendustaannya kepada-Ku adalah perkataannya bahwa Aku tidak akan mampu mengembalikan (makhluk) seperti sedia kala. Dan menciptakan tidak lebih mudah daripada mengembalikan. Adapun celaannya kepada-Ku adalah perkataannya bahwa Allah menjadikan seorang anak, padahal Aku adalah Maha Esa dan tempat bergantung, tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tiada seorang pun menjadi sekutu bagi-Ku.”
Surah pendek ini mengandung penetapan dan penafian sekaligus. Surah ini telah menjelaskan bahwa Allah Maha Esa dalam dzat dan hakikat-Nya, terbebas dari segala bentuk tarkīb (rangkaian/susunan). Surah ini menafikan segala bentuk keterbilangan dari Dzat Allah s.w.t. dengan firman-Nya: (اللهُ أَحَدٌ).
Surah ini juga menjelaskan bahwa Allah s.w.t. Maha Kaya dengan Dzat-Nya lagi mulia dan penyayang. Seluruh makhluk membutuhkan-Nya dalam memenuhi segala kebutuhan mereka. Dia memiliki seluruh sifat kesempurnaan dan kemuliaan. Dia tidak membutuhkan apapun kepada yang lain dengan firman-Nya: (اللهُ الصَّمَدُ).
Surah ini juga menetapkan bahwa Allah adalah Maha Esa, tidak ada sesuatu pun yang sejenis dengan-Nya, tidak melahirkan seorang pun dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Surah ini juga menafikan dari Allah akan adanya jenis dan sekutu, dengan firman-Nya: (لَمْ يَلِدْ).
Demikian pula Dia adalah Dzat Yang Maha Terdahulu, paling awal di zaman azali, tidak didahului dengan ketidakadaan, tiada yang melahirkan dan mendahului-Nya. Surah ini juga menafikan sifat ḥudūts (baru) dari Allah s.w.t. dengan firman-Nya: (وَ لَمْ يُوْلَدْ).
Allah s.w.t. tidak mempunyai tandingan dalam wujud-Nya, tidak ada sekutu dan istri, dengan firman-Nya: (وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ).
Segala hal yang ditetapkan dalam surah ini merupakan penetapan aqidah Islam yang berdiri tegak di atas tauḥīd, tanzīh, dan taqdīs (penyucian). Segala hal yang dinafikan dalam surah ini adalah bantahan terhadap orang-orang yang memiliki aqidah sesat, seperti kaum pagan (penyembah berhala) yang mengatakan bahwa ada dua tahun dari alam ini, yaitu tuhan cahaya dan tuhan kegelapan. Kaum Nashrani yang mengatakan adanya trinitas, kaum Sha’ibah yang menyembah tata surya dan bintang-bintang, kaum Yahudi yang mengatakan bahwa ‘Uzair adalah anak Allah dan kaum musyrikin yang mengatakan bahwa para malaikat adalah putri-putri Allah, semua dibantah oleh surah ini.
Firman Allah (أَحَدٌ) merupakan bantahan terhadap keyakinan kaum pagan, firman-Nya: (اللهُ الصَّمَدُ) membantah keyakinan orang yang menetapkan pencipta selain Allah. Jika ada pencipta selain Allah, pastilah ia berhak untuk jadi tempat bergantung untuk memenuhi segala kebutuhan. Firman-Nya: (لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ) bantahan terhadap kaum Yahudi atas keyakinan mereka terhadap ‘Uzair dan kaum Nashrani atas keyakinan mereka terhadap al-Masih, serta kaum musyrikin atau keyakinan mereka bahwa para malaikat adalah putri-putri Allah.
Firman-Nya: (وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ) merupakan bantahan terhadap kaum musyrikin yang menjadikan berhala-berhala sebagai tandingan dan sekutu bagi Allah.
Para ulama berkata: “Surah ini dalam hak Allah s.w.t. seperti surah al-Kautsar dalam hak Rasulullah s.a.w. Akan tetapi celaan dalam hak Rasulullah s.a.w. disebabkan mereka berkata bahwa beliau terputus tidak punya anak. Dalam surah ini, celaan mereka disebabkan mereka menetapkan anak bagi Allah. Tidak mempunyai anak dalam konteks manusia merupakan aib dan adanya anak dalam konteks Allah s.w.t. merupakan aib juga. Oleh karena itu, Allah s.w.t. berfirman dalam surah ini (قُلْ) untuk membela hak Allah, sedangkan di surah al-Kautsar, Allah tidak berfirman: (قُلْ), tetapi Allah berfirman secara langsung sehingga secara langsung Allah s.w.t. membela Rasulullah s.a.w. (2821).