Surah al-Humazah 104 ~ Tafsir al-Azhar

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Sūrat-ul-Humazah

(Seorang Pengumpat)
Surat ke-104, 9 Ayat
Diturunkan di Makkah

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang

 

وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ. الَّذِيْ جَمَعَ مَالًا وَ عَدَّدَهُ. يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ.

104:1. Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela,
104:2. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya,
104:3. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya,

Wailun!” “Kecelakaan besar bagi tiap-tiap pengumpat.” (pangkal ayat 1). Pengumpat ialah suka memburuk-burukkan orang lain; dan merasa bahwa dia saja yang benar. Kerapkali keburukan orang dibicarakannya di balik pembelakangan orang itu, padahal kalau berhadapan dia bermulut manis: “Pencela.” (ujung ayat 1). Tiap-tiap pekerjaan orang, betapa pun baiknya, namun bagi dia ada saja cacatnya, ada saja celanya. Dan dia lupa memperhatikan cacat dan cela yang ada pada dirinya sendiri.

Yang mengumpul-ngumpulkan harta dan menghitung-hitungnya.” (ayat 2). Yang menyebabkan dia mencela dan menghina orang lain, memburuk-burukkan siapa saja ialah karena kerjanya sendiri hanya mengumpulkan harta kekayaan buat dirinya. Supaya orang jangan mendekat, dipagarinya dirinya dengan memburukkan dan menghina orang. Karena buat dia tidak ada kemuliaan, tidak ada kehormatan dan tidak akan ada harga kita dalam kalangan manusia kalau saku tidak berisi. Tiap-tiap membumbung menggelembung isi puranya, tiap-tiap naik melangit pula suaranya. Dia benci kepada kebaikan dan kepada orang yang berbuat baik. Dia benci kepada pembangunan untuk maslahat umum. Asal ada orang datang mendekati dia, disangkanya akan meminta hartanya saja. Kadang-kadang orang dikata-katainya. Tidak atau jarang sekali dia berfikir bahwa perbuatannya mengumpat dan mencela dan memburukkan orang lain adalah satu kesalahan besar dalam masyarakat manusia beriman, yang akan menyebabkan kesusahan bagi dirinya sendiri di belakang hari. Sebab: “Dia menyangka bahwa hartanya itulah yang akan memeliharanya.” (ayat 3). Dengan harta bendanya itu dia menyangka akan terpelihara dari gangguan penyakit, dari bahaya terpencil dan dari kemurkaan Tuhan. Karena jiwanya telah terpukau oleh harta bendanya itu menyebabkan dia lupa bahwa hidup ini akan mati, sihat ini akan sakit, kuat ini akan lemah. Menjadi bakhillah dia, kikir dan mengunci erat peti harta itu dengan sikap kebencian.

كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ. وَ مَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ. نَارُ اللهِ الْمُوْقَدَةُ. الَّتِيْ تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِ. إِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُّؤْصَدَةٌ. فِيْ عَمَدٍ مُّمَدَّدَةٍ

104:4. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Ḥuthamah.
104:5. Dan tahukah kamu apa Ḥuthamah itu?
104:6. (Yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan,
104:7. Yang (membakar) sampai ke hati.
104:8. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka,
104:9. (Sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.

 

Sekali-kali tidak!” (pangkal ayat 4). Artinya bahwa pekerjaannya mengumpulkan harta benda itu, yang disangkanya akan dapat memelihara dirinya dari sakit, dari tua, dari mati ataupun dari adzab siksa neraka, tidaklah benar; bahkan “Sesungguhnya dia akan dihumbankan ke Ḥuthamah,” (ujung ayat 4). Sebab dia bukanlah seorang yang patut dihargai. Dia mengumpulkan dan menghitung-hitung harta, namun dia mencela dan menghina dan memburuk-burukkan orang lain, mengumpat dan menggunjing. Orang itu tidak ada faedah hidupnya. Nerakalah akan tempatnya. Ḥuthamah nama neraka itu.

Dan sudahkah engkau tahu?” – ya Utusan Tuhan – “Apakah Ḥuthamah itu?” (ayat 5).

Bersifat pertanyaan dari Tuhan kepada Nabi-Nya untuk menarik perhatian beliau tentang ngerinya Ḥuthamah itu!

(Ialah) Api neraka yang dinyalakan.” (ayat 6). Karena selalu dinyalakan, berarti tidak pernah dibiarkan lindap apinya, bernyala terus, karena ada malaikat yang dikhususkan kerjanya menjaga selalu kenyalaan itu, lantaran itu maka berkobarlah dia terus.

Yang menjulang ke atas segala hati itu.” (ayat 7).

Maka hanguslah selalu, terpangganglah selalu hati mereka itu. Yaitu hati yang sejak dari masa hidup di dunia penuh dengan kebusukan, merugikan orang lain untuk keuntungan diri sendiri, menginjak-injak orang lain untuk kemuliaan diri.

Sesungguhnya neraka itu, atas mereka dikunci erat.” (ayat 8). Artinya, setelah masuk ke sana mereka tidak akan dikeluarkan lagi, dikunci mati di dalamnya: “Dengan palang-palang yang panjang melintang.” (ayat 9).

Kalau difikirkan secara mendalam, ancaman sekejam ini adalah wajar dan setimpal terhadap manusia-manusia yang bersifat seperti digambarkan dia dalam ayat itu: pengumpat pencela, mengumpul harta dan menghitung-hitung, dengan mata yang jeli melihat ke kiri dan ke kanan, kalau-kalau ada orang yang mendekat akan meminta. Sikapnya penuh rasa benci. Dan bila harta-benda itu telah masuk ke dalam simpanannya, jangan diharap akan keluar, kecuali untuk membeli kain kafannya. Setelah harta itu masuk jauh, jangan seorang jua pun yang tahu. Maka hukuman yang akan diterimanya kelak, yaitu dimasukkan ke dalam neraka yang bernama Ḥuthamah, yang apinya bernyala terus, dan nyala api itu akan membakar jantung hatinya selalu, hati yang penuh purbasangka. Semua itu adalah ancaman yang sepadan.

Dan kemudian pintu neraka Ḥuthamah itu ditutup rapat-rapat, setelah mereka berada di dalamnya, dikunci pula mati-mati, bahkan diberi palang yang panjang melintang sehingga tidak dapat dihungkit lagi, seimbang pulalah dengan sikap mereka tatkala di dunia dahulu, mengunci rapat pura pundi-pundi atau peti uangnya, yang tidak boleh didekati oleh siapa saja.

Kadang-kadang orang yang seperti ini tidak keberatan mengurbankan agamanya, tanah-airnya, atau perikesopanannya kaumnya asal dia mendapat uang yang akan dikumpulkan itu. Kadang-kadang anak kandungnya atau saudara kandungnya kalau masih akan dapat memberi keuntungan harta baginya, tidaklah dia keberatan mengurbankan. Hati itu sudah sangat membatu, sehingga tidak ada perasaan halus lagi. Jika disalai, disangai (to heat up), atau disula (menikam dari pantat sampai ke perut dengan sula (sebagai hukuman)) dengan api laksana mengelabu, tidak jugalah lebih dari patut.

Kita berdoa moga-moga janganlah kita ditimpa penyakit seperti: membatu hati dalam dunia karena harta dan disangai, dinyalai api di neraka Ḥuthamah karena telah membatu.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *