Surah al-Hasyr 59 ~ Tafsir Hidayat-ul-Insan (2/3)

Tafsīru Hidāyat-il-Insān
Judul Asli: (
هداية الإنسان بتفسير القران)
Disusun oleh:
Abū Yaḥyā Marwān Ḥadīdī bin Mūsā

Tafsir Al Qur’an Al Karim Marwan Bin Musa
Dari Situs: www.tafsir.web.id

Rangkaian Pos: Surah al-Hasyr 59 ~ Tafsir Hidayat-ul-Insan

Ayat 6-7: Hukum fai’i.

وَ مَا أَفَاءَ اللهُ عَلَى رَسُوْلِهِ مِنْهُمْ فَمَا أَوْجَفْتُمْ عَلَيْهِ مِنْ خَيْلٍ وَ لَا رِكَابٍ وَ لكِنَّ اللهَ يُسَلِّطُ رُسُلَهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَ اللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.

  1. Dan harta rampasan (fai’i) (18371) dari mereka yang diberikan Allah kepada Rasūl-Nya, kamu tidak memerlukan kuda atau unta untuk mendapatkannya (1838), tetapi Allah memberikan kekuasaan kepada rasūl-rasūl-Nya terhadap siapa yang Dia kehendaki (1839). Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

مَّا أَفَاءَ اللهُ عَلَى رَسُوْلِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَ لِلرَّسُوْلِ وَ لِذِي الْقُرْبَى وَ الْيَتَامَى وَ الْمَسَاكِيْنِ وَ ابْنِ السَّبِيْلِ كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَ مَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَ مَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا وَ اتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ.

  1. Harta rampasan fai’i yang diberikan Allah kepada Rasūl-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri (18402), adalah untuk Allah, Rasūl, kerabat (rasūl) (18413), anak-anak yatim, orang-orang miskin (18424) dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu (18435). Apa yang diberikan Rasūl kepadamu (18446), maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah (18457). (18468) Dan bertaqwālah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukumannya (18479).

Ayat 8-10: Beberapa ayat ini menyebutkan tentang umat Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam, dimulai dengan kaum Muhājirīn dan Anshār.

لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِيْنَ الَّذِيْنَ أُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ وَ أَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللهِ وَ رِضْوَانًا وَ يَنْصُرُوْنَ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ أُولئِكَ هُمُ الصَّادِقُوْنَ.

  1. (184810) (harta rampasan itu) juga untuk orang-orang fakir yang berhijrah (184911) yang terusir dari kampung halamannya dan meninggalkan harta bendanya demi mencari karunia dari Allah dan keridhāan-Nya dan (demi) menolong (agama) Allah dan Rasūl-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.

وَ الَّذِيْنَ تَبَوَّؤُوا الدَّارَ وَ الْإِيْمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَ لَا يَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوْتُوْا وَ يُؤْثِرُوْنَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَ لَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَ مَنْ يُوْقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ.

  1. (185012) Dan orang-orang (Anshār) yang telah menempati kota Madīnah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhājirīn), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka (185113). Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhājirīn) (185214); dan mereka mengutamakan (Muhājirīn), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan (185315). Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran (185416), maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.

وَ الَّذِيْنَ جَاؤُوْا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَ لِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ وَ لَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ آمَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ.

  1. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhājirīn dan Anshār), mereka berdoa (185517): “Ya Tuhan Kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami (185618), dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sungguh, Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”

Catatan:

  1. 1837). Fai-i ialah harta rampasan yang diperoleh dari orang-orang kafir tanpa terjadinya pertempuran, misalnya harta yang mereka tinggal lari karena takut kepada kaum muslimīn. Harta tersebut dinamakan fai’i yang artinya kembali, karena harta itu kembali dari orang-orang kafir yang tidak berhak memilikinya kepada kaum muslimīn yang memiliki hak terhadapnya. Pembagian fai’i berlainan dengan pembagian ghanīmah (harta rampasan yang diperoleh dari musuh setelah terjadi pertempuran). Pembagian Fai’i disebutkan pada ayat 7 surah ini, sedangkan pembagian ghanīmah disebutkan dalam surah al-Anfāl ayat 41.
    Pembagian fai’i, berdasarkan ayat ke-7 surah al-Ḥasyr ini adalah dibagi menjadi lima bagian:
    – 1/5 untuk Allah dan Rasūl-Nya shallallāhu ‘alaihi wa sallam yang kemudian dialihkan untuk maslahat kaum muslimīn secara umum,
    – 1/5 untuk kerabat Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam (Bani Hāsyim dan Bani Muththalib), di mana antara laki-laki dan perempuannya disamaratakan. Bani Muththalib mendapatkan 1/5 bersama Bani Hāsyim sedangkan Bani ‘Abdi Manāf yang lain tidak, karena mereka (Bani Muththalib) ikut serta dengan Bani Hāsyim dalam masuknya mereka ke dalam satu suku besar ketika orang-orang Quraisy mengadakan kesepakatan untuk menjauhi dan memusuhi mereka; mereka menolong Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam berbeda dengan selain mereka. Oleh karena itu, Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang Bani Muththalib, “Sesungguhnya mereka tidak berpisah denganku di masa Jahiliyyah maupun Islam.”
    – 1/5 untuk anak-anak yatim yang fakir, yaitu anak-anak yang ditinggal wafat bapaknya sedangkan mereka belum bāligh.
    – 1/5 untuk orang-orang miskin, dan
    – 1/5 lagi untuk Ibn-us-Sabīl, yaitu orang asing yang terputus dalam perjalanan karena kehabisan bekal.
  2. 1840). Baik Allah subḥānahu wa ta‘ālā memberikannya saat Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam masih hidup ataupun setelahnya kepada orang yang menjadi pengganti Beliau dalam memerintah umatnya (pemerintah Islam).
  3. 1841). Yang terdiri dari Bani Hāsyim dan Bani Muththalib.
  4. 1842). Orang yang membutuhkan.
  5. 1843). Allah subḥānahu wa ta‘ālā menetapkan fai’i untuk kelima asnāf (golongan) ini adalah agar harta tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. Karena jika Dia tidak menetapkan demikian, maka harta itu hanya beredar di antara orang-orang kaya saja, sedangkan orang-orang lemah tidak memperolehnya dan tentu hal itu akan menimbulkan kerusakan yang besar yang hanya diketahui oleh Allah subḥānahu wa ta‘ālā, sebagaimana mengikuti perintah Allah dan syarī‘at-Nya terdapat banyak maslahat. Oleh karena itulah, dalam ayat selanjutnya Allah subḥānahu wa ta‘ālā memerintahkan dengan kaidah yang menyeluruh dan dasar yang umum, firman-Nya: “Apa yang diberikan Rasūl kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
  6. 1844). Baik fai’i maupun lainnya.
  7. 1845). Ayat ini mencakup ushūl (dasar-dasar) agama maupun furū‘ (cabang)nya, dan bahwa apa yang dibawa Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam harus diambil oleh manusia dan tidak boleh menyelisihinya dan bahwa keputusan Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam terhadap sesuatu sama seperti keputusan Allah subḥānahu wa ta‘ālā, di mana tidak ada alasan bagi seseorang untuk meninggalkannya, demikian pula tidak boleh mengedepankan ucapan seorang pun di atas ucapan Beliau.
  8. 1846). Selanjutnya Allah subḥānahu wa ta‘ālā memerintahkan untuk bertaqwā kepada-Nya yang dengannya hati, rūḥ, dunia dan akhirat dimakmurkan, dan dengan taqwā dicapai kebahagiaan yang abadi dan keberuntungan yang besar, sedangkan meninggalkannya merupakan kesengsaraan yang abadi dan ‘adzāb yang kekal.
  9. 1847). Bagi orang yang meninggalkan ketaqwāan dan mengutamakan mengikuti hawa nafsu.
  10. 1848). Selanjutnya Allah subḥānahu wa ta‘ālā menerangkan ḥikmah dan sebab mengapa Allah subḥānahu wa ta‘ālā menjadikan harta fai’i itu untuk orang-orang yang telah ditetapkan-Nya, karena mereka berhak ditolong dan berhak diberikan harta fai’i karena keadaan mereka antara Muhājirīn (orang-orang yang berhijrah) dan Anshār (memberikan pertolongan). Kaum Muhājirīn, mereka telah meninggalkan segala sesuatu yang mereka cintai dan senangi berupa tempat tinggal, kampung halaman, kekasih dan harta demi mencari keridhāan Allah dan membela agama-Nya serta mencintai Rasūl-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar; yang mengerjakan konsekwensi iman mereka; mereka benarkan iman mereka dengan ‘amal shāliḥ dan ‘ibādah-‘ibādah yang berat, berbeda dengan orang-orang yang mengaku beriman namun tidak membenarkannya dengan jihād, hijrah dan ‘ibādah lainnya. Kaum Anshār, yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasūl-Nya dengan suka rela, cinta dan atas dasar pilihan mereka serta melindungi Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Mereka telah menempati kota Madīnah yang menjadi tempat hijrah dan iman sehingga menjadi tempat kembali kaum mu’min dan tempat berlindung kaum Muhājirīn. Orang-orang Anshār selalu memberikan pertolongan kepada kaum muslimīn yang berhijrah sehingga Islam menjadi kuat dan menyebar, bertumbuh sedikit demi sedikit, dan kaum muslimīn dapat menaklukkan hati manusia dengan ‘ilmu, iman dan al-Qur’ān serta dapat menaklukkan negeri dengan pedang dan tombak.
  11. 1849). Maksudnya, kerabat Nabi, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibn-us-sabīl yang semuanya orang fakir dan berhijrah.
  12. 1850). Imām Bukhārī meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abū Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, bahwa ada seorang yang datang kepada Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, lalu Beliau meminta jamuan kepada istri-istrinya, namun istri-istrinya menjawab: “Kita tidak memiliki apa-apa selain air.” Maka Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapakah yang mau membawa orang ini (ke rumahnya) dan menjamunya?” Lalu salah seorang Anshār berkata: “Saya.” Maka ia pergi dengannya menemui istrinya, ia berkata, “Muliakanlah tamu Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam.” Istrinya menjawab: “Kita tidak memiliki apa-apa selain makanan untuk anak-anakku.” Ia (suaminya) menjawab: “Siapkanlah makananmu, nyalakan lampu dan tidurkanlah anak-anakmu ketika mereka hendak makan malam.” Maka istrinya menyiapkan makanannya, menyalakan lampunya dan menidurkan anak-anaknya, lalu ia berdiri seakan-akan sedang memperbaiki lampunya, kemudian ia memadamkannya. Keduanya (Suami dan istri) seakan-akan memperlihatkan kepada tamunya bahwa keduanya makan, sehingga keduanya tidur malam dalam keadaan lapar. Ketika tiba pagi harinya, maka ia mendatangi Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam, lalu Beliau bersabda: “Tadi malam Allah tertawa atau takjub melihat perbuatan kamu berdua.” Maka Allah subḥānahu wa ta‘ālā menurunkan ayat: “Dan mereka mengutamakan (Muhājirīn), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang orang yang beruntung.
  13. 1851). Di antara sifat mereka yang indah adalah bahwa mereka mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Hal itu, karena mereka cinta karena Allah; mereka pun mencintai orang-orang yang mencintai-Nya dan membela agama-Nya.
  14. 1852). Ayat ini bisa juga diartikan: “Dan mereka tidak menaruh rasa iri dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhājirīn): “berupa kelebihan dan keutamaan yang Allah berikan. Ayat ini menunjukkan selamatnya hati mereka (orang-orang Anshār) dan tidak adanya rasa dengki dan iri di hati mereka kepada kaum Muhājirīn. Ayat ini juga menunjukkan bahwa kaum Muhājirīn lebih utama dari kaum Anshār karena Allah subḥānahu wa ta‘ālā menyebutkan mereka lebih dahulu dan karena mereka menggabung antara membela dan berhijrah.
  15. 1853) Ya‘ni di antara sifat orang-orang Anshār sehingga mereka unggul di atas yang lain adalah Ītsar, yaitu sikap mengutamakan orang lain daripada diri sendiri meskipun mereka membutuhkannya. Hal ini tidaklah muncul kecuali dari akhlāq yang bersih serta mencintai Allah di atas kecintaan kepada apa yang disenangi jiwa. Kebalikan dari Ītsar adalah atsarah yang artinya mementingkan diri sendiri. Akhlāq ini (atsarah) adalah akhlāq tercela karena termasuk kebakhilan dan kekikiran, sedangkan orang yang diberi sikap ītsar, maka ia telah dijaga dari kekikiran dirinya. Kedua golongan yang disebutkan dalam ayat di atas (8 dan 9) yaitu golongan Muhājirīn dan Anshār adalah kedua golongan yang utama lagi bersih. Mereka adalah para sahabat yang mulia yang menjadi para pemimpin kebaikan. Mereka mengumpulkan banyak kebaikan, kemuliaan dan kelebihan sehingga mendahului generasi setelah mereka dan menyusul generasi sebelum mereka. Generasi setelah mereka juga akan mendapatkan keutamaan jika berjalan mengikuti mereka (kaum Muhājirīn dan Anshār) sebagaimana yang disebutkan dalam ayat selanjutnya.
  16. 1854). Dan dari tamak terhadap harta. Termasuk menjaga dari kekikiran diri adalah menjaga diri dari kekikiran dalam mengerjakan semua yang diperintahkan Allah, karena apabila seorang hamba dijaga dari kekikiran dirinya, maka ia akan melaksanakan perintah Allah dengan suka rela dan lapang dada dan dirinya rela meninggalkan apa yang dilarang Allah subḥānahu wa ta‘ālā meskipun ia menyukainya. Ia pun akan mengorbankan hartanya di jalan Allah dan mencari keridhāan-Nya. Dengan begitu tercapailah keberuntungan. Berbeda dengan orang yang ditimpa sikap kikir untuk berbuat baik, di mana hal ini merupakan sumber keburukan dan materinya.
  17. 1855). Untuk diri mereka dan seluruh kaum mu’min. Doa ini mengena kepada seluruh kaum mu’min yang terdahulu dari kalangan para sahabat, sebelum mereka dan setelah mereka. Hal ini termasuk keutamaan iman, di mana kaum mu’min dapat memperoleh manfaat dari keimanan sebagian mereka dari sebagian yang lain dan doa dari sebagian mereka kepada sebagian yang lain karena ikut serta dalam keimanan yang menghendaki untuk mengikat persaudaraan antara kaum mu’min, di mana di antara cabangnya adalah satu sama lain saling mendoakan dan saling mencintai. Oleh karena itulah, dalam doa ini Allah subḥānahu wa ta‘ālā menyebutkan penafian ghill (dengki dan dendam) baik sedikit maupun banyak, di mana apabila ghill itu tidak ada, maka akan tetap kebalikannya, yaitu kecintaan antara kaum mu’min, saling berwalā’ (membela), menasihati dan lain sebagainya yang termasuk hak orang-orang mu’min.
  18. 1856). Dalam ayat ini Allah subḥānahu wa ta‘ālā menyifati generasi setelah sahabat dengan iman, karena ucapan mereka: “Yang telah beriman lebih dahulu dari kami” menunjukkan keikutsertaan mereka dengan keimanan, dan bahwa mereka mereka mengikuti para sahabat dalam beraqidah dan dalam beragama. Mereka ini adalah Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah. Allah subḥānahu wa ta‘ālā juga menyifati mereka dengan mengakui dosa dan beristighfar darinya serta permohonan ampun mereka untuk saudara mereka, usaha mereka untuk menghilangkan rasa iri dan dendam dari hati mereka terhadap saudara mereka kaum mu’min karena doa tersebut menghendaki demikian, dan agar mereka mencintai saudara mereka sebagaimana mereka mencintai diri mereka, bersikap tulus kepada mereka di waktu hadir maupun di waktu tidak hadir, di masa hidup maupun setelah mati. Ayat ini juga menunjukkan bahwa hal itu termasuk hak-hak kaum mu’min yang satu dengan yang lain. Selanjutnya mereka tutup doa mereka dengan dua nama Allah Yang Mulia yang menunjukkan sempurnanya rahmat Allah, sangat sayang, serta berbuat iḥsān kepada mereka yang di antaranya adalah dengan memberi mereka taufīq untuk memenuhi hak Allah dan hak-hak hamba-Nya. Dalam ayat ini juga tersirat sikap yang harus kita lakukan terhadap para sahabat, yaitu mencintai mereka, mengucap taradhdhī (radhiyallāhu ‘anhum), menjaga lisan dari menjelekkan mereka, menyebutkan keutamaan mereka, menahan diri dari perselisihan yang terjadi di antara mereka, meyakini bahwa mereka tidak ma‘shūm dan bahwa perselisihan di antara mereka itu terjadi karena ijtihādnya, yang benar mendapatkan dua pahala dan yang salah mendapat satu pahala. Di samping itu, mereka (para sahabat) memiliki keutamaan dan kebaikan yang besar yang menghilangkan keburukan yang terjadi di antara mereka jika memang terjadi.