Ilmu di dalam al-Qur’ān terakhir ini terbebas dari terali besi yang disepuh dengan kebodohan dan ketertipuan seputar dirinya selama dua abad yang lalu. Ia terbebas dari terali itu dan berhubungan dengan cahaya melalui percobaan dan pengalamannya setelah manusia sadar dari mabuk ketertipuan dan terlepas dari tawanan gereja yang lalim di Eropa. (31) Ilmu memperkenalkan batas-batasnya. Juga telah berpengalaman bahwa perangkat-perangkatnya yang terbatas membawanya kepada sesuatu yang tidak terbatas di alam ini dan di dalam hakikatnya yang tersembunyi. Dan, kembalilah “Ilmu Mengengajak kepada Keimanan” (42) dengan sikap tawadhu yang sejak awal memberi kelapangan, yah nikmat kelapangan! Maka, tidaklah manusia memenjarakan jiwanya di belakang terali kebendaan yang penuh kekeliruan ini melainkan dia pasti mengalami kesempitan.
Kita melihat ilmuwan semacam Alexis Karel, seorang dokter spesialis di dalam penelitiannya mengenai masalah sel dan pemindahan darah, sibuk dengan teori dan praktik kedokteran, serta mengajar di sekolah-sekolah kedokteran. Ia adalah pe- raih hadiah Nobel pada tahun 1912, dan direktur Lembaga Kajian Kemanusiaan di Prancis di tengah-tengah berkecamuknya perang dunia kedua. Dia berpendapat “bahwa alam yang luas membentang ini penuh dengan pikiran-pikiran aktif yang bukan pikiran kita, dan akal manusia berjalan di antara jalan-jalan padang pasir yang ada di sekitarnya apabila semua yang dibuat pegangan menunjukkannya. Sedangkan, shalat termasuk sarana perhubungan dengan akal yang ada di sekeliling kita, dan dengan akal abadi yang berkuasa mengatur alam semesta, mengenai sesuatu yang tampak oleh kita dan sesuatu yang tersembunyi dari kita dalam lipatan kegaiban.” (53)
Ia berkata, “Merasakan kesucian akal yang lain, yang merupakan aktivitas ruhani yang kuat, memiliki nuansa khusus dalam kehidupan. Karena, dialah yang menjadikan kita selalu berhubungan dengan cakrawala kegaiban yang besar dari alam ruh.” (64)
Kita lihat dokter lain seperti Des Neway yang sibuk membahas anatomi dan ilmu alam, dan bekerjasama dengan Prof. Cory dan kawan-kawannya. Ia diminta oleh Lembaga Pendidikan Rockfeller untuk melanjutkan penelitian bersama anggota- anggotanya dalam bidang-bidang spesialis dan pengobatan luka-luka. Dia berkata,
“Banyak cendekiawan dan orang-orang yang memiliki niat baik yang memikirkan bahwa mereka tidak dapat beriman kepada Allah karena mereka tidak dapat mengetahuinya, padahal orang terpercaya yang hatinya memendam keinginan ilmiah tidak harus menggambarkan wujud Allah melainkan seperti keharusan seorang ahli ilmu pengetahuan alam menggambarkan listrik. Karena, penggambaran mereka terhadap kedua hal ini adalah sesuatu yang tidak akan terpenuhi dan tidak mungkin tepat. Dan, listrik itu sendiri tidak dapat dibayangkan dalam wujud kebendaan, namun ia sangat dipercaya adanya karena bekas-bekasnya di dalam memotong kayu.” (‘Aqā’id-ul-Mufakkirīn fi-l-Qarn-il-‘Isyrīn)
Kita lihat seorang ahli ilmu alam seperti Sir Artur Thomson, pengarang dari Skotlandia yang terkenal, berkata, “Kita berada pada zaman di mana bumi yang keras terasa tipis, dan ether kehilangan wujud materialnya. Maka, ia merupakan masa tersingkat kelayakannya untuk berlebih-lebihan di dalam melakukan pentakwilan yang bersifat material.”
Di dalam kumpulan karangan yang berjudul Imu Pengetahuan dan Agama, dia berkata, “Sekarang, akal orang yang beragama tidak boleh putus asa, karena seorang ahli ilmu alam tidak bisa lepas dari alam kepada Pemilik alam ini, sebab arahnya bukan ini. Kadang-kadang kesimpulannya lebih besar dari pada premisnya, ketika para ilmuwan menarik kesimpulan dari alam ini kepada sesuatu yang di atas alam. Hanya saja kita patut bergembira karena para pakar ilmu alam telah memudahkan para peminat ilmu agama untuk bernapas lega dalam udara ilmu pengetahuan, padahal yang demikian itu tidak mudah dilakukan pada masa-masa nenek moyang kita dahulu…
Kalau bukan karena kerja para pakar ilmu alam yang membahas tentang Tuhan (Allah)-sebagai mana keketapan Mr. Landown Daviz di dalam bukunya Keunikan Manusia dan Dunianya-maka dengan melihat besarnya peranan ilmu pengetahuan, kita dapat menetapkan bahwa manusia dapat terbimbing untuk berpikir tentang adanya Allah dengan pikiran yang jitu dan luhur. Namun, kita tidak dapat melampaui makna harfiah ketika kita mengatakan bahwa ilmu pengetahuan telah menciptakan langit baru dan bumi baru bagi manusia, dan dari sana dia mendorongnya untuk menggunakan akalnya secara maksimal. Dengan demikian, dalam banyak kesempatan, tidaklah dapat didapati keselamatan kecuali bila manusia melangkah sesuai dengan pemikiran yang benar serta dengan keyakinan dan kemantapan kepada Allah.”
Kita lihat seorang ilmuwan seperti Crazy Morison, ketua lembaga keilmuan di New York dan mantan anggota Senat di Amerika Serikat, berkata di dalam bukunya Manusia tidak Hidup Sendirian, “Sesungguhnya kita praktis berdekatan dengan dunia misteri yang besar, karena kita mengetahui bahwa seluruh materi ditinjau secara ilmiah hanyalah lambang kesatuan alam yang ia berada dalam unsur listriknya. Akan tetapi, tidak diragukan lagi bahwa tidak ada unsur kebetulan di dalam penciptaan alam ini, karena alam yang besar ini tunduk kepada undang-undang.
Sesungguhnya perkembangan makhluk hidup yang bernama manusia kepada tingkatan sebagai makhluk yang berpikir dan merasakan keberadaan dirinya, merupakan langkah yang lebih besar dari pada perkembangan materialnya, tetapi di bawah tujuan penciptaan.
Kalau dilihat dari realitas tujuan, maka manusia dengan sifat-sifatnya ini boleh jadi hanya merupakan alat. Akan tetapi, siapakah yang mempergunakan alat ini? Karena tanpa memiliki peranan, maka dia tidak ada gunanya. Sedangkan, ilmu pengetahuan tidak mempersoalkan siapa yang mengendalikan kehendaknya, demikian pula ia tidak menganggap manusia sebagai materi.
Dengan kemajuan ini, kita mendapakan informasi bahwa kemajuan telah mencapai tingkatan yang cukup meyakinkan bahwa Allah telah memberi secercah cahaya kepada manusia ….”
Demikianlah ilmu mulai keluar dari penjara materialisme dan temboknya dengan tangga-tangganya sendiri. Sehingga, dia dapat berhubungan dengan dunia bebas yang diisyaratkan oleh al-Qur’ān seperti dalam ayat yang mulia ini, “Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan dengan apa yang tidak kamu lihat.” Dan, ayat yang semacam ini banyak sekali jumlahnya. Hal ini terjadi meskipun di antara kita terdapat orang-orang yang senantiasa menutupkan kedua tangannya pada jendela-jendela cahaya atas dirinya dan orang-orang di sekitarnya atas nama ilmu pengetahuan yang notabene ketinggalan pemikirannya dalam bidang ilmu, ketinggalan ruhaniahnya dalam bidang agama, ketinggalan perasaannya dalam kebebasan mutlak untuk mengetahui kebenaran, dan ketertinggalan kemanusiaan dari sesuatu yang layak bagi keberadaan manusia yang mulia.
Oleh karena itu, Aku (Allah) bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan dengan apa yang tidak kamu lihat…
“Sesungguhnya al-Qur’ān itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia, dan al-Qur’ān itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan, bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam.” (al-Ḥāqqah: 40:43)
Di antara kebohongan yang dibuat-buat kaum musyrikin terhadap al-Qur’ān dan terhadap Rasulullah adalah perkataan mereka bahwa al-Qur’ān itu adalah perkataan seorang penyair dan perkataan seorang dukun (tukang tenung). Perkataan mereka itu karena terpengaruh oleh kesamaran yang dangkal dengan alasan bahwa perkataan (al-Qur’ān) ini karakternya di atas karakter perkataan manusia. Sedangkan, penyair-menurut anggapan mereka- mendapatkan bisikan dari jin yang membisikkan perkataan yang tinggi nilainya, dan tukang tenung juga dapat berhubungan dengan jin. Maka, mereka itulah yang mengembangkannya dengan ilmu tentang sesuatu di balik kenyataan. Dan, syubhat (kesamaran) ini akan segera gugur kalau mereka mau berpikir sedikit saja tentang karakter al-Qur’ān dan risalah, serta karakter syair atau pedukunan….
Memang syair itu kadang-kadang berirama musikal, indah khayalannya, bagus pelukisannya dan bayang-bayangnya. Tetapi, dia sama sekali tidak bercampur dan tidak serupa dengan al-Qur’ān, karena di antara keduanya terdapat perbedaan yang prinsipil dan pemisahan yang jelas. Karena al-Qur’ān menetapkan manhaj yang lengkap bagi kehidupan yang berpijak pada kebenaran yang mantap dan pandangan yang integral, serta bersumber dari pandangan yang benar terhadap wujud Ilahi, alam semesta, dan kehidupan. Sedangkan, syair hanyalah refleksi dari perasaan selintas yang sangat jarang didasarkan pandangan yang integral terhadap kehidupan secara umum baik dalam keadaan ridha maupun terpaksa, bebas maupun terbelenggu, suka maupun benci, dan senantiasa terpengaruh oleh perubahan situasi dan kondisi.
Sedangkan, tashawwur (pandangan) yang mantap yang dibawa oleh al-Qur’ān memang benar-benar ditumbuhkan oleh al-Qur’ān secara mendasar, dalam globalitas dan parsial-parsialnya, di samping sudah jelas semuanya bersumber dari Ilahi. Maka, semua yang ada dalam tashawwur ini menunjukkan bahwa ia bukan dari perbuatan manusia, karena bukan watak manusia untuk menciptakan tashawwur alami yang sempurna seperti tashawwur al-Qur’ān ini … yang tidak ada yang mendahului dan tidak ada pula menyusulinya ….
Semua tashawwur yang diciptakan oleh tabiat manusia terhadap alam semesta dan terhadap kekuatan yang menimbulkannya dan mengatur undang-undangnya-yang dibeberkan dan dicatat dalam filsafat, di dalam syair-syair dan puisi-puisi, dan lain-lain aliran berpikir-apabila dibandingkan dengan tashawwur Qur’āni akan tampak jelas bahwa tashawwur ini berbeda sumbernya dengan tashawwur Qur’āni. Juga akan tampak bahwa al-Qur’ān memiliki tabiat tersendiri yang membedakannya dari semua tashawwur buatan manusia.
Demikian pula dengan perdukunan dan pertenungan beserta sumbernya. Maka, sejarah tidak mengenal, baik sebelum maupun sesudah diturunkannya al-Qur’ān, seorang tukang tenung atau dukun dengan manhaj yang lengkap dan mantap seperti manhaj yang dibawa oleh al-Qur’ān. Semua yang dinukil dari para tukang tenung hanyalah kata-kata bersajak, atau kebijaksanaan yang dibuatnya sendiri, atau isyarat-isyarat semata-mata.
Di sana terdapat unsur-unsur yang bukan menjadi bidang garap manusia lagi, dan kadang-kadang kami berhenti pada sebagiannya di dalam Tafsir azh-Zhilāl ini. Maka, baik sebelum maupun sesudah masa turunnya al-Qur’ān tidak ada seorang pun yang dapat membuat ungkapan seperti al-Qur’ān ini tentang ilmu yang lengkap, cermat, dan halus, seperti yang dilukiskan oleh al-Qur’ān.
“Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang gaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula). Tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauḥ Maḥfūzh).” (al-An’ām: 59)
“Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya serta apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan, Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-Ḥadīd: 4)
“Tidak ada seorang wanita pun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan, sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauḥ Maḥfūzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.” (Fāthir: 11)
Demikianlah, tidak seorang pun manusia sebelum ataupun sesudah al-Qur’ān yang dapat membuat kalimat seperti ini yang menunjukkan adanya kekuasaan yang mengendalikan dan mengatur alam semesta.
“Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap. Dan, sungguh jika keduanya akan lenyap, tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah….” (Fāthir: 41)
Atau, yang mengarahkan perhatian kepada sumber kehidupan di alam semesta dari kekuasaan yang mencipta dan segala sesuatu yang meliputi kehidupan yang sesuai dengan alam yang teratur dan terkendali.
“Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling? Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha perkasa lagi Maha Mengetahui. Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui. Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui. Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak, dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.” (al-An’ām: 95-99)
Perhatian terhadap alam semesta seperti ini banyak sekali terdapat di dalam al-Qur’ān. Tidak ada yang menandinginya dalam nuansa pengarahannya terhadap getaran hati manusia yang mengungkapkan makna-makna seperti yang diungkapkan oleh al-Qur’ān ini…. Yang demikian ini saja rasanya sudah cukup untuk mengetahui sumber Kitab ini… dengan memejamkan mata terhadap petunjuk-petunjuk lain yang menunjukkan orisinalitas sumber al-Qur’ān maupun hal-hal lain yang menyertainya.
Karena kesamaran terhadap al-Qur’ān itu sangat lemah dan amat tipis. Sehingga, seandainya al-Qur’ān tidak diturunkan secara lengkap melainkan hanya beberapa surah dan ayat saja dengan ciri khas keilahiahannya, maka itu sudah menunjukkan adanya pancaran sinar yang menunjukkan kepada sumbernya yang tunggal.
Pembesar-pembesar Quraisy menyadari dan menolak syubhat-syubhat ini dari waktu ke waktu. Tetapi, program mereka menjadikan bersikap buta dan tuli yang notabene mereka tidak menggunakan petunjuk al-Qur’ān. Oleh karena itu, mereka lantas mengatakan, “Al-Qur’ān ini hanyalah kebohongan yang besar”, sebagaimana disinyalir oleh al-Qur’ān-ul-Karim sendiri.