Hati Senang

Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir Sayyid Quthb (2/6)

Tafsir Sayyid Quthb - Tafsir Fi Zhilalil Qur'an
Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb   Penerbit: Gema Insani

Uslub surah ini membingkai perasaan dengan pemandangan-pemandangan yang hidup, dengan kehidupan yang sempurna, yang tidak mengandung celah dan kekurangan, dan tidak terlukiskan kecuali kehidupan nyata yang ada di hadapan manusia, yang terlihat daya hidupnya, kekuatannya, dan aktivitasnya dengan lukisan yang mengagumkan.

Puing-puing kaum Tsamūd, kaum ‘Ād, Fir‘aun, dan desa Nabi Lūth (Mu’tafikāt) hadir dengan sosoknya, dan peristiwa-peristiwa besar yang menakutkan dengan segala pemandangannya tak terlepas dari perasaan. Juga pemandangan yang berupa terpaan angin badai yang sangat dingin beserta sisa-sisa manusia yang diterpanya dilukiskan sepintas kilas dalam dua ayat… Siapa gerangan yang membaca ayat,

Adapun kaum ‘Ād, maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus-menerus, maka kamu lihat kaum ‘Ād pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk). Maka, kamu tidak melihat seorang pun yang tinggal di antara mereka.” (al-Ḥāqqah: 6-8)

Siapa yang membaca ayat itu kemudian tidak terbayangkan di dalam perasaannya pemandangan angin yang sangat dingin dan amat kencang yang merusakkan dan menghancurluluhkan, selama tujuh malam delapan hari? Pemandangan yang berupa kaum yang terkapar sesudah itu dengan mengenaskan, “Seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).

Ini adalah pemandangan yang hidup, yang terbayang oleh mata, terkesan dalam hati, dan tampak dalam khayalan. Demikian pula dengan segala pemandangan yang berupa siksaan yang keras di dalam surah ini.

Kemudian pemandangan yang mengerikan tentang kesudahan alam semesta. Pemandangan yang membayang dalam perasaan, dengan suara gemeretak di sekitarnya, yang menakutkan dan mengerikan. Nah, siapakah gerangan yang men-

dengar firman Allah ayat 14, “Dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali bentur”, … dan perasaannya tidak mendengar suara

gemeretak sesudah matanya melihat diangkatnya bumi dan gunung-gunung lalu dibenturkan?

Siapakah gerangan yang mendengar firman Allah ayat 16-17, “Dan terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi lemah. Malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit”, … tetapi tidak terbayang olehnya kesudahan alam yang menyedihkan dan pemandangan yang merisaukan tentang langit yang indah dan kokoh selama ini? Kemudian, siapakah gerangan yang hatinya tidak gemetar dan ketakutan ketika mendengar firman Allah,

Malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung ‘Arasy Tuhanmu di atas (kepala) mereka. Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatu pun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah).” (al-Ḥāqqah: 17-18)

Pemandangan yang berupa orang yang selamat dengan memegang kitab catatan amalnya dengan tangan kanannya. Dunia tidak dapat melukiskan kegembiraannya, ketika dia menyeru semua makhluk supaya membaca kitabnya itu dalam suasana kegembiraan dan keceriaan,

Ambillah, bacalah kitabku (ini). Sesungguhnya aku yakin bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku.” (al-Ḥāqqah: 19-20)

Pemandangan orang yang binasa, yang menerima kitab catatan amalnya dengan tangan kirinya. Rasa penyesalan tampak dalam kalimat-kalimat yang diucapkannya dengan segenap tekanan dan perasaannya yang memilukan,

Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku dariku.” (al-Ḥāqqah: 25-29)

Siapakah gerangan yang tidak gemetar perasaannya mendengar keputusan yang menakutkan itu?

Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta.” (al-Ḥāqqah: 30-32)

Dia menyaksikan betapa para malaikat yang diperintahkan-Nya itu bersegera melaksanakan perintah yang menakutkan dan menerikan, terhadap orang yang celaka dan penuh sesal itu.

Keadaannya di sana adaah,

Maka, tiada seorang teman pun begina pada hari ini di sini. Dan tiada (pula) makanan sedikit pun (baginya) kecuali dari darah dan nanah. Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa.” (al-Ḥāqqah: 35-37)

Dan terakhir, siapakah gerangan yang tidak takut dan gemetar ketika membayangkan ancaman yang sangat keras ini?

Seandainya dia (Muḥammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka, sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu.” (al-Ḥāqqah: 44-47)

Inilah pemandangan-pemandangan yang penuh kekuatan, hidup, dan hadir. Pemandangan yang jiwa manusia tidak akan berpaling darinya sepanjang surah ini. Pemandangan yang terus diulang-ulang, ditekankan, yang menyelinap ke dalam saraf dan perasaan, dengan kesan yang sebenarnya dan sangat kuat.

 

Mengiringi kesan pemisahan di dalam surah ini, dengan gemanya yang khusus, dan aneka macam gema suara sedih ini, sesuai dengan berbagai pemandangan dan tempat perhentian di dalam merefleksikan kesan yang hidup dan dalam itu…, maka dijumpailah bacaan panjang (mad), tasydid, dan saktah (diam) pada permulaan surah.

الْحَاقَّةُ. مَا الْحَاقَّةُ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحَاقَّةُ

Hari Kiamat. Apakah hari Kiamat itu? Dan tahukan kamu, apakah hari kiamat itu?” (al-Ḥāqqah: 1-3)

Hingga suara yang menggema pada huru ya’ dan ha’ yang dibaca sukun sesudahnya, baik ya’ marbūthah yang diwaqafi dengan bunyi sukun, maupun bunyi ha’ karena perhentian sebagai tambahan untuk mengatur irama, sepanjang pemandangan-pemandangan penghancuran di dunia dan di akhirat, dan pemandangan-pemandangan tentang kegembiraan dan penyesalan sebagai balasan masing-msing…. Kemudian iramanya berubah ketika memulai pemaparan tentang keputusan yang berisi keluh kesah yang menakutkan, tinggi, dan panjang.

Peganlah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala!” (al-Ḥāqqah: 30-31)

Kemudian berubah lagi iramanya ketika menetapkan sebab-sebab keputusan yang bergitu itu, dan menetapkan kelayakan urusan itu, hingga keluh kesah yang memilukan, sungguh-sunggu, pasti, berat, dan mantap pada huruf mīm atau nūn.

Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Mahabesar. Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin. Maka, tiada seorang teman pun baginya pada hari ini di sini. Dan, tiada (pula) makanan sedikit pun (baginya) kecuali dari darah dan nanah.” (al-Ḥāqqah: 33-36)

Dan sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar kebenaran yang diyakini. Maka, bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Mahabesar.” (al-Ḥāqqah: 51-52)

Al-Ḥāqqah, Apakah Gerangan Dia?

Hari Kiamat. Apakah hari kiamat itu? Dan, tahukah kamu apakah hari kiamat itu?” (al-Ḥāqqah: 1-3)

Hari Kiamat, pemandangan-pemandangannya, dan peristiwa-peristiwanya, memenuhi sebagian besar surah ini. Oleh karena itu, dimulailah surah ini dengan menyebutnya, dan dinamai dengannya. Dan ini adalah nama yang dipilihkan untuknya, dengan segala gaung dan maknanya sebagaimana sudah kami kemukakan. Mak, al-Ḥāqqah adalah sesuatu yang pasti terjadi, sesuatu yang pasti, yang turun dengan hukum dan keputusannya atas manusia. Sesuatu yang pasti, dan apa yang terjadi padanya adalah benar….

Semua ini adalah makna-makna penetapan yang pasti, yang sesuai dengan arah dan topik surah. Kemudian, ia dengan gaungnya sebagaimana kami terangkan sebelumnya, mengandung irama tertentu yang sangat serasi dengan makna yang dikandungnya. Juga sesuai pula dengan kebebasan nuansa yang dimaksudkan, serta sebagai pengantar bagi apa yang pasti akan diperoleh orang-orang yang mendustakannya, baik di dunia maupun di akhirat nanti.

Nuansa surah ini seluruhnya adalah nuansa keseriusan dan kepastian, sekaligus nuansa yang menakutkan dan mengerikan. Di samping apa yang telah kami kemukakan di dalam pengantar, surah ini juga menimbulkan kesadaran di dalam jiwa akan kekuasaan Ilahi yang sangat besar dari satu segi, dan kekerdilan wujud insani di hadapan kekuasaan yang besar ini dari segi lain. Juga menggambarkan hukuman yang pedih di dunia dan di akhirat, manakala manusia menyimpang atau berpaling dari manhaj yang dikehendaki Allah buat manusia ini, yang tercermin pada kebenaran, aqidah, dan syariat yang dibawa oleh para rasul.

Maka, mahaj itu tidak didatangkan untuk disia-siakan, bukan pula untuk diganti. Tetapi, ia datang untuk dipatuhi dan dihormati, dan diterima dengan penuh perhatian dan ketaqwaan. Kalau tidak, maka hukuman dan siksaan akan ditimpakan dengan segala sesuatunya yang menakutkan dan mengerikan.

Lafal-lafal yang ada dalam surah ini dengan gaungnya dan makna-maknanya, kesatuan susunannya dan petunjuk yang dikandungnya, semuanya sejalan dengan kebebasan suasanannya dan lukisannya. Ia dimulai dengan sebuah kata, tanpa predikat, dalam lafal yang jelas, “Al-Ḥāqqah ‘hari kiamat’.” Kemudian disusul dengan kata tanya yang menunjukkan besarnya dan agungnya urusan peristiwa besar ini, “Mal-Ḥāqqah (Mā al- Ḥāqqah) ‘Apakah hari kiamat itu’?” Lalu ditambah lagi kesan kebesaran dan keagungan urusan ini yang tidak diketahui, dan dikeluarkannya masalah ini dari batas-batas pengetahuan dan pemahaman, “Wa mā adrāka mā-l-Ḥāqqah ‘Dan tahukah kamu apakah hari kiamat itu?’”

Setelah itu didiamkan, tiada jawaban terhadap pertanyaan ini. Dibiarkannya Anda berdiri di depan urusan besar dan agung ini, yang tidak Anda ketahui, dan tidak mungkin Anda ketahui! Karena urusannya terlalu besar untuk diliputi pengetahuan dan pengertian manusia!

Nasib Kaum yang Mendustakan Ayat-Ayat Allah

Kemudian pembicaraan dimuali dengan membeicarakan kaum yang mendustakannya beserta akibat besar yang akan diterimanya. Maka, urusan ini adalah urusan yang serius, tidak boleh didustakan, dan tidak akan selamat orang yang terus saja mendustakannya.

كَذَّبَتْ ثَمُودُ وَعَادٌ بِالْقَارِعَةِ. فَأَمَّا ثَمُودُ فَأُهْلِكُوا بِالطَّاغِيَةِ. وَأَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوا بِرِيحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ. سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُوماً فَتَرَى الْقَوْمَ فِيهَا صَرْعَى كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ. فَهَلْ تَرَى لَهُم مِّن بَاقِيَةٍ.

Kaum Tsamūd dan ‘Ād telah mendustakan hari kiamat. Adapun kaum Tsamūd maka mereka telah dibinasakan dengan kejadian yang luar biasa. Adapun kaum ‘Ād maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang, yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus-menerus; maka kamu lihat kaum ‘Ād pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk). Maka, kamu tidak melihat seorang pun di antara mereka yang tinggal.” (al-Ḥāqqah: 4-8)

Ini (al-Qāri’ah) adalah nama baru bagi al-Ḥāqqah (sesuatu yang pasti terjadi, hari kiamat). Ia lebih dari sekadar pasti terjadi (al-Ḥāqqah), tetapi ia taqra’u (mengetuk)…. Sedangkan, al-qar’u adalah memukul sesuatu yang keras dan mengukirinya dengan sesuatu yang sepertinya. Dan, al-Qāri’ah itu mengetuk hati dengan sesuatu yang menakutkan, dan mengetuk alam dengan kehancuran dan kebinasaan. Nah, inilah dia hari Kimat dengan gaung suaranya yang memerincing dan gemeretak, mengetuk dan mengagetkan. Namun demikian, kaum Tsamūd dan kaum ‘Ād mendustakannya. Oleh karena itu, kita perhatikanlah bagaimana akibat tindakan mendustakannya ini ….

Adapun kau Tsamūd, maka mereka telah dibinasakan dengan kejadian yang luar biasa.” (al-Ḥāqqah: 5)

Kaum Tsamūd bertempat tinggal di kawasan batu-batu gunung di sebelah utara Ḥijāz, di antara Ḥijāz dan Syām. Mereka dihukum dengan suara keras (petir) sebagaimana disebutkan di tempat lain. Ada pun di sini, maka hanya disebutkan sifat suara keras itu sebagai “Kejadian yang luar biasa”, tanpa menyebut lafal “Shaiḥah” ‘suara keras’ itu sendiri. Karena, penyebutan sifat ini menimbulkan keseraman dan ketakutan yang sesuai dengan nuansa surah ini, dan lagi karena irama lafal sesuai dengan irama pemisahan dalam segmen ini. Satu ayat ini saja sudah cukup melipat riwayat kaum Tsamūd, cukup melimpahinya, cukup mengembus mereka, dan cukup melampaui mereka sehingga tidak ada bayang-bayangnya lagi.

Adapaun kaum ‘Ād, maka persoalan bencana mereka diperinci dan diberlakukan dalam masa yang panjang, dan peristiwanya terjadi selama tujuh malam delapan hari nahas (sial). Sedangkan, bencana yang menimpa kaum Tsamūd adalah sepintas kilas, dengan satu suara keras, yang luar biasa…

Adapun kau ‘Ād, maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang.” (al-Ḥāqqah: 6)

Ar-rīh-ish-sharshar” artinya angin yang sangat dingin, dan lafal itu sendiri sudah menunjukkan sagant dinginnya angin itu, dan ini menjadi semakin bertambah dingin dengan diberinya sifat “’ātiyah” ‘amat kencang’ … sesuai dengan kesombogan dan kekejaman kau ‘Ād sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’ān. Mereka bertempat tinggal di kawasan bukit pasir di bagian selatan jazirah Arabia di antara Yaman dan Hadramaut. Mereka itu adalah kaum yang keras, kejam, dan bengis.

Angin yang sangat dingin dan amat kencang itu “Allah timpakannya kepada mereka selamat tujuh malam dan delapan hari secara terus-menerus”. Dan kata “al-ḥusūm” itu artinya yang memotong dan terus-menerus memotong. Penggunaan kata ini menggambarkan pemandangan angin sangat kencang yang meraung-raung dan menghancurkan serta berlangsung terus-menerus dalam waktu panjang yang dibatasi dengan ungkapan yang halus, “Selama tujuh malam dan delapan hari.”

Kemudian dibentangkanlah pemandangan dengan jelas, “Maka, kamu lihat kaum ‘Ād pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).”… “Maka kamu lihat…”, pemandangan itu dibeberkan dan dapat dilihat…. Pengungkapan kalimat ini terus menyeruak ke perasaan hingga memenuhinya…. “Mati bergelimpangan…”, mereka mati bergelimpangan dan berserakan, “Seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma” dengan akar dan batangnya “yang telah kosong (lapuk)”, kosong tengahnya, keropos, dan roboh ke bumi. Ya, ini adalah pemandangan yang tampak di depan mata denga jelas. Pemandangan yang tenang dan bisu, setelah angin ribut yang meraung-raung dan memporakporandakan… “Maka, apakah kamu melihat seorang pun yang tinggal di antara mereka…?” Tidak! Mereka tidak tersisa lagi!!!

Begitulah keadaan kaum Tsamūd dan kaum ‘Ād. Begitulah keadaan kaum lainya yang mendustakan hari kiamat, yang disebutkan dalam dua ayat yang merangkum berbagai peristiwa yang bermacam-macam.

وَجَاءَ فِرْعَوْنُ وَمَن قَبْلَهُ وَالْمُؤْتَفِكَاتُ بِالْخَاطِئَةِ. فَعَصَوْا رَسُولَ رَبِّهِمْ فَأَخَذَهُمْ أَخْذَةً رَّابِيَةً.

Dan telah datang Fir’aun dan orang-orang yang sebelumnya dan (penduduk) negeri-negeri yang dijungkirbalikkan karena kesalahan yang besar. Maka, (masing-masing) mereka medurhakai rasul Tuhan mereka, lalu Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat keras.” (al-Ḥāqqah: 9-10)

Fir’aun ini berdomisili di Mesir (dia adalah Fir’aun zaman Nabi Musa) dan kaum orang-orang yang sebelumnya itu tidak dijelaskan secara terperinci. Mu’tafikāt adalah negeri Nabi Lūth yang telah dihancurkan atau dijungkirbalikkan sebagai akibat kedustaannya, dan kata “mu’tafikāt” ini mengandung makna “ifk” ‘kebohongan’ dan “inqilāb” ‘penjungkirbalikan’ ini. Kalimat ini mencakup semua tindakan mereka. Maka, ayat ini membicarakan tentang mereka yang datang “bil-khāthi’ah”, yakni dengan perbuatan dosa.

Maka mereka mendurhakai rasul Tuhan mereka…”, mereka mendurhakai rasul-rasul yang banyak jumlahnya, tetapi hakikatnya adalah satu, karena pada dasarnya risalah mereka adalah satu. Dengan demikian, mereka adalah seorang rasul dengan satu hakikat yang sama (ini termasuk salah satu bentuk keindahan pengungkapan al-Qur’ān yang mengesankan) dan secara glbal disebutkan tempat kembali mereka dengan sebuah kalimat yang mengesankan urusan yang besar dan pasti serta menakutkan sesuai dengan nuansa surah ini, “Lalu Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat keras.” Kata “rābiyah” ‘sangat keras’ ini asal artinya adalah tinggi, melimpah, dan amat sakit, sesuai dengan “thāghiyah” ‘kejadian yang luar biasa’ ang telah menimpa kaum Tsamūd dan “‘ātiyah” ‘amat kencang/angin’ yang menimpa kau ‘Ād. Ini sesuai dengan nuansa ketakutan dan kengerian dalam susunan ayat tanpa dipisah dan diperpanjang.

 

Selanjunya dilukiskan banjir dan perahu yang sedang berlayar, yang pemandangan ini mengisyaratkan kepada mayat-mayat kaum Nabi Nuh ketika mereka mendustakan ayat-ayat Allah. Juga untuk menunjukkan nikmat kepada manusia dengan diselamatkan asal-usul (nenek moyang) yang menurunkan mereka. Tetapi, kemudian mereka tidak bersyukur dan tidak mengambil pelajaran terhadap peristiwa yang sangat besar itu.

إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ. لِنَجْعَلَهَا لَكُمْ تَذْكِرَةً وَتَعِيَهَا أُذُنٌ وَاعِيَةٌ.

Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung), Kami bawa (nenek moyang) kamu ke dalam bahtera, agar kami jadikan peristiwa itu peringatan agi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar.” (al-Ḥāqqah: 11-12)

Pemandangan yang berupa meluapnya air, dan pemandangan yang berupa bahtera yang berjalan di atas air yang meluap itu… keduanya sangat serasi dengan pemandangan-pemandangan yang ditampilkan surah ini dengan segala bayangannya. Bunyi kata “jāriyah” dan “wā’iyah” begitu serasi dengan irama sajak. Sentuhan kalimat “Agar Kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar” ini juga mengenai hati yang beku dan telinga yang bandel. Keduanya terus saja medustakan setelah dikemukakannya peringatan-peringatan dan dibentangkannya akibat-akibat yang menimpa kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Juga setelah dikemukakannya ayat-ayat, nasihat-nasihat, karunia, dan nikmat-nikmat Allah kepada nenek moyang orang-orang yang lalai itu.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.