Surah al-Haqqah 69 – Tafsir Khuluqun ‘Azhim (6/7)

Tafsir Khuluqun ‘Azhim
Budi Pekerti Agung

Oleh: Prof. M. Dr. Yunan Yusuf
 
Diterbitkan oleh: Penerbit Lentera Hati.
 
Tafsir JUZ TABARAK
Khuluqun ‘Azhīm

(BUDI PEKERTI AGUNG)

Rangkaian Pos: Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir Khuluqun 'Azhim

8. Al-Qur’ān Benar-benar Wahyu dari Allah.

فَلَا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُوْنَ. وَ مَا لَا تُبْصِرُوْنَ. إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ. وَ مَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ قَلِيْلًا مَا تُؤْمِنُوْنَ. وَ لَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ قَلِيْلًا مَا تَذَكَّرُوْنَ. تَنْزِيْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعَالَمِيْنَ.

69: 38. Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat.
69: 39. Dan dengan apa yang tidak kamu lihat.
69: 40. Sesungguhnya al-Qur’ān itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasūl yang mulia,
69: 41. dan al-Qur’ān itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.
69: 42. Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya.
69: 43. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam.

 

AYAT 38

فَلَا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُوْنَ.

Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat.

Setelah menjelaskan secara rinci apakah Hari Kiamat itu, kemudian dijelaskan pula secara berturut-turut akibat yang diterima oleh orang-orang yang mendustakan Hari Kiamat, seperti kaum Tsamūd, kaum ‘Ād, Fir‘aun, kaum Nabi Nūḥ, dan kaum Nabi Lūth, ketika sangkakala sudah ditiup, drama orang-orang yang bahagia dan celaka, Allah s.w.t. kemudian memberikan statemen bahwa al-Qur’ān itu benar-benar wahyu dari Allah. Statemen ini sebagai sanggahan terhadap orang-orang yang tidak percaya kepada Hari Kiamat dan juga tidak percaya kepada kebenaran al-Qur’ān.

Untuk itu Allah s.w.t. berfirman: Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Redaksi ayat ini dimulai dengan kata yang berarti tidak. Oleh sebab itu, ada yang menafsirkan ayat ini, seperti Sayyid Quthb, bahwa Allah tidak perlu bersumpah untuk menyatakan hal ini, karena duduk perkaranya sudah jelas dan gamblang, ya‘ni al-Qur’ān benar wahyu Allah. Tetapi ada pula yang memahami bahwa pemakaian kata pada ayat itu sebagai sisipan untuk memperkuat sumpah.

Allah bersumpah dengan menyebut objek sumpah dengan yang ada. Ya‘ni ada yang dapat terlihat dengan kasat mata, ya‘ni alam materi. Alam materi dibagi ke dalam empat kategori alam, ya‘ni materi. Alam materi dibagi ke dalam empat kategori alam, ya‘ni alam benda, alam tumbuh-tumbuhan, alam hewan, dan alam manusia. Keempat alam ini bersifat material. Oleh sebab itu, keempat alam tersebut dapat ditangkap dengan pancaindra, ya‘ni sesuatu yang ada yang dapat dilihat dengan mata, dapat didengar dengan telinga, dapat diraba dengan tangan, dapat dicium dengan hidung, dan dapat dikecap dengan lidah. Inilah yang disebut dengan ada konkret.

 

AYAT 39

وَ مَا لَا تُبْصِرُوْنَ.

Dan dengan apa yang tidak kamu lihat.

Juga Allah bersumpah dengan sesuatu yang ada, tetapi tidak tertangkap oleh pancaindra. Dan dengan apa yang tidak kamu lihat. Kategori ada yang tidak tertangkap oleh pancaindra ini adalah ada abstrak dan ada ghaib. Ada abstrak itu adalah pada tataran konsep, seperti konsep matematika. Matematika benar-benar ada, tetapi pada tataran abstrak, yang hanya ada dalam pikiran. Konsep ada abstrak tidak ada dalam alam materi. Oleh sebab itu, ada abstrak tidak dapat dilihat, tidak dapat didengar, tidak dapat diraba, tidak dapat dicium, dan tidak dapat dikecap dengan lidah.

Kualitas tertinggi dari yang ada itu adalah ada ghaib. Kualitas ada ghaib, bukan saja tidak tertangkap oleh pancaindra, tetapi juga tidak tertangkap oleh pikiran. Sebab, pikiran tidak mampu menggambarkan secara pasti apa itu yang ghaib. Yang dapat menangkap ada ghaib itu hanyalah hati/qalbu/rasa, yang disebut dengan percaya. Percaya dalam bahasa agama disebut dengan iman. Allah bersumpah dengan ada abstrak dan ada ghaib yang juga adalah ciptaan Allah.

Ayat ini mengandung gugahan kepada kaum musyrik Makkah dan kaum materialisme di zaman modern, bahwa ada eksistensi yang sungguh-sungguh ada, tetapi tidak dapat dilihat. Tidak seluruh yang ada itu dapat dilihat, sebagaimana seluruh yang tidak dapat dilihat itu tidak ada. Oleh sebab itu, bila Allah bersumpah dengan sesuatu yang tidak dilihat, pada hakikatnya adalah sentilan bagi orang-orang yang tidak menerima ada yang ghaib, dan yang ghaib adalah suatu kepastian.

 

AYAT 40

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ.

Sesungguhnya al-Qur’ān itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasūl yang mulia.

Apakah yang hendak dinyatakan Allah dengan sumpah tersebut? Sesungguhnya al-Qur’ān itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan). Al-Qur’ān itu adalah kalāmullāh yang diturunkan oleh Allah, Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, melalui perantaraan malaikat Jibrīl. Jibrīl memang malaikat yang bertugas menyampaikan wahyu kepada para nabi dan rasūl.

Wahyu itu berisi petunjuk dan pedoman yang menuntun manusia untuk menuju ke jalan yang lurus. Jalan lurus itu diperlukan agar manusia mendapatkan kebahagiaan hidup, baik di dunia, maupun di akhirat. Karena kehidupan dunia itu mengandung harapan dan tantangan, ia muncul sebagai permainan dan sandiwara. Ada orang yang berpura-pura dan ada orang bersungguh-sungguh. Ada jalan yang lurus dan ada jalan yang sesat. Untuk menuntun perjalanan manusia itulah Allah menurunkan al-Qur’ān.

Al-Qur’ān itu diturunkan kepada manusia pilihan, Muḥammad bin ‘Abdillāh. Dia adalah Rasūl yang mulia, utusan Allah yang mulia. Dia adalah penghulu para nabi dan rasul. Rekam jejak perjalanan hidup beliau sebelum diangkat sebagai utusan Allah sangat bersih dan sangat dipercaya, sehingga beliau diberi gelar al-amin. Pergaulan beliau sangat santun, keputusan-keputusan yang beliau lakukan sangat solutif. Beliau dinobatkan oleh Allah, Tuhan pemilik semesta, menyandang khuluqun ‘azhīm (budi pekerti agung).

 

AYAT 41

وَ مَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ قَلِيْلًا مَا تُؤْمِنُوْنَ.

Dan al-Qur’ān itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.

Pada Iftitāḥ, penulis menurunkan hadits berkaitan dengan ayat ini. Hadits tersebut berbicara tentang ‘Umar bin Khaththāb, Imām Aḥmad yang meriwayatkan hadits ini mengatakan bahwa ‘Umar bin Khaththāb r.a. berkata: “Suatu ketika di Makkah, aku keluar untuk menghadang Rasūlullāh, sebelum aku memeluk Islam. Aku mendapati beliau telah mendahuluiku ke Masjid-ul-Ḥarām, maka aku berdiri di belakangnya, lalu kudengar beliau membuka shalatnya (dengan membaca) surah al-Ḥāqqah. Aku merasa ta‘jub dengan susunan al-Qur’ān. Maka aku berkata (dalam hatiku): “Ini, demi Allah, adalah penyair, lalu kudengar beliau membaca: Dan al-Qur’ān itu bukanlah perkataan seorang penyair. (ayat 41). Lalu, aku berkata (dalam hatiku): Tukang tenung. Lalu beliau membaca: Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya. (ayat 42). Sampai akhir surah. Ketika itu Islam menyentuh hatiku.”

Kaum musyrik Makkah memang sangat mengagumi keindahan bahasa al-Qur’ān, walaupun mereka tidak mau menerimanya. Kondisi tersebut diwakili oleh fenomena ‘Umar bin Khaththāb r.a. dalam hadits di atas. Bangsa ‘Arab yang hidup semasa dengan Nabi s.a.w. bukanlah ahli balāghah (retorika), bukan pula kritikus sastra, meskit demikian, mereka memiliki potensi naluriah untuk memahami apa yang dibacakan kepada mereka dan memiliki kemampuan alami untuk merasa kefasihannya. Mereka tahu, bahwa al-Qur’ān bukan tutur kata biasa, baik dilihat dari segi lafal maupun ma‘na, mengungguli segala tutur yang sebelumnya mereka dengar dari para cerdik-cendekia dan pujangga bahasa (fushaḥa). (51)

Keengganan dan penolakan mereka terhadap al-Qur’ān bukan pada kebenaran kandungan al-Qur’ān itu, tetapi lebih pada ketakutan akan kehilangan kedudukan sosial, politik, dan keagamaan yang mereka punyai. Akibat dari ketakutan yang tidak beralasan tersebut, mereka mendustakan al-Qur’ān, sehingga Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Mereka tidak mau mempercayai al-Qur’ān sebagai wahyu dari Allah. Namun, nada al-Qur’ān seperti fashīlah-fashīlah (penghujung-penghujung ayat) bersajak mereka serupakan dengan untaian kata-kata para penyair. Sesuai dengan budaya pada waktu itu menuduh orang lain sebagai penyair, berarti menuduhnya memiliki khadam dari bangsa jinn yang selalu membisikkan kata-kata kepadanya. (62).

 

AYAT 42

وَ لَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ قَلِيْلًا مَا تَذَكَّرُوْنَ.

Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya.

Bukan hanya mereka pandang sebagai produk dari seorang penyair, tetapi al-Qur’ān juga mereka pandang sebagai produk dari seorang kahin (tukang tenung), sehingga al-Qur’ān membantahnya dengan tegas. Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Dalam tradisi ‘Arab, para tukang tenung juga mempunyai hubungan dengan para jinn. Jinn-jinn itulah yang memberi mereka kekuatan dan pengetahuan yang ghaib, sehingga mereka dapat meramalkan apa yang akan terjadi.

Memang sangat disayangkan bahwa Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya. Begitu menariknya tutur yang dibawa oleh al-Qur’ān dan begitu indahnya bahasa yang dikomunikasikan oleh al-Qur’ān, ya‘ni dengan redaksi qalīlan mā tadzakkarūn (tetapi tidak banyak yang mengambilnya sebagai peringatan dan pelajaran). Da‘wah risalah tidaklah datang dengan tutur kata yang menyakitkan, tetapi dengan ungkapan yang lemah-lembut dan menyentuh hati.

Namun, hanya sedikit masyarakat Makkah yang menerimanya sebagai kebenaran dan kemudian menyatakan diri sebagai umat yang beriman kepada Nabi Muḥammad s.a.w. Ini adalah proses dalam aktivitas da‘wah. Penerimaan terhadap kebenaran tidaklah secara instan langsung terlaksana. Da‘wah memang berjalan secara berproses, sedikit demi sedikit, tetapi pasti. Penerimaan masyarakat Makkah terhadap Islam, memang secara berangsur-angsur, dari jumlah sedikit, kemudian lebih banyak lagi. Lalu berkembang bertambah banyak, dan akhirnya Nabi Muḥammad s.a.w. dan kaum beriman membebaskan Makkah dari kemusyrikan Quraisy.

 

AYAT 43

تَنْزِيْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam.

Setelah membantah dengan keras tuduhan kemudian menegaskan bahwa al-Qur’ān itu bukanlah perkataan seorang penyair dan juga bukan perkataan seorang tukang tenung. Allah kemudian menegaskan bahwa al-Qur’ān itu wahyu dari Dia Sendiri. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam. Apa yang disampaikan oleh Muḥammad itu adalah perkataan-Ku Sendiri, bukan perkataan Muḥammad. Muḥammad bin ‘Abdillāh itu hanya sebagai penyambung lidah apa yang difirmankan oleh Allah melalui malaikat Jibrīl.

Al-Qur’ān itu memang benar-benar kalāmullāh (firman Allah) yang mengandung perintah dan larangan, petunjuk dan pedoman untuk manusia. Pedoman dan petunjuk tersebut diberikan oleh Allah s.w.t. sebagai bukti kasih dan sayang-Nya kepada makhluq. Ia diturunkan atas perintah Allah kepada malaikat Jibrīl yang kemudian meneruskannya kepada Nabi Muḥammad s.a.w.. Melalui Nabi Muḥammad s.a.w. al-Qur’ān itu diajarkan kepada umat manusia.

Secara harfiah kata al-Qur’ān itu adalah mashdar dengan arti isim maf‘ūl sehingga artinya adalah yang dibaca. Firman Allah dalam surah al-Qiyāmah [75]: 17-18:

إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَ قُرْآنَهُ، فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ.

Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.”

Bila dikaitkan dengan ayat yang sedang ditafsirkan ini, maka dapat ditegaskan bahwa al-Qur’ān itu ada di bawah tanggungjawab Allah, kemudian diperintahkan kepada Jibrīl untuk menyampaikannya. Nabi Muḥammad s.a.w. dalam menerima ayat-ayat al-Qur’ān tersebut haruslah mengikuti lafazh yang telah dibaca oleh malaikat Jibrīl. Dari pemahaman inilah diperoleh pengertian bahwa lafazh dan ma‘na dai al-Qur’ān itu benar-benar berasal dari Allah s.w.t.

Catatan:

  1. 5). Issa J. Boullata, I‘jāz al-Qur’ān al-Karīm ‘Abra al-Tārīkh, terj. Bachrum B., at all, (Ciputat: Lentera Hati, Cet. I, Sya‘ban 1429 H/Agustus 2008 M), hal. 1.
  2. 6). Ibid., hal. 2.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *