وَ أَمَّا مَنْ أُوْتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُوْلُ يَا لَيْتَنِيْ لَمْ أُوْتَ كِتَابِيَهْ. وَ لَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ. يَا لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ. مَا أَغْنَى عَنِّيْ مَالِيَهْ. هَلَكَ عَنِّيْ سُلْطَانِيَهْ. خُذُوْهُ فَغُلُّوْهُ. ثُمَّ الْجَحِيْمَ صَلُّوْهُ. ثُمَّ فِيْ سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا سَبْعُوْنَ ذِرَاعًا فَاسْلُكُوْهُ. إِنَّهُ كَانَ لَا يُؤْمِنُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ. وَ لَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ. فَلَيْسَ لَهُ الْيَوْمَ هَاهُنَا حَمِيْمٌ. وَ لَا طَعَامٌ إِلَّا مِنْ غِسْلِيْنٍ. لَا يَأْكُلُهُ إِلَّا الْخَاطِؤُوْنَ.
69: 25. Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata: “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini),
69: 26. Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku,
69: 27. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu.
69: 28. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku.
69: 29. Telah hilang kekuasaanku daripadaku”.
69: 30. (Allah berfirman): “Peganglah dia, lalu belenggulah tangannya ke lehernya.”
69: 31. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala.
69: 32. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta.
69: 33. Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar.
69: 34. Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin.
69: 35. Maka tiada seorang teman pun baginya pada hari ini di sini.
69: 36. Dan tiada (pula) makanan sedikit pun (baginya) kecuali dari darah dan nanah.
69: 37. Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa.
AYAT 25
وَ أَمَّا مَنْ أُوْتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُوْلُ يَا لَيْتَنِيْ لَمْ أُوْتَ كِتَابِيَهْ.
“Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata: “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini)”.”
Sudah menjadi kebiasaan al-Qur’ān menyebutkan secara bergantian antara tabsyīr (berita gembira) dan tandzīr (berita menakutkan). Maka setelah menggambarkan berita gembira tentang orang-orang yang berbahagia di hari itu, untaian ayat-ayat berikutnya akan menggambarkan orang-orang yang celaka. Penggambaran dua hal yang bertentangan ini secara berdekatan membuktikan lagi bahwa manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan mana yang akan dia tempuh.
Untaian ayat-ayat tersebut dimulai dengan menyebut orang-orang yang menerima catatan rekam jejaknya dari sebelah kiri, sebagai lawan dari orang-orang yang menerima dari sebelah kanan. Adapun orang pendurhaka dan memilih jalan sesat yang diberikan kepadanya kitab rekam jejak ‘amal-nya di dunia dari sebelah kirinya, maka dia berkata dengan penuh penyesalan: “Wahai malangnya nasibku, alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini) yang isinya hanya keburukan semata”.
Inilah tandzir bagi orang-orang yang mendustakan Hari Kiamat. Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya. Orang-orang yang menerima catatan rekam jejak selama di dunia dari sebelah kiri. Penerimaan sesuatu dari sebelah kiri adalah simbol dari situasi celaka dan tidak baik. Yang akan dihadapi adalah suasana yang tidak menggembirakan dan membuat hati menjadi kecut. Dia merasa bahwa dirinya pasti akan mendapat hukuman disebabkan perbuatan-perbuatan buruk yang sudah dilakukan.
Dengan penuh penyesalan dia bergumam seandainya kitab itu tidak diberikan kepadanya. Oleh sebab itu, maka dia berkata: “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini)”. Karena kitab rekam jejaknya itu hanya berisi keburukan-keburukan ‘amal yang tidak mempedulikan anak yatim dan orang-orang miskin, kedustaan-kedustaan yang dilakukan terhadap pemberitaan yang disampaikan oleh Rasūlullāh s.a.w., serta tidak mengindahkan sama sekali peringatan-peringatan yang telah diberikan oleh Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
AYAT 26
وَ لَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ.
“Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku.”
Bukan saja tidak mau menerima kitab rekam jejak itu, bahkan tidak mau mengetahui apa isinya. Karena dia tahu bahwa catatan rekam jejak itulah yang menjadi bahan pertimbangan untuk penghitungan ‘amal-‘amal perbuatannya selama hidup di dunia. Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Jadi untuk menerimanya saja dia sudah sangat enggan, apalagi untuk mengetahui isinya. Karena situasi ketika itu sangat mencekam dan menakutkan, semua pengalaman yang penah dilakukan di dunia kembali berkelebat dalam pikiran.
Betapa dulu di dunia pelanggaran demi pelanggaran dilakukannya tanpa merasa risih sedikit pun. Walaupun harta kekayaan sudah berlebih dan melimpah-ruah, tidak pernah menafkahkannya sedikit pun di jalan Allah. Walau sudah mempunyai jabatan dan kekuasaan yang tinggi, bukan mensejahterakan rakyat, tetapi malah menyengsarakannya. Bahkan merasa gaji sebagai pejabat masih terasa kurang, padahal penghasilan yang diperoleh sudah sangat berkecukupan, bahkan berlebih-lebih.
Walau diberi wewenang mempergunakan dan menjaga kekayaan negara agar dapat dipergunakan bagi sebesar-besar manfaat untuk rakyat, tetapi yang dilakukan malah sebaliknya, ya‘ni mengorupsinya. Sederetan panjang lagi perbuatan yang melanggar batas terbayang di pelupuk mata. Bertambah dibayangkan, bertambah mengerikan dan bertambah tidak ingin mengetahuinya. Semua itu tercacat dengan rapi dalam buku catatan rekam jejak selama hidup di dunia.
AYAT 27
يَا لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ.
“Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu.”
Kekecewaan dan penyesalan bertambah-tambah dan berlipat ganda, sehingga pengandaian demi pengandaian mengalir tiada henti. Sayangnya pengandaian itu hanya angan-angan, karena nasi sudah menjadi bubur. Seandainya yaum-ul-maḥsyar itu tidak ada, seandainya tidak diberikan catatan ‘amal untuk dibaca, seandainya tidak mengetahui hisabnya, alangkah leganya. Bahkan seandainya kematian itu akhir segala-segalanya sehingga segala sesuatu selesai tuntas. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu Tetapi semua yang diangan-angankan itu tidak terjadi.
Yang terjadi adalah sebaliknya. Sesudah kematian manusia akan dibangkitkan dan setiap orang harus mempertanggungjawabkan ‘amal perbuatannya. Kematian tidaklah mengakhiri segalanya. Sesudah kematian tidak ada kebangkitan adalah pandangan dari kaum yang menganut paham sekularisme. Istilah sekularisme berasal dari kata Latin, saeculum, yang berarti abad (age, century, eewu, siècle). “Sekular” berarti “seabad”. Umpamanya secular games (permainan yang terjadi sekali dalam seratus tahun) dan secular trees (pohon yang berumur seabad).
Selanjutnya “secular” mengandung arti “bersifat duniawi” atau “yang berkenaan dengan hidup dunia sekarang” (temporal, wordly, wereldlijk, mondaine). Lawannya ialah “bersifat ukhrawi” atau “bersifat keagamaan” (religion, sacred, kerkelijk, ecclesiastique). Pendidikan sekuler (secular education) misalnya, adalah pendidikan duniawi yang tidak mempunyai sifat keagamaan. Dalam bahasa ‘Arab, kata sekuler ini diterjemahkan menjadi ‘alami dan duniawi. Kata ‘alami juga dipakai, tetapi dalam dialek Suriah dan Lebanon. Kalau sekuler bersifat duniawi, maka sekularisme berarti “doktrin, policy, atau keadaan menduniawikan, yaitu melepaskan hidup duniawi dari ikatan-ikatan agama.” Dan “sekularisasi” adalah proses penduniawian, yaitu proses melepaskan hidupan duniawi dari kontrol agama. (41)
Oleh sebab itu, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa setelah kematian sebaiknya tidak ada lagi kehidupan sama dan sebangun dengan paham sekuliarisme. Yang ada adalah yang kini dan di sini, sedangkan yang nanti dan di hari akhir tidak ada dan nonsen belaka. Paham ini meyakini bahwa tidak ada hari akhirat, tidak ada hari berbangkit, dan tidak ada yang sifatnya keagamaan. Sedangkan salah satu keyakinan dalam agama adalah mempercayai hari berbangkit.
AYAT 28
مَا أَغْنَى عَنِّيْ مَالِيَهْ.
“Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku.”
Proses perhitungan terus berjalan, tidak bisa ditangguhkan. Semua yang dahulu di dunia dikumpulkan dan dibangga-banggakan, ternyata tidak memberi manfaat sedikitpun pada dirinya saat ini. “Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku”. Dahulu di dunia perkejaan yang paling serius dilakukan adalah mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Tidak kenal siang dan malam, tidak kenal lelah, pagi, sore, malam dan pagi lagi, kerja hanya mengumpul harta. Karena dengan hartalah maka kehidupan menjadi nikmat.
Di akhirat harta tidak berguna lagi, uang tidak bernilai lagi. Harta dan uang tidak dapat dipergunakan untuk menyogok para malaikat sebagaimana dulu di dunia menyogok polisi, menyogok hakim, menyogok jaksa, menyogok para pejabat yang berwewenang. Di akhirat yang dihitung adalah pahala. Pahala yang banyak akan membuat seseorang akan mendapatkan berbagai kemudahan. Pahala adalah nilai tukar yang diperoleh dari melakukan ‘amal shalih dan ‘amal kebajikan ketika berada di dunia.
Di akhirat sogok-menyogok tidak berlaku lagi. Kalau mau memanfaatkan harta, bukan di akhirat lagi, tetapi di dunia. Allah telah memberikan pedoman dan ketentuan bahwa sebahagian dari harta yang dimiliki ada hak fakir-miskin dan anak-yatim. Kalau dahulu di dunia hak untuk fakir-miskin itu ditunaikan, tentu akan membantu masalah yang sedang dihadapi di akhirat. Tetapi sekarang waktunya sudah berlalu, tidak mungkin dimundurkan lagi. Hari dunia sudah berlalu.
AYAT 29
هَلَكَ عَنِّيْ سُلْطَانِيَهْ.
“Telah hilang kekuasaanku dariku.”
Demikian pula kekuasaan, setali tiga uang dengan harta, tidak berguna apa-apa lagi. Telah hilang kekuasaanku dariku. Dahulu ketika di dunia kekuasaan dikejar-kejar, diburu dengan segala cara dan daya upaya agar diperoleh. Apakah dengan cara lurus atau menipu masyarakat. Betapa banyak kekuasaan yang diperoleh dengan cara-cara yang tidak halal. Kekuasaan dibeli dengan money politic (politik uang). Kekuasaan diperoleh dengan cara-cara menipu melalui penggelembungan jumlah suara di tempat-tempat pemungutan suara.
Memang sudah menjadi kenyataan, ketika kekuasaan itu sudah diperoleh atau didapat oleh seseorang, maka segala keinginannya akan dapat dipenuhi. Dengan secara mudah melalui kekuasaan yang dia punyai itu, seseorang dapat memerintah orang lain untuk melakukan sesuatu yang dia inginkan atau untuk memperoleh sesuatu yang dia perlukan. Apakah keinginan atau keperluan itu demi untuk mewujudkan nilai-nilai kebaikan ataukah untuk menebar nilai-nilai kejahatan.
Kekuasaan memang menjanjikan berbagai kemudahan dan fasilitas yang dapat dipergunakan untuk memperkaya diri sampai tujuh turunan, bila tidak dikendalikan oleh moralitas. Namun, kekuasaan seperti itu tidak ada gunanya lagi di akhirat, Semua kemudahan dan fasilitas sudah tinggal di belakang dunia. Di sini yang berlaku adalah kekuasaan akhirat di bawah pimpinan Allah jalla jalāluh. Semua hanya dapat berlaku bila diidzinkan dan dikehendaki oleh Allah.
AYAT 30
خُذُوْهُ فَغُلُّوْهُ.
“(Allah berfirman): “Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya”.”
Inilah sanksi yang dijatuhkan oleh Allah, sesudah segala sesuatunya dibaca dan dipertimbangkan dengan seadil-adilnya. Satu perintah yang hanya terdiri dari dua kata khudzūhu (tangkap dia) dan faghullūhu (lilitkan tangannya ke lehernya) dari Allah Pemilik Semesta: Allah berfirman): “Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya”. Perintah langsung dari Allah s.w.t. tertuju kepada para malaikat yang bertugas menyiksa orang-orang pendurhaka ini.
Itulah perintah dari sang Pemilik alam semesta untuk menangkap dan membelenggu si kecil, hina, dan lemah, manusia si pendurhaka dan pembuat dosa. Si kecil, hina, dan lemah itu tertunduk layu dan tidak berkutik sedikit pun ketika perintah siksa dengan belenggu itu sudah dijatuhkan. Ketika di dunia ia merasa memiliki segalanya, apakah itu harta atau kekuasaan yang dia punya. Tetapi di sini, di tempat pemberhentian akhirat ini, harta dan kekuasaan tidak dapat menolong sedikit pun.
Di akhirat tiada gunanya lagi menghitung-hitung harta dan tiada manfaatnya lagi menyebut-nyebut kekuasaan besar. Pada saat ini hanya perintah dan kekuasaan Allah yang bisa berlaku, hanya ketentuan dan undang-undang Allah yang dapat diterima. Maka siksaan dengan membelenggu tangan ke leher adalah bentuk siksa yang sangat merendahkan dan menghinakan. Biasanya belenggu itu hanya dikenakan di tangan. Tetapi sekarang belenggu itu juga dililitkan ke leher.
AYAT 31
ثُمَّ الْجَحِيْمَ صَلُّوْهُ.
“Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala.”
Sesudah dia ditangkap dan dibelenggu, lalu muncul perintah berikutnya yang lebih menghinakan dan sangat pedih. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Neraka tempat dia dimasukkan itu adalah neraka Jaḥīm. Satu tingkat tertentu dari neraka milik Allah. Sebab di dalam al-Qur’ān dijelaskan ada tujuh tingkat neraka di Yaum-ul-Ākhir kelak. Salah satunya adalah neraka Jaḥīm, yang disediakan bagi orang-orang pendurhaka.
Neraka Jaḥīm adalah neraka yang panasnya merupakan puncak dari panasnya api yang ada di neraka. Ke dalam neraka Jaḥīm inilah dia dimasukkan oleh malaikat-malaikat juru siksa, yang apinya menyala-nyala. Tersiksa di neraka Jaḥīm adalah balasan yang setimpal atas kedurhakaannya kepada Allah. Dia telah mendustakan Hari Kiamat yang berkali diperingatkan oleh Allah untuk tidak didustakan.
Menurut al-Qur’ān neraka Jaḥīm adalah tempat penyiksaan bagi orang-orang yang menserikatkan Allah dengan yang lain, orang-orang kafir, orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah, orang-orang yang berusaha melemahkan iman orang lain dengan berbagai cara dan tipu-daya, orang yang mendustakan Hari Kiamat, orang-orang yang lebih mengutamakan kehidupan dunia dan orang yang lalai karena bermegah-megah. Bagaimana rincian bentuk siksa yang terdapat di dalam neraka Jaḥīm itu, hanya Allah Yang Maha Tahu.
AYAT 32
ثُمَّ فِيْ سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا سَبْعُوْنَ ذِرَاعًا فَاسْلُكُوْهُ.
“Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta.”
Bukan sekadar dilemparkan ke dalam neraka Jaḥīm itu saja, tetapi di dalam neraka itu ia juga dibelit dengan rantai yang panjangnya 70 hasta. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. Sebenarnya satu hasta saja sudah cukup untuk membelit seseorang. Tetapi ayat ini menggambarkan lilitan itu dengan mempergunakan rantai yang panjangnya 70 hasta. Secara harfiah tergambar bahwa dengan panjang 70 hasta itu lilitan yang dilakukan bukan hanya sekali lilit saja, tetapi berkali-kali lilitan.
‘Adzab yang sedemikian pedih, ya‘ni dibakar di neraka Jaḥīm dengan tubuh terlilit rantai yang besar dan berat, merupakan penggambaran siksaan yang sangat menyakitkan. Dibakar di tengah api yang menyala-nyala dan pada waktu yang bersamaan juga diikat dengan rantai yang besar dan berat. Walaupun sebenarnya penggambaran seperti itu belum mampu memenuhi hakikat gambaran yang sesungguhnya dari penyiksaan yang ada di neraka Jaḥīm tersebut.
Namun, dengan penggambaran penyiksaan dililit dengan 70 hasta rantai yang besar dan berat, tentulah yang hendak dicapai adalah penyadaran kemanusiaan. Yakni menyadarkan manusia tentang apa bencana yang akan menimpa bila memilih yang sesat, memilih jalan kedurhakaan yang tidak diridhai oleh Allah. Betapa sangat mengerikan dan menyakitkan bencana tersebut yang kelak akan dialami dan dirasakan oleh para pendurhaka di neraka Jaḥīm.
AYAT 33
إِنَّهُ كَانَ لَا يُؤْمِنُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ.
“Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar.”
Apa penyebab orang-orang tersebut menerima ‘adzab ditangkap, dibelenggu, dimasukkan ke neraka Jaḥīm dengan dibelenggu dengan rantai yang panjangnya 70 hasta? Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar. Kesalahan mereka yang utama adalah tidak mau beriman kepada Allah s.w.t. Adalah konsekuensi logis dari orang yang tidak beriman kepada Allah, pasti akan beriman kepada selain Allah. Artinya dia pasti mempertuhan selain Allah.
Karena tidak beriman, maka dia tidak pula bertasbih menyucikan Allah dari yang lain. Padahal seluruh makhluq, tumbuh-tumbuhan, hewan, bahkan benda mati bertasbih kepada Allah. Menyucikan Allah dalam arti tidak menyamakannya dengan yang lain. Sebab eksistensi Allah adalah eksistensi yang wājib-ul-wujūd. Esensi-Nya adalah wujud-Nya. Wujud-Nya tidak boleh dipisahkan dari esensi-Nya. Oleh sebab itu, tidak boleh Allah dipersamakan dengan yang lain.
Bagaimana manusia sebagai makhluq termulia tidak bertasbih dengan tidak beriman kepada-Nya. Ini berarti harkat dan martabatnya jauh di bawah tumbuhan, hewan, dan benda mati. Kepada siapa lagi dia bertuhan? Bila tidak bertuhan kepada Allah, berarti dia bertuhan kepada selain Allah. Selain Allah itu adalah makhluq atau alam, yang tidak keluar dari alam tadi, ya‘ni tumbuhan, hewan, dan benda mati. Bila dia mempertuhan alam, maka ia telah menurunkan harkat dan martabatnya sendiri.
AYAT 34
وَ لَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ.
“Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin.”
Konsekuensi logis dari orang-orang yang tidak beriman kepada Allah adalah tidak peduli kepada para fakir-miskin. Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin. Karena Allah mengecam orang-orang yang tidak peduli kepada anak yatim dan fakir-miskin sebagai pendusta-pendusta agama. Kemiskinan adalah musuh kemanusiaan. Agama memerintahkan agar melawan kemiskinan ini. Kemiskinan akan menggiring orang untuk melakukan berbagai tindakan kekufuran dan kejahatan.
Berbagai hadits Nabi menegaskan bahwa siapa yang menyayangi orang-orang yang ada di bumi, ya‘ni orang-orang fakir dan miskin, maka ia akan disayangi oleh dia yang ada di langit. Allah akan memberi keberkahan atas segala usaha yang dilakukan seseorang bila dia memperhatikan kehidupan orang-orang miskin dan terlantar. Tetapi mereka tidak peduli sama sekali kepada ajaran Rasulullah s.a.w. tersebut. Mereka hanya mementingkan diri sendiri, bahkan menumpuk harta untuk anak cucu sendiri.
Selama di dunia dia tidak peduli kepada fakir-miskin, padahal hartanya berlimpah. Bila ada orang-orang yang meminta sumbangan kepadanya, dia pandang itu hanya permainan orang-orang pemalas, yang tidak mau bekerja keras. Dia tidak mendorong orang lain, di samping dirinya sendiri, untuk menyantuni fakir-miskin, padahal dia mempunyai kekuasaan untuk melakukannya. Inilah kesombongan yang nyata, kesombongan yang sesungguhnya dari orang-orang yang tidak punya hati dan kepedulian.
AYAT 35
فَلَيْسَ لَهُ الْيَوْمَ هَاهُنَا حَمِيْمٌ.
“Maka tiada seorang teman pun baginya pada hari ini di sini.”
Oleh sebab itu, tiada seorang pun yang akan mau mendekatinya. Maka tiada seorang teman pun baginya pada hari ini di sini. Dia akan merana sendirian, tidak ada yang menemaninya. Terbelenggu sendiri dalam siksaan neraka Jahim yang apinya menyala-nyala. Tidak seorang yang dapat menemani untuk meringankan siksa yang dideritanya itu. Dia harus tanggungkan sendiri ‘adzab tersebut, karena di dunia dia hidup secara nafsi-nafsi serta tidak peduli kepada orang lain.
Kondisi kesendirian dalam keadaan terhukum dan tersiksa adalah bentuk penyiksaan lain lagi dari siksaan bagi orang-orang yang tersiksa. Dalam keadaan bahagia, kesendirian tidaklah menjadi masalah. Benar bahwa bagi seseorang yang memperoleh kebahagiaan, selalu ingin menceritakan kebahagiaan yang dia peroleh. Namun, keinginan berbagi tentang kesakitan dan ketertekanan. Dalam keadaan kesakitan setiap orang selalu meminta pertolongan orang lain.
Itulah sebabnya pesakitan yang mengalami situasi tersiksa selalu menginginkan ada orang lain di samping dirinya. Secara psikologis, dia ingin berbagi perasaan atas kondisi tertekan yang dialaminya. Maka secara simbolik kesendirian adalah bentuk penyiksaan juga bagi orang-orang yang sedang mengalami hukuman dan penyiksaan. Orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, tidak peduli dan tidak mendorong orang lain untuk memberi makan orang-orang miskin, tersiksa dengan kesendiriannya itu.
AYAT 36
وَ لَا طَعَامٌ إِلَّا مِنْ غِسْلِيْنٍ.
“Dan tiada (pula) makanan sedikit pun (baginya) kecuali dari darah dan nanah.”
Di samping tidak ada yang menemani dalam situasi yang dalam keadaan tersiksa, tingkat kepedihannya digambarkan lagi dengan makanan yang terdiri dari darah dan nanah. “Dan tiada (pula) makanan sedikit pun (baginya) kecuali dari darah dan nanah.” Ini adalah gambaran siksa yang bertingkat-tingkat dan berlipat-lipat. Ia tidak mendapatkan makanan yang layak. Makanannya adalah darah dan nanah. Darah dan nanah adalah dzāt yang menjijikkan, apabila sudah mengalir keluar dari tubuh manusia.
Minuman darah dan nanah, lagi-lagi merupakan symbol dari siksa yang berlipat-ganda itu. Dalam penggambaran dunia, seorang pesakitan yang sedang menjalani hukuman juga diberi makan yang layak. Pemberian makan itu dimaksudkan agar dia dapat hidup menjalani hukuman yang sedang dia jalani. Tentu saja pemberian makanan itu sendiri bukanlah penyiksaan. Dia diberi makanan dengan tujuan agar hukuman tidak berhenti, disebabkan dia sakit atau meninggal.
Simbolisme ini pula yang digambarkan dalam siksaan nereka Jaḥīm, ya‘ni makan darah dan nanah, agar siksa dapat dia rasakan dalam kehidupan yang baqā’ di akhirat. Namun, bila di dunia pemberian makanan adalah sebagai kebahagiaan untuk menyambung hidup dan membuat hidup jadi sehat, tetapi di neraka Jaḥīm, disamping sudah disiksa dengan tangan dibelenggu dengan kobaran api yang menyala-nyala, makanan dan minumanyapun adalah siksaan, ya‘ni darah dan nanah.
AYAT 37
لَا يَأْكُلُهُ إِلَّا الْخَاطِؤُوْنَ.
“Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa.”
Makanan darah dan nanah itu hanya menjadi konsumsi orang-orang yang berdosa. Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa. Ini adalah gambaran kebalikan dari makanan dan minuman orang-orang yang berada di dalam surga. Bila orang-orang di surga disuguhi makanan dengan berbagai ragam buah-buahan yang dapat dipetik dengan tangan, karena dekatnya, maka makanan orang-orang penghuni neraka Jaḥīm adalah darah bercampur nanah.
Para pendosa yang dimaksud oleh ayat ini bukanlah pendosa pemula, tetapi orang-orang yang melakukan dosa berkali-kali dan berlarut-larut. Sehingga berbuat dosa itu sudah merupakan gaya hidupnya. Hal ini sejalan dengan kandungan yang terdapat dari kata al-khāthi’ūn yang menurut M. Quraisy Syihāb terambil dari kata al-khith’u (dengan kasrah pada huruf khā’), ya‘ni dosa. Ia berbeda dengan al-mukhthi’ūna yang terambil dari kata al-khatha’ (dengan fatḥah pada huruf khā’ yang berarti keliru). Kekeliruan terjadi karena tidak tahu, lupa, atau tidak sengaja. Sedang dosa adalah pelanggaran yang dilakukan dengan sengaja. Al-Khāthi’ūna adalah orang-orang yang dengan sengaja lagi berulang-ulang melakukan dosa sehingga dosa telah menjadi ciri kepribadiannya. Demikian kita nukil dari Quraisy Syihāb, ketika menafsirkan ayat ini.
Namun, patutlah dipertanyakan bahwa akan sulit meneliti dan membedakan apakah seseorang itu baru pertama sekali melakukan dosa atau sebenarnya sudah berulang kali melakukannya. Seperti seorang pencuri, ketika tertangkap sedang mencuri, maka ia akan mengaku bahwa ia mencuri baru pertama kali. Padahal sebenarnya sudah berkali-kali mencuri. Oleh sebab itu, benar bahwa siksa dan dosa yang diberikan kepada yang tersiksa itu, adalah orang-orang yang sudah terbisa berdosa. Tetapi dalam konteks Raḥmān dan Raḥīm-Nya, Allah s.w.t., Pemahaman tentang orang yang sudah biasa melakukan dosa, merupakan peringatan bagi manusia.