كَذَّبَتْ ثَمُوْدُ وَ عَادٌ بِالْقَارِعَةِ. فَأَمَّا ثَمُوْدُ فَأُهْلِكُوْا بِالطَّاغِيَةِ. وَ أَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوْا بِرِيْحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ. سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُوْمًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيْهَا صَرْعَى كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ. فَهَلْ تَرَى لَهُمْ مِّنْ بَاقِيَةٍ.
69: 4. Kaum Tsamūd dan ‘Ād telah mendustakan Hari Kiamat.
69: 5. Adapun kaum Tsamūd, maka mereka telah dibinasakan dengan kejadian yang luar biasa.
69: 6. Adapun kaum ‘Ād, maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang.
69: 7. Yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus; maka kamu lihat kaum ‘Ād pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).
69: 8. Maka kamu tidak melihat seorang pun yang tinggal di antara mereka.
AYAT 4
كَذَّبَتْ ثَمُوْدُ وَ عَادٌ بِالْقَارِعَةِ.
“Kaum Tsamūd dan ‘Ād telah mendustakan Hari Kiamat.”
Setelah menggambarkan kedahsyatan Hari Kiamat dengan ungkapan al-ḥāqqah, yang memberikan kesan mengerikan, menakutkan, benar, dan pasti ke dalam jiwa, maka Allah kemudian membuka pembicaraan berikutnya dengan mengingatkan manusia kepada bangsa-bangsa dan tokoh-tokoh yang telah punah dari sejarah. Kaum Tsamūd dan ‘Ād telah mendustakan Hari Kiamat. Kedua bangsa atau kaum ini mendustakan Hari Kiamat.
Bangsa pertama yang disebut itu adalah bangsa Tsamūd. Tsamūd adalah salah satu bangsa ‘Arab tertua yang sudah punah dari sejarah. Mereka mendiami kawasan pegunungan yang berlokasi di antara Madīnah dan Syām saat ini. Kawasan itu dahulu kala bernama Ḥijr. Negeri Ḥijr luar biasa suburnya sehingga masyarakat dan rakyat hidup makmur. Sayang sekali bangsa Tsamūd tidak mensyukuri ni‘mat tersebut, mereka kufur ni‘mat. Mereka tidak percaya akan datangnya Hari Kiamat, dan malah mereka menyembah berhala.
Bangsa kedua yang disebut oleh al-Qur’ān adalah bangsa ‘Ād. Bangsa ‘Ād juga adalah bangsa ‘Arab purbakala yang dikatakan terdiri dari sepuluh suku bangsa. Mereka mendiami lembah-lembah gurun antara al-Aḥqāf dan Ḥadhramaut. Mereka dikenal sebagai kabilah yang kuat dan sangat pemberani melebihi kekuatan dan keberanian kabilah-kabilah yang lain. Profesi bangsa ini dikenal sebagai bangsa pemahat bangunan. Kejayaan teknologi bangunan yang dimiliki oleh kaum ‘Ād telah menimbulkan kemakmuran dan kehidupan mewah di tengah masyarakat. Tetapi sayang sekali bahwa kemakmuran dan kehidupan mewah dunia itu telah membuat bangsa ‘Ād lupa diri. Mereka kemudian melakukan tindakan sewenang-wenang yang menimbulkan kerusakan di muka bumi, sebagai bukti ketidakpercayaan mereka kepada Hari Kiamat.
AYAT 5
فَأَمَّا ثَمُوْدُ فَأُهْلِكُوْا بِالطَّاغِيَةِ.
“Adapun kaum Tsamūd maka mereka telah dibinasakan dengan kejadian yang luar biasa.”
Kedurhakaan dan kesesatan bangsa Tsamūd itu diluruskan oleh Allah dengan mengirim seorang rasūl-Nya, Nabi Shāliḥ a.s. Untuk memperkuat argumen kerasulan Nabi Shāliḥ, Allah membekali beliau dengan mu‘jizat seekor unta betina yang besar dan gemuk. Unta betina ini adalah unta yang keluar dari sebuah batu besar dengan idzin Allah. Dengan adanya mu‘jizat itu Nabi Shāliḥ a.s. menyeru kaumnya lebih aktif lagi. Seruan dan ajakan Nabi Shāliḥ agar mereka meninggalkan perbuatan syirik menyembah berhala. Tetapi sayang kaum Tsamud menolak ajakan dan seruan Nabi Shāliḥ tersebut. Tidak hanya menolak seruan, mereka bahkan membunuh unta Nabi Shāliḥ.
Namun, Nabi Shāliḥ tidak pernah berputus asa. Perbuatan jahat mereka itu diperingatkan lagi oleh Nabi Shāliḥ, tetapi mereka bertambah angkuh dan kufur, lalu merencanakan membunuh Nabi Shāliḥ sendiri. Akibat dari kedurhakaan mereka itu, Allah menurunkan ‘adzab berupa halilintar dahsyat. Petir halilintar itu menghancurkan seluruh bangunan yang ada di negeri Ḥijr serta membakar seluruh penduduknya. Itulah yang diisyaratkan oleh Allah dalam ayat ini: Adapun kaum Tsamūd maka mereka telah dibinasakan dengan kejadian yang luar biasa. Yang dimaksud dengan kejadian luar biasa pada ayat ini adalah petir halilintar. Akhirnya kaum Tsamūd lenyap dari sejarah.
Al-Qur’ān bukanlah kitab sejarah, tetapi ia menginformasikan peristiwa-peristiwa sejarah umat masa lampau. Oleh sebab itu, bila al-Qur’ān berbicara tentang sejarah umat-umat masa lampau itu, bukan dimaksudkan sebagai informasi sejarah. Informasi tentang sejarah umat masa lampau itu dapat dijadikan sebagai perbandingan untuk kehidupan masa kini agar lebib baik dari masa lampau. Dengan demikian kesalahan dan kedurhakaan umat masa lampau jangan diulang kembali. Pesan moral kisah sejarah itu lebih kuat dari pesan peristiwa sejarahnya.
AYAT 6
وَ أَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوْا بِرِيْحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ.
“Adapun kaum ‘Ād, maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang.”
Lain lagi proses kepunahan bangsa ‘Ād. Adapun kaum ‘Ād, maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang. Kepada kaum ‘Ād, Allah mengutus rasūl-Nya Nabi Hūd a.s. Nabi Hūd mengajak mereka untuk tidak berbuat kerusakan dan kedurhakaan lagi di bumi. Mereka diseru oleh Nabi Hūd untuk kembali ke jalan yang benar dan lurus serta meninggalkan jalan yang sesat dan menserikatkan Allah dengan sesuatu apa pun.
Tetapi sayang, kehidupan mewah telah membuat mereka lupa daratan dan tetap saja melakukan tindakan sewenang-wenang tanpa batas. Seruan dan ajakan Nabi Hūd mereka anggap angin lalu. Mereka hidup bermewah-mewah, mengeksploitasi orang-orang miskin yang hidupnya tidak berkecukupan. Para pemuka mereka juga memperolok-olok Nabi Hūd dan memandang beliau dalam keadaan kurang akal dan berdusta. Firman Allah dalam surah al-A‘rāf [7]: 66:
قَالَ الْمَلَاءُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَوْمِهِ إِنَّا لَنَرَاكَ فِيْ سَفَاهَةٍ وَ إِنَّا لَنَظُنُّكَ مِنَ الْكَاذِبِيْنَ.
“Pemuka-pemuka yang kafir dan kaumnya berkata: “Sesungguhnya kami benar-benar memandang kamu dalam keadaan kurang akal dan sesungguhnya kami menganggap kamu termasuk orang-orang yang berdusta.”
Akibat tindakan mereka yang sewenang-wenang itu Allah menurunkan ‘adzab kepada bangsa ‘Ād. Mereka dihancurkan dengan datangnya angin puting beliung yang sangat dingin dan sangat kencang. Tingkat kedinginan angin itu sangat luar biasa sampai menusuk ke tulang sumsum. Desirannya memecahkan gendang telinga. Tiupannya yang kencang dan dahsyat itu, membongkar dan memporak-porandakan semua bangunan tinggi yang mereka bangun.
AYAT 7
سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُوْمًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيْهَا صَرْعَى كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ.
“Yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus; maka kamu lihat kaum ‘Ād pada waktu itu, mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).”
Angin puting beliung itu, bukan terjadi satu atau dua hari, tetapi berhari-hari. Yang Allah menimpakan angin yang sangat dingin dan sangat kencang itu kepada mereka, bangsa ‘Ād selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus tanpa pernah berhenti sekejap pun; maka kamu lihat kaum ‘Ād pada waktu redanya tiupan angin puting beliung itu, mereka semua mati bergelimpangan seakan-akan mereka terlihat seperti tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk) mati membusuk.
Betapa dahsyatnya tiupan angin itu, Jangankan berlangsung tujuh malam delapan hari, satu hari saja terjadi, pasti sudah banyak kerusakan yang timbul. Dalam suasana yang hiruk-pikuk seperti itu pasti tidak ada aktivitas yang bisa dilakukan, termasuk mempersiapkan makanan untuk diri sendiri. Berhati-hati tidak makan dan tidak minum, membuat bangsa ‘Ād “mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk)”.
Perumpamaan dengan tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong atau lapuk tersebut, menimbulkan suasana pemahaman bahwa bangsa ‘Ād ketika itu mati membusuk. Dapat dibayangkan, dengan terpaan angin yang sangat dingin dan kencang selama tujuh malam dan delapan hari, tidak memberi kesempatan untuk siapa saja menyelamatkan diri. Mayat-mayat manusia yang sudah terlantar selama 8 hari 7 malam pastilah akan membusuk.
AYAT 8
فَهَلْ تَرَى لَهُمْ مِّنْ بَاقِيَةٍ.
“Maka kamu tidak melihat dari mereka seorang pun yang tersisa.”
Sungguh sangat dahsyat dan memilukan hati melihat akibat dari ‘adzab Allah yang menimpa bangsa ‘Ād tersebut. Maka kamu tidak melihat dari mereka seorang pun yang tersisa. Gumpalan debu dari angin puting beliung tersebut pada mulanya mereka anggap awan yang akan membawa hujan. Sehingga mereka tidak menyadari marabahaya ‘adzab sedang mendekati mereka. Tetapi angin yang bertiup “tujuh malam delapan hari” telah mengangkut berton-ton pasir gurun sehingga menimbun kaum ‘Ād hidup-hidup.
Bencana itu menghancurkan dan menyapu bersih semua kaum ‘Ād. Mereka semua mati tanpa tersisa seorang jua pun. Laki-laki, perempuan, orang yang lanjut usia, anak-anak, bahkan bayi-bayi pun terkena ‘adzab itu. Seluruh sawah dan ladang yang subur, bendungan-bendungan pengairan yang besar dan kecil, kota dan berbagai fasilitas dan kemewahannya, lenyap ditimbun pasir. Mereka dibenam oleh timbunan pasir yang menggunung setelah ditiup oleh angin yang sangat kencang.
Setelah peristiwa itu berakhir, tinggal sebuah gurun pasir belaka. Segelintir kecil saja dari umat Nabi Hūd yang bisa selamat dari bencana itu, yang dalam catatan sejarah hanya berjumlah 17 orang. Mereka menyelamatkan diri ke Ḥadhramaut. Tentu saja jumlah yang sangat kecil mengakibatkan bangsa ‘Ād tidak dapat lagi melanjutkan generasi mereka. Bangsa ‘Ād pun punah dari sejarah sebagai bagian dari bangsa ‘Arab. Bangsa ini sekarang hanya ada dalam sejarah.
وَ جَاءَ فِرْعَوْنُ وَ مَنْ قَبْلَهُ وَ الْمُؤْتَفِكَاتُ بِالْخَاطِئَةِ. فَعَصَوْا رَسُوْلَ رَبِّهِمْ فَأَخَذَهُمْ أَخْذَةً رَّابِيَةً. إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ. لِنَجْعَلَهَا لَكُمْ تَذْكِرَةً وَ تَعِيَهَا أُذُنٌ وَاعِيَةٌ.
69: 9. Dan telah datang Fir‘aun dan orang-orang yang sebelumnya dan (penduduk) negeri-negeri yang dijungkirbalikkan karena kesalahan yang besar.
69: 10. Maka (masing-masing) mereka mendurhakai rasūl Tuhan mereka, lalu Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat keras.
69: 11. Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung) Kami bawa (nenek moyang) kamu ke dalam bahtera.
69: 12. Agar Kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar.
AYAT 9
وَ جَاءَ فِرْعَوْنُ وَ مَنْ قَبْلَهُ وَ الْمُؤْتَفِكَاتُ بِالْخَاطِئَةِ.
“Dan telah datang Fir‘aun dan orang-orang yang sebelumnya dan (penduduk) negeri-negeri yang dijungkirbalikkan karena kesalahan yang besar.”
Rangkaian ayat-ayat di atas menggambarkan akhir dari sejarah bangsa ‘Ād dan Tsamūd, sebagai i‘tibar bagi manusia, rangkaian ayat berikutnya al-Qur’ān menurunkan lagi peritstiwa yang dialami oleh Fir‘aun, kaum Nabi Nūḥ, dan kaum Nabi Lūth. Dan telah datang Fir‘aun penguasa Mesir yang telah mengaku menjadi Tuhan, dan orang-orang yang sebelumnya, ya‘ni umat Nabi Nūḥ a.s. dan (penduduk) negeri-negeri yang dijungkirbalikkan, ya‘ni umat Nabi Lūth karena kesalahan yang besar.
Penguasa Mesir yang mengaku menjadi Tuhan itu adalah Fir‘aun. Dan telah datang Fir‘aun. Sebenarnya kata fir‘aun adalah sebutan yang diberikan terhadap raja-raja Mesir Kuno. Menurut para ahli, kata tersebut dikatakan berasal dari bahasa ‘Ibrānī, ya‘ni per-o yang berarti “rumah besar” atau “istana besar”. Istilah Inggrisnya adalah pharaoh. Gelar ini diterapkan secara turun-temurun kepada raja-raja Mesir Kuno karena menganggap sebagai titisan dewa, seperti dewa Horus, dewa Buto, dewa Osiris, dan lain-lain (11).
Bila dihubungkan dengan ayat 11 yang dimaksud dengan orang yang sebelum Fir‘aun “dan orang-orang yang sebelumnya” itu adalah umat Nabi Nūḥ. Nabi Nūḥ diutus kepada penduduk Armenia yang sudah mulai melupakan ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Idrīs a.s. Mereka kembali menyembah berhala karena bujukan Iblīs. Umat Nabi Nūḥ adalah penyembah berhala pertama. Berhala-berhala itu mereka beri nama Wadd, Suwā, Yaghūts, Ya‘ūq, dan Nasr. Nabi Nūḥ memperingatkan perbuatan umatnya, tetapi mereka menutup telinga, bahkan menentang ajaran Nabi Nūḥ. Nama-nama berhala tersebut terus diabadikan sampai ke masa penyembahan berhala masyarakat ‘Arab Jāhiliyyah. (22)
Sedangkan yang dimaksud dengan penduduk yang dijungkirbalikkan, dan (penduduk) negeri-negeri yang dijungkirbalikkan, adalah umat Nabi Lūth. Nabi Lūth diutus oleh Allah kepada penduduk negeri Sodom yang melakukan perbuatan sangat keji, yaitu melakukan hubungan seksual sesama jenis. Yang sekarang disebut dengan istilah homoseksual. Dengan tegas Lūth mencela kebiasaan mereka yang keji itu. Lūth mengajak mereka dengan bijaksana agar meninggalkan perbuatan tersebut. (33)
AYAT 10
فَعَصَوْا رَسُوْلَ رَبِّهِمْ فَأَخَذَهُمْ أَخْذَةً رَّابِيَةً.
“Maka (masing-masing) mereka mendurhakai rasūl Tuhan mereka, lalu Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat keras.”
Baik Fir‘aun, kaum Nabi Nūḥ, dan kaum Nabi Lūth mendurhaka kepada Allah. mereka tidak mau mendengarkan seruan dan ajakan para nabi dan rasūl. Bahkan mereka menentang ajakan dan seruan tersebut dengan sombongnya. Maka (masing-masing) mereka, Fir‘aun, umat Nabi Nūḥ, dan umat Nabi Lūth mendurhakai rasūl Tuhan mereka, ya‘ni Mūsā, Nūḥ, dan Lūth, lalu Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat keras dan pedih.
Fir‘aun dan tentaranya mengalami nasib yang sangat tragis. Dia mengejar Mūsā dan Bani Isrā’īl dan masuk ke laut yang terbelah. Namun ketika Mūsā dan Bani Isrā’īl sudah selamat sampai ke seberang, laut kembali bersatu menenggelamkan Fir‘aun dengan bala tentaranya. Semuanya mati ditelan ombak. Tentara dalam jumlah yang tidak sedikit, perlengkapan senjata yang cukup, serta dengan kuda-kuda yang berlari kencang, semuanya mati tenggelam di Laut Merah.
Penduduk negeri Sodom yang didatangi Nabi Lūth ditimpakan ‘adzab oleh Allah, karena kedurhakaan mereka. ‘Adzab itu berbentuk gempa bumi di mana kaum Sodom berada. Kota Sodom dibalikkan oleh Allah. Yang bagian permukaan bumi melesat ke bawah tanah dan yang bagian bawah tanah naik ke permukaan. Sehingga seluruh penduduk dan warga kota tersebut tertimbun hidup-hidup ke dalam tanah. Tiada yang tersisa seorang jua pun dari mereka.
AYAT 11
إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ.
“Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung) Kami bawa (nenek moyang) kamu ke dalam bahtera.”
Adapun kepada umat Nabi Nūḥ, Allah menurunkan ‘adzab dalam bentuk banjir besar. Sesungguhnya Kami Allah, Tuhan Yang Maha ‘Adil lagi Maha Bijaksana, tatkala air telah naik (sampai ke gunung) sehingga terjadi banjir besar, maka Kami bawa (nenek moyang) kamu yang beriman kepada Allah serta tidak mendustakan Hari Kiamat, ke dalam bahtera untuk menyelamatkan mereka dari bahaya banjir besar tersebut.
Karena hujan turun tiada henti, air pun melimpah dan meluap dengan ganasnya. Di samping itu air yang di dalam tanah juga memancar dengan derasnya. Sehingga terjadi banjir besar. Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung). Tingginya air bukan hanya sebatas manusia, atau sebatas rumah-rumah mereka, tetapi sebatas gunung. Tidak ada lagi tempat untuk menyelamatkan diri. Semua permukaan tanah sudah tertutup oleh banjir besar tersebut.
Di saat menjelang air bertambah naik, maka manusia-manusia yang beriman dipersilakan naik ke dalam bahtera Nabi Nūḥ. Mereka menaiki bahtera dengan penuh suka-cita, karena hanya mereka saja yang selamat dari banjir besar itu. Kami bawa (nenek moyang) kamu ke dalam bahtera. Inilah generasi penyambung hidup manusia berikutnya. Itu sebabnya dikatakan sebagai nenek moyang dari manusia-manusia beriman yang akan hidup selanjutnya setelah peristiwa banjir besar tersebut. Sedangkan manusia di luar mereka sudah mati tenggelam.
AYAT 12
لِنَجْعَلَهَا لَكُمْ تَذْكِرَةً وَ تَعِيَهَا أُذُنٌ وَاعِيَةٌ.
“Agar Kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar.”
Kisah tentang punahnya bangsa-bangsa dan tokoh pendurhaka tersebut dibentangkan oleh Allah untuk dijadikan i‘tibar. Agar Kami jadikan buat kamu peristiwa itu baik peristiwa ‘Ād, Tsamūd, Fir‘aun, umat Nabi Nūḥ, dan penduduk kota Sodom, ya‘ni umat Nabi Lūth, agar menjadi peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh orang-orang yang mempunyai telinga sehingga mereka menjadi orang-orang yang mau mendengar petunjuk dan hidayah dari Allah s.w.t.
Bencana dan ‘adzab sudah berlalu. Ia tidak boleh dijadikan sebagai peristiwa angin lalu saja. Agar Kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kamu. Tetapi peristiwa itu perlu dicatat dan diabadikan agar menjadi peringatan bagi manusia berikutnya. Allah sendiri mengabadikan peristiwa itu di dalam kitab suci al-Qur’ān. Al-Qur’ān dalam kaitan ini juga berfungsi sebagai peringatan bagi umat manusia. Peringatan agar tidak mengikuti perilaku bangsa-bangsa terdahulu yang sudah binasa.
Bila peristiwa itu diperhatikan terus-menerus, dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar, maka diharapkan pengalaman dan bencana demi bencana yang telah menimpa bangsa-bangsa yang sudah punah itu tidak terulang kembali. Hendaknya manusia tidak melakukan kedurhakaan dan kesombongan seperti yang pernah dilakukan bangsa-bangsa yang lalu. Dengan demikian, kehidupan manusia akan selamat, bahagia, dan sejahtera.