Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir Ibni Katsir (4/6)

Dari Buku:
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30
(An-Nabā’ s.d. An-Nās)
Oleh: Al-Imam Abu Fida’ Isma‘il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir Ibni Katsir

Al-Ḥāqqah, ayat 19-24.

فَأَمَّا مَنْ أُوْتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِيْنِهِ فَيَقُوْلُ هَاؤُمُ اقْرَؤُوْا كِتَابِيَهْ. إِنِّيْ ظَنَنْتُ أَنِّيْ مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ. فَهُوَ فِيْ عِيْشَةٍ رَّاضِيَةٍ. فِيْ جَنَّةٍ عَالِيَةٍ. قُطُوْفُهَا دَانِيَةٌ. كُلُوْا وَ اشْرَبُوْا هَنِيْئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ.

69: 19. Adapun orang-orang yang kitabnya diberikan di tangan kanannya, maka dia berkata: “Ambillah, bacalah kitabku (ini)”.
69: 20. Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku.
69: 21. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai,
69: 22. dalam surga yang tinggi.
69: 23. Buah-buahannya dekat,
69: 24. (kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”.

 

Allah s.w.t. menceritakan perihal kebahagiaan yang diperoleh oleh orang-orang yang menerima kitab catatan amalnya dari sebelah kanannya di hari kiamat dan kegembiraan mereka dengan hal tersebut. Bahwa karena gembiranya ia mengatakan kepada tiap-tiap orang yang dijumpainya, sebagaimana yang disitir oleh firman-Nya:

هَاؤُمُ اقْرَؤُوْا كِتَابِيَهْ.

“Ambillah, bacalah kitabku (ini)”.”. (Al-Ḥāqqah [69]: 19).

Ya‘ni kemarilah dan bacalah kitabku ini. Ia mengatakan demikian karena mengetahui bahwa apa yang terdapat di dalamnya hanyalah kebaikan belaka, sebab dia termasuk orang-orang yang keburukannya telah diganti oleh Allah dengan kebaikan.

‘Abd-ur-Rahman ibnu Zaid mengatakan sehubungan dengan ma‘na firman Allah s.w.t.:

هَاؤُمُ اقْرَؤُوْا كِتَابِيَهْ.

“Ambillah, bacalah kitabku (ini)”.”. (Al-Ḥāqqah [69]: 19).

Maksudnya, inilah kitabku, bacalah ia. Lafazh umu adalah ziyādah; demikianlah menurutnya, tetapi yang jelas lafazh hā’umu ini berma‘na hākum, ya‘ni ambillah.

Ibnu Abī Ḥātim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Mathar al-Wāsithī, telah menceritakan kepada kami Yazīd ibnu Hārūn, telah menceritakan kepada kami ‘Āshim al-Aḥwāl, dari Abū ‘Utsmān yang telah mengatakan bahwa orang mu’min diberikan kitab catatan amalnya dari sebelah kanannya dengan ditutupi oleh Allah. Lalu ia membaca keburukan-keburukannya; dan manakala ia lewati suatu amal keburukan, berubahlah roman wajahnya. Hingga manakala sampai pada amal-amal kebaikannya dan ia membacanya, maka roman wajahnya kembali berseri. Lalu ia mengulangi bacaan kitab catatan amalnya, tiba-tiba ia melihat catatan keburukannya telah diganti dengan kebaikan. Maka saat itulah ia mengatakan: “Ambillah, bacalah kitabku ini.”

Ibnu Abī Ḥātim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibrāhīm ibn-ul-Walīd ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Rauḥ ibnu ‘Ubādah, telah menceritakan kepada kami Mūsā ibnu ‘Ubaidah, telah menceritakan kepadaku ‘Abdullāh ibnu ‘Abdillāh alias Ḥanzalah yang dimandikan oleh malaikat. Ia mengatakan, sesungguhnya Allah menghentikan hamba-Nya di hari kiamat, lalu menampakkan kepadanya keburukan-keburukannya yang tertulis di bagian luar catatan amal perbuatannya, lalu Allah berfirman kepadanya: “Engkau tentu mengetahui ini.” Si hamba yang bersangkutan menjawab: “Ya, wahai Tuhanku.” Lalu Allah s.w.t. berfirman kepadanya: “Sesungguhnya Aku tidak akan mempermalukanmu dengannya, dan sesungguhnya sekarang Aku telah mengampunimu.” Maka pada saat itulah si hamba yang bersangkutan mengatakan:

هَاؤُمُ اقْرَؤُوْا كِتَابِيَهْ. إِنِّيْ ظَنَنْتُ أَنِّيْ مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ.

“Ambillah, bacalah kitabku (ini)”. Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku”. (Al-Ḥāqqah [69]: 19-20).

karena yakin dirinya telah selamat dari hal yang mempermalukan dirinya di hari kiamat. Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan sebuah hadits shaḥīḥ yang diriwayatkan melalui Ibnu ‘Umar ketika ditanya tentang pembicaraan rahasia. Lalu ia menjawab bahwa dirinya pernah mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

يُدْنِي اللهُ الْعَبْدَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُقَرِّرُهُ بِذُنُوْبِهِ كُلِّهَا حَتَّى إِذَا رَأَى أَنَّهُ قَدْ هَلَكَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: إِنِّيْ سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا وَ أَنَا أَغْفِرُنَا لَكَ الْيَوْمَ. ثُمَّ يُعْطِيْ كِتَابَ حَسَنَاتِهِ بِيَمِيْنِهِ وَ أَمَّا الْكَافِرُ وَ الْمُنَافِقُ فَيَقُوْلُ الْأَشْهَادُ هؤُلَاءِ الَّذِيْنَ كَذَبُوْا عَلَى رَبِّهِمْ أَلَا لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الظَّالِمِيْنَ.

Allah s.w.t. mendekatkan hamba-Nya di hari kiamat, lalu membuatnya mengakui semua dosanya, hingga manakala hamba yang bersangkutan merasa bahwa dirinya akan binasa. Allah s.w.t. berfirman: “Sesungguhnya Aku telah menutupinya terhadapmu ketika di dunia, dan pada hari ini Aku memaafkannya bagimu.” Kemudian diberikan buku catatan amal kebaikannya dari sebelah kanannya. Adapun orang kafir dan orang munafiq, maka para saksi mengatakan: “Mereka adalah orang-orang yang berdusta terhadap Tuhannya. Ingatlah, laknat Allah menimpa orang-orang yang zhalim.”

Firman Allah s.w.t.:

إِنِّيْ ظَنَنْتُ أَنِّيْ مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ.

Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku.”. (Al-Ḥāqqah [69]: 20).

Ya‘ni sesungguhnya aku ketika di dunia meyakini bahwa hari ini pasti akan terjadi, sema‘na dengan apa yang disebutkan oleh Firman-Nya:

الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ أَنَّهُمْ مُلَاقُوْا رَبَّهِمْ.

(yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya.” (al-Baqarah [2]: 46).

Kemudian disebutkan dalam Firman selanjutnya:

فَهُوَ فِيْ عِيْشَةٍ رَّاضِيَةٍ.

Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai”. (Al-Ḥāqqah [69]: 21).

Lafazh rādhiyah berma‘na mardhiyyah, ya‘ni diridhai.

فِيْ جَنَّةٍ عَالِيَةٍ.

dalam surga yang tinggi.” (Al-Ḥāqqah [69]: 22).

Artinya, yang gedungnya tinggi-tinggi, bidadarinya cantik-cantik, tempat-tempat tinggal yang penuh dengan keni‘matan dan kebahagiaan yang abadi.

Ibnu Abī Ḥātim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abū ‘Atabah alias Al-Ḥasan ibnu ‘Alī ibnu Muslim as-Sukūnī, telah menceritakan kepada kami Ismā‘īl ibnu ‘Ayyāsy, dari Sa‘īd ibnu Yūsuf, dari Yaḥyā ibnu Abī Katsīr, dari Abū Salām al-Aswad yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abū Umāmah menceritakan hadits berikut, bahwa pernah ada seorang lelaki bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w. tentang keadaan ahli surga, apakah mereka saling berkunjung di antara sesamanya? Maka Rasūlullāh s.a.w. menjawab:

نَعَمْ إِنَّهُ لَيَهْبِطُ أَهْلُ الدَّرَجَةِ الْعُلْيَا إِلَى أَهْلِ الدَّرَجَةِ السُّفْلَى فَيُيُّوْنَهُمْ وَ يُسَلِّمُوْنَ عَلَيْهِمْ، وَ لَا يَسْتَطِيْعُ أَهْلُ الدَّرَجَةِ السُّفْلَى يَصْعَدُوْنَ إِلَى الْأَعْلَيْنِ تَقْصُرُبِهِمْ أَعْمَالُهُمْ.

Benar, sesungguhnya para penghuni derajat yang tertinggi benar-benar turun ke tempat para penghuni derajat yang di bawahnya, lalu mengucapkan salam penghormatan kepada mereka dan mereka menjawab salam penghormatannya. Para penghuni derajat yang di bawah tidak mampu naik ke tempat para penghuni derajat yang tertinggi disebabkan kurangnya amal perbuatan mereka.”

Di dalam kitab shaḥīḥ telah disebutkan sebuah hadits yang mengatakan:

إِنَّ الْجَنَّةَ مِائَةُ دَرَجَةٍ مَا بَيْنَ كُلِّ دَرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَ الْأَرْضِ.

Sesungguhnya surga itu terdiri dari seratus tingkatan, dan jarak di antara satu tingkatan ke tingkatan yang lainnya sama dengan jarak antara langit dan bumi.

Adapun firman Allah s.w.t.:

قُطُوْفُهَا دَانِيَةٌ.

Buah-buahannya dekat”. (Al-Ḥāqqah [69]: 23).

Menurut al-Barrā’ ibnu ‘Āzib, dekat artinya mudah dipetik oleh seseorang dari mereka, sekalipun ia berada di atas tempat tidurnya dalam keadaan berbaring. Hal yang sama telah dikatakan bukan hanya oleh seorang. Imām Thabrānī telah meriwayatkan dari ad-Dubrī, dari ‘Abd-ur-Razzāq, dari Sufyān ats-Tsaurī, dari ‘Abd-ur-Raḥmān ibnu Ziyād ibnu An‘am, dari ‘Athā’ ibnu Yasār, dari Salmān al-Fārisī yang mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda:

لَا يَدْخُلُ أَحَدٌ الْجَنَّةَ إِلَّا بِجَوَازِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ هذَا كِتَابٌ مِنَ اللهِ لِفُلَانِ بْنِ فَلَانِ أَدْخِلُوْهُ جَنَّةً عَالِيَةً قُطُوْفُهَا دَانِيَةٌ.

Tiada seorang pun yang masuk surga kecuali dengan membawa jawaz (paspor), yaitu Bism-Illāh-ir-Raḥmān-ir-Raḥīm (Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang) ini adalah surat idzin dari Allah buat si Fulan bin Fulan. Masukkanlah dia ke dalam surga yang tinggi, yang buah-buahannya dekat!

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh adh-Dhiyā’ dalam Bab “Shifat-ul-Jannah” melalui jalur Sa‘dān ibnu Sa‘īd, dari Sulaimān at-Taimī, dari Abū ‘Utsmān an-Nahdī, dari Salmān, dari Rasūlullāh s.a.w. yang telah bersabda:

يُعْطَى الْمُؤْمِنُ جَوَازًا عَلَى الصِّرَاطِ بِسْمِ اللهِ الرّحْمنِ الرَّحِيْمِ هذَا كِتَابٌ مِنَ اللهِ الْعَزِيْزِ الْحَكِيْمِ لِفُلَانِ أَدْخِلُوْهُ جَنَّةً عَالِيَةً قُطُوْفَهَا دَانِيَةٌ.

Orang mu’min diberi idzin lewat di Shirāth, yaitu: “Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Ini adalah idzin masuk dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana buat si Fulan.” Masukkanlah dia ke dalam surga yang tinggi yang buah-buahannya dekat.”

Firman Allah s.w.t.:

كُلُوْا وَ اشْرَبُوْا هَنِيْئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ.

(kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”.”. (Al-Ḥāqqah [69]: 24).

Ya‘ni dikatakan kepada mereka hal tersebut sebagai anugerah buat mereka dan kebaikan serta kebajikan dari Tuhan mereka. Karena sesungguhnya telah disebutkan di dalam sebuah hadits shaḥīḥ dari Rasūlullāh s.a.w. yang menyebutkan bahwa beliau s.a.w. telah bersabda:

اِعْمَلُوْا وَ سَدِّدُوْا وَ قَارِبُوْا وَ اعْلَمُوْا أَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَنْ يُدْخِلَهُ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ قَالُوْا وَ لَا أَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: وَ لَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ بِرَحْمَةٍ مِنْهُ وَ فَضْلٍ.

Beramallah, luruslah dan dekatkanlah diri kalian (kepada Allah), dan ketahuilah bahwa seseorang dari kalian tidak akan dapat dimasukkan ke dalam surga oleh amal perbuatannya.” Mereka bertanya: “Termasuk juga engkau, ya Rasūlullāh s.a.w..” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Dan tidak pula aku, kecuali bila Allah melimpahkan kepadaku rahmat dan karunia dari-Nya.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *