Firman Allah s.w.t.:
وَ الْمُؤْتَفِكَاتُ
“dan (penduduk) negeri-negeri yang dijungkirbalikkan.” (Al-Ḥāqqah [69]: 9).
Mereka adalah umat-umat yang mendustakan rasūl-rasūlnya.
بِالْخَاطِئَةِ.
“karena kesalahan yang besar.” (Al-Ḥāqqah [69]: 9).
Yaitu mendustakan apa yang diturunkan oleh Allah s.w.t. Menurut ar-Rabī‘ ibnu Anas, arti khāthi’ah ialah perbuatan maksiat. Mujāhid mengatakan bahwa ma‘na yang dimaksud ialah kesalahan yang besar. Karena itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya:
فَعَصَوْا رَسُوْلَ رَبِّهِمْ
“Maka (masing-masing) mereka mendurhakai rasūl Tuhan mereka.” (Al-Ḥāqqah [69]: 10).
Lafazh rasūl merupakan isim jenis, artinya masing-masing dari mereka telah mendustakan utusan Allah yang dikirim kepada mereka. Sema‘na dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
كُلٌّ كَذَّبَ الرُّسُلَ فَحَقَّ وَعِيْدٍ.
“Semuanya telah mendustakan rasūl-rasūl, maka sudah semestinyalah mereka mendapat hukuman yang sudah diancamkan.” (Qāf: 14).
Barang siapa yang mendustakan seorang rasūl, berarti dia mendustakan semua rasūl. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
كَذَّبَتْ قَوْمُ نُوْحٍ الْمُرْسَلِيْنَ.
“Kaum Nūḥ telah mendustakan para rasūl.” (Asy-Syu‘arā’: 105).
Dan firman Allah s.w.t.:
كَذَّبَتْ ثَمُوْدُ الْمُرْسَلِيْنَ.
“Kaum Tsamūd telah mendustakan rasūl- rasūl.” (Asy-Syu‘arā’: 123).
Karena sesungguhnya yang datang kepada tiap umat hanyalah seorang rasūl. Untuk itulah maka disebutkan dalam surat ini oleh firman-Nya:
فَعَصَوْا رَسُوْلَ رَبِّهِمْ فَأَخَذَهُمْ أَخْذَةً رَّابِيَةً.
“Maka (masing-masing) mereka mendurhakai rasūl Tuhan mereka, lalu Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat keras.” (Al-Ḥāqqah [69]: 10).
Ya‘ni siksaan yang besar, keras, lagi menyakitkan. Mujāhid mengatakan bahwa rābiyah artinya keras. As-Suddī mengatakan siksaan yang membinasakan.
Kemudian Allah s.w.t. berfirman:
إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءُ
“Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik.” (Al-Ḥāqqah [69]: 11).
Yaitu melampaui batasan dengan seidzin Allah dan air naik ke alam wujud. Ibnu ‘Abbās dan lain-lainnya mengatakan bahwa thagha-l-mā’u artinya air bertambah melimpah. Demikian itu terjadi karena doa Nabi Nūḥ a.s. terhadap kaumnya, tatkala mereka mendustakan dia dan menentangnya, lalu mereka menyembah selain Allah. Maka Allah memperkenankan doanya dan seluruh penduduk bumi digenangi oleh banjir besar, terkecuali orang-orang yang bersama Nabi Nūḥ a.s. di dalam bahteranya. Semua manusia sekarang berasal dari keturunan Nabi Nūḥ a.s. Ibnu Jarīr mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ḥumaid, telah menceritakan kepada kami Mahrān, dari Abū Sinān alias Sa‘īd ibnu Sinān, dari bukan hanya seorang yang menerimanya dari ‘Alī ibnu Abī Thālib yang mengatakan bahwa tiada setetes air pun yang diturunkan melainkan melalui takaran yang ada di tangan malaikat. Tatkala hari Nabi Nūḥ diidzinkan bagi air yang di bawah penyimpanannya. Maka air meluap melebihi batasan penyimpanannya, lalu keluar. Yang demikian itu disebutkan oleh firman-Nya:
إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءُ
“Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik.” (Al-Ḥāqqah [69]: 11).
Ya‘ni melebihi batasannya dengan seidzin Allah.
حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ.
“Kami bawa (nenek moyang) kamu ke dalam bahtera”. (Al-Ḥāqqah [69]: 11).
Tiada sesuatu pun dari angin yang bertiup melainkan melalui takaran yang ada di tangan malaikat, terkecuali di hari kaum ‘Ād; maka sesungguhnya di hari itu diidzinkan bagi angin yang ada di bawah batas penyimpanannya untuk melebihi batasannya, akhirnya angin keluar dengan dahsyatnya. Yang demikian itu disebutkan oleh firman-Nya:
بِرِيْحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ.
“dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang”. (Al-Ḥāqqah [69]: 6).
Maksudnya, keluar melebihi batas penyimpanannya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya sebagai peringatan buat manusia akan anugerah-Nya kepada mereka.
إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ.
“Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik. Kami bawa (nenek moyang) kamu ke dalam bahtera.” (Al-Ḥāqqah [69]: 11).
Yaitu perahu atau kapal yang berlayar di atas air.
لِنَجْعَلَهَا لَكُمْ تَذْكِرَةً
“agar Kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kamu”. (Al-Ḥāqqah [69]: 12).
Dhamīr yang ada dalam ayat ini merujuk kepada jenis kapal karena tersimpulkan dari konteks kalimatnya. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa Kami biarkan bagi kalian dari jenisnya yang dapat kalian naiki di atas lautan, hingga kalian dapat mengarunginya. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
وَ جَعَلَ لَكُمْ مِنَ الْفُلْكِ وَ الْأَنْعَامِ مَا تَرْكَبُوْنَ. لِتَسْتَوُوْا عَلَى ظُهُوْرِهِ ثُمَّ تَذْكُرُوْا نِعْمَةَ رَبِّكُمْ إِذَا اسْتَوْتُمْ عَلَيْهِ.
“dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu kendarai, supaya kamu duduk di atas punggungnya, kemudian kamu ingat ni‘mat Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya.” (az-Zukhruf [43]: 12-13).
Dan firman Allah s.w.t.:
وَ آيَةٌ لَهُمْ أَنَّا حَمَلْنَا ذُرِّيَّتَهُمْ فِي الْفُلْكِ الْمَشْحُوْنِ. وَ خَلَقْنَا لَهُمْ مِنْ مِثْلِهِ مَا يَرْكَبُوْنَ.
“Dan suatu tanda (kebesaran Allah yang besar) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam bahtera yang penuh muatan, dan Kami ciptakan untuk mereka yang akan mereka kendarai seperti bahtera itu.” (Yāsīn [36]: 41-42).
Qatādah mengatakan bahwa bahtera Nabi Nūḥ a.s. dipelihara oleh Allah hingga masih sempat dijumpai oleh generasi pertama dari umat ini. Akan tetapi, pendapat yang pertama lebih jelas. Karena itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya:
وَ تَعِيَهَا أُذُنٌ وَاعِيَةٌ.
“dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar”. (Al-Ḥāqqah [69]: 12).
Yaitu didengar oleh telinga dan diperhatikan. Ya‘ni oleh orang yang memiliki pendengaran yang sehat dan akal yang cemerlang. Ini bersifat umum mencakup semua orang yang mempunyai pemahaman dan kesadaran yang mendalam. Ibnu Abī Ḥātim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abū Zur‘ah ad-Dimasyqī, telah menceritakan kepada kami al-‘Abbās ibn-il-Walīd ibnu Shabīḥ ad-Dimasyqī, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnu Yaḥyā, telah menceritakan kepada kami ‘Alī ibnu Ḥausyab, ia pernah mendengar Makḥūl mengatakan bahwa ketika diturunkan kepada Rasūlullāh s.a.w. firman Allah s.w.t.:
وَ تَعِيَهَا أُذُنٌ وَاعِيَةٌ.
“dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar”. (Al-Ḥāqqah [69]: 12).
Maka Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
سَأَلْتُ رَبِّيْ أَنْ يَجْعَلَهَا أُذُنَ عَلِيٍّ.
“Aku telah memohon kepada Tuhanku, semoga menjadikan telinga ‘Alī seperti telinga itu.”
Makḥūl mengatakan: “‘Alī sering mengatakan bahwa sejak itu tiada sesuatu pun yang ia dengar dari Rasūlullāh s.a.w. lupa dari ingatannya.” Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarīr, dari ‘Alī ibnu Sahl, dari al-Walīd ibnu Muslim, dari ‘Alī ibnu Ḥausyab, dari Makḥūl dengan sanad yang sama. Hadits ini berpredikat mursal.
Ibnu Abī Ḥātim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ja‘far ibnu Muḥammad ibnu ‘Āmir, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Ādam, telah menceritakan kepada kami ‘Abdullāh ibn-uz-Zubair alias Abū Muḥammad (ya‘ni orang tua Abū Aḥmad az-Zubairī), telah menceritakan kepadaku Shāliḥ ibn-ul-Haitsam; ia pernah mendengar Buraidah al-Aslamī mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda kepada ‘Alī:
إِنِّيْ أَمِرْتُ أَنْ أُدْنِيْكَ وَ لَا أَقَصِّيْكَ وَ أَنْ أُعَلِّمَكَ وَ أَنْ تَعِيَ وَ حَقَّ لَكَ أَنْ تَعِيَ.
“Sungguh aku diperintahkan untuk mendekatkan dirimu kepadaku dan tidak menjauhkanmu dariku, dan mengajarimu dan kamu harus memperhatikannya, maka sudah seharusnya bagimu untuk selalu mengingatnya.”
Lalu turunlah firman Allah s.w.t.:
وَ تَعِيَهَا أُذُنٌ وَاعِيَةٌ.
“dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar”. (Al-Ḥāqqah [69]: 12).
Ibnu Jarīr meriwayatkannya dari Muḥammad ibnu Khalaf, dari Bisyr ibnu Ādam dengan sanad yang sama. Kemudian Ibnu Jarīr meriwayatkannya pula melalui jalur lain, dari Dāūd al-A‘mā, dari Buraidah dengan sanad yang sama, tetapi predikatnya tidak shaḥīḥ pula.