Hati Senang

Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir al-Qurthubi (6/6)

Tafsir al-Qurthubi

Dari Buku:
Tafsir al-Qurthubi
(Jilid 20 – Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh Imam al-Qurthubi
(Judul Asli: al-Jāmi‘-ul-Aḥkām-ul-Qur’ān)

Penerjemah: Dudi Rosyadi dan Faturrahman
Penerbit PUSTAKA AZZAM

Firman Allah:

وَ مَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ قَلِيْلًا مَا تُؤْمِنُوْنَ. وَ لَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ قَلِيْلًا مَا تَذَكَّرُوْنَ.

69: 41. Dan al-Qur’ān itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.
69: 42. Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya.
(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 41-42).

Firman Allah ta‘ālā (وَ مَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ) “Dan al-Qur’ān itu bukanlah perkataan seorang penyair.” Sebab al-Qur’ān itu menjelaskan semua jenis syair:

(وَ لَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ) “Dan bukan pula perkataan tukang tenung.” Sebab al-Qur’ān itu datang dengan makian dan cacian syaithan, namun mereka tidak dapat menurunkan sesuatu terhadap orang yang mereka maki itu.

Lafazh (مَا) yang terdapat pada firman Allah: (قَلِيْلًا مَا تُؤْمِنُوْنَ.) “Sedikit sekali kamu beriman kepadanya,” dan firman Allah: (قَلِيْلًا مَا تَذَكَّرُوْنَ.) “Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya,” adalah Za’idah/tambahan. Ma‘na firman Allah itu adalah: “Sedikut sekali kamu beriman kepadanya, dan sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya.” Yang sedikit dari keimanan mereka itu adalah karena, jika mereka ditanya siapakah Tuhan mereka, maka mereka menjawab: “Allah”.

Lafazh (مَا) tidak boleh menjadi mashdar bersama fi‘il, sementara lafazh (قَلِيْلًا) di-nashab-kan oleh fi‘il yang terletak setelah lafazh (مَا). Sebab hal ini akan menyebabkan shillah lebih didahulukan daripada maushūl. Sebab sesuatu yang menjadi tempat berfungsinya mashdar merupakan shillah mashdar.

Ibnu Muḥaishin, Ibnu Katsī, Ibnu ‘Āmir dan Ya‘qūb membaca firman Allah itu dengan: (مَا يُؤْمِنُوْنَ.) dan (مَا يَذْكُرُوْنَ), ya‘ni dengan menggunakan huruf yā’ (1291) Adapun yang lain, mereka membaca firman Allah itu dengan menggunakan huruf tā’, sebab khithāb terdapat sebelum dan setelah lafazh tersebut. Adapun khithāb yang terletak sebelum lafazh tersebut adalah firman Allah: (تُبْصِرُوْنَ) “Yang kamu lihat.” (Qs. al-Ḥāqqah [69]: 38). Adapun khithāb yang terletak setelah lafazh tersebut adalah firman Allah: (فَمَا مِنْكُمْ) “Maka sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu.” Qs. al-Ḥāqqah [69]: 47).

 

Firman Allah:

تَنْزِيْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعَالَمِيْنَ.

69: 43. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam.
(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 43).

Firman Allah ta‘ālā (تَنْزِيْلٌ). Maksudnya adalah (هُوَ تَنْزِيْلٌ) “Ia adalah wahyu yang diturunkan.”

(مِّنْ رَّبِّ الْعَالَمِيْنَ.) “Dari Tuhan semesta alam.” Firman Allah ini di-‘athaf-kan kepada firman-Nya: (إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ.) “Sesungguhnya al-Qur’ān itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasūl yang mulia.” Maksudnya, sesungguhnya al-Qur’ān itu adalah firman Allah yang diturunkan kepada Rasūl yang mulia. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam.

 

Firman Allah:

وَ لَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيْلِ. لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِيْنِ. ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِيْنَ.

69: 44. Seandainya dia (Muḥammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami,
69: 45. niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya.
69: 46. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.
(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 44-46).

Firman Allah ta‘ālā (وَ لَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيْلِ.) “Seandainya dia (Muḥammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami.” Ma‘na (تَقَوَّلَ) adalah mengada-ada dan mendatangkan perkataan dari dirinya sendiri.

Firman Allah itu dibaca pula dengan: (وَ لَوْ تُقُوِّلَ), ya‘ni dengan bentuk kata mabnī maf‘ūl (على البناء للمفعول).

(لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِيْنِ) “niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya,” ya‘ni dengan kekuatan dan kekuasaan. Maksudnya, niscaya Kami pegang dia dengan kuat.

Lafazh (مِنْ) (yang terdapat pada firman Allah: (مِنْهُ)) adalah shillah zā’idah/tambahan. (1302).

Allah mengungkapkan kekuatan dan kekuasaan-Nya dengan “Al-Yamīn” (tangan kanan), sebab kekuatan semua orang itu terdapat di tangan kanannya. Demikianlah yang dikatakan oleh al-Qutabī. (* Jika merujuk kepada pendapat ini, maka terjemah ayat 44 dan 45 itu menjadi: “Seandainya dia (Muḥammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia dengan tangan kanan (Kami).” Penerj.). Pendapat ini merupakan substansi pendapat Ibnu ‘Abbās dan Mujāhid. Contohnya adalah ucapan asy-Syimakh:

إِذَا مَا رَايَةٌ رُفِعَتْ لِمَجْدٍ تَلَقَاهَا عَرَابَةُ بِالْيَمِيْنِ.

Ketika bendera diangkat untuk (menandakan) kemuliaan,
‘Arābah menerimanya dengan tangan kanannya. (1313).

Maksudnya, dengan kekuatan. ‘Arābah adalah nama seorang lelaki Anshār yang berasal dari kabilah Aus.

Penyair yang lain berkata:

وَ لَمَّا رَأَيْتُ الشَّمْسَ أَشْرَقَ نُوْرُهَا تَنَاوَلْتُ مِنْهَا حَاجَتِيْ بِيَمِيْنٍ.

Ketika aku melihat matahari bersinar cahayanya,
Aku ambil keperluanku darinya dengan tangan kananku.

As-Suddī dan al-Ḥakam mengatakan bahwa ma‘na (بِالْيَمِيْنِ) adalah dengan hak.

Al-Ḥasan berkata: “(Ma‘na firman Allah itu adalah): niscaya benar-benar Kami potong tangannya yang kanan.

Menurut satu pendapat, ma‘na firman Allah itu adalah niscaya benar-benar Kami potong tangannya yang kanan agar tidak dapat melakukan transaksi. Demikianlah yang dikemukakan oleh Nafthawaih. Abū Ja‘far ath-Thabarī (1324) berkata: “Sesungguhnya kalimat ini keluar untuk menghinakan (seseorang), sebagaimana kebiasaan manusia yang memegang tangan kanan orang yang terhukum. Contohnya adalah ucapan penguasa terhadap orang yang hendak dihinakan: “Pegang kedua tangannya.” Maksudnya, sesungguhnya Kami benar-benar telah memerintahkan untuk memegang tangannya dan menghukumnya dengan keras.

(ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِيْنَ.) “Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya,” ya‘ni urat tali jantungnya. Maksudnya, benar-benar Kami akan membinasakannya. Al-Watīn adalah urat di mana jantung bergantung padanya. Apabila urat ini diputus, maka matilah sang pemilik jantung itu. Demikianlah yang dikatakan Ibnu ‘Abbās dan mayoritas ‘ulamā’ Madīnah.

Seorang penyair (1335) berkata:

إِذَ بَلَغْتِنِيْ وَ حَمَلْتِ رَحْلِيْ عَرَابَةَ فَأَشْرِقِيْ بِدَمِ الْوَتِيْنِ.

Apabila engkau telah tiba padaku dan membawa koperku

ke kereta, maka berbahagialah engkau dengan darah urat tempat bergantungnya jantung.

Mujāhid berkata: “Al-Watīn adalah urat jantung yang ada di punggung, yaitu an-nukhā’ (saraf tulang belakang). Apabila urat ini putus, maka hilanglah kekuatan dan pemilik jantung pun akan mati. Al-mautūn adalah orang yang terputus urat jantungnya.”

Muḥammad bin Ka‘ab berkata: “Al-Watīn adalah jantung dan alirannya serta apa yang melekat padanya.”

Al-Kalabī berkata: “Al-Watīn adalah urat yang ada di antara ilbā’ dan kerongkongan. Ilbā adalah syaraf leher. Ia berjumlah dua buah. Di antara keduanya tumbuh pembuluh darah.”

‘Ikrimah berkata: “Sesungguhnya jika Al-Watīn itu diputus, maka orang yang diputus uratnya ini tidak akan mengenal lapar dan tidak pula mengenal kenyang.”

 

Firman Allah:

فَمَا مِنْكُمْ مِّنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِيْنَ. وَ إِنَّهُ لَتَذْكِرَةٌ لِّلْمُتَّقِيْنَ.

69: 47. Maka sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu.
69: 48. Dan sesungguhnya al-Qur‘ān itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.
(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 47-48).

Firman Allah ta‘ālā (فَمَا مِنْكُمْ مِّنْ أَحَدٍ) “Maka sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu.” (مَا) adalah (مَا) nafi, sedangkan lafazh (أَحَدٍ) “Seorang pun” mengandung ma‘na jama‘, oleh karena itulah Allah menyifati lafazh (أَحَدٍ) dengan sifat yang berbentuk jama‘ (yaitu lafazh (حَاجِزِيْنَ)). Maksudnya, tidak ada satu kaum pun dari kalian yang dapat menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu.” Contohnya adalah firman Allah ta‘ālā, (لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ) “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasūl-rasūlNya.” (Qs. al-Baqarah [2]: 285). Ini adalah jama‘. Sebab lafazh (بَيْنَ) itu tidak digunakan kecuali untuk dua hal atau lebih. Nabi s.a.w. bersabda:

لَمْ تَحِلَّ الْغَنَائِمُ لِأَحَدٍ سُوْدِ الرُّءُوْسِ مِنْ قَبْلِكُمْ.

Harta rampasan tidak halal bagi anak cucu Adam dari ummat-ummat sebelum kalian.” (1346) Lafazhnya adalah tunggal, namun ma‘nanya jama‘.

Lafazh (مِنْ) yang terdapat pada firman Allah: (مِنْكُمْ) adalah (مِنْ) za’idah/tambahan, sedangkan (ma‘na) al-hijz adalah halangan.

Lafazh (حَاجِزِيْنَ) boleh menjadi sifat bagi lafazh (أَحَدٍ), dengan ma‘na seperti yang telah kami sebutkan, sementara yang menjadi khabar adalah lafazh (مِنْكُمْ). Namun lafazh (حَاجِزِيْنَ) pun boleh di-nashab-kan karena menjadi khabar, sementara lafazh (مِنْكُمْ) dianulirkan/tidak difungsikan, tapi lafazh (مِنْكُمْ) masih berhubungan dengan lafazh (حَاجِزِيْنَ).

Dalam hal ini perlu diketahui bahwa pemisahan (antara mubtada’ yaitu lafazh (فَمَا) dan khabar-nya yaitu lafazh (حَاجِزِيْنَ) oleh lafazh (مِنْكُمْ) tidak dapat menghalangi di-nashab-kannya khabar (yaitu lafazh (حَاجِزِيْنَ) ), sebagaimana pemisahan ini tidak dapat menghalangi pada kalimat: (إِنَّ فِيْكَ زَيْدًا رَاغِبٌ) “Sesungguhnya Zaid adalah orang yang mencintaimu.”

Firman Allah ta‘ālā (وَ إِنَّهُ) “Dan sesungguhnya itu” ya‘ni al-Qur’ān, (لَتَذْكِرَةٌ لِّلْمُتَّقِيْنَ.) “benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa,” yang takut kepada Allah. Padanan firman Allah itu adalah: (فِيْهِ هَدًى لِلْمُتَّقِيْنَ) “Padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (Qs. al-Baqarah [2]: 2). Hal ini sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam surah al-Baqarah.

Menurut satu pendapat, yang dimaksud (dari dhamīr pada firman Allah: (وَ إِنَّهُ)) adalah Nabi Muḥammad. Maksudnya, beliau adalah peringatan, kasih-sayang, dan keselamatan.

 

Firman Allah:

وَ إِنَّا لَنَعْلَمُ أَنَّ مِنْكُمْ مُّكَذِّبِيْنَ. وَ إِنَّهُ لَحَسْرَةٌ عَلَى الْكَافِرِيْنَ. وَ إِنَّهُ لَحَقُّ الْيَقِيْنِ. فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ.

69: 49. Dan sesungguhnya Kami benar-benar mengetahui bahwa di antara kamu ada orang yang mendustakan (nya).
69: 50. Dan sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar menjadi penyesalan bagi orang-orang kafir (di akhirat).
69: 51. Dan sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar kebenaran yang diyakini.
69: 52. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu Yang Maha Besar.
(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 49-52).

Firman Allah ta‘ālā (وَ إِنَّا لَنَعْلَمُ أَنَّ مِنْكُمْ مُّكَذِّبِيْنَ.) “Dan sesungguhnya Kami benar-benar mengetahui bahwa di antara kamu ada orang yang mendustakan (nya).” Ar-Rabī‘ berkata: “(Maksudnya mendustakan) al-Qur’ān.” (1357).

(وَ إِنَّهُ لَحَسْرَةٌ) “Dan sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar menjadi penyesalan.” Maksudnya, (dan sesungguhnya) pendustaan (terhadap al-Qur’ān benar-benar menjadi penyesalan). Sebab ma‘na al-ḥasrah adalah penyesalan.

Menurut satu pendapat, (yang dimaksud oleh firman Allah itu adalah: dan sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar menjadi penyesalan bagi orang-orang yang kafir pada hari kiamat kelak, sebab mereka melihat pahala yang diperoleh orang-orang yang beriman kepada al-Qur’ān.

Menurut satu pendapat, penyesalan tersebut adalah penyesalan mereka di dunia ketika mereka tidak mampu menandingi al-Qur’ān, saat mereka ditantang untuk mendatangkan satu surah seperti surah al-Qur’ān.

(وَ إِنَّهُ لَحَقُّ الْيَقِيْنِ.) “Dan sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar kebenaran yang diyakini.” Maksudnya, al-Qur’ān adalah wahyu yang diturunkan dari Allah ‘azza wa jalla. Dengan demikian, ia adalah sebuah kebenaran yang diyakini.

Menurut satu pendapat, maksudnya al-Qur’ān adalah kebenaran yang diyakini, agar hal itu menjadi penyesalan bagi mereka di hari kiamat kelak. Jika berdasarkan kepada pendapat ini, ma‘na firman Allah: (وَ إِنَّهُ لَحَسْرَةٌ) “Dan sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar menjadi penyesalan,” adalah: (وَ إِنَّهُ لَتَحَسُّرٌ) “Dan sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar menjadi penyesalan.” Dengan demikian, lafazh (حَسْرَةٌ) itu merupakan mashdar yang mengandung ma‘na at-Taḥassur (penyesalan). Jika demikian, maka lafazh (حَسْرَةٌ) itu boleh dijadikan sebagai kata yang statusnya mudzakkar (maskulin).

Ibnu ‘Abbās berkata: “Sesungguhnya firman Allah (Laḥaqq-ul-yaqīn) itu seperti ucapanmu: (لَعَيْنُ الْيَقِيْنِ) “benar-benar substansi keyakinan”, (مَحْضُ الْيَقِيْنِ) “semata-mata keyakinan.” Seandainya lafazh al-yaqīn itu merupakan sebuah sifat, maka ia tidak boleh mengatakan: (هذَا رَجُلُ الظَّرِيْفُ) “ini adalah pria tampan”.”

Menurut satu pendapat, Allah meng-idhāfah-kan lafazh al-Yaqīn kepada dirinya sendiri (yaitu lafazh al-Ḥaqq yang mengandung ma‘na ḥarfiyyah yang sama dengan al-Yaqīn), karena lafazh keduanya berbeda.

Firman Allah ta‘ālā (فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ.) “Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu Yang Maha Besar.” Maksudnya, maka shalatlah untuk Tuhan-Mu. Demikianlah penafsiran yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbās. (1368).

Menurut satu pendapat, (1379) maksudnya: sucikanlah Allah dari keburukan dan berbagai kekurangan.

Catatan:

  1. 129). Qirā’ah dengan huruf yā’ ini merupakan qirā’ah yang mutawātir. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Taqrīb-un-Nasyr, h. 183 dan al-Iqnā’ (2/791).
  2. 130). Kami telah mengingatkan lebih dari sekali, bahwa di dalam al-Qur’ān itu tidak ada huruf tambahan. Sebab setiap huruf itu didatangkan untuk sebuah hikmah yang kadang tidak dapat diketahui oleh akal kita.
  3. 131). Bait ini telah dikemukakan pada pembahasan terdahulu. Lih. Bait ini dalam Lisān-ul-‘Arab (entri: Yamana) dan Tafsīr-ul-Māwardī (6/86).
  4. 132). Jāmi‘-ul-Bayān (29/42).
  5. 133). Penyair yang dimaksud adalah asy-Syamākh. Bait ini tertera dalam kumpulan syairnya: 92, Tafsīr-uth-Thabarī (29/43), Tafsīr-ul-Mawardī (6/86), dan Tafsīr Ibni ‘Athiyyah (16/404), dan Fatḥ-ul-Qadīr.
  6. 134). HR. at-Tirmidzī pada pembahasan tafsir surah al-Anfāl (5/271) dan Aḥmad dalam al-Musnad (2/252).
  7. 135). Atsar yang diriwayatkan dari ar-Rabī‘ ini dicantumkan oleh al-Māwardī dalam tafsirnya (16/87).
  8. 136). Penafsiran ini dicantumkan oleh al-Māwardī pada sumber yang telah disebutkan.
  9. 137). Ibid.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.