Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir al-Qurthubi (5/6)

Dari Buku:
Tafsir al-Qurthubi
(Jilid 20 – Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh Imam al-Qurthubi
(Judul Asli: al-Jāmi‘-ul-Aḥkām-ul-Qur’ān)

Penerjemah: Dudi Rosyadi dan Faturrahman
Penerbit PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir al-Qurthubi

Jika seseorang merupakan pemimpin dalam hal keburukan, maka dia akan mengajak kepada keburukan dan memerintahkannya, sehingga para pengikutnya menjadi banyak. Dia akan dipanggil dengan namanya dan juga nama ayahnya, lalu dia pun maju. Ketika dia sudah dekat, dikeluarkanlah kitabnya yang hitam dengan tulisan yang berwarna putih, di mana di bagian dalam kitab itu terdapat keburukan-keburukannya, sementara di bagian luarnya terdapat kebaikan-kebaikannya. Dia mulai membaca kitabnya dengan bagian kebaikan dan dia menduga bahwa dirinya akan selamat.

Ketika dia telah sampai di akhir kitab, dia menemukan: “Inilah kebaikan-kebaikanmu, namun Aku menolak kebaikan-kebaikanmu itu.” Maka wajahnya menghitam, dia dipenuhi kesedihan, dan putus asa akan kebaikan.

Setelah itu dia membalikkan kitabnya dan membaca keburukan-keburukannya, dan itu hanya membuatnya semakin sedih. Ketika dia sampai di akhir kitab, dia menemukan: “Inilah keburukan-keburukanmu, dan Aku telah melipatgandakannya untukmu.” Ya‘ni, melipatgandakan ‘adzab baginya. Hal itu tidak berarti bahwa amalan yang tidak pernah dilakukannya ditambahkan kepadanya.

Maka dia pun merasa berat karena akan masuk neraka, kedua matanya membiru, dan wajahnya menghitam. Diberikan pakaian pelangkin (ter) dan dikatakan kepadanya: “Pergilah kepada sahabat-sahabatmu, lalu beritahukanlah kepada mereka bahwa masing-masing orang dari mereka akan mendapatkan hal seperti ini.” Dia kemudian pergi seraya berkata: (يَا لَيْتَنِيْ لَمْ أُوْتَ كِتَابِيَهْ. وَ لَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ. يَا لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ.) “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini). Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu.” Dia mengharapkan kematian.

(هَلَكَ عَنِّيْ سُلْطَانِيَهْ.) “Telah hilang kekuasaanku dariku.” Tafsīr Ibnu ‘Abbās (untuk firman Allah ini adalah): telah hilanglah kebutuhanku dariku. Penafsiran ini pun merupakan pendapat Mujahid, ‘Ikrimah, as-Suddi dan adh-Dhahhak. Ibnu Zaid berkata: “Maksudnya, kekuasaannya di dunia yang tak lain adalah kerajaan. Orang ini adalah orang yang ditaati oleh para sahabatnya.” Allah kemudian berfirman (kepadanya), (خُذُوْهُ فَغُلُّوْهُ.) “Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya.” Menurut satu pendapat, dia dipegang oleh seratus ribu malaikat, kemudian tangannya dibelenggu ke lehernya. Inilah firman Allah ta‘ālā: (فَغُلُّوْهُ) “Lalu belenggulah tangannya ke lehernya.” Ya‘ni, belenggulah dia dengan kuat.

(ثُمَّ الْجَحِيْمَ صَلُّوْهُ.) “Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala.” Maksudnya, kemudian jadikanlah dia sampai ke neraka yang menyala-nyala.

(ثُمَّ فِيْ سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا سَبْعُوْنَ ذِرَاعًا فَاسْلُكُوْهُ.) “Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta.” Allah Yang Maha Tahu dengan panjang tangan siapakah ukuran hasta itu ditetapkan. Demikianlah yang dikatakan oleh al-Hasan.

Ibnu ‘Abbās berkata: “Tujuh puluh hasta dengan ukuran tangan malaikat.”

Nauf berkata: “Setiap satu hasta adalah tujuh puluh depa, dan setiap depa adalah lebih jauh dari jarakmu ke Makkah.” Saat itu Nauf berada di wilayah Kūfah.

Muqātil berkata: “Seandainya satu lingkaran rantai yang ada di neraka itu diletakkan di puncak gunung, niscaya gunung itu akan meleleh seperti timah yang meleleh.”

Ka‘ab berkata: “Sesungguhnya lingkaran rantai yang Allah ‘azza wa jalla berfirman tentangnya: (ذَرْعُهَا سَبْعُوْنَ ذِرَاعًا) “yang panjangnya tujuh puluh hasta,” sesungguhnya satu mata rantai adalah sama dengan semua besi yang ada di dunia.”

(فَاسْلُكُوْهُ.) “Kemudian belitlah dia.” Sufyān berkata: “Telah sampai kepada kami (berita) bahwa rantai itu akan dimasukkan ke dalam anusnya hingga keluar dari mulutnya.” Pendapat itu pun dikemukakan oleh Muqātil. Ma‘na firman Allah itu adalah: kemudian masukkanlah rantai ke dalam mulutnya.

Menurut pendapat yang lain, rantai itu dibelitkan ke lehernya, kemudian dia diseret dengan rantai itu.

Dalam hadits dinyatakan bahwa rantai itu dimasukkan ke dalam anusnya dan keluar dari kedua lubang hidungnya. Dalam hadits yang lain dinyatakan bahwa rantai itu dimasukkan ke dalam mulutnya dan keluar dari anusnya. Setelah itu, dia menyeru kepada para sahabatnya: “Apakah kalian mengenaliku?” Mereka menjawab: “Tidak, tapi kami melihat kehinaan yang menimpamu. Lalu, siapakah engkau?” Dia menyeru kepada para sahabatnya: “Aku adalah fulan bin Fulan. Bagi masing-masing orang dari kalian akan mendapatkan hal seperti ini.”

Menurut saya (al-Qurthubī), penafsiran ini merupakan penafsiran yang paling shahih, yang dikemukakan tentang ayat ini. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah ta‘ālā: (يَوْمَ نَدْعُوْا كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ) “(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya.” (Qs. al-Isrā’ [17]: 71). Dalam bab ini pun terdapat ma‘na hadits Abū Hurairah yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzī. Kami telah menyebutkan hadits ini dalam surah Subḥān (1241). Renungkanlah apa yang dijelaskan di sana.

Firman Allah ta‘ālā (إِنَّهُ كَانَ لَا يُؤْمِنُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ. وَ لَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ.) “Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar. Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin.” Ya‘ni, untuk memberi makan, sebagaimana kata al-athā’ (pemberian) ditempatkan pada ma‘na al-i‘thā’ (memberikan).

Penyair berkata:

أَكُفْرًا بَعْدَ رَدِّ الْمَوْتِ عَنِّيْ وَ بَعْدَ عَطَائِكَ الْمِائَةَ الرَّتَاعَا.

Apakah itu merupakan kufur setelah kematian tertolak dariku,
dan setelah engkau, memberikan seratus keni‘matan.” (1252).

Maksudnya, (بَعْدَ إِعْطَائِكَ) “setelah engkau memberikan.”

Dengan demikian, Allah menjelaskan bahwa dia di‘adzab karena tidak memberikan makan (kepada orang-orang yang miskin) dan karena memerintahkan untuk bersikap kikir, di samping dia pun disiksa karena kafir. Al-Ḥadhdh adalah mendorong dan menganjurkan.

Asal lafazh (طَعَامِ) adalah di-nashab-kan karena mashdar perkiraan. (طَعَامِ) adalah ungkapan untuk benda. Ia di-idhāfah-kan kepada orang-orang miskin karena pertautan/hubungan di antara keduanya. Barang siapa yang memfungsikan lafazh (طَعَامِ) seperti lafazh (الْإِطْعَام), maka posisi lafazh (الْمِسْكِيْنِ) adalah nashab. Perkiraan susunan kalimatnya adalah: (عَلَى إِطْعَام الْمَطْعَمَ الْمِسْكِيْنَ) “Untuk memberikan makanan kepada orang-orang yang miskin.” Setelah itu, fā‘il dibuang dan mashdar di-idhāfah-kan (disandarkan) kepada maf‘ūl.

 

Firman Allah:

فَلَيْسَ لَهُ الْيَوْمَ هَاهُنَا حَمِيْمٌ. وَ لَا طَعَامٌ إِلَّا مِنْ غِسْلِيْنٍ. لَا يَأْكُلُهُ إِلَّا الْخَاطِؤُوْنَ.

69: 35. Maka tiada seorang teman pun baginya pada hari ini di sini.
69: 36. Dan tiada (pula) makanan sedikit pun (baginya) kecuali dari darah dan nanah.
69: 37. Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa.
(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 35-37).

Firman Allah ta‘ālā (فَلَيْسَ لَهُ الْيَوْمَ هَاهُنَا حَمِيْمٌ.) “Maka tiada seorang teman pun baginya pada hari ini di sini.Khabar lafazh: (فَلَيْسَ) adalah lafazh: (لَهُ), sedangkan lafazh (هَاهُنَا) bukanlah khabar bagi lafazh (فَلَيْسَ). Sebab jika lafazh (هَاهُنَا) menjadi khabar bagi lafazh (فَلَيْسَ), maka ma‘na firman Allah itu akan menjadi: tiada di sini makanan kecuali darah dan nanah, dan ma‘na ini tidak sah. Sebab di sana ada makanan selain darah dan nanah.

Lafazh (هَاهُنَا) berhubungan dengan dhamīr yang terdapat pada lafazh (لَهُ), yaitu ma‘na fi‘il.

Yang dimaksud dengan (حَمِيْمٌ) adalah kerabat. Maksudnya, tiada kerabat baginya yang akan bersikap lembut terhadapnya dan membelanya. Kata (حَمِيْمٌ) ini diambil dari kata al-ḥamīm yang berarti air panas, (karena) seolah-olah orang itu adalah seorang teman yang akan bersikap lembut terhadapnya dan hatinya akan terbakar untuknya.

Lafazh (غِسْلِيْنٍ) adalah bentuk (فِعْلِيْنَ) dari kata (الْغَسْلُ), karena seakan-akan ia yang mengalir dari tubuh mereka. (غِسْلِيْنٍ) adalah nanah penghuni neraka yang mengalir dari luka dan kemaluan mereka. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās.

Adh-Dhaḥḥāk dan ar-Rabī‘ bin Anas berkata: “(غِسْلِيْنٍ) adalah (nama) pohon yang dimakan oleh penghuni neraka. Adapun (الْغِسْلُ) adalah sesuatu yang digunakan untuk membasuh kepala baik berupa Khatmi (nama tumbuh-tumbuhan = hollyhock), maupun yang lainnya.

Al-Akhfasy berkata: “(غِسْلِيْنٍ), ya‘ni sesuatu yang mengalir dari daging dan darah para penghuni neraka. Kepada lafazh (غِسْلِيْنٍ) itu ditambahkan huruf yā’ dan nūn, sebagaimana huruf yā’ dan nūn ditambahkan pada lafazh (عِفْرِيْنٍ).”

Qatādah berkata: “(غِسْلِيْنٍ) adalah makanan yang paling buruk dan paling jelek.”

Ibnu Zaid berkata: “Tidak diketahui apakah (غِسْلِيْنٍ) itu dan tidak diketahui pula apakah zaqqūm itu.” Namun di tempat yang lain Ibnu Zaid berkata: “(Allah berfirman): (لَيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إِلَّا مِنْ ضَرِيْعٍ) “Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri.” (Qs. al-Ghāsyiyah [88]: 6). Boleh jadi Dharī‘ itu terbuat dari Ghislīn.”

Menurut satu pendapat, pada firman Allah itu terdapat kata yang seharusnya didahulukan dan diakhirkan. Ma‘na firman Allah itu adalah: “Maka tiada ḥamīm baginya pada hari ini kecuali ghislīn.” Dengan ini, maka kata ḥamīm itu berarti air panas.

(وَ لَا طَعَامٌ) “Dan tiada (pula) makanan”, maksudnya dan tiada pula makanan yang dapat mereka ambil manfaatnya, yang (لَا يَأْكُلُهُ إِلَّا الْخَاطِئُوْنَ.) “Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa,” ya‘ni orang-orang yang berdosa. Ibnu ‘Abbās berkata: “Maksudnya, orang-orang musyrik.”

Firman Allah itu dibaca pula dengan: (الْخَاطِيُوْنَ) – ya‘ni dengan menukarkan huruf hamzah kepada huruf yā’ (1263) dan (الْخَاطُوْنَ) – ya‘ni dengan membuang huruf hamzah. (1274).

Namun diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās: Apakah (الْخَاطُوْنَ) (ḥarfiyah: orang yang melangkah) itu? Sebab masing-masing melangkah. (1285).

Abul-Aswad ad-Du’alī meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās: “Apakah (الْخَاطُوْنَ) ini? Sesungguhnya (yang benar untuk lafazh) itu adalah (الْخَاطِؤُوْنَ). Apakah (الصَّابُوْنَ) itu. Sesungguhnya (yang benar untuk lafazh) itu adalah (الصَّابِئُوْنَ).”

Namun boleh jadi yang dimaksud dari lafazh (الْخَاطُوْنَ) (ḥarfiyah: orang yang melangkah) adalah orang-orang yang melangkahi kebenaran menuju kebatilan dan melampaui hukum-hukum Allah ‘azza wa jalla.

 

Firman Allah:

فَلَا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُوْنَ. وَ مَا لَا تُبْصِرُوْنَ. إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ.

69: 38. Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat.
69: 39. Dan dengan apa yang tidak kamu lihat.
69: 40. Sesungguhnya al-Qur’ān itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasūl yang mulia.
(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 38-40).

Firman Allah ta‘ālā (فَلَا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُوْنَ. وَ مَا لَا تُبْصِرُوْنَ.) “Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Dan dengan apa yang tidak kamu lihat.” Ma‘na firman Allah tersebut adalah: Aku bersumpah dengan berbagai perkara yang dapat engkau lihat dan yang tidak engkau lihat. Lafazh (لَا) (yang terdapat pada firman Allah: (فَلَا)) adalah shillah (kata penghubung). Menurut satu pendapat, ia dikembalikan kepada kalimat terdahulu. Ya‘ni, perkara itu tidaklah seperti yang dikatakan oleh orang-orang musyrik.

Muqātil berkata: “Penyebab hal itu adalah al-Walīd bin al-Mughīrah mengatakan bahwa Muhammad adalah penyihir. Abū Jahl mengatakan bahwa beliau adalah penyair. Sementara ‘Aqabah mengatakan bahwa beliau adalah tukang tenung. Allah ‘azza wa jalla kemudian berfirman: (فَلَا أُقْسِمُ) “Maka Aku bersumpah”. Maksudnya, Aku bersumpah.

Menurut pendapat yang lain, lafazh (لَا) di sini bertujuan untuk menafikan sumpah, sehingga ma‘na firman Allah itu adalah: tidak dibutuhkan sumpah dalam hal ini, karena jelasnya kebenaran dalam perkara itu. Jika berdasarkan pendapat ini, jawab nafi adalah sebagai jawab qasam (sumpah).

Firman Allah ta‘ālā (إِنَّهُ) “Sesungguhnya al-Qur’ān itu,” ya‘ni al-Qur’ān, (لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ.) “adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasūl yang mulia.” Yang dimaksud dengan rasūl adalah malaikat Jibrīl. Demikianlah pendapat yang dikemukakan oleh al-Ḥasan, al-Kalabī, dan Muqātil. Dalilnya adalah firman Allah: (إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ، ذِيْ قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِيْنٍ.) “Sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibrīl), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arsy.” (Qs. at-Takwīr [81]: 19-20).

Namun al-Kalabī dan al-Qutabī berpendapat bahwa yang dimaksud dengan rasūl di sini adalah Muḥammad s.a.w. Hal ini berdasarkan kepada firman Allah ta‘ālā: (وَ مَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ) “Dan al-Qur’ān itu bukanlah perkataan seorang penyair.” (Qs. al-Ḥāqqah [69]: 41). Dalam hal ini perlu dimaklumi bahwa al-Qur’ān bukanlah ucapan Rasūl, melainkan firman Allah. Penisbatan ucapan kepada Rasūl adalah disebabkan karena dia adalah orang yang membawa, menyampaikan, dan mengemukakannya. Contohnya adalah ucapan ini. “Ini adalah perkataan Raja.”

Catatan:

  1. 124). Lih. Tafsir surah al-Isrā’, ayat 71.
  2. 125). Bait ini merupakan bagian dari himpunan syair al-Qathamī yang ditujukan untuk menyanjung Za‘far bin Ḥārits al-Kilabī. Bait ini telah dikemukakan pada pembahasan terdahulu.
  3. 126). Qirā’ah ini bukanlah qirā’ah yang mutawātir. Qirā’ah ini dicantumkan oleh Abū Ḥayyān dalam al-Baḥr-ul-Muḥīth (8/327) dan az-Zamakhsyarī dalam al-Kasysyāf (4/136).
  4. 127). Qirā’ah ini bukanlah qirā’ah yang mutawātir. Qirā’ah ini dicantumkan oleh Abū Ḥayyān dalam al-Baḥr-ul-Muḥīth (8/327) dan az-Zamakhsyarī dalam al-Kasysyāf (4/136).
  5. 128). Atsar ini dicantumkan oleh az-Zamakhsyarī dalam al-Kasysyāf (4/136).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *