Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir al-Qurthubi (1/6)

Dari Buku:
Tafsir al-Qurthubi
(Jilid 20 – Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh Imam al-Qurthubi
(Judul Asli: al-Jāmi‘-ul-Aḥkām-ul-Qur’ān)

Penerjemah: Dudi Rosyadi dan Faturrahman
Penerbit PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir al-Qurthubi

SŪRAT-UL-ḤĀQQAH

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Abuz-Zahirah meriwayatkan dari Abū Hurairah, dia berkata: “Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

مَنْ قَرَأَ إِحْدَى عَشْرَةَ أَيَةً مِنْ سُوْرَةِ الْحَاقَّةِ أُجِيْرَ مِنْ فِتْنَةَ الدَّجَّالِ، وَ مَنْ قَرَأَهَا كَانَتْ لَهُ نُوْرًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ فَوْقِ رَأْسِهِ إِلَى قَدَمِهِ.

Barang siapa yang membaca sebelas ayat dari surah al-Ḥāqqah, maka dia akan diselamatkan dari fitnah Dajjāl. Dan barang siapa yang membacanya, maka ia akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat kelak yang terpancar dari atas kepalanya sampai ke telapak kakinya.”

 

Firman Allah:

الْحَاقَّةُ. مَا الْحَاقَّةُ. وَ مَا أَدْرَاكَ مَا الْحَاقَّةُ.

69: 1. Hari kiamat.
69: 2. Apakah hari kiamat itu?
69: 3. Dan tahukah kamu apakah hari kiamat itu?
(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 1-3).

Firman Allah ta‘ālā (الْحَاقَّةُ. مَا الْحَاقَّةُ.) “Hari kiamat. Apakah hari kiamat itu?” Yang Allah maksud adalah hari kiamat. Hari kiamat dinamakan al-Ḥāqqah (yang hak/yang pasti terjadi), sebab berbagai perkara dibuat benar-benar terjadi pada hari kiamat ini. Demikianlah yang dikemukakan oleh ath-Thabarī, (941) seolah-olah dia menetapkan kata ini dan ma‘na yang dikandungnya dari ungkapan: Lailun nā’imun (malam yang tidur). (* Sebab tidur nyata terjadi pada malam hari, penerj.)

Menurut pendapat yang lain, hari kiamat dinamakan al-Ḥāqqah, karena hari kiamat ini membuat surga menjadi hak bagi beberapa kelompok dan juga membuat neraka menjadi hak bagi beberapa kelompok (lainnya).

Menurut pendapat yang lain lagi, hari kiamat dinamakan al-Ḥāqqah, karena pada hari inilah setiap manusia benar-benar menjadi berhak atas balasan dari ‘amal perbuatannya.

Al-Azharī berkata: “Dikatakan: Ḥaqaqtuhu faḥaqaqtuhu Aḥuqquhu (aku berperkara dengannya kemudian aku mengalahkannya, sehingga aku mempunyai hak terhadapnya), ya‘ni aku berperkara dengannya, kemudian aku dapat mengalahkannya. Dengan demikian, hari kiamat adalah al-Ḥāqqah (kemenangan), sebab hari ini membuat menang setiap orang yang mempunyai hak dalam agama Allah karena kebatilan. Maksudnya, (karena hari ini memberikan hak) kepada setiap orang yang berperkara. Dikatakan kepada seseorang yang berperkara tentang hal yang sepele: Innahu lanaziq-al-ḥaqq (sesungguhnya dia memperkarakan hal yang sepele). Dikatakan pula: mā lahu fīhi ḥaqqun wa lā ḥiqāq (dia tidak mempunyai hak dalam hal ini dan tidak pula persengketaan), sedangkan al-iḥtiqāq adalah al-ikhtishām (berperkara). Ada tiga dialek untuk kata al-Ḥāqqah ini: al-ḥāqqah, al-ḥiqqah, al-ḥaqq, di mana ketiganya mempunyai ma‘na yang sama.”

Al-Kisā’ī dan al-Mu‘arrij mengatakan: al-ḥāqqah adalah hari yang sebenarnya (hari kiamat). Orang ‘Arab berkata: Lammā ‘arafa al-ḥaqqata minnī ḥariba (ketika aku mengetahui yang sebenarnya dariku, dia lari). Lafazh (الْحَاقَّةُ) yang pertama di-nashab-kan karena menjadi mubtada’, dan khabar-nya adalah mubtada’ yang kedua berikut khabar bagi mubtada’ yang kedua ini, yaitu lafazh: (مَا الْحَاقَّةُ) “Apakah hari kiamat itu?” Sebab ma‘na kalimat: (مَا الْحَاقَّةُ) adalah (مَا هِيَ) “apakah hari kiamat itu”. Kalimat (مَا الْحَاقَّةُ) ini merupakan kalimat tanya (istifhām) yang berarti pengagungan dan anggapan besar terhadap keadaan hari kiamat itu. Hal ini sebagaimana engkau berkata: Zaid, mā Zaid (Zaid, apakah Zaid itu), di mana pengertian yang terkandung dari kalimat ini adalah mengagungkan keadaan Zaid. Kalimat (وَ مَا أَدْرَاكَ مَا الْحَاقَّةُ.) “Dan tahukah kamu apakah hari kiamat itu?”, juga merupakan kalimat tanya (istifhām). Ya‘ni, tahukah kamu apakah hari (kiamat) itu. Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa Nabi adalah orang yang mengetahui tentang hari kiamat, namun hanya sifatnya saja. Oleh karena itulah dikatakan – guna mengagungkan keadaan hari kiamat ini: Wa mā adrāka mā hiya (Dan tahukah kamu apakah ia), seolah-olah beliau tidak mengetahuinya, sebab beliau belum menyaksikannya dengan jelas.

Yaḥyā bin Salām berkata: “Aku mendapat kabar bahwa segala sesuatu (yang Allah bertanya tentangnya kepada rasūl-Nya) di dalam al-Qur’ān: (وَ مَا أَدْرَاكَ.) “Dan tahukah kamu?”, (kepada Rasūl-Nya), maka beliau belum mengetahui sesuatu tersebut.”

Sufyān bin ‘Uyainah berkata: “Segala sesuatu yang Allah berfirman tentangnya: (وَ مَا أَدْرَاكَ.) “Dan tahukah kamu?”, sesungguhnya beliau Nabi s.a.w. telah dibertahukan tentang sesuatu tersebut, dan segala sesuatu yang beliau berfirman tentangnya: (وَ مَا يُدْرِيْكَ.) “Dan tahukah kamu?”, sesungguhnya beliau belum diberitahukan tentang sesuatu tersebut.”

 

Firman Allah:

كَذَّبَتْ ثَمُوْدُ وَ عَادٌ بِالْقَارِعَةِ.

69: 4. Kaum Tsamūd dan ‘Ād telah mendustakan hari kiamat.
(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 4).

Allah menyebutkan orang-orang yang mendustakan hari kiamat. Hari kiamat disebut al-Qāri‘ah (yang menghantam/bencana), karena hari ini menghantam manusia dengan huru-haranya. Dikatakan: Ashābathum Qawāri‘-ud-Dahri (mereka tertimpa huru-hara zaman), yakni huru-hara dan bencananya yang hebat. Dikatakan pula: Na‘ūdzu billāhi min Qawāri‘i Fulānin wa lawādzi‘ihi wa qawūrishi lisānihi (kami belindung kepada Allah dari gangguan fulan, kejahatannya, dan perkataan yang menyakitkan dari lidahnya).

Qawārish adalah jama‘ Qārishah, yaitu kata-kata yang menyakitkan. Adapun Qawāri‘-ul-Qur’ān adalah ayat-ayat yang dibaca manusia ketika mereka diganggu oleh jinn atau manusia, seperti ayat kursi, seolah ayat ini akan menghajar syaithan.

Menurut satu pendapat, al-Qāri‘ah terambil dari kata al-Qur‘ah (undian), karena hari ini mengangkat suatu kaum dan menjatuhkan kaum yang lain. Demikianlah yang dikatakan al-Mubarrad.

Menurut pendapat yang lain, yang dimaksud dengan al-Qāri‘ah adalah ‘adzab yang menimpa mereka di dunia. Dahulu Nabi mereka telah mengancam mereka dengan ‘adzab ini, namun mereka mendustakannya.

Tsamūd adalah kaum Nabi Shāliḥ. Rumah-rumah mereka terdapat di Ḥijr yang terletak di antara Syām dan Ḥijāz. Muḥammad bin Isḥāq berkata: “Ḥijr itu adalah lembah al-Quri. Mereka adalah bangsa ‘Arab.”

Adapun ‘Ad, mereka adalah kaum Nabi Hūd. Mereka menetap di Aḥqāf. Aḥqāf adalah wilayah pesisir ‘Ammān sampai Ḥadhramaut, juga seluruh wilayah Yaman. Mereka adalah bangsa ‘Arab yang memiliki keterampilan dan kematangan. Mereka juga dituturkan oleh Muḥammad bin Isḥāq. Hal ini sudah dijelaskan pada pembahasan terdahulu.

 

Firman Allah:

فَأَمَّا ثَمُوْدُ فَأُهْلِكُوْا بِالطَّاغِيَةِ.

69: 5. Adapun kaum Tsamūd maka mereka telah dibinasakan dengan kejadian yang luar biasa.
(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 5).

Dalam firman Allah ini terdapat kata yang disimpan, ya‘ni (بِالْفِعْلَةِ الطَّاغِيَةِ) “Dengan kejadian yang luar biasa.”

Qatādah berkata: “Dengan suara mengguntur yang luar biasa, ya‘ni yang melampaui batas. Maksudnya, yang melampaui batas suara guntur, yaitu (yang dapat menimbulkan) huru-hara. Hal ini sebagaimana Allah berfirman: (إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ صَيْحَةً وَاحِدَةً فَكَانُوْا كَهَشِيْمِ الْمُحْتَظِرِ) “Sesungguhnya Kami menimpakan atas mereka satu suara yang keras mengguntur, maka jadilah mereka seperti rumput kering (yang dikumpulkan oleh) yang punya kandang binatang.” (Qs. al-Qamar [54]: 31). Ath-Thughyān adalah melampaui batas. Contohnya adalah firman Allah ta‘ālā: (إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءُ) “Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung).” (Qs. al-Ḥāqqah [69]: 11). Maksudnya, (tatkala air) telah melampaui batas.

Al-Kalabī berkata: “(Allah berfirma): (بِالطَّاغِيَةِ), ya‘ni dengan petir.”

Mujāhid berkata: “Ya‘ni, karena dosa-dosa (mereka).”

Al-Ḥasan berkata: “(Ya‘ni), karena melampaui batas.” Dengan demikian, lafazh ath-thāghiyah itu merupakan mashdar seperti al-kādzibah, al-‘āqibah, dan al-‘āfiyah. Maksudnya, mereka dibinasakan karena tindakan melampaui batas mereka dan juga karena kekufuran mereka.

Menurut satu pendapat, ath-thāghiyah adalah penyembelih unta. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Zaid. Dengan demikian, maksud firman Allah itu adalah: mereka dibinasakan karena perbuatan yang dilakukan oleh penyembelih unta mereka, yaitu menyembelih unta.

Penyembelih ini satu orang. Tapi mereka semua dibinasakan, karena mereka meridhai perbuatan sang penyembelih itu dan mereka pun mendatanginya. Dikatakan: Thāghiyah, seperti dikatakan: Fulāni Rāwiyatu asy-Asyi‘ri (fulan adalah perangkai sya‘ir), Dāhiyah, Alāmah, dan Nasābah.

 

Firman Allah:

وَ أَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوْا بِرِيْحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ. سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُوْمًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيْهَا صَرْعَى كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ.

69: 6. Adapun kaum ‘Ād maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang,
69: 7. yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus; maka kamu lihat kaum ‘Ād pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).
(Qs. al-Ḥāqqah [69]: 6-7).

 

Firman Allah ta‘ālā (وَ أَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوْا بِرِيْحٍ صَرْصَرٍ) “Adapun kaum ‘Ād maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin,” ya‘ni yang sangat dingin, yang dengan dinginnya dapat membakar, seperti api yang membakar.

Kata (صَرْصَرٍ) itu diambil dari kata ash-Shirr, yaitu dingin. Demikianlah yang dikatakan adh-Dhaḥḥāk.

Menurut satu pendapat, (صَرْصَرٍ) adalah yang amat keras suaranya.

Mujāhid berkata: “(صَرْصَرٍ) adalah yang sangat beracun.”

Firman Allah ta‘ālā (عَاتِيَةٍ) “lagi amat kencang,” ya‘ni yang menentang para penjaganya dan tidak menaati mereka, sehingga mereka pun tidak dapat menguasainya karena hembusannya yang begitu kencang. Angin itu marah karena kemurkaan Allah.

Menurut satu pendapat, yang menerjang kaum ‘Ād dan menghancurkan mereka. Sufyān ats-Tsaurī meriwayatkan dari Mūsā bin al-Musayyib, dari Syahr bin Ḥausyab, dari Ibnu ‘Abbās, dia berkata: “Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Allah tidak pernah mengutus hembusan angin kecuali dengan takaran dan (Allah pun tidak pernah mengutus) tetesan air (hujan) kecuali dengan takaran, kecuali pada hari kaum ‘Ād dan pada hari (kaum) Nūḥ (dibinasakan). Sesungguhnya air pada hari (kaum) Nūḥ (dibinasakan) menyerang para penjaganya, sehingga mereka tidak mempunyai cara untuk menguasainya.” Beliau kemudian membaca: (إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ.) “Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung) Kami bawa (nenek moyang) kamu ke dalam bahtera” (Qs. al-Ḥāqqah [69]: 11). “Sementara pada hari kaum ‘Ād (dibinasakan), angin menyerang para penjaganya sehingga mereka tidak mempunyai cara untuk menguasainya.”

Beliau kemudian membaca: (بِرِيْحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ.) “dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang.”. (952).

Firman Allah ta‘ālā (سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ) “yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka,” ya‘ni mengutusnya dan menjadikannya berkuasa atas mereka. Sebab at-taskhīr adalah menggunakan sesuatu dengan kekuasaan.

(سَبْعَ لَيَالٍ وَ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُوْمًا) “selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus,” ya‘ni berturut-turut, di mana angin itu tiada mereda dan tiada pula berhenti. Pendapat inilah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, Ibnu Mas‘ūd, dan juga yang lainnya.

Al-Farrā’ (963) berkata: “Al-Ḥusūm adalah berturut-turut. Kata ini terambil dari: Ḥasmi ad-Dā‘ī (terapi rutin untuk menghilangkan penyakit), jika orang yang sakit disetrika dengan setrika, kemudian hal itu dilakukan kepadanya secara terus-menerus.”

‘Abd-ul-‘Azīz bin Zurārah al-Kilābī berkata:

فَفَرَّقَ بَيْنَ بَيْنِهِمْ زَمَانٌ تَتَابَعَ فِيْهِ أَعْوَامٌ حُسُوْمٌ.

Maka hubungan di antara mereka dipisahkan oleh zaman, yang di dalamnya tahun demi tahun berganti secara terus-menerus.”

Al-Mubarrad berkata: “Kata al-Ḥusūm itu (terambil dari) ucapanmu: Ḥusūmtu as-Sai’a (aku memutus sesuatu), jika engkau memutuskannya dan memisahkan (sebagian)nya dari sebagian yang lainnya.”

Menurut satu pendapat, al-Ḥasm adalah pembasmian sampai ke akar-akarnya. Oleh karena itulah pedang disebut: Ḥussām (pemutus), sebab ia dapat memutuskan musuh dari sesuatu yang dikehendakinya, yaitu mencapai permusuhannya.

Ibnu Zaid berkata: “Angin itu membasmi mereka (kaum ‘Ād) sehingga tidak seorang pun yang tersisa dari mereka.” Dari Ibnu Zaid juga diriwayatkan bahwa angin itu mencakup malam dan siang, hingga ia meliputi semuanya. Sebab angin itu dimulai ketika matahari terbit pada hari yang pertama, dan berakhir ketika matahari tenggelam pada hari yang terakhir.”

Al-Laits berkata: “Al-Ḥusūm adalah kesialan. Dikatakan: Hādzī-l-Layāli-l-Ḥusūm (ini adalah malam-malam yang sial), ya‘ni yang memutuskan kebaikan dari orang-orang yang ada di dalamnya.” Hal itu pun dikemukakan dalam kitab ash-Shiḥḥāh. (974).

‘Ikrimah dan ar-Rubai‘ bin Anas mengatakan (bahwa al-Ḥusūm adalah) kesialan. Dalilnya adalah firman Allah ta‘ālā: (فِيْ أَيَّامٍ نَحِسَاتٍ) “Dalam beberapa hari yang sial.” (Qs. al-Fushshilāt [41]: 16).

‘Athiyyah al-Aufā berkata: “(Firman Allah): (حُسُوْمًا), ya‘ni yang memutus kebaikan dari orang-orang yang berada di dalamnya.”

Terjadi silang pendapat tentang hari pertama di mana angin itu terjadi:

Menurut satu pendapat, pagi hari Aḥad. Pendapat ini dikemukan oleh as-Suddī.

Menurut pendapat yang lain, pagi hari Jum‘at. Pendapat ini dikemukakan oleh ar-Rubai‘ bin Anas.

Menurut pendapat yang lain lagi, pagi hari Rabu. Pendapat ini dikemukakan oleh Yaḥyā bin Salām dan Wahb bin Munabbih.

Wahb bin Munabbih berkata: “Hari-hari ini adalah hari-hari yang disebut oleh orang-orang ‘Arab dengan Ayyām-ul-‘Ujūz (hari orang-orang yang lemah), yang sangat dining dan memiliki angin yang sangat kencang. Hari yang pertama adalah hari Rabu dan hari yang terkahir adalah hari Rabu juga. Hari-hari ini dinisbatkan kepada al-‘Ajūz (orang yang jompo), karena pada saat angin ini terjadi orang-orang yang jompo dari kaum ‘Ād masuk ke dalam lubang, namun angin mengejar mereka dan membinasakan mereka di sana pada hari yang kedelapan. Menurut satu pendapat, hari-hari ini disebut ayyām-ul-‘ajūz (hari-hari terakhir), sebab hari-hari ini berada di akhir musim dingin. Hari-hari ini berada di bulan Adzar, salah satu bulan dalam kalender orang-orang Suryaniyīn. Hari-hari ini memiliki musibah/kecelakaan yang sangat terkenal.”

Lafazh (حُسُوْمًا) di-nashab-kan karena menjadi ḥāl.

Menurut satu pendapat, ia di-nashab-kan karena merupakan mashdar. Az-Zajjāj berkata: “Maksudnya: (تَحْسِمُهُمْ حُسُوْمًا) “angin itu membinsakan mereka dengan sebenar-benarnya.” Ya‘ni, membunuh mereka. Dengan demikian, lafazh itu (حُسُوْمًا) merupakan mashdar yang berfungsi memberikan penguatan.”

Lafazh (حُسُوْمًا) pun boleh menjadi maf‘ūl lahu. Maksudnya, Allah mengirimkan angin itu kepada mereka pada masa ini demi melakukan pembasmian, ya‘ni demi memberangus dan membasmi mereka (kaum ‘Ād). Lafazh (حُسُوْمًا) juga boleh menjadi jama‘ dari lafazh (حَاسِم).

As-Suddī membaca firman Allah itu dengan (حُسُوْمًا) ya‘ni dengan fatḥah huruf ḥā’, karena menjadi ḥāl bagi kata (رِيْح). Maksudnya, Allah mengirim angin itu kepada mereka sebagai pembasmi (mereka).

Firman Allah ta‘ālā (فَتَرَى الْقَوْمَ فِيْهَا) “maka kamu lihat kaum ‘Ād pada waktu itu,” ya‘ni pada beberapa hari dan malam itu, (صَرْعَى) “mati bergelimpangan.” Lafazh (صَرْعَى) adalah jama‘ dari (صَرِيْع), ya‘ni mati.

Menurut satu pendapat, firman Allah (فِيْهَا) mengandung ma‘na: pada angin itu.

Firman Allah ta‘ālā (كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ) “seakan-akan mereka tunggul-tunggul,” ya‘ni pangkal-pangkal, (نَخْلٍ خَاوِيَةٍ.) “pohon kurma yang telah kosong (lapuk),” Demikianlah yang dikemukakan oleh Abuth-Thufail.

Menurut satu pendapat, yang dimaksud dari kata (خَاوِيَةٍ) itu adalah: yang kosong bagian dalamnya, sehingga tidak ada apa-apa di dalamnya. An-Nakhl dapat dijadikan sebagai kata mudzakkar dan mu’annats.

Allah berfirman dalam surah yang lain: (كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ مُنْقَعِرٍ) “Seakan-akan mereka pokok kurma yang tumbang.” (Qs. al-Qamar [54]: 20). Jika demikian, ada kemungkinan kaum ‘Ād itu diserupakan dengan pohon kurma yang roboh dari bagian pangkalnya, dan ini merupakan pemberitahuan tentang besarnya tubuh mereka.

Ada kemungkinan pula bahwa yang dimaksud dari kata A‘jāz itu pangkal dan bukan dahan. Maksudnya, angin itu telah memotong-motong mereka sehingga mereka menjadi seperti pangkal pohon kurma yang kosong/bolong bagian dalamnya. Maksudnya, angin masuk ke dalam tubuh mereka, kemudian membuat mereka tersungkur mati, seperti pohon kurma yang kosong bagian dalamnya.

Ibnu Syajrah berkata: “Angin masuk ke dalam mulut mereka, lalu mengeluarkan usus-usus di dalam perut mereka melalui anus mereka, sehingga mereka pun menjadi seperti pohon kurma yang bolong bagian dalamnya.”

Yaḥyā bin Salām berkata: “Sesungguhnya Allah berfirman: (خَاوِيَةٍ) “Yang telah kosong”, sebab tubuh mereka itu telah kosong dari roh mereka, seperti pohon kurma yang telah kosong pada bagian dalamnya.”

Ada kemungkinan pula ma‘na firman Allah itu adalah seakan-akan mereka adalah pokok pohon kurma yang kosong pada bagian pangkalnya. Sebagaimana Allah berfirman: (فَتِلْكَ بُيُوْتُهُمْ خَاوِيَةً) “Maka itulah rumah-rumah mereka dalam keadaan runtuh” (Qs. an-Naml [27]: 52). Ya‘ni, kosong di mana tidak ada penduduk di dalamnya.

Ada kemungkinan pula, seperti yang telah kami jelaskan, bahwa kata al-Khāwiyah itu mengandung ma‘na bagian dalamnya akan menjadi kosong. Oleh karena itulah setelah mereka binasa, mereka diserupakan dengan pohon kurma yang lapuk.

Catatan:

  1. 94). Lih. Jāmi‘-ul-Bayān (29/30).
  2. 95). Hadits ini dicantumkan oleh as-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (6/260) secara mauqūf pada Ibnu ‘Abbās. Juga dicantumkan oleh Ibnu Katsīr dalam tafsirnya (4/413).
  3. 96). Lih. Ma‘ānī-l-Qur’ān karyanya (3/180).
  4. 97). Lih. ash-Shiḥḥāh (5/1899).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *