Surah al-Haqqah 69 – Tafsir al-Munir – Marah Labid (2/2)

TAFSĪR AL-MUNĪR
(MARĀḤ LABĪD)
(Judul Asli: At-Tafsīr-ul-Munīru Lima‘ālim-it-Tanzīl)
Penyusun: Al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi (Banten).

(Jilid ke 6 dari Surah al-Aḥqāf s.d. an-Nās)

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar, L.C.
Dibantu oleh: H. Anwar Abu Baka, L.C.

Penerbit: Penerbit Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir al-Munir - Marah Labid

وَ أَمَّا مَنْ أُوْتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُوْلُ يَا لَيْتَنِيْ لَمْ أُوْتَ كِتَابِيَهْ.

69: 25. Adapun orang yang kitabnya diberikan di tangan kirinya, maka dia berkata: “Alangkah baiknya jika kitabku (ini) tidak diberikan kepadaku. (al-Ḥāqqah [69]: 25)

(وَ أَمَّا مَنْ أُوْتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ) “Adapun orang yang kitabnya diberikan di tangan kirinya” seperti yang dialami oleh al-Aswad ibnu “Abd-il-Asad,

 

(فَيَقُوْلُ يَا لَيْتَنِيْ لَمْ أُوْتَ كِتَابِيَهْ.) “maka dia berkata: “Alangkah baiknya jika kitabku (ini) tidak diberikan kepadaku” ya‘ni kitabku yang di dalamnya disebutkan keburukan-keburukan perbuatanku tidak diberikan, sehingga aku tidak merasakan malu seperti ini.

 

وَ لَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ.

69: 26. Aku pun tidak mengetahui bagaimana perhitunganku. (al-Ḥāqqah [69]: 26)

(وَ لَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ.) “Aku pun tidak mengetahui bagaimana perhitunganku” ya‘ni aku tidak mengetahui hisab apa yang akan menimpa diriku dan apa balasan yang aku terima nanti.

 

يَا لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ.

69: 27. Wahai, kiranya kematian itulah yang menyudahi segala sesuatu. (al-Ḥāqqah [69]: 27)

(يَا لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ.) “Wahai, kiranya kematian itulah yang menyudahi segala sesuatu” ya‘ni aduhai sekiranya kematian itulah yang menyudahi segalanya. Atau, aduhai kiranya kematianku di dunia merupakan hal yang menyelesaikan segala urusanku dan aku tidak dibangkitkan menjadi hidup kembali sesudahnya, serta tidak mengalami apa yang sekarang aku alami.

 

مَا أَغْنَى عَنِّيْ مَالِيَهْ.

69: 28. Hartaku sama sekali tidak berguna bagiku. (al-Ḥāqqah [69]: 28)

(مَا أَغْنَى عَنِّيْ مَالِيَهْ.) “Hartaku sama sekali tidak berguna bagiku” huruf adakalanya nāfiyah, dan Māliyah adalah satu kalimat, ya‘ni hartaku tidak dapat menghindarkan diriku dari ‘adzab Allah, padahal aku telah bersusah -payah mengumpulkannya ketika di dunia.

Atau, Mā istifhām, dan Māliyah terdiri atas dua kata, yakni adalah harta dan bawahan bermanfaat bagiku yang dahulu aku punyai?

 

هَلَكَ عَنِّيْ سُلْطَانِيَهْ.

69: 29. Kekuasaanku telah hilang dariku. (al-Ḥāqqah [69]: 29)

(هَلَكَ عَنِّيْ سُلْطَانِيَهْ.) “Kekuasaanku telah hilang dariku” ya‘ni lenyaplah segala saranaku yang pernah menjadi andalanku ketika di dunia. Atau, telah lenyaplah segala milik dan kekuasaanku terhadap masyarakat, dan kini aku menjadi fakir lagi terhina.

Maka Allah s.w.t. berfirman kepada para malaikat penjaga neraka Jahannam:

 

خُذُوْهُ فَغُلُّوْهُ.

69: 30. “Peganglah dia, lalu belenggulah tangannya ke lehernya.” (al-Ḥāqqah [69]: 30)

(خُذُوْهُ) “Peganglah dia,” wahai malaikat Zabāniyyah – (فَغُلُّوْهُ.) “lalu belenggulah tangannya ke lehernya” ya‘ni ikatlah tangan mereka dengan belenggu. Lalu, datanglah seratus ribu malaikat kepadanya, kemudian tangannya disatukan ke lehernya dan kakinya disatukan ke punuknya sampai ke ubun-ubunnya.

 

ثُمَّ الْجَحِيْمَ صَلُّوْهُ.

69: 31. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. (al-Ḥāqqah [69]: 31)

(ثُمَّ الْجَحِيْمَ) “Kemudian, ke dalam api neraka yang menyala-nyala” ya‘ni neraka yang apinya besar – (صَلُّوْهُ.) “masukkanlah dia” ya‘ni bakarlah dia.

 

ثُمَّ فِيْ سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا سَبْعُوْنَ ذِرَاعًا فَاسْلُكُوْهُ.

69: 32. Kemudian, belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. (al-Ḥāqqah [69]: 32)

(ثُمَّ فِيْ سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا) “Kemudian, ke dalam rantai yang ukurannya” ya‘ni ukurannya menurut hasta malaikat – (سَبْعُوْنَ ذِرَاعًا فَاسْلُكُوْهُ.) “tujuh puluh hasta, belitlah dia” ya‘ni ikatlah dia dengannya.

Ibnu ‘Abbās mengatakan bahwa rantai itu masuk dari duburnya dan keluar dari kerongkongannya, kemudian disatukanlah antara ubun-ubunnya dan kedua telapak kakinya, kemudian rantai sisanya dibelitkan ke lehernya.

Nauf al-Bakkalī mengatakan bahwa setiap hasta tujuh puluh depa dan setiap depa lebih panjang dari jarak antara Makkah dan Kūfah.

 

إِنَّهُ كَانَ لَا يُؤْمِنُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ.

69: 33. Sesungguhnya dialah orang yang tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar. (al-Ḥāqqah [69]: 33)

(إِنَّهُ كَانَ) “Sesungguhnya dialah” dahulu ketika di dunia – (لَا يُؤْمِنُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ.) “orang yang tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar”.

 

وَ لَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ.

69: 34. Dan dia pun tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin. (al-Ḥāqqah [69]: 34)

(وَ لَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ.) “Dan dia pun tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin” ya‘ni dia tidak pernah menganjurkan kepada orang lain untuk memberi makan orang-orang miskin.

Diriwayatkan dari Abū Dardā’, bahwa dia selalu menganjurkan kepada istrinya bila memasak untuk memperbanyak kuahnya, demi orang-orang miskin, dan Abū Dardā’ mengatakan: “Kita telah menanggalkan rantai separuhnya dengan iman kita, mengapa kita tidak tanggalkan separuh yang lainnya?, ya‘ni dengan memberi makan orang-orang miskin.

 

فَلَيْسَ لَهُ الْيَوْمَ هَاهُنَا حَمِيْمٌ.

69: 35. Maka pada hari ini di sini tidak ada seorang teman pun baginya. (al-Ḥāqqah [69]: 35)

(فَلَيْسَ لَهُ الْيَوْمَ هَاهُنَا حَمِيْمٌ.) “Maka tidak ada seorang teman pun baginya pada hari ini di sini” ya‘ni pada hari itu ketika berada di padang Maḥsyar dia tidak mempunyai seorang kerabat pun yang membelanya dan berbagi duka dengannya.

 

وَ لَا طَعَامٌ إِلَّا مِنْ غِسْلِيْنٍ.

69: 36. Selain itu, tidak ada makanan (baginya) kecuali dari darah dan nanah. (al-Ḥāqqah [69]: 36)

(وَ لَا طَعَامٌ إِلَّا مِنْ غِسْلِيْنٍ.) “Selain itu, tidak ada makanan (baginya) kecuali dari darah dan nanah” ya‘ni darah, nanah dan keringat dari ahli neraka ketika disiksa, menurut al-Kalabī.

 

لَا يَأْكُلُهُ إِلَّا الْخَاطِؤُوْنَ.

69: 37. Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa. (al-Ḥāqqah [69]: 37)

(لَا يَأْكُلُهُ إِلَّا الْخَاطِؤُوْنَ.) “Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa” ya‘ni sengaja melakukan dosa-dosa, mereka adalah kaum musyrik.

Az-Zuhrī, al-‘Atakī, Thalḥah dan al-Ḥasan membacanya al-Khāthiyūn dengan memakai yā’ yang di-dhammah-kan sebagai pengganti dari hamzah. Dalam suatu riwayat Nāfi‘ dan Syaibah membacanya dengan thā’ yang di-dhammah-kan tanpa hamzah menjadi Khāthūn, ya‘ni orang-orang yang melampaui batas kebenaran hingga menjurus kepada kebatilan dan sengaja melanggar batasan-batasan Allah.

 

فَلَا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُوْنَ.

69: 38. Maka Aku bersumpah demi apa yang kamu lihat. (al-Ḥāqqah [69]: 38)

وَ مَا لَا تُبْصِرُوْنَ.

69: 39. Demikian pula demi apa yang tidak kamu lihat. (al-Ḥāqqah [69]: 39)

(فَلَا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُوْنَ. وَ مَا لَا تُبْصِرُوْنَ.) “Maka Aku bersumpah demi apa yang kamu lihat. Demikian pula demi apa yang tidak kamu lihatLā mazīdah atau Ashliyyah sebagai sanggahan terhadap keingkaran mereka mengenai adanya hari berbangkit. Ya‘ni, Aku bersumpah dengan segala yang kamu lihat wahai penduduk Makkah seperti langit, bumi, matahari, bulan dan Muḥammad s.a.w. Demikian pula segala hal yang tidak kamu lihat, seperti surga, neraka, ‘Arasy. Al-Kursī, dan Jibrīl a.s. Karena segalanya itu terbagi menjadi dua bagian yaitu yang terlihat dan yang tidak terlihat dan pembagian ini mencakup segala hal secara menyeluruh.

 

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ.

69: 40. Sesungguhnya ia (al-Qur’ān itu) benar-benar wahyu (yang diturunkan kepada) Rasūl yang mulia. (al-Ḥāqqah [69]: 40)

(إِنَّهُ) “Sesungguhnya ia” ya‘ni sesungguhnya al-Qur’ān itu – (لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ.) “benar-benar wahyu (yang diturunkan kepada) Rasūl yang mulia” ya‘ni yang dimuliakan oleh Allah s.w.t. dia adalah Nabi Muḥammad s.a.w. Sesungguhnya al-Qur’ān dinisbatkan kepada Rasūl junjungan kita, Nabi Muḥammad s.a.w. karena beliaulah yang menampakkannya kepada manusia dan yang menyeru manusia untuk beriman kepadanya, serta menjadikannya sebagai hujjah bagi kenabiannya.

Sedangkan dalam surah at-Takwīr al-Qur’ān dinisbatkan kepada malaikat Jibrīl a.s. karena dialah yang menurunkannya dari langit ke bumi. Al-Qur’ān itu adalah Kalāmullāh dengan pengertian bahwa Dialah yang menampakkannnya di Lauḥ Maḥfūzh dan Dia pula yang menyusunnya.

Oleh karena itu, Ibnu ‘Abbās mengatakan dalam tafsir ayat ini bahwa sesungguhnya al-Qur’ān itu adalah kalam Allah yang diturunkan oleh malaikat Jibrīl kepada Rasūl yang mulia yaitu Nabi Muḥammad s.a.w.

 

وَ مَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ قَلِيْلًا مَا تُؤْمِنُوْنَ. وَ لَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ قَلِيْلًا مَا تَذَكَّرُوْنَ.

69: 41. Ia (al-Qur’ān) bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.

69: 42. Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya. (al-Ḥāqqah [69]: 41-42)

(وَ مَا هُوَ) “Al-Qur’ān bukanlah” ya‘ni al-Qur’an itu sama sekali bukan – (بِقَوْلِ شَاعِرٍ قَلِيْلًا مَا تُؤْمِنُوْنَ.) “perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya” ya‘ni al-Qur’ān itu sama sekali bukan perkataan seorang penyair, karena al-Qur’ān berbeda dengan berbagai macam syair, hanya kamu tidak berniat untuk beriman kepadanya, sehingga kamu berpaling tidak mau memikirkannya. Seandainya kamu berniat untuk beriman kepadanya tentulah kamu mengetahui kebohongan pendapatmu yang mengatakan bahwa al-Qur’ān adalah syair.

(وَ لَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ قَلِيْلًا مَا تَذَكَّرُوْنَ.) “Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya” Al-Qur’ān pun bukan pula perkataan yang timbul dari penenung atau peramal. Karena al-Qur’ān selalu mencaci syaithan, akan tetapi kamu tidak mengingat kandungannya yang selalu mencaci syaithan-syaithan. Oleh sebab itu, kamu mengatakannya bahwa al-Qur’ān termasuk ke dalam golongan perkataan tukang tenung.

adakalanya sebagai huruf mazīdah untuk menguatkan ma‘na sedikit sekali, dan lafal qalīlan di-nashab-kan karena menjadi sifat bagi mashdar yang dibuang. Ya‘ni, kamu beriman dengan iman yang sedikit dan kamu sangat sedikit mengambil pelajaran. Dikatakan demikian karena sesungguhnya adakalanya di dalam hatinya mereka beriman dan mengambil pelajaran darinya, hanya mereka mencabut kembali hal itu dengan segera dan tidak menyempurnakan kesimpulannya. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah s.w.t. melalui firman-Nya:

إِنَّهُ فَكَّرَ وَ قَدَّرَ.

Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya).” (al-Muddatstsir: 18).

Namun, akhirnya dia berkesimpulan sebagaimana yang disebutkan dalam ayat selanjutnya melalui firman Allah yang menyitir kata-katanya:

إِنْ هُوَ إِلَّا سِحْرٌ يُؤْثَرُ.

Al-Qur’ān ini hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu).” (al-Muddatstsir: 24).

Adakalanya adalah nāfiyah, sehingga mereka sama sekali menafikan iman dan pengambilan pelajaran. Ya‘ni, mereka sama sekali tidak beriman bahwa al-Qur’ān itu dari Allah. Mereka pun sama sekali tidak mengambil pelajaran tentang bagaimana susunan al-Qur’ān itu.

Muqātil mengatakan bahwa latar belakang turunnya ayat ini adalah al-Walīd ibn-ul-Mughīrah telah mengatakan: “Sesungguhnya Muḥammad adalah penyihir.” Abū Jahal pun telah mengatakan bahwa dia adalah seorang penyair. Demikian pula ‘Uqbah mengatakan bahwa Muḥammad adalah tukang tenung. Namun, Allah menyanggah ucapan mereka dengan menurunkan ayat-ayat ini.

Ibnu Katsīr dan Ibnu ‘Āmir membacanya berbeda dengan bacaan Ibnu Dzakwān yaitu dengan memakai yā’ pada yu’minūn dan yadzdzakkarūn. Namun, Ḥamzah, al-Kisā’ī dan Ḥafsh membacanya dengan meringankan dzāl-nya tanpa tasydīd menjadi yadzkurūn.

 

تَنْزِيْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعَالَمِيْنَ.

69: 43. Ia (al-Qur’ān) adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan seluruh alam. (al-Ḥāqqah [69]: 43)

(تَنْزِيْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعَالَمِيْنَ.) “Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan seluruh alam” ya‘ni sebenar al-Qur’ān itu diturunkan dari Tuhan yang menciptakan mereka kepada Nabi Muḥammad s.a.w. secara berangsur-angsur.

Abus-Sammāk membaca Tanzīlan dengan bacaan nashab, ya‘ni al-Qur’ān itu benar-benar diturunkan.

 

وَ لَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيْلِ.

69: 44. Seandainya dia (Muḥammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami. (al-Ḥāqqah [69]: 44)

لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِيْنِ.

69: 45. Pasti Kami pegang dia pada tangan kanannya. (al-Ḥāqqah [69]: 45)

ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِيْنَ.

69: 46. Kemudian Kami potong pembuluh jantungnya. (al-Ḥāqqah [69]: 46)

(وَ لَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيْلِ. لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِيْنِ. ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِيْنَ.) “Seandainya dia (Muḥammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami. Pasti Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian Kami potong pembuluh jantungnya” ya‘ni seandainya Muḥammad menisbatkan kepada Kami suatu perkataan yang tidak Kami katakan, tentulah Kami akan memegang tangan kanannya, kemudian Kami pukul batang lehernya. Dikatakan demikian karena al-watīn adalah urat yang menghubungkan antara jantung dan kepala melalui leher. Ungkapan ini merupakan tamsil yang biasa dilakukan oleh para raja terhadap orang-orang yang berkhianat kepada mereka. Ma‘na yang dimaksud adalah sungguh, seandainya Muḥammad mendustakan Kami, niscaya Kami matikan dia. Menurut pendapat lain disebutkan bahwa seandainya Muḥammad menisbatkan kepada Kami suatu perkataan yang tidak Kami izinkan baginya dalam ucapannya, niscaya Kami cabut kekuatannya, kemudian Kami putus tali jantungnya dengan memukul batang lehernya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa seandainya Muḥammad membuat-buat perkataan dengan mengatasnamakan Kami, niscaya Kami akan menghukumnya dengan kekuatan dari Kami.

Muqātil mengatakan bahwa niscaya Kami akan meng‘adzabnya dengan benar, karena arti yamīn adalah kebenaran, seperti pengertian yang terdapat di dalam ayat lain melalui firman-Nya:

إِنَّكُمْ كُنْتُمْ تَأْتُوْنَنَا عَنِ الْيَمِيْنِ.

Sesungguhnya kamulah yang dahulu datang kepada kami dari kanan.” (ash-Shāffāt: 28).

ya‘ni dari arah yang membuat orang percaya bahwa ia benar. Menurut qirā’at lain dibaca tuquwwila dalam bentuk mabnī maf‘ūl.

 

فَمَا مِنْكُمْ مِّنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِيْنَ.

69: 47. Namun, tidak seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami untuk menghukumnya). (al-Ḥāqqah [69]: 47)

(فَمَا مِنْكُمْ مِّنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِيْنَ.) “Namun, tidak seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami untuk menghukumnya)” ya‘ni tidak ada seorang pun dari kalian, wahai manusia yang dapat menghalang-halangi Kami untuk menimpakan hukuman terhadap Muḥammad.

 

وَ إِنَّهُ لَتَذْكِرَةٌ لِّلْمُتَّقِيْنَ.

69: 48. Sungguh, al-Qur‘ān itu benar-benar menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa. (al-Ḥāqqah [69]: 48)

(وَ إِنَّهُ) “Sungguh, ia” ya‘ni al-Qur’ān itu – (لَتَذْكِرَةٌ لِّلْمُتَّقِيْنَ) “benar-benar menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa” karena hanya mereka yang memperoleh manfaat darinya.

 

وَ إِنَّا لَنَعْلَمُ أَنَّ مِنْكُمْ مُّكَذِّبِيْنَ.

69: 49. Sungguh, Kami benar-benar mengetahui bahwa di antara kamu ada orang yang mendustakan (nya). (al-Ḥāqqah [69]: 49)

(وَ إِنَّا لَنَعْلَمُ أَنَّ مِنْكُمْ) “Sungguh, Kami benar-benar mengetahui bahwa di antara kamu” wahai manusia – (مُّكَذِّبِيْنَ.) “ada orang yang mendustakan” al-Qur’ān, karena kecintaannya kepada dunia. Namun, Kami akan membalas kedustaan mereka itu.

 

وَ إِنَّهُ لَحَسْرَةٌ عَلَى الْكَافِرِيْنَ.

69: 50. Sungguh, al-Qur’ān itu benar-benar menimbulkan penyesalan bagi orang-orang kafir (di akhirat). (al-Ḥāqqah [69]: 50)

(وَ إِنَّهُ) “Sungguh, ia” ya‘ni al-Qur’ān itu – (لَحَسْرَةٌ) “benar-benar menimbulkan penyesalan” ya‘ni penyesalan yang luar biasa – (عَلَى الْكَافِرِيْنَ) “bagi orang-orang kafir” di akhirat ketika mereka menyaksikan pahala yang diterima oleh kaum mu’min. Demikian pula di dunia, apabila mereka melihat negara kaum muslim berdiri dengan kokoh.

Muqātil mengatakan bahwa sesungguhnya pendustaan mereka terhadap al-Qur’ān benar-benar menjadi penyesalan bagi mereka.

 

وَ إِنَّهُ لَحَقُّ الْيَقِيْنِ.

69: 51. Sungguh, al-Qur’ān itu benar-benar kebenaran yang meyakinkan. (al-Ḥāqqah [69]: 51)

(وَ إِنَّهُ لَحَقُّ الْيَقِيْنِ.) “Sungguh, al-Qur’ān itu benar-benar kebenaran yang meyakinkan” ya‘ni sesungguhnya al-Qur’ān itu adalah kebenaran yang meyakinkan, bahwa ia adalah Kalām-Ku yang diturunkan kepada Rasūl yang mulia melalui Jibrīl

Menurut pendapat lain disebutkan bahwa sesungguhnya penyesalan yang menimpa orang-orang kafir pada hari Kiamat merupakan kebenaran yang meyakinkan.

 

فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ.

69: 52. Oleh karena itu, bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu Yang Maha Besar. (al-Ḥāqqah [69]: 52)

(فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ.) “Oleh karena itu, bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu Yang Maha Besar” ya‘ni sebutkanlah keesaan Tuhanmu Yang Maha Besar dengan menyucikan-Nya dari hal-hal yang tidak layak bagi keagungan-Nya secara tulus, sebagai ungkapan syukurmu kepada-Nya atas wahyu yang telah diturunkan kepadamu dari sisi-Nya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *