Surah al-Ḥāqqah [69]: 38-52.
فَلَا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُوْنَ. وَ مَا لَا تُبْصِرُوْنَ. إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ. وَ مَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ قَلِيْلًا مَا تُؤْمِنُوْنَ. وَ لَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ قَلِيْلًا مَا تَذَكَّرُوْنَ. تَنْزِيْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَ لَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيْلِ. لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِيْنِ. ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِيْنَ. فَمَا مِنْكُمْ مِّنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِيْنَ. وَ إِنَّهُ لَتَذْكِرَةٌ لِّلْمُتَّقِيْنَ. وَ إِنَّا لَنَعْلَمُ أَنَّ مِنْكُمْ مُّكَذِّبِيْنَ. وَ إِنَّهُ لَحَسْرَةٌ عَلَى الْكَافِرِيْنَ. وَ إِنَّهُ لَحَقُّ الْيَقِيْنِ. فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ.
69: 38. Maka Aku bersumpah demi apa yang kamu lihat.
69: 39. Dan demi apa yang tidak kamu lihat.
69: 40. Sesungguhnya ia (al-Qur’ān itu) benar-benar wahyu (yang diturunkan kepada) Rasūl yang mulia,
69: 41. dan ia (al-Qur’ān) bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.
69: 42. Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya.
69: 43. Ia (al-Qur’ān) adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan seluruh alam.
69: 44. Dan sekiranya dia (Muḥammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami,
69: 45. pasti Kami pegang dia pada tangan kanannya.
69: 46. Kemudian Kami potong pembuluh jantungnya.
69: 47. Maka tidak seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami untuk menghukumnya).
69: 48. Dan sungguh, al-Qur‘ān itu pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.
69: 49. Dan sungguh, Kami mengetahui bahwa di antara kamu ada orang yang mendustakan.
69: 50. Dan sungguh, al-Qur’ān itu akan menimbulkan penyesalan bagi orang-orang kafir (di akhirat).
69: 51. Dan sungguh, al-Qur’ān itu kebenaran yang meyakinkan.
69: 52. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu Yang Maha Agung.
(al-Ḥāqqah [69]: 38-52).
(تَذَكَّرُوْنَ), (تُؤْمِنُوْنَ) dibaca:
(يَذَّكَّرُوْنَ), (يُؤْمِنُوْنَ) ini adalah bacaan Ibnu Katsīr dan Ibnu ‘Āmir, dengan adanya perbedaan pada Ibnu Dzakwān.
(تَذَّكَّرُوْنَ), (تُؤْمِنُوْنَ) adalah bacaan Nāfi‘ dan Abī ‘Amr. Ini adalah bacaan kedua Ibnu Dzakwān.
(تَذَكَّرُوْنَ), (تُؤْمِنُوْنَ) ini adalah bacaan imām-imām yang lain.
(قَلِيْلًا مَا تُؤْمِنُوْنَ.) adalah sifat dari maf‘ūl muthlaq pada (تُؤْمِنُوْنَ) artinya (تُصَدِّقُوْنَ تَصْدِيْقًا قَلِيْلًا.) “kamu membenarkan sedikit”. (مَا) adalah zā’idah untuk ta’kīd (menguatkan ma‘na).
(تَنْزِيْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعَالَمِيْنَ.) kata (تَنْزِيْلٌ) adalah khabar dari mubtada’ yang dibuang. Taqdīr-nya (هو تنزيل).
(فَمَا مِنْكُمْ مِّنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِيْنَ.) kata (مِّنْ أَحَدٍ) dalam posisi rafa‘ sebab dia isim dari (فَمَا) sebab (مِنْ) adalah tambahan yang berfungsi menguatkan penafian. Sementara kalimat (مِنْكُمْ) adalah ḥāl dari kata (أَحَدٍ). Sedang kata (حَاجِزِيْنَ) adalah khabar dari (فَمَا), kata (عَنْهُ) dalam posisi nashab sebab ta‘alluq (terkait) dengan (حَاجِزِيْنَ). Taqdīr-nya (فَمَا مِنْكُمْ أَحَدٌ حَاجِزِيْنَ عَنْهُ). Kata (حَاجِزِيْنَ) dijama‘kan meskipun ia sifat dari (أَحَد) sebab dalam hal ma‘na ia jama‘. Jadi kata (حَاجِزِيْنَ) dibuat dalam bentuk jama‘ karena memperhatikan ma‘nanya. Ma‘nanya adalah umum, khithāb-nya adalah untuk semua manusia. Sebab kata (أَحَدٍ) yang ada dalam konteks nafi mempunyai ma‘na umum. Seperti (لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ) “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasūl-rasūlNya”, (al-Baqarah [2]: 285). Kata (مِنْكُمْ) tidak bisa membatalkan ‘amal (pengaruh) (فَمَا) karena pemisah yang berbentuk jārr-majrūr dan zharaf tidak berpengaruh.
(فَلَا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُوْنَ. وَ مَا لَا تُبْصِرُوْنَ.) antara keduanya terdapat ath-Thibāq salab (keserasian dalam bentuk negatif).
(فَلَا أُقْسِمُ) tidak ada kebutuhan untuk bersumpah karena perkara yang ada sudah jelas dan tidak membutuhkan penegasan dengan sumpah, atau yang dimaksud dengan gaya kalimat ini adalah sumpah itu sendiri. Artinya maka aku bersumpah. Kalimat ini ada di permulaan. Sementara (لَا) adalah (لَا الزَّائِدَة).
(بِمَا تُبْصِرُوْنَ) barang-barang yang nyata dan makhluq-makhluqNya yang kalian lihat.
(وَ مَا لَا تُبْصِرُوْنَ) apa yang tidak jelas dari diri kalian. Ini adalah sumpah dengan barang-barang yang nyata dan yang tidak kelihatan. Ini mencakup Pencipta makhluq dan semua makhluq-Nya.
(إِنَّهُ) artinya al-Qur’ān.
(لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ.) ucapan Jibrīl atau Nabi Muḥammad s.a.w., rasūl yang mulia di sisi Allah, yang menyampaikan wahyu dari Allah s.w.t. Sesungguhnya rasūl tidak berkata dari dirinya sendiri. Yang dimaksud di sini adalah Nabi Muḥammad s.a.w. menurut pendapat sebagian besar ‘ulamā’. Adapun yang dimaksud dalam surah at-Takwīr adalah Jibrīl a.s. menurut pendapat sebagian besar ‘ulamā’.
(وَ مَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ) sebagaimana dugaan mereka sebab rasūl bukanlah seorang penyair, tidak pula perkataan seorang dukun sebagaimana dugaan mereka juga.
(وَ لَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ) Yang dimaksud dukun di sini (الكاهن) mereka adalah orang yang mengaku mengetahui hal yang ghaib.
(قَلِيْلًا مَا تَذَكَّرُوْنَ.) kalian membenarkannya sedikit sekali. Kata sedikit adalah sesuai dengan ma‘nanya yang zhāhir. Az-Zamakhsyarī membawa ma‘na (قَلِيْلًا) sedikit di sini untuk pengertian tidak ada dan ma‘na penafian. Artinya, kalian tidak beriman sama sekali. Abū Ḥayyān berkata yang dimaksud (قَلِيْلًا)/sedikit di sini bukanlah penafian murni sebagaimana dugaan az-Zamakhsyarī sebab yang berma‘na murni nafi tidak ada dalam bentuk nashab, tetapi dalam keadaan rafa.‘
(مَا تَذَكَّرُوْنَ) apa yang kalian ambil sebagai pelajaran. Ada yang membaca (يَذَكَّرُوْنَ) dengan yā’. (مَا) di sini ditambahkan untuk penguatan ma‘na.
Kesimpulan: Mereka mengimani hal-hal yang sedikit. Kalian menjadikannya pelajaran pada apa yang dibawa oleh Nabi Muḥammad s.a.w., ya‘ni kebaikan, silaturahim, penjagaan kehormatan diri. Kamu tidak bisa lepas dari mereka sama sekali.
(تَنْزِيْلٌ) tetapi itu adalah wahyu yang diturunkan.
(تَقَوَّلَ) maksudnya adalah Muḥammad membuat-buat berita diungkapkan dengan (تَقَوَّلَ) sebab itu adalah ucapan yang dibuat-buat. Ucapan-ucapan yang dibuat-buat adalah (أَقَاوِيْلِ). Ini digunakan untuk merendahkan nilai ucapan-ucapan yang dibuat-buat itu.
(لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِيْنِ.) Kami akan meraihnya dengan siksa yang Kami berikan dengan segenap kekuatan dan kekuasaan.
(الْوَتِيْنَ) maksudnya tali jantung, yaitu urat yang bersambung dengan jantung. Jika terputus, pemiliknya (orangnya) akan mati.
(فَمَا مِنْكُمْ مِّنْ أَحَدٍ عَنْهُ) tidak seorang pun yang bisa menghalangi pembunuhan itu atau menghalangi Nabi.
(حَاجِزِيْنَ) menghalangi atau menolak. Yang dimaksud adalah tidak ada yang menghalangi Kami untuk menghukum.
(وَ إِنَّهُ لَتَذْكِرَةٌ لِّلْمُتَّقِيْنَ.) sesungguhnya al-Qur’ān adalah nasihat untuk orang-orang yang bertaqwa sebab merekalah yang bisa mengambil manfaat dari al-Qur’ān itu. Sesungguhnya di antara kalian, wahai manusia, ada yang mendustakan al-Qur’ān dan ada yang membenarkannya.
(وَ إِنَّهُ لَحَسْرَةٌ عَلَى الْكَافِرِيْنَ.) sesungguhnya al-Qur’ān benar-benar menjadi penyesalan mereka ketika mereka melihat pahala orang-orang Mu’min yang membenarkannya dan hukuman orang-orang yang mendustakannya.
(وَ إِنَّهُ لَحَقُّ الْيَقِيْنِ.) sesungguhnya al-Qur’ān adalah diyakini kebenarannya, tidak ada keraguan di dalamnya.
(فَسَبِّحْ) sucikanlah Allah dengan menyebut nama-Nya yang Agung dengan bentuk penyucian karena kerelaan dengan mengucapkan pujian itu, juga mensyukuri apa yang diwahyukan kepadamu. Bā’ pada kata (بِاسْمِ) adalah zā’idah (tambahan).
Muqātil mengatakan bahwa sebab turun ayat-ayat tersebut adalah Walīd bin Mughīrah berkata: “Sesungguhnya Muḥammad adalah tukang sihir.” Abū Jahal mengatakan: “penyair”. ‘Uqbah mengatakan “dukun”. Allah s.w.t. berfirman: (فَلَا أُقْسِمُ) “Aku bersumpah”.
Setelah mengabarkan kemunginan terjadinya hari Kiamat dan menjelaskan keadaan orang-orang yang bahagia dan celaka di hari Kiamat, Allah menutup firman-Nya dengan pengagungan al-Qur’ān, pembuktian bahwa itu adalah kalāmullāh yang diturunkan pada jantung rasūl-Nya, Muḥammad s.a.w.
“Maka Aku bersumpah demi apa yang kamu lihat. Dan demi apa yang tidak kamu lihat. Sesungguhnya ia (al-Qur’ān itu) benar-benar wahyu (yang diturunkan kepada) Rasūl yang mulia”. (al-Ḥāqqah [69]: 38-40).
Aku bersumpah kepada makhluq-Ku dengan makhluq-makhluq yang kalian saksikan yang menunjukkan kesempurnaan nama-namaKu dan sifat-sifatKu, juga dengan barang-barang ghaib yang samar dari kalian. Atau artinya adalah Aku bersumpah dengan itu semua, baik yang tampak atau yang tidak, bahwa al-Qur’ān adalah kalāmullāh, wahyu yang diturunkan kepada hamba-Nya, rasūl-Nya yang Dia pilih untuk menyampaikan risalah dan amanah. Al-Qur’ān adalah bacaan rasūl yang mulia, ucapan yang disampaikan oleh rasūl yang mulia yang disampaikan dari Allah melalui risalah.
Idhāfah kepada rasūl untuk ma‘na tablīgh (penyampaian) karena rasūl keadaannya adalah menyampaikan dari Yang mengirim/mengutus. Penyebutan kata “rasūl” adalah isyarat bahwa al-Qur’ān ini bukanlah ucapan rasūl sendiri. Akan tetapi, ucapan yang disampaikan dari Allah melalui risalah. Penyifatan rasūl dengan sifat mulia adalah petunjuk akan amanahnya dan bahwasanya rasūl bukanlah orang yang mengubah risalah karena tamak akan barang-barang dunia yang hina.
Mayoritas ‘ulamā’ berpendapat bahwa rasūl yang mulia di sini adalah Muḥammad s.a.w., sebab disebutkan setelahnya bahwa al-Qur’ān bukanlah ucapan penyair; bukan pula dukun. Sementara kaum kuffār tidak pernah menyifati Jibrīl dengan sifat syi‘ir dan perdukunan. Mereka hanya menyifati hal-hal itu pada Nabi Muḥammad s.a.w.
Sementara dalam surah at-Takwīr, mayoritas ‘ulamā’ berpendapat bahwa itu adalah Jibrīl a.s. sebab sifat-sifat yang ada sesudahnya sesuai dengan Jibrīl. Sebagaimana akan dijelaskan.
“Dan ia (al-Qur’ān) bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya”. (al-Ḥāqqah [69]: 41).
Artinya, al-Qur’ān bukanlah ucapan penyair sebagaimana dugaan kalian karena Nabi Muḥammad s.a.w. bukanlah penyair, juga karena ayat-ayat al-Qur’ān bukanlah termasuk dalam kelompok syi‘ir. Sementara itu, kalian sedikit mengimaninya dan membenarkannya hanya sekadarnya. Kata “sedikit” di sini sesuai dengan zhāhir ma‘nanya, ya‘ni pengakuan mereka ketika ditanya: “Siapa yang menciptakan kalian?” Mereka menjawab: “Allah”. Kemungkinan juga bahwa yang disifati dengan sifat sedikit adalah keimanan lughawi sebab mereka telah membenarkan beberapa hal yang remeh dan tidak bermanfaat bagi mereka sama sekali. Mereka membenarkan bahwa kebaikan, silaturahim, penjagaan diri, dan sebagainya yang diperintahkan oleh Rasūlullāh s.a.w. adalah kebenaran.
Allah hanya berfirman (menunjuk pada orang-orang kafir) ketika menafikan sifat syair dari diri Nabi Muḥammad dengan firman-Nya: (قَلِيْلًا مَا تُؤْمِنُوْنَ.) “Sedikit sekali kamu beriman kepadanya”, dan ketika menafikan sifat dukun Dia berfirman (قَلِيْلًا مَا تَذَكَّرُوْنَ.) “Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya”. Sebab penafian sifat syi‘ir dari al-Qur’ān adalah seperti hal yang jelas dan riil.
Adapun dari sisi lafal, itu akan tampak sebab syi‘ir adalah ucapan yang disusun, dirangkai, dan diakhiri qafiyah, sedang al-Qur’ān tidaklah demikian, kecuali jarang sekali dan tidak bisa dijadikan standar. Adapun dari sisi khayalan karena al-Qur’ān di dalamnya ada dasar-dasar semua pengetahuan, kebenaran, bukti nyata, dalil-dalil yang bermanfaat untuk pembenaran jika orang yang mendapatkan beban kewajiban adalah termasuk orang yang membenarkan dan tidak membangkang.
Penafsiran sifat dukun dari al-Qur’ān memerlukan perenungan sebab ucapan dukun hanyalah sajak-sajak yang tidak ada ma‘nanya, situasi-situasi yang tidak sesuai dengan tabiat manusia. Demikian juga dalam al-Qur’ān, ada pengecaman terhadap syaithan dan celaan terhadap kelakuan mereka. Dukun-dukun adalah teman syaithan. Bagaimana mereka bisa rela dengan penampakan kejelekan-kejelekan mereka? (47).
“Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya”. (al-Ḥāqqah [69]: 42).
Al-Qur’ān bukanlah ucapan dukun, sedikit sekali kamu mengambil pelajaran. Artinya, al-Qur’ān bukanlah ucapan dukun, ya‘ni orang yang mengaku mengetahui hal ghaib di masa yang akan datang sebagaimana dugaan kalian. Sesungguhnya dukun adalah hal lain yang tidak bisa digabungkan dengan al-Qur’ān, juga karena al-Qur’ān datang untuk mencela syaithan. Oleh karena itu, tidak bisa dinalar bahwa al-Qur’ān datang dengan ilham mereka, tetapi kalian sedikit sekali mengambil pelajaran darinya. Oleh karena itu, hal ini akan ambigu bagi kalian. Kami tidak akan bisa mengambil pelajaran dari susunan al-Qur’ān dan kandungannya akan pencacian terhadap syaithan. Lalu kamu mengatakan. Itu adalah perdukunan. Kemudian, Allah menjelasan apa yang dimaksudkan. Dia berfirman:
“Ia (al-Qur’ān) adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan seluruh alam”. (al-Ḥāqqah [69]: 43).
Al-Qur’ān diturunkan dari Tuhan seru sekalian alam, Tuhan manusia dan jinn dan diturunkan oleh Jibrīl al-Amīn pada hati rasul-Nya, Muḥammad s.a.w. Al-Qur’ān adalah perkataan utusan ini. Artinya, utusan ini (Jibrīl) menyampaikan kepada Nabi Muḥammad dari Dzāt Yang Mengutus. Dialah yang menampakkannya kepada makhluk, menyeru manusia untuk mengimaninya dan menjadikannya argumen untuk kenabiannya.
رَوَى الْإِمَامُ أَحْمَدُ عَنْ شُرَيْحٍ بْنِ عُبَيْدٍ قَالَ: قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: خَرَجْتُ أَتَعَرَّضُ رَسُوْلَ اللهِ (ص) قَبْلَ أَنْ أُسْلِمَ، فَوَجَدْتُهُ قَدْ سَبَقَنِيْ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَقُمْتُ خَلْفَهُ، فَاسْتَفْتَحَ سُوْرَةَ الْحَاقَّةِ، فَجَعَلْتُ أَعْجَبُ مِنْ تَأْليْفِ الْقُرْآنِ، قَالَ: فَقُلْتُ: كَاهِنٌ، قَالَ: فَقَرَأَ: (وَ لَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ قَلِيْلًا مَا تَذَكَّرُوْنَ. تَنْزِيْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَ لَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيْلِ. لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِيْنِ. ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِيْنَ. فَمَا مِنْكُمْ مِّنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِيْنَ.) إِلَى آخر السورة، قَالَ: فَوَقَعَ الْإِسْلَامُ فِيْ قَلْبِيْ كُلَّ مَوْقِعٍ.
“Imām Aḥmad meriwayatkan dari Syuraiḥ bin ‘Ubaid, dia berkata: “‘Umar bin Khaththāb berkata: Aku keluar untuk menentang Rasūlullāh s.a.w., – sebelum aku masuk Islam – aku menemukannya telah lebih dulu datang ke masjid, lalu aku membuntutinya. Dia mulai membaca surah al-Ḥāqqah, aku mulai kagum dengan susunan bahasa al-Qur’ān. Lalu aku berkata: “Dia dukun”, Nabi membaca: “Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya. Ia (al-Qur’ān) adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan seluruh alam. Sekiranya dia (Muḥammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, pasti Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian Kami potong pembuluh jantungnya. Maka tidak seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami untuk menghukumnya)…..” sampai akhir surat. Lalu Islam benar-benar telah jatuh di hatiku. Ibnu Katsīr berkata: “Ini adalah salah satu dari alasan alasan di mana Allah menjadikannya sebagai pengaruh hidayah terhadap ‘Umar r.a.”
Kemudian, Allah menegaskan bahwa Nabi Muḥammad s.a.w. tidak mampu membuat-buat al-Qur’ān.
“Dan sekiranya dia (Muḥammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, pasti Kami pegang dia pada tangan kanannya”. (al-Ḥāqqah [69]: 44-45).
Kalau saja Muḥammad atau Jibrīl membuat-buat sedikit saja dari ucapan-ucapan yang batil, dia membuatnya sendiri lalu menisbahkannya kepada Allah, misalnya, niscaya Kami akan memegangnya dengan kuat, segera Aku siksa dan Aku balas. Niscaya Kami akan memegang tangan kanannya, sebagaimana seseorang yang hendak dibunuh. Yang dimaksud dengan (بِالْيَمِيْنِ) adalah kekuatan. Sebagaimana ucapan asy-Syammākh:
إِذَا مَا رَايَةٌ رُفِعَتْ لِمَجْدٍ تَلَقَّهَا عُرَابَةٌ بِالْيَمِيْنِ.
“Ketika panji diangkat demi kejayaan. Maka ‘Urābah menerimanya dengan kuat.”
“Kemudian Kami potong pembuluh jantungnya”. (al-Ḥāqqah [69]: 46).
Kemudian Kami potong tali jantungnya. Yaitu urat yang bersambung dari jantung kepala. Jika terputus, orangnya akan mati. Ini adalah gambaran pembinasaan dengan cara yang paling bengis dan kejam yang dilakukan oleh para raja kepada orang-orang yang dimurkai.
“Maka tidak seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami untuk menghukumnya)”. (al-Ḥāqqah [69]: 47).
Tidak ada seorang pun dari kalian yang menghalangi-Ku, menahan-Ku darinya atau menyelamatkannya dari Kami. Bagaimana dia berani membuat-buat kebohongan pada Allah demi kalian? Kata (حَاجِزِيْنَ) dibuat dalam bentuk jama‘ (plural) karena demi melihat ma‘nanya. Sebab firman Allah (مِّنْ أَحَدٍ) adalah dalam ma‘na jama‘. Di mana terjadi penegasan umum baik untuk tunggal (mufrad), jama‘, mudzakkar (laki-laki) atau mu’annats (perempuan). Seperti firman Allah:
“Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasūl-rasūlNya.” (al-Baqarah [2]: 285).
Juga firman-Nya:
“Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain.” (al-Aḥzāb: 32).
Yang dimaksud adalah tak seorang pun yang bisa mencegah Kami untuk menghukum rasūl atau membunuhnya.
Kemudian, Allah menyebutkan sifat-sifat dan manfaat-manfaat al-Qur’ān.
“Dan sungguh, al-Qur‘ān itu pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa”. (al-Ḥāqqah [69]: 48).
Sesungguhnya al-Qur’ān adalah nasihat, peringatan bagi orang-orang yang bertaqwa yang takut pada siksa Allah dengan menaati perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya. Seperti firman Allah s.w.t.:
“Sebagai petunjuk kepada orang-orang yang bertaqwa.” (al-Baqarah [2]: 2).
Kata orang-orang yang bertaqwa disebut secara khusus karena mereka adalah orang-orang yang bisa mengambil manfaat pada al-Qur’ān. Ini sesuai bahwa Allah mengancam orang-orang yang mendustakannya dengan firman-Nya:
“Dan sungguh, Kami mengetahui bahwa di antara kamu ada orang yang mendustakan”. (al-Ḥāqqah [69]: 49).
Kami meyakini bahwa sebagian dari kalian mendustakan al-Qur’ān, karena kufur dan ingkar. Kami akan membalas mereka karena hal itu. Sebagian dari kalian membenarkan al-Qur’ān karena Dia memberi petunjuk pada kebenaran. Di sini, ada ancaman keras pada orang-orang yang mendustakan al-Qur’ān:
“Dan sungguh, al-Qur’ān itu akan menimbulkan penyesalan bagi orang-orang kafir (di akhirat)”. (al-Ḥāqqah [69]: 50).
Al-Qur’ān menjadi penyesalan orang-orang kafir pada hari Kiamat ketika mereka melihat pahala orang-orang Mu’min dan anugerah Allah kepada mereka.
“Dan sungguh, al-Qur’ān itu kebenaran yang meyakinkan”. (al-Ḥāqqah [69]: 51).
Al-Qur’ān adalah berita yang benar, yakin kebenarannya yang tidak ada keraguan dan kebimbangan di dalamnya karena al-Qur’ān dari sisi Allah, bukan ucapan Muḥammad s.a.w.
“Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu Yang Maha Agung”. (al-Ḥāqqah [69]: 52).
Sucikanlah Allah yang menurunkan al-Qur’ān yang agung ini dari hal-hal yang tidak pantas untuk-Nya dengan membaca tasbīḥ, yaitu bacaan (سبحان الله). Ridhā dengan ucapan itu untuk-Nya, mensyukuri Allah atas apa yang diwahyukan kepadamu.
Nama Tuhan adalah setiap ucapan yang menunjukkan Dzāt Yang Maha Suci, atau salah satu sifat-Nya seperti Allah, ar-Raḥmān, ar-Raḥīm. Penyucian nama tertentu Allah artinya penyucian Dzāt-Nya. Oleh karena itu, bā’ pada (بِاسْمِ) adalah bā’ zā’idah.
Ayat-ayat di atas menunjukkan hal-hal berikut ini.
6. Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk bertasbih untuk-Nya dan menyucikan-Nya dari semua yang tidak pantas untuk-Nya karena bersyukur kepada-Nya atas wahyu yang diberikan atau atas penjagaan Allah dari berbuat kebohongan atas Dzāt Allah.