Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir al-Munir – az-Zuhaili (2/6)

Dari Buku:
Tafsir al-Munir
(Jilid 15 Juz 29-30)
Oleh: Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili

Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk.
Penerbit: GEMA INSANI

Rangkaian Pos: Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir al-Munir - az-Zuhaili

Mufradāt Lughawiyyah.

(الْحَاقَّةُ) saat yang pasti datangnya, yang wajib terjadi, yaitu hari Kiamat yang benar. Artinya, terbukti dan wajib terjadi juga kebangkitan, perhitungan dan balasan yang terkandung di dalamnya yang diingkari oleh orang-orang yang ingkar.

(مَا الْحَاقَّةُ) apa itu dia?, isim zhāhir (الْحَاقَّةُ) ditempatkan dalam posisi isim dhamīr demi membesarkan keadaan Kiamat dan pengagungan kegentingannya.

(وَ مَا أَدْرَاكَ مَا الْحَاقَّةُ.) apa yang memberitahukan kamu, apa itu Kiamat? Artinya kamu tidak mengetahui keadaan Kiamat. Ia adalah lebih besar daripada yang diketahui oleh siapa pun. Susunan kalimat ini menambah keagungan keadaan hari Kiamat.

(بِالْقَارِعَةِ) hari Kiamat yang mengetuk hati dengan kejutan dan menggoncangkan diri dengan kegentingannya, benda-benda dengan terbelah dan tercerai-berai. Lafal (الْحَاقَّةُ) ditempatkan dalam posisi dhamīr sebagai tambahan mengenai sifat kedahsyatannya.

(بِالطَّاغِيَةِ) kejadian yang melampaui batas dalam kedahsyatan dan kekuatan, yaitu jeritan atau getaran hebat, artinya gelegar. Sebab kebinasaan mereka adalah karena mereka mendustakan hari Kiamat, juga karena kesombongan mereka dengan bentuk kekufuran dan maksiat-maksiat.

(بِرِيْحٍ صَرْصَرٍ) suara yang keras dan sangat dingin. Ia berasal dari lafal (الصَّرَّةُ) jeritan atau dari (الصِّرُّ) dingin yang memukul tumbuhan dan ladang.

(عَاتِيَةٍ) artinya sangat kuat, angin topan.

(سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ) Dia menguasakan angin kencang itu atas mereka dengan kekuasaan-Nya.

(سَبْعَ لَيَالٍ وَ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ) al-Maḥallī mengatakan permulaannya dari Rabu pagi selama delapan hari pada bulan Syawwāl, terjadi pada penghujung musim dingin. Ini adalah hari-hari ‘ajūz atau ‘ajā’iz. Dinamakan ‘ajūz karena ia ada di penghujung musim dingin.

(حُسُوْمًا) artinya berturut-turut. Atau dari kata (الحسم) yaitu pemotongan dan penumpasan.

(فَتَرَى الْقَوْمَ) artinya jika kamu ada pada waktu angin itu bertiup atau di malam-malam dan hari-hari itu.

(صَرْعَى) mati terhempas dan binasa. Lafal (صَرْعَى) adalah jama‘ dari (صَرِيْع).

(أَعْجَازُ نَخْلٍ) tonggak pohon kurma.

(خَاوِيَةٍ) jatuh roboh.

(مِّنْ بَاقِيَةٍ) diri yang tersisa. Atau (بَقَاء) “keabadian”, (بَقِيَّة) “sisa” atau (بَاق) “yang tersisa”, sementara tā’-nya adalah untuk mubālaghah.

(وَ مَنْ قَبْلَهُ) umat-umat kafir sebelumnya. Dibaca pula (وَ مَنْ قِبَلَهُ) para pengikut dan tentara Fir‘aun.

(وَ الْمُؤْتَفِكَاتُ) negeri-negeri yang dijungkirbalikkan, ya‘ni negeri-negeri kaum Lūth. Yang dimaksud adalah penduduk negeri-negeri itu.

(بِالْخَاطِئَةِ) karena kesalahan atau perbuatan salah.

(فَعَصَوْا رَسُوْلَ رَبِّهِمْ) setiap umat membangkang rasūl mereka.

(رَّابِيَةً) berlebih dalam kedahsyatan dan perbuatan buruk mereka. Dari kata (رَبَا الشَّيْء) lebih.

(طَغَى الْمَاءُ) melebihi batasnya yang wajar. Meninggi di atas segala sesuatu dari pegunungan dan lainnya pada masa topan itu.

(حَمَلْنَاكُمْ) Kami bawa nenek moyang kamu sementara kamu dalam tulang rusuk mereka.

(الْجَارِيَة) kapal yang berlayar di air. Itu adalah kapal yang dibuat oleh Nabi Nūḥ a.s. dengan ilham Allah dan pengajaran-Nya. Nabi Nūḥ a.s. dan orang-orang Mu’min bersamanya selamat, sementara yang lain tenggelam,

(لِنَجْعَلَهَا لَكُمْ) agar Kami jadikan perbuatan itu, ya‘ni penyelamatan orang-orang Mu’min, pembinasaan dan penenggelaman orang-orang kafir.

(تَذْكِرَةً) nasihat.

(وَ تَعِيَهَا) dihafalkan, dijaga.

(أُذُنٌ وَاعِيَةٌ) telinga-telinga yang menjaga/menghafalkan apa yang didengar. Artinya, keadaannya menjaga apa yang harus dijaga untuk menjadikannya pelajaran, menyebarkannya, merenungkannya, dan mengamalkan isinya. Kata (أُذُنٌ) di-nakirah-kan untuk menunjukkan sedikit sekali.

Tafsir dan Penjelasan

Allah membuka surah al-Ḥāqqah ini dengan firman-firman yang menunjukkan keagungan keadaan hari Kiamat, kebesaran urusannya dan kegentingan hari kejadiannya. Allah berfirman:

Hari Kiamat, apakah hari Kiamat itu? Dan tahukah kamu apakah hari Kiamat itu?” (al-Ḥāqqah [69]: 1-3).

Al-Ḥāqqah di sini adalah hari Kiamat. Hari Kiamat dinamakan al-Ḥāqqah karena banyak perkara terjadi secara nyata pada hari itu, terbukti dan akan terwujud tanpa keraguan dan kebimbangan. Al-Ḥāqqah adalah hari kebenaran karena pada hari itu kebenaran-kebenaran akan tampak.

Ma‘nanya adalah hari Kiamat di dalamnya terdapat janji dan ancaman, waktu yang mesti terjadi, yang terbukti datangnya menjadi nyata. Artinya, apakah hari Kiamat itu, keadaan, dan sifat-sifatnya? Hari Kiamat adalah hari yang sangat agung keadaannya, sangat genting, tidak ada yang mengetahui hakikatnya, tidak ada yang bisa menggambarkan sifat-sifatnya, selain Allah s.w.t. Apa saja yang akan Aku ajarkan kepadamu tentang Kiamat wahai Nabi utusan Allah? Hari Kiamat itu keluar dari wilayah pengetahuan para makhluq karena keagungan keadaannya dan kegentingannya yang dahsyat.

Yaḥyā bin Salām mengatakan saya diberitahu bahwa semua lafal dalam al-Qur’ān (وَ مَا أَدْرَاكَ) menunjukkan bahwa Nabi sudah mengetahuinya. Sedangkan semua lafal (وَ مَا يُدْرِيْكَ) menunjukkan bahwa Nabi belum mengetahuinya.

Sufyān bin ‘Uyainah berkata semua lafal dalam al-Qur’ān yang berbunyi (وَ مَا أَدْرَاكَ) menunjukkan bahwa Nabi sudah diberi tahu. Semua lafal dalam al-Qur’ān yang berbunyi (وَ مَا يُدْرِيْكَ) menunjukkan bahwa Nabi belum diberi tahu.

Kemudian, Allah menyebutkan macam-macam siksa yang dijatuhkan kepada umat-umat terdahulu yang mendustakan hari Kiamat untuk menakut-nakuti penduduk Makkah dan lainnya. Allah s.w.t. berfirman:

Kaum Tsamūd, dan ‘Ād telah mendustakan hari Kiamat.” (al-Ḥāqqah [69]: 4).

Kabilah Tsamūd – kaum Nabi Shāliḥ – kabilah ‘Ād – kaum Nabi Hūd – , mendustakan hari Kiamat, yaitu hari yang mengetuk manusia karena kegentingannya. Yang dimaksudkan adalah meledak dan tercerai-berai. Kemudian, Allah memerinci macam siksa dan akibatnya. Dia berfirman:

Maka adapun kaum Tsamūd, mereka telah dibinasakan dengan suara yang sangat keras.” (al-Ḥāqqah [69]: 5).

Adapun kelompok kaum Tsamūd – Nabi Shāliḥ – mereka benar-benar dibinasakan dengan kejadian yang luar biasa, yaitu teriakan, guntur, atau getaran yang melampaui batas kedahsyatan. Sebagaimana firman Allah s.w.t.:

Kemudian suara yang mengguntur menimpa orang-orang zhalim itu.….” (Hūd: 67).

Artinya guntur. Allah s.w.t. berfirman:

Lalu datanglah gempa menimpa mereka, dan mereka pun mati bergelimpangan di dalam reruntuhan rumah mereka.” (al-A‘rāf: 78-91).

Rajfah di sini artinya gempa. Lafalnya berlainan, tetapi maknanya sama.

sedangkan kaum ‘Ād, mereka telah dibinasakan dengan angin topan yang sangat dingin, Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus” (al-Ḥāqqah [69]: 6-7).

Adapun kabilah ‘Ād – kaum Hūd – mereka dibinasakan dengan angin yang bersuara kencang, sangat dingin, keras dan kencang, melampaui batas kedahsyatannya, terjadi dalam tempo yang lama dan sangat dingin serta membinasakan mereka tanpa belas kasih. Allah menguasakan pada angin dan mengirimkannya kepada mereka dalam tempo terus-menerus, yaitu tujuh malam, delapan hari, tidak terputus dan tidak pernah tenang. Angin itu membunuh mereka dengan batu-batuan, terus-menerus, dan membinasakan mereka. Artinya, membinasakan dan menyirnakan mereka. Kebiasaan al-Qur’ān adalah mendahulukan kisah ‘Ād daripada kisah Tsamūd, tetapi di sini dibalik karena kisah Tsamūd dibangun dengan bentuk sangat singkat. Termasuk kebiasaan orang ‘Arab adalah mendahulukan yang lebih ringkas.

….Maka kamu lihat kaum ‘Ād pada waktu itu mati bergelimpangan seperti batang-batang pohon kurma yang telah kosong (lapuk). Maka kamu tidak melihat seorang pun yang tersisa di antara mereka”. (al-Ḥāqqah [69]: 7-8).

Jika kamu ada, kamu akan melihat kaum itu ada di rumah mereka atau pada hari-hari dan malam-malam itu dalam keadaan terkapar mati di tanah. Seakan-akan mereka adalah tonggak-tonggak pohon kurma yang tumbang atau rusak, tidak tersisa seorang pun dari mereka. Apakah kamu merasakan dari salah seorang mereka yang tersisa? Bahkan mereka telah binasa, tidak menyisakan yang lain. Allah tidak menjadikan pengganti mereka, sebagaimana tersebut dalam firman Allah s.w.t.:

“…. Sehingga mereka (kaum ‘Ād) menjadi tidak tampak lagi (di bumi) kecuali hanya (bekas-bekas) tempat tinggal mereka…..” (al-Aḥqāf: 25).

Tersebut dalam kitab shaḥīḥ Bukhārī-Muslim dari Rasūlullāh s.a.w., beliau bersabda:

Aku diberi kemenangan dengan angin timur, kaum ‘Ad dibinasakan dengan angin barat.

Kemudian datang Fir‘aun dan orang-orang yang sebelumnya dan (penduduk) negeri-negeri yang dijungkirbalikkan karena kesalahan yang besar”. (al-Ḥāqqah [69]: 9).

Orang yang sewenang-wenang (Fir‘aun) juga orang-orang sebelumnya yang kafir dan kaum yang dibolak-balikkan (kampung kaum Lūth) karena melakukan perbuatan dosa, yaitu syirik dan maksiat:

Maka mereka mendurhakai utusan Tuhannya, Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat keras”. (al-Ḥāqqah [69]: 10).

Artinya masing-masing umat membangkang kepada rasūl yang diutus untuk mereka. Lalu, Allah membinasakan mereka dan menghancurkannya. Dia menindak mereka dengan tindakan yang pedih, keras melebihi hukuman-hukuman orang-orang kafir dan umat-umat yang lain.

Mirip dengan awal ayat ini, adalah firman Allah s.w.t.:

Semua mereka itu mendustakan rasūl-rasūl, maka pantas mereka merasakan ‘adzab-Ku.” (Shād: 14).

Juga firman-Nya:

Semuanya telah mendustakan rasūl-rasūl maka berlakulah ancaman-Ku (atas mereka).” (Qāf: 14).

Barang siapa yang mendustakan seorang rasūl maka telah mendustakan semua rasūl. Sebagaimana firman Allah s.w.t.:

Kaum Nūḥ telah mendustakan para rasūl.” (asy-Syu‘arā’: 105).

(Kaum) ‘Ād telah mendustakan para utusan.” (asy-Syu‘arā’: 123).

Kaum Tsamūd telah mendustakan para rasūl.” (asy-Syu‘arā’: 141).

Kaum Lūth telah mendustakan para rasūl.” (asy-Syu‘arā’: 160).

Sesungguhnya ketika air telah naik (sampai ke gunung), Kami membawa (nenek moyang) kamu ke dalam kapal, agar Kami jadikan (peristiwa itu) sebagai peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar.”. (al-Ḥāqqah [69]: 11-12).

Maksudnya, ketika air melampaui batasnya dan meninggi atas idzin Allah, dan datang angin topan pada zaman Nabi Nūḥ, Kami membawa nenek moyang kalian yang Mu’min, sementara kalian dalam tulang rusuk mereka, dalam kapal yang berjalan di air supaya kalian selamat dari tenggelam dan supaya Kami menjadikan keselamatan bagi orang-orang Mu’min. Tenggelamnya orang-orang kafir itu sebagai peringatan dan nasihat yang bisa kalian jadikan petunjuk untuk mengetahui keagungan kekuasaan Allah, keindahan ciptaan-Nya, kerasnya pembalasaan-Nya, juga supaya bisa dipahami dan dijaga oleh telinga-telinga yang menjaga setelah mendengarnya. Firman Allah (لِنَجْعَلَهَا) “agar Kami menjadikannya”, (وَ تَعِيَهَا) “Agar didengarkan” kembali kepada kejadian yang sudah diketahui bersama, yaitu keselamatan orang-orang Mu’min dan tenggelamnya orang-orang kafir.

Ibnu Abī Ḥātim dan Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Makḥūl sebuah hadits dalam status mursal, dia berkata:

لَمَّا نَزَلَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ (ص): (وَ تَعِيَهَا أُذُنٌ وَاعِيَةٌ) قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): سَـأَلْتُ رَبِّيْ أَنْ يَجْعَلَهَا أُذُنَ عَلِيٍّ. قَالَ مَكْحُوْل: فَكَانَ عَلِيٌّ يَقُوْلُ: مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ (ص) شَيْئًا قَطُّ، فَنَسِيْتُهُ.

Tatkala ayat (وَ تَعِيَهَا أُذُنٌ وَاعِيَةٌ) turun kepada Rasūlullāh s.a.w. beliau bersabda: “Aku memohon kepada Tuhanku agar Dia menjadikan itu pada telinga ‘Alī.” Makḥūl berkata: “‘Alī berkata: “Aku tidak mendengar dari Rasūlullāh s.a.w. apa pun yang kemudian aku lupakan”.”

Adapun hadits Buraidah yang menceritakan bahwa ayat itu turun kepada ‘Alī adalah tidak shaḥīḥ.

Fiqih Kehidupan atau Hukum-hukum

Ayat-ayat di atas bisa dipahami sebagaimana berikut:

  1. Pengagungan keadaan hari Kiamat, perkaranya, menakut-nakuti kegentingannya. Tidak diragukan lagi bahwa hari Kiamat tersebut membuat orang-orang cemas karena peristiwa-peristiwa mencemaskan dan sangat genting, langit terbelah, bumi hancur, bintang-bintang tertampar, dan sebagainya.
  2. Keharusan mengambil nasihat dan pelajaran dari nasib umat-umat sebelumnya yang mendustakan para utusan. Ayat-ayat di sini menyebutkan tiga kisah: Kisah ‘Ād dan Tsamūd yang mendustakan hari Kiamat yang mengetuk manusia karena kegentingannya, kisah Fir‘aun dan orang-orang sebelumnya, kaum Lūth, kisah Nabi Nūḥ bersama kaumnya. Adapun Tsamūd, mereka dibinasakan dengan teriakan yang melebihi batas kegentingannya.

Tsamūd dibinasakan dengan angin dingin yang membakar karena sangat dingin sebagaimana api yang membakar, bertiup kencang sekali dan penuh kemurkaan karena kemurkaan Allah s.w.t. Dia mengirim angin itu, menguasai mereka selama tujuh malam delapan hari berturut-turut, tidak berhenti, dan tidak terputus. Kaum itu pada malam-malam dan hari-hari itu mati binasa seperti tonggak pohon kurma yang binasa, keropos rongga-rongganya tidak ada sesuatu di dalamnya.

Adapun Fir‘aun dan tentara-tentaranya, mereka dibinasakan dengan penenggelaman di laut. Sementara itu, negeri-negeri yang musnah, yaitu penduduk kaum Lūth, mereka dihancurkan dengan angin yang melempari mereka dengan kerikil-kerikil dengan lemparan yang menyeluruh, merata sebagai hukuman orang-orang kafir yang lain, sebagaimana perbuatan mereka yang melebihi perbuatan orang-orang kafir yang lain dalam hal kejelekan yaitu kekufuran dan kekejian.

Adapun kaum Nūḥ, mereka ditenggelamkan dengan topan. Allah menyelamatkan Nūḥ dan orang-orang yang beriman dengannya karena mereka menaiki kapal yang diciptakan oleh Nūḥ melalui ilham Allah s.w.t., supaya Allah menjadikannya peringatan dan nasihat pada umat ini, dan supaya dijaga, didengar oleh telinga-telinga yang menjaga apa yang datang dari sisi Allah s.w.t.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *