Hati Senang

Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir al-Munir – az-Zuhaili (1/6)

Dari Buku:
Tafsir al-Munir
(Jilid 15 Juz 29-30)
Oleh: Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili

Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk.
Penerbit: GEMA INSANI

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

SŪRAT-UL-ḤĀQQAH
MAKKIYYAH, LIMA PULUH DUA AYAT

Penamaan Surah

Surah ini dinamakan al-Ḥāqqah karena dibuka dengan pertanyaan mengenai Kiamat, demi membesarkan keadaannya dan mengagungkan kegentingannya. Al-Ḥāqqah adalah salah satu nama dari hari Kiamat sebab di dalamnya terwujud janji dan ancaman. Oleh karena itu, Allah mengagungkan keadaan hari Kiamat dengan pertanyaan mengenainya. Al-Ḥāqqah adalah saat (hari Kiamat) yang mesti terjadi, pasti datang tanpa keraguan di dalamnya.

Persesuaian Surah ini dengan Surah Sebelumnya.

Surah ini terkait dengan surah sebelumnya dari dua sisi.

Dalam surah Nūn ada penyebutan mengenai hari Kiamat secara global dalam firman-Nya (يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ) “pada hari betis disingkap.” (421). Dalam surah ini, Allah menjelaskan kabar besar mengenai hari ini (hari Kiamat) dan keadaan-Nya yang agung. (الْحاقَّةُ. مَا الْحَاقَّةُ. وَ مَا أَدْرَاكَ مَا الْحَاقَّةُ.) “Hari kiamat, apakah hari kiamat itu? Dan tahukah kamu apakah hari kiamat itu?

Allah, dalam surah sebelumnya, mengintimidasi dan mengancam setiap orang yang mendustakan al-Qur’ān dengan firman-Nya:

(فَذَرْنِيْ وَ مَنْ يُكَذِّبُ بِهذَا الْحَدِيثِ) “Maka serahkanlah (Ya Muḥammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini.” Sementara itu dalam surah ini, Allah menyebutkan keadaan umat-umat yang mendustakan para rasul dan hukuman untuk mereka sebagai nasihat, ancaman, dan pelajaran bagi orang-orang sekarang.

Kandungan Surah.

Surah ini, sebagaimana surah-surah Makkiyyah lainnya yang memerhatikan dasar-dasar ‘aqīdah, berbicara mengenai kegentingan hari Kiamat, kebenaran wahyu, keadaan al-Qur’ān sebagai kalāmullāh, pembebasan rasūl dari kebohongan orang-orang kafir dan tuduhan orang-orang sesat.

Surah ini dimulai dengan pembesaran keadaan hari Kiamat dan pengagungan kegentingannya, serta pendustaan para kaum sebelumnya terhadap hari Kiamat, seperti kaum Tsamūd, ‘Ād, kaum Lūth, Fir‘aun dan para pengikutnya, kaum Nūḥ. Pembinasaan mereka karena pendustaan mereka terhadap hari Kiamat dan kepada para rasūl – mulai awal surah sampai firman-Nya (أُذُنٌ وَاعِيَةٌ.) “telinga yang mau mendengar.” (al-Ḥāqqah [69]: 12).

Kemudian, surah ini mendeskripsikan kejadian-kejadian siksa akhirat sebagai balasan terhadap pengingkaran itu di dunia, dalam firman-Nya.

Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup, dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali bentur. Maka pada hari itu terjadilah hari kiamat, dan terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi lemah. Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung ‘Arasy Tuhanmu di atas (kepala) mereka. Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatu pun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah)” (al-Ḥāqqah [69]: 13-18).

Surah ini mengikuti keterangan itu dengan menjelaskan keadaan orang-orang yang bahagia dan orang-orang yang celaka pada hari Kiamat.

Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata: “Ambillah, bacalah kitabku (ini)”. Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridai, dalam surga yang tinggi. Buah-buahannya dekat, (kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”. Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata: “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku, Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku dariku”. (Allah berfirman): “Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya.” Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar. Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin. Maka tiada seorang teman pun baginya pada hari ini di sini. Dan tiada (pula) makanan sedikit pun (baginya) kecuali dari darah dan nanah. Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa” (al-Ḥāqqah [69]: 19-37).

Kemudian, Tuhan Yang Maha Agung bersumpah secara dalam mengenai kebenaran wahyu dan al-Qur’ān dan bahwasanya ia adalah kalamullah yang diturunkan ke hati Rasūlullāh s.a.w. Ia bukanlah ucapan penyair tidak pula tukang tenung.

Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Dan dengan apa yang tidak kamu lihat. Sesungguhnya al-Qur’ān itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasūl yang mulia, dan al-Qur’ān itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam” (al-Ḥāqqah [69]: 38-43).

Surah ini diakhiri dengan penjelasan bukti yang pasti mengenai kebenaran Rasūlullāh s.a.w., amanahnya dalam menyampaikan wahyu, bahwasanya al-Qur’ān adalah pemberi peringatan, nasihat, kabar kebenaran yang tidak ada keraguan di dalamnya, rahmat bagi orang-orang Mu’min dan penyesalan bagi orang-orang kafir.

Seandainya dia (Muḥammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, Niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu. Dan sesungguhnya al-Qur‘ān itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa. Dan sesungguhnya Kami benar-benar mengetahui bahwa di antara kamu ada orang yang mendustakan (nya). Dan sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar menjadi penyesalan bagi orang-orang kafir (di akhirat). Dan sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar kebenaran yang diyakini. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu Yang Maha Besar” (al-Ḥāqqah [69]: 44-52).

 

PENGAGUNGAN (KEADAAN) HARI KIAMAT DAN PEMBINASAAN ORANG-ORANG YANG MENDUSTAKANNYA.

Surah al-Ḥāqqah Ayat 1-12.

الْحاقَّةُ. مَا الْحَاقَّةُ. وَ مَا أَدْرَاكَ مَا الْحَاقَّةُ. كَذَّبَتْ ثَمُوْدُ وَ عَادٌ بِالْقَارِعَةِ. فَأَمَّا ثَمُوْدُ فَأُهْلِكُوْا بِالطَّاغِيَةِ. وَ أَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوْا بِرِيْحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ. سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُوْمًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيْهَا صَرْعَى كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ. فَهَلْ تَرَى لَهُمْ مِّنْ بَاقِيَةٍ. وَ جَاءَ فِرْعَوْنُ وَ مَنْ قَبْلَهُ وَ الْمُؤْتَفِكَاتُ بِالْخَاطِئَةِ. فَعَصَوْا رَسُوْلَ رَبِّهِمْ فَأَخَذَهُمْ أَخْذَةً رَّابِيَةً. إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ. لِنَجْعَلَهَا لَكُمْ تَذْكِرَةً وَ تَعِيَهَا أُذُنٌ وَاعِيَةٌ.

69: 1. Hari Kiamat,
69: 2. apakah hari Kiamat itu?
69: 3. Dan tahukah kamu apakah hari Kiamat itu?
69: 4. Kaum Tsamūd dan ‘Ād telah mendustakan hari Kiamat.
69: 5. Maka adapun kaum Tsamūd, mereka telah dibinasakan dengan suara yang sangat keras,
69: 6. sedangkan kaum ‘Ād, mereka telah dibinasakan dengan angin topan yang sangat dingin,
69: 7. Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus; maka kamu lihat kaum ‘Ād pada waktu itu mati bergelimpangan seperti batang-batang pohon kurma yang telah kosong (lapuk).
69: 8. Maka kamu tidak melihat seorang pun yang tersisa di antara mereka.
69: 9. Kemudian datang Fir‘aun dan orang-orang yang sebelumnya dan (penduduk) negeri-negeri yang dijungkirbalikkan karena kesalahan yang besar.
69: 10. Maka mereka mendurhakai utusan Tuhannya, Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat keras.
69: 11. Sesungguhnya ketika air telah naik (sampai ke gunung), Kami membawa (nenek moyang) kamu ke dalam kapal,
69: 12. agar Kami jadikan (peristiwa itu) sebagai peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar.
(al-Ḥāqqah [69]: 1-12).

Qirā’āt

(وَ مَنْ قَبْلَهُ):

Imām Abū ‘Amr, Kisā’ī membaca (وَ مَنْ قِبَلَهُ).

(أُذُنٌ):

Nāfi‘ membaca (أُذْنٌ).

I‘rāb.

(الْحاقَّةُ. مَا الْحَاقَّةُ. وَ مَا أَدْرَاكَ مَا الْحَاقَّةُ), lafal (الْحاقَّةُ) yang pertama adalah mubtada’ sedangkan mā istifhāmiyyah adalah mubtada’ kedua. Lafal (الْحاقَّةُ) yang kedua adalah khabar dari mubtada’ kedua. Mubtada’ kedua dan khabar-nya menjadi khabar dari mubtada’ pertama. Firman Allah (مَا الْحَاقَّةُ.) aslinya adalah (الْحَاقَّةُ مَا هِيَ.) “hari Kiamat, apakah itu?”. Artinya apakah Kiamat itu?, penempatan isim zhāhir (الْحَاقَّةُ) pada posisi isim dhamīr (هِيَ) untuk menunjukkan pembesaran pengagungan hari Kiamat. Ini (penempatan isim zhāhir dalam posisi isim dhamīr) menjadi lebih genting untuk keadaan hari Kiamat.

(وَ مَا أَدْرَاكَ مَا الْحَاقَّةُ), (مَا) di sini adalah mā istifhāmiyyah dalam posisi sebagai mubtada’. Lafal (مَا) yang kedua adalah mubtada’ kedua. Sementara (الْحَاقَّةُ) adalah khabar-nya. Mubtada’ kedua dan khabar-nya dalam posisi nashab sebagai maf‘ūl (أَدْرَاكَ). Kalimat (أَدْرَاكَ) dan susunan kalimat yang bersambung dengannya dalam posisi rafa‘ sebagai khabar dari mubtada’ pertama. Kalimat (أَدْرَاكَ) muta‘addī dua maf‘ūl. Maf‘ūl pertama adalah (كَ) sedang susunan kalimat setelahnya ada dalam posisi sebagai maf‘ūl kedua. Kalimat (أَدْرَاكَ) tidak bisa ber‘amal (menjadi ‘āmil) pada (مَا) yang kedua, sebab istifhām tidak bisa dipengarahui oleh kalimat sebelumnya.

(بِالطَّاغِيَةِ.) bisa sebagai mashdar seperti lafal (العاقبة) dan (العافية), bisa pula sebagai sifat dari maushūf yang dibuang, taqdīr-nya (بِالصيحة الطاغية) “dengan jeritan yang luar biasa). Maushūf dihilangkan sementara sifat ditempatkan dalam posisi maushūf.

(سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ) adalah jumlah (susunan kalimat) isti’nafiyyah atau sifat yang didatangkan untuk menafikan prasangka bahwa kejadian-kejadian itu alami belaka.

(سَبْعَ لَيَالٍ وَ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُوْمًا) tā’ ta’nīts pada lafal (سَبْعَ) dihilangkan, sementara ia ada pada lafal (وَ ثَمَانِيَةَ). Hal ini karena lafal (لَيَالِيَ) adalah jama‘ mu’annats sedangkan (أَيَّامٍ) adalah jama‘ dari lafal mufrad mudzakkar (يوم). Lafal (حُسُوْمًا) bisa di-nashab-kan sebagai sifat dari firman Allah (أَيَّامٍ). Atau di-nashab-kan sebagai mashdar, artinya (تَبَاعًا) “berturut-turut”.

(صَرْعَى) menjadi hal dari lafal (الْقَوْمَ) sebab kalimat (فَتَرَى) “maka kamu lihat” adalah melihat dengan mata.

(كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ) dalam posisi nashab sebagai ḥāl dari dhamīr yang ada pada lafal (صَرْعَى). Taqdirnya (مُشْبِهِيْنَ أَعْجَازُ نَخْلٍ) “mereka dalam keadaan mirip dengan tunggul pohon kurma). (خَاوِيَةٍ) menjadi sifat dari (نَخْل). Allah berfirman dengan lafal (خَاوِيَةٍ) dengan bentuk mu’annats karena lafal (النَّخْل) boleh mu’annats, boleh pula mudzakkar, sebagaimana kalimat (نَحْلٍ مُنْقَعِرٍ).

(فَهَلْ تَرَى لَهُمْ مِّنْ بَاقِيَةٍ.) dibaca idghām karena makhraj tā’ dekat dengan makhraj lām.

Balāghah

Redaksi (الْحاقَّةُ. مَا الْحَاقَّةُ.) adalah ithnāb dengan pengulangan isim untuk menunjukkan kegentingan dan keagungan Kiamat.

(كَذَّبَتْ ثَمُوْدُ وَ عَادٌ بِالْقَارِعَةِ.) setelah itu (فَأَمَّا ثَمُوْدُ), (وَ أَمَّا عَادٌ) adalah tafshīl (perincian) setelah keterangan secara global. Di dalamnya ada Laf dan Nasyr murattab.

(كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ.) adalah tasybīh mursal secara global. Di dalamnya ada adat tasybīh sementara wajh-usy-syabah dibuang.

(إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءُ) adalah bentuk isti‘ārah. Tingginya air diserupakan dengan pembangkangan manusia terhadap manusia yang lain.

Catatan:

  1. 47). Gharā’ib-ul-Qur’ān, Ḥasan al-Qarnī an-Naisābūrī: 42/29.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.