IV
فَلَا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُوْنَ. وَ مَا لَا تُبْصِرُوْنَ. إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ. وَ مَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ قَلِيْلًا مَا تُؤْمِنُوْنَ. وَ لَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ قَلِيْلًا مَا تَذَكَّرُوْنَ. تَنْزِيْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعَالَمِيْنَ.
69: 38. Maka tidak, Aku akan bersumpah dengan apa yang kamu lihat.
69: 39. Dan dengan apa yang tidak kamu lihat.
69: 40. Sesungguhnya dia adalah kata-kata dari Utusan yang mulia,
69: 41. Dan tidaklah dia kata-kata seorang penyair; sedikit saja kamu yang beriman.
69: 42. Dan tidaklah dia kata-kata seorang tukang tenung; sedikit saja kamu yang mau mengambil peringatan.
69: 43. Dia adalah diturunkan dari Tuhan Sarwa sekalian alam.
***
Ayat-ayat yang dimulai dengan Lā Uqsimu di dalam al-Qur’ān adalah delapan banyaknya, semuanya diturunkan di Makkah.
Maksudnya ialah bersumpah. Tetapi susun kata adalah dua, yaitu Lā dan Uqsimu. Yang tentu saja arti lurusnya: “Tidak aku Bersumpah!”
Maka sepakatlah seluruh ‘ulamā’ ahli tafsir menyatakan bahwa jumlah kedua kalimat itu ialah bahwa Allah bersumpah. Tetapi cara mengartikan ada tiga macam:
Dengan demikian bilamana peminat arti al-Qur’ān bertemu dengan ayat yang memakai Lā Uqsimu itu sudah dapatlah kiranya menyadari maksudnya, yaitu sumpah. Adapun cara mengartikan terserahlah kepada kita memilih mana yang cocok dengan jalan pembahasan yang kita pakai.
Di dalam ayat ini, penulis Tafsīr al-Azhar memakai; “Maka tidak, Aku akan bersumpah dengan apa yang kamu lihat.” (Ayat 38). Artinya bahwa persangkaan kamu yang salah terhadap Rasūl-Ku itu aku bantah sekeras-kerasnya; Persangkaanmu itu adalah salah. Sekarang Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat itu sendiri; “Dan dengan apa yang tidak kamu lihat.” (Ayat 39). Bahwa yang ditarik jadi sumpah oleh Tuhan, demi yang kamu lihat dan demi yang tidak kamu lihat ialah melewati seumumnya segala yang nampak dan tidak nampak; yang nyata dan yang ghaib, yang dijadikan (kelihatan) dan Yang Menjadikan (tidak kelihatan), dunia (kelihatan) dan akhirat (tidak kelihatan), tubuh dan roh, manusia dan jinn, ni‘mat lahir dan ni‘mat bathin. Tetapi beliaupun menyalinkan juga dalam tafsirnya bahwa banyak pula yang berpendapat bahwa yang kelihatan itu ialah Rasūl Tuhan Yang Amin bernama Muḥammad dan yang tidak kelihatan ialah Rasūl Tuhan Yang Amin satu lagi, yaitu Jibrīl. Tuhan ambil keduanya itu jadi sumpah untuk sama diperhatikan, dan jangan hanya melihat yang lahir saja. Lalu Tuhan sebutlah apa yang Tuhan kuatkan dengan sumpah itu.
“Sesungguhnya dia” (Pangkal ayat 40). Yaitu wahyu-wahyu yang turun kepada Muḥammad dan yang dinamai al-Qur’ān itu; “adalah kata-kata dari Utusan yang mulia” (Ujung ayat 40). Keluar dari mulut seorang Utusan yang mulia, yang terhormat dan yang dipercaya. Sebab selama ini banyaklah kaum musyrikin itu yang menuduh bahwa wahyu yang diucapkan Muḥammad itu bukan wahyu, melainkan kata-kata seorang penya‘ir. Sebab itu maka al-Qur’ān itu adalah sya‘ir saja, mencoba menandingi sya‘ir-sya‘ir yang telah ada selama ini, sampai ada yang digantungkan di Ka‘bah karena terpilih jadi sya‘ir terbaik. Maka dibantahlah persangkaan ini dengan ayat seterusnya: “Dan tidaklah dia kata-kata seorang penyair” (Pangkal ayat 41). Cobalah kamu perhatikan dengan seksama sya‘ir-sya‘ir yang kamu kenal selama ini, kamu pusakai dari nenek-moyangmu sebagai bangsa keminat sya‘ir; “Adakah dia mengandung pelajaran dan hikmat mendalam tentang ajaran hidup dan ketuhanan atau semata-mata menumpahkan perasaan si penya‘ir yang tergetar ilham sya‘irnya karena suatu kejadian? Dan pernahkah kamu mengenai Muḥammad sebagai penya‘ir sejak dia masih muda belia? Mengapa maka sekarang, setelah usianya lebih dari empat puluh tahun, baru dia akan jadi penya‘ir? “Sedikit saja kamu yang beriman.” (Ujung ayat 41). Hanya sedikit yang ada perhatian kepada isi kata-kata yang disampaikan oleh Utusan Allah yang mulia itu; yang banyak adalah bercakap asal bercakap saja. Bercakap tidak dengan ilmu dan hasil penyelidikan, karena keras kepala belaka.
“Dan tidaklah dia kata-kata seorang tukang tenung” (Pangkal ayat 42). Tukang tenung atau dukun, yang katanya dia ada hubungan dengan “orang halus” entah syaithan, entah jinn, entah siapa. Katanya tukang tenung itu dapat mereka apa yang akan kejadian di belakang hari. Hasil tenungnya itu dikeluarkan dengan perkataan tersusun seperti mantra. Sebagai juga orang kesurupan, atau orang kena sijundai, dia bercakap-cakap sebagai bernyanyi. Katanya dia membawa pesan dari si fulan yang telah mati.
Ada yang menuduh bahwa kata-kata yang keluar dari mulut Rasulullah s.a.w. itu adalah kata-kata tukang tenung itu. Itulah pula yang dibantah oleh Allah dengan sumpahnya: Lā Uqsimu (Tidak, saya bersumpah!”). Dia bukan kata-kata ahli sya‘ir dan bukan kata-kata ahli tenung: “Sedikit saja kamu yang mau mengambil peringatan.” (Ujung ayat 42). Kata-kata beredar ke sana kemari, kata-kata Muḥammad itu adalah membuktikan kata-kata tukang tenung. Menyelidiki lebih dalam tidak mau. Sebagai juga sampai sekarang terdapat dalam masyarakat yang telah memilih suatu pendirian atau menegakkan suatu tuduhan kepada musuhnya, dibuatnya khabar fitnah dan dia tidak mau menyelidiki lagi. Sedikit saja yang mau mengambil peringatan, atau sedikit saja yang mau ingat, yang mau sadar. Yang sedikit itulah orang-orang pilihan yang langsung tertarik ke dalam Islam.
Tuhan membela Rasūl-Nya, dengan firman-Nya selanjutnya:
“Dia adalah diturunkan dari Tuhan Sarwa sekalian alam.” (Ayat 43).
Seakan-akan Tuhan mengambil masalah ini jadi tanggung-jawab Tuhan sendiri. Seakan-akan Tuhan berfirman: “Apa yang diucapkan, atau kata-kata dari Muḥammad itu adalah kata-Ku, datang daripada-Ku.
Selanjutnya buat menguatkan pembelaan-Nya kepada Rasūl-Nya, Tuhan berfirman pula: