Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir al-Azhar (1/5)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir al-Azhar

Sūrat-ul-Ḥāqqah
(Hari Qiyamat)

Surat ke-69
52 Ayat
Diturunkan di Makkah

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

PENDAHULUAN

 

Sebagaimana telah diterangkan pada Kata Pendahuluan Juzu’ ke-29, Surat “al-Ḥāqqah” ini adalah salah satu surat yang diturunkan di Makkah juga dan sekalian surat yang terhimpun di dalam Juzu’ ke-29 adalah surat Makkiyyah (Surat yang turun di Makkah) belaka. Sebagai surat yang sebelumnya (al-Qalam) ayat yang terkandung di dalamnya adalah sama, yaitu sama-sama 52 ayat. Ayat-ayatnya pun pendek-pendek, tetapi isinya padat. Kebiasaannya ialah memperdalam ‘aqidah atau Iman yang terutama berpokok pada dua perkara: 1). Iman kepada Allah, 2). Iman akan adanya hari kiamat kelak. Maka di dalam surat ini banyaklah dibayangkan akibat yang akan ditempuh oleh orang yang durhaka dan bahagia yang akan dirasakan oleh orang yang taat.

Di dalam surat ini kita akan bertemu satu ayat yang amat penting menunjukkan betapa kerasnya disiplin Tuhan terhadap seorang Rasūl. Bahwa Rasūl itu tidak boleh menambahi wahyu yang disampaikan kepadanya dari fikirannya sendiri dan tidak pula boleh mengurangi, walaupun tambahan atau pengurangan itu sepatah kata sekalipun. Kalau dia berbuat demikian, Tuhan akan menghukumnya dengan berat sekali. (ayat-44, 45 dan 46).

 

***

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan nama Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang

 

I

الْحاقَّةُ. مَا الْحَاقَّةُ. وَ مَا أَدْرَاكَ مَا الْحَاقَّةُ. كَذَّبَتْ ثَمُوْدُ وَ عَادٌ بِالْقَارِعَةِ. فَأَمَّا ثَمُوْدُ فَأُهْلِكُوْا بِالطَّاغِيَةِ. وَ أَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوْا بِرِيْحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ. سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُوْمًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيْهَا صَرْعَى كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ. فَهَلْ تَرَى لَهُمْ مِّنْ بَاقِيَةٍ. وَ جَاءَ فِرْعَوْنُ وَ مَنْ قَبْلَهُ وَ الْمُؤْتَفِكَاتُ بِالْخَاطِئَةِ. فَعَصَوْا رَسُوْلَ رَبِّهِمْ فَأَخَذَهُمْ أَخْذَةً رَّابِيَةً. إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءَ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ. لِنَجْعَلَهَا لَكُمْ تَذْكِرَةً وَ تَعِيَهَا أُذُنٌ وَاعِيَةٌ.

69: 1. Hari Qiyamat.
69: 2. Apakah Hari Qiyamat itu?
69: 3. Dan tahukah engkau apakah Hari Qiyamat itu?
69: 4. Telah mendustakan Tsamūd dan ‘Ād akan Hari Keguncangan.
69: 5. Maka adapun Tsamūd, mereka itu telah dibinasakan dengan hal luar biasa.
69: 6. Dan adapun ‘Ād maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin dan berhembus kencang.
69: 7. Ditiupkan-Nya angin itu kepada mereka tujuh malam dan delapan hari terus menerus, maka engkau lihatlah kaum itu di dalamnya bergelimpangan, seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong.
69: 8. Maka adakah engkau lihat sisa-sisa mereka yang tinggal.
69: 9. Dan datang pula Fir‘aun dan orang-orang yang sebelumnya dan penduduk negeri yang dijungkir balikkan karena kesalahan.
69: 10. Maka mereka telah mendurhakai utusan-utusan Tuhan mereka. Karena itu Allah telah menyiksa mereka dengan siksaan yang keras.
69: 11. Sesungguhnya Kami, setelah air melimpah-limpah, Kami angkutlah kamu di dalam bahtera,
69: 12. Karena hendak Kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kamu dan diperhatikan oleh telinga-telinga yang sudi mendengar.

***

Ayat yang pertama mengemukakan suatu persoalan, yaitu “al-Ḥāqqah”. (Ayat 1). Ayat berikutnya bersifat pertanyaan: “Apakah al-Ḥāqqah itu?” (Ayat 2). Ayat selanjutnya ditujukanlah pertanyaan kepada diri Rasūl s.a.w. sendiri ataupun segala orang yang telah mendengar ayat ini: “Dan tahukah engkau apakah al-Ḥāqqah itu?” (Ayat 3).

Untuk meringkaskan saja dalam terjemahan telah kita artikan dia “al-Ḥāqqah” menurut maksudnya, yaitu “Hari Qiyamat”.

Ar-Rāzī dalam tafsirnya mengatakan bahwa seluruh ahli tafsir telah sama pendapat bahwa arti yang dimaksud dengan “al-Ḥāqqah” itu ialah Hari Kiamat. Tetapi ar-Rāzī menguraikan beberapa cabang pendapat tentang asal dari kalimat “al-Ḥāqqah”. Beliau menguraikan 10 macam pengartian tentang “al-Ḥāqqah” itu.

  1. al-Ḥāqqah” ialah dari kata al-Ḥāqq, yaitu Yang Tetap dan Yang Ada.

Dan “al-Ḥāqqah” ialah saat yang pasti terjadi dan tetap pasti datang dan dia pasti tiba.

  1. Dari kalimat “al-Ḥāqq” juga, yaitu apa yang telah dipastikan dalam perhitungan selama ini sekarang dihadapi sebagai satu kenyataan.
  2. Barang yang Benar!
  3. Yang tepat pada waktunya.
  4. Yang turun dan berlaku.
  5. Waktu yang akan diberi keputusan padanya atas ganjaran kesalahan atau kebaikan.
  6. Diterima kontan dengan tidak tertunggu-tunggu lagi.
  7. Hak orang yang berjasa akan pahala diterimanya dengan kontan.
  8. Hari keputusan dari pertengkaran sesama manusia selama ini, apakah perbuatannya itu terpuji atau tercela. Di waktu itu akan jelas tidak ragu lagi.
  9. Berlaku apa yang telah ditentukan Tuhan.

Kesepuluh maksud yang terkandung di dalam kalimat “al-Ḥāqqah” yang diuraikan ar-Rāzī itu tidaklah banyak perbedaan dan tidaklah berjauhan artinya; dan semuanya itu akan dihadapi pada Hari Kiamat.

Tetapi banyak manusia sementara hidup di dunia ini tidak mau membenarkan bahwa qiyamat itu pasti ada. Dalam berkeras membantah adanya kiamat itu, diri ummat itu sendiri ditimpa kiamat:

Telah mendustakan Tsamūd dan ‘Ād akan Hari Keguncangan.” (Ayat 4)

Selain dari “al-Ḥāqqah”, hari kiamat dinamai juga al-Qāri‘ah yang di sini kita artikan “hari keguncangan”, karena seluruh ‘alam pada waktu itu akan berguncang hebat. Lebih hebat dari gempa, lebih hebat daripada angin puting-beliung. Sebab langit akan runtuh, bumi akan hancur, gunung-gunung akan menjadi abu yang beterbangan. Seluruh peraturan ‘alam yang ada ini akan berubah sama sekali pada masa itu. Maka kaum Tsamūd dan kaum ‘Ād mendustakan hari yang hebat itu. Mereka tidak mau percaya bahwa kiamat itu akan kejadian. Sebab itu maka segala seruan Nabi yang diutus kepada mereka tidak memperdulikan.

Adapun mendustakan itu bukan sajalah dengan mulut. Meskipun mulut mengakui, padahal perbuatan tidak sesuai dengan ucapan mulut sama juga dengan mendustakan. Di zaman kita sekarang, berapa banyak manusia yang terbukti dari perbuatan dan perjuangan hidupnya bahwa mereka tidak percaya kepada hari kiamat. Kalau mereka percaya niscaya mereka beramal untuk menyediakan diri menghadapi hari itu kelak. Karena walaupun orang yang telah mati, mereka akan dibangkitkan kembali untuk menghadapi kehebatan hari kiamat itu.

Maka adapun Tsamūd” (Pangkal ayat 5). Yaitu kaum yang termasuk dalam golongan bangsa ‘Arab yang telah punah, diutus Allah kepada mereka Nabi Shāliḥ. Di dalam beberapa surat yang lain dalam al-Qur’ān ini banyak diterangkan tentang mereka: “mereka itu telah dibinasakan dengan hal luar biasa” (Ujung ayat 5). Mereka mau percaya kalau Nabi Shāliḥ dapat memintakan kepada Allah suatu keajaiban. Dan keajaiban itu ialah seekor onta besar, yang di dalam al-Qur’ān terkenal dengan “Nāqat Allāh” (Onta Allah). Setelah onta itu diciptakan Tuhan dibuat janji bahwa minuman untuk mereka dan minuman untuk onta akan bergilir berganti hari. Tetapi janji itu tidak dipegang-teguh oleh pemuka-pemuka mereka, sampai onta itu mereka bunuh. Dagingnya mereka makan. Maka datanglah kemurkaan Tuhan. Tiga hari lamanya berturut-turut penduduk negeri itu mana yang turut memakan daging tersebut ditimpa sakit, semacam kolera. Di hari pertama muka jadi pucat kuning, hari kedua jadi merah padam, hari ketiga jadi hitam, dan malamnya mereka mati semua mendengarkan pekik keras meliputi negeri itu. Itulah ‘adzab siksaan luar biasa!

Yang tinggal ialah orang-orang yang beriman kepada risalah yang dibawa Nabi.

Dan adapun ‘Ād maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin dan berhembus kencang.” (Ayat 6). ‘Ād ialah kaum yang didatangi oleh Nabi Hūd. Mereka pun satu kabilah dengan bangsa ‘Arab purbakala yang telah punah, sebagai kaum Tsamud juga. Itulah angin yang biasa datang pada musim-musim pancaroba, di antara musim panas dengan musim dingin. Pada waktu itu daun-daun kayu pada gugur, kayu-kayu dirimba meranting. Tetapi oleh karena yang sekali ini berupa siksaan dan ‘adzab dari Tuhan maka dinginnya sampai mengeringkan kulit, karena dinginnya itu sendiri dingin kering.

Ditimpakan-Nya angin itu kepada mereka tujuh malam dan delapan hari terus menerus.” (Pangkal ayat 7). Sedangkan jika angin semacam itu datang agak sehari saja, sudah banyak kerusakan yang akan timbul, betapakah lagi jika seminggu lamanya, tujuh malam delapan hari tidak berhenti-henti. Bagaimana api pemasak makanan akan dihidupkan jika sebentar-sebentar dia sudah dihembus oleh angin? Bagaimana orang akan sempat bersenang diam kalau angin itupun membawa kedinginan yang sangat? Penyakit berbagai ragam bisa datang lantaran itu. “maka engkau lihatlah kaum itu di dalamnya bergelimpangan,” mati. Ada yang karena lapar tidak dapat makan, karena tidak dapat bergerak dan berjalan ke mana-mana dari sangat kerasnya dingin menyebabkan orang-orang kelaparan, sampai akhirnya mati bergelimpangan; “seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong.” (Ujung ayat 7). Karena isi pohon itu telah kosong, diapun tumbanglah dan tidak dapat bertahan lagi. Demikianlah pula manusia-manusia yang telah lapar itu.

Maka adakah engkau lihat sisa-sisa mereka yang tinggal.” (Ayat 8). Pertanyaan ini adalah bersifat bertanya untuk membantah. Artinya, kaum Tsamūd telah punah karena ‘adzab siksaan angin keras dan dingin itu. Mereka telah habis mati, laki-laki dan perempuan dan kanak-kanak sekalipun. Sehingga sisa-sisa mereka tidak ada lagi. Mereka hanya tersebut di dalam pelajaran Sejarah Bangsa ‘Arab sebagai ‘Arab al-Ba‘īdah, artinya ‘Arab yang telah punah.

Dan datang pula Fir‘aun” (Pangkal ayat 9). Fir‘aun ialah gelar panggilan bagi raja-raja dari negeri Mesir di zaman purbakala. Tetapi yang terkenal di antara mereka ialah Fir‘aun yang dihadapi oleh Nabi Mūsā dan saudaranya Nabi Hārūn. Adalah suatu keberanian yang agung yang dianugerahkan Tuhan kepada Mūsā menghadapi seorang Raja zaman purbakala yang mempunyai kepercayaan dan menanamkan kepercayaan itu pula kepada rakyatnya bahwa dia adalah Tuhan: “dan orang-orang yang sebelumnya” Yaitu raja Namrūz yang ditantang keras oleh Nabi Ibrāhīm. Demikian juga “dan penduduk negeri yang dijungkir balikkan karena kesalahan.” (Ujung ayat 9). Ialah kaum yang didatangi oleh Nabi Lūth. Negeri itu ialah negeri Sadum dan Gamurah, dua negeri berdekatan yang telah ditumbuhi oleh suatu penyakit yang teramat keji, yaitu orang laki-laki menyetubuhi sesamanya laki-laki (homo sexualitas). Negeri itu dijungkir-balikkan oleh Tuhan, karena jiwa penduduk negeri itupun telah jungkir-balik; mereka lebih menyukai dubur sesamanya laki-laki daripada faraj orang perempuan.

Maka mereka telah mendurhakai utusan-utusan Tuhan mereka.” (Pangkal ayat 10). Kesalahan mereka itu semuanya, sejak dari yang sebelum Fir‘aun atau yang sesudahnya, atau kaum Tsamūd atau kaum ‘Ād ataupun yang lain, semuanya sama kesalahan, yaitu tidak mau percaya, bahkan mendustakan rasūl-rasūl yang telah diutus Tuhan. Terutama mereka tidak mau percaya akan pokok kepercayaan hidup, yaitu “al-Ḥāqqah”, bahwa dunia ini akhir kelaknya akan dihancurkan dan orang yang telah matipun akan dibangkitkan kembali untuk diperhitungkan ‘amalnya, baiknya atau buruknya “Karena itu Allah telah menyiksa mereka dengan siksaan yang keras.” (Ujung ayat 10). Yaitu sebagaimana dijelaskan Tuhan karena dosanya; Ada yang dikirim kepada mereka hujan batu kerikil, ada yang di‘adzab dengan bunyi suara pekik yang sangat keras, sehingga pecah anak telinga mendengarkannya, lalu mati semua, di antara mereka ada yang dibenamkan di dalam bumi, dan ada pula yang ditenggelamkan Tuhan ke dalam laut. Dan semuanya itu bukanlah karena bengis dan kejam Tuhan, melainkan hukuman yang adil dan setimpal yang mereka terima, karena dosa yang sangat besar, yang pokoknya menolak ajaran dan bimbingan yang didatangkan Tuhan dengan perantaraan rasūl-rasūlNya.

Sesungguhnya Kami, setelah air melimpah-limpah,” (Pangkal ayat 11). Ayat ini adalah menerangkan dengan khas siksaan Tuhan yang dijatuhkan kepada kaum Nabi Nūḥ, yang menolak dan mendustakan Nabi Nūḥ itu. Tuhan memerintahkan kepada Nūḥ supaya dia membuat bahtera (kapal). Supaya binatang-binatang jinak dan liar dimasukkan ke dalam sepasang-sepasang dan kemudian suruh masuk pula segala orang yang beriman kepada Allah dan rasūl. Kemudian airpun mengganas naik, karena hujan lebat turun berhari-hari lamanya dan hujan disimpan Tuhan di dalam bumi diperintahkan Tuhan supaya membuat dan memancar keluar, sehingga melimpah-limpahlah air di muka bumi dan dengan sendirinya terangkatlah ke atas permukaan air bahtera Nabi Nūḥ itu dan selamatlah segala isi bahtera, yaitu binatang-binatang dan orang-orang yang beriman. Di ujung ayat, Tuhan berfirman: “Kami angkutlah kamu di dalam bahtera” (Ujung ayat 11). Artinya ialah bahwa segala manusia yang tidak masuk ke dalam bahtera itu telah musnah belaka tidak seorangpun jua yang lepas dari hukuman tenggelam. Yang selamat hanyalah manusia yang ikut dalam bahtera itu. Yang ikut dalam bahtera itulah nenek-moyang dari manusia yang ada sekarang. Tuhan berfirman: “dan Kami angkutlah kamu di dalam bahtera”; karena manusia yang ada sekarang sudah ada dalam sulbi manusia-manusia yang ada dalam bahtera ketika bahtera mulai terapung, atau telah WUJŪD dalam Ilmu Allah ta‘ālā. Isi bahtera itulah yang beranak-pinak, berketurunan dan bertebaran di seluruh permukaan bumi tahun demi tahun, abad demi abad kemudian, memenuhi benua demi benua.

Karena hendak Kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kamu” (Pangkal ayat 12). Yaitu bahwa mudah saja bagi Allah mengembang-biakkan isi bahtera sampai manusia bertebaran di muka bumi ini. Demikian juga binatang-binatang di rimba; Mana yang tidak turut masuk bahtera telah musnah mati, namun yang masuk bahtera telah berkembang. “dan diperhatikan oleh telinga-telinga yang sudi mendengar.” (Ujung ayat 12). Yaitu bahwa mudah saja bagi Allah mendatangkan thaufān dan air bah besar sampai bumi seluruhnya terendam air dan segala yang bernyawa tewas terbenam, kecuali yang selamat masuk bahtera. Dan mudah saja bagi Allah memperkembang-biakkan yang turut dalam bahtera itu sehingga memenuhi dunia. Niscaya tetaplah mudah saja bagi Allah menghancurkan mereka semua dengan qudrat iradat-Nya yang tidak dapat dihalang-halangi oleh siapa juapun. Oleh sebab itu ke mana hendak lari lagi dari cengkeraman Allah?

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *