Surah al-Ghasyiyah 88 ~ Tafsir Syaikh Fadhlallah (2/2)

Tafsir Juz ‘Amma
(Judul Asli: Beams of Illumination)
Oleh: Syaikh Fadhlallah Haeri

Rangkaian Pos: Surah al-Ghasyiyah 88 ~ Tafsir Syaikh Fadhlallah

Ayat-ayat sebelumnya menggambarkan apa yang terjadi pada orang-orang yang rugi dan para muqarrabūn (orang yang mendekatkan diri kepada Allah). Bagian kedua dari surah ini merupakan pesan kepada orang-orang Quraisy gurun pasir, kaum Nabi Muḥammad s.a.w. Pesan ini dimaksudkan untuk mempertajam kapasitas perenungan mereka. Tafakur mereka tentang wahyu dan tanda-tanda di sekeliling mereka yang diciptakan oleh Tuhan akan membawa mereka kepada pengetahuan tentang Pencipta yang Maha Agung.

أَفَلَا يَنْظُرُوْنَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ

  1. Tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana mereka diciptakan?

Pesan ini akan jelas dipahami oleh mereka yang memperhatikan penciptaan dan merenungkannya. Pesan tersebut diberikan kepada orang-orang yang jalur hidupnya, eksistensinya, bergantung pada unta. Ibil (unta-unta) adalah kata benda kolektif. Kehidupan pada saat itu berkutat di sekitar unta, dan kenyataannya banyak kata dalam bahasa ‘Arab, khususnya bahasa yang lazim pada saat itu, diasosiasikan dengan kehidupan dan kebiasaan unta.

Umpamanya, salah satu arti faqīh (orang yang ahli dalam ilmu syariat), yang berasal dari kata faqiha (memahami, menguasai), adalah orang yang menguasai benar tentang unta. Faqīh dapat mengamati seekor unta betina dan menaksir berapa lama lagi usia kandungannya, dengan melihat apa yang tidak terlihat orang lain di bagian dalamnya, lalu menghubungkannya dengan bagian luar. Faqīh dibayar sebagai konsultan sebelum unta dibeli. Zaman sekarang faqīh adalah orang yang menerjemahkan persoalan batin menjadi lahir, ahli syariat yang memberitahu orang lain tentang bagaimana berperilaku benar.

‘Aql adalah contoh lain dari kata yang mencerminkan pengaruh unta pada bahasa Arab. Akar kata kerja aqala berarti ‘mengurung, menahan, mengikat kaki unta’ dengan iqāl, yakni tali yang digunakan untuk mengunci kaki unta agar tidak bisa melarikan diri tapi akan tetap jinak. Zaman sekarang iqāl digunakan untuk mengikat kūfiyyah (kain penutup kepala orang ‘Arab). Aqala tidak hanya berarti ‘mengurung’ tapi juga ‘rasional, cerdas, memiliki kemampuan untuk membedakan’. Melalui penahanan diri, akal kita dapat berfungsi lebih baik.

Ayat ini menyuruh kita untuk merenungkan hewan yang menakjubkan ini di mana kehidupan gurun pasir tergantung padanya, untuk mengamati kemampuan beradaptasinya, untuk mengetahui bagaimana ia mengagungkan Penciptanya dan benar-benar berinteraksi dengan lingkungannya, bagaimana ia menyimpan air, bagaimana ia berjalan berminggu-minggu tanpa makan dan minum, untuk melihat kesabarannya, adaptasi kakinya dengan perjalanan gurun pasir, dan untuk melihat bagaimana ia memikul ponoknya tinggi-tinggi tempat ia menyimpan persediaan tenaganya. Setiap aspek dari unta adalah berguna dan selaras dengan lingkungannya; Sesungguhnya ia berada dalam keadaan beribadah dan menerima alamnya.

Jika kita tidak merenungkan hal yang terdekat kepada kita dan melihatnya sebagai bagian dari kesempurnaan total alam semesta, lantas bagaimana kita dapat berbicara tentang kesempurnaan secara teoritis?

وَ إِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ

  1. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?

Tidakkah mereka melihat langit dan menyaksikan kemanunggalan langit dan bumi dalam keterpisahannya? Tidakkah mereka melihat langit bagian dalam dan mengerti bahwa batin manusia tetap merindukan kemuliaan, merindukan nilai-nilai luhur, merindukan kehidupan yang lebih baik? Tidakkah mereka melihat bagaimana segala sesuatu membelok ke arah Yang Mahatinggi, Yang Senantiasa Agung?

وَ إِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ

  1. Dan gunung-gunung, bagaimana mereka ditegakkan?

Tidakkah mereka menyaksikan bagaimana gunung-gunung berlabuh di atas bumi? Tidakkah mereka melihat pada hati mereka sendiri? Hati adalah gunungnya orang yang bertakwa kepada Allah, dan tentu berpengetahuan; ia tak tergoyahkan, tak terbelokkan arahnya.

وَ إِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ

  1. Dan bumi, bagaimana ia dibentangkan?

Suthiḥat dari kata sathaḥa, yang berarti ‘membentangkan, membuka gulungan, menjadikan rata’. Tidakkah mereka melihat bagaimana bumi dimudahkan dan disediakan bagi mereka? Tidakkah mereka berpikir? Berpikir dan merenung adalah langkah awal menuju pengetahuan tentang bumi. Manusia zaman dulu mulai dengan memikirkan tentang hubungan kausal. Ia melihat dedaunan yang bergemerisik dan disusul dengan turunnya hujan; ia mengira gemerisiknya suara dedaunan menyebabkan turunnya hujan. Lalu ia menemukan ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Alasan para ilmuwan saat ini mencari perlindungan dalam ilmunya adalah karena mereka sedang mencari sebagian kecil dari tauhid atau kesalingterkaitan ini. Maka kita mulai dengan apa yang terdekat dengan kita dalam penciptaan, dan kita melihat keseimbangannya yang indah sekali, bersifat ekologis, dan tak dapat dijelaskan. Segala sesuatu yang diciptakan telah dibuat untuk memenuhi tujuannya. Daratan cenderung datar, gunung-gunung cenderung tidak datar, dan awan menjadi bagian dari siklus air. Setiap aspek penciptaan itu sendiri memang sempurna dan sekalipun begitu potongan-potongan yang banyak sekali jumlahnya tersebut cocok satu sama lain dalam alam semesta yang menyeluruh.

فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ

  1. Maka, berilah peringatan, karena engkau hanyalah pemberi peringatan.

Berilah peringatan! Kembalikan ingatannya! Dzakkir berasal dari kata dzakkara, artinya ‘mengingatkan, menegur’. Ingatkan mereka bahwa mereka berasal dari Allah. Ingatkan mereka dari mana mereka sebelumnya. Mereka disembunyikan oleh Allah di alam gaib. Sekarang kita masing-masing berada di alam nyata, tapi akan dikembalikan ke alam gaib, dan pada saat itu kita akan melihat.

Mengingatkan berarti meminta perhatian terhadap apa yang telah kita ketahui. Pengetahuan sudah ada dalam fitrah (sifat bawaan), dalam hati. Nabi s.a.w. hanyalah pemberi peringatan, beliau di sini hanya untuk merefleksikan dan menggemakan kebenaran setiap orang.

لَّسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ

  1. Engkau bukanlah penjaga atas mereka.

Nabi tidak berkuasa atas siapa pun. Beliau tidak dapat menanamkan iman (keyakinan, kepercayaan) ke dalam hati mereka. Bahkan nabi Lūth mempunyai seorang istri yang tidak bisa ditolongnya. Kita akan mengetahui—kita yang mempunyai orangtua, teman dan istri—bahwa ternyata kita tidak bisa berbuat apa-apa bagi mereka. Nabi tidak bertanggung jawab atas hasilnya. Beliau adalah seorang pemberi peringatan tentang kebenaran yang ada pada diri manusia.

إِلَّا مَنْ تَوَلَّى وَ كَفَرَ

  1. Tetapi barangsiapa berpaling dan kafir

Bagaimana dengan orang yang berpaling? Lūth berkata, “Aku memperingatkan mereka pada malam hari, aku memperingatkan mereka sepanjang siang hari, aku memperingatkan mereka secara diam-diam, aku memperingatkan mereka secara terbuka, tapi semuanya sia-sia.” Lūth memikirkan setiap keadaan dan situasi yang mungkin; ia mencoba memberikan setiap tanda bahasa yang mungkin, dan ternyata tidak berhasil. Maka akhirnya ia berkata, “Tidak apalah; orang yang telah mengambil keimanan sebagai jalannya maka ia selamat, dan keselamatannya sesuai dengan kedalaman imannya, dan itu sesuai dengan kepastiannya. Adapun yang lain, mereka mondar-mandir dalam kerugian.”

فَيُعَذِّبُهُ اللهُ الْعَذَابَ الْأَكْبَرَ

  1. Allah akan menghukum mereka dengan adzab yang terbesar.

Orang yang berpaling dan mengingkari kebenaran maka ia sudah berada dalam penderitaan dan siksaan yang pedih, dalam adzab yang diakibatkan oleh perbuatannya sendiri, dan akhirnya ia akan mencapai ‘adzab-ul-akbar (adzab yang terbesar).

إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ

  1. Sesungguhnya, kepada Kami kembalinya mereka.

Tempat istirahat terakhir adalah bersama dengan Tuhan mereka dan mereka akan kembali ke sana.

ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ

  1. Lalu tentu saja pada Kamilah perhitungan mereka.

Perhitungan terakhir akan terdiri dari apa yang telah terakumulasi di sini dalam kehidupan ini. Mereka tidak ingin melihat neraca rugi-laba sekarang, sehingga mereka akan menikmati akibatnya di kehidupan mendatang.

Dalam surah ini ada deskripsi tentang permulaan jalan kesadaran ini. Ketika kita melihat pada apa yang terdekat dengan kita maka kita menemukan bahwa dalam segala sesuatu ada sebuah tanda (āyah), ada suatu komunikasi. Kita dapat memahami hal yang paling penting bagi kita sebagai sebuah tanda, apakah itu kesulitan kita, kekacauan kita, atau kesenangan kita. Kita harus mulai dengan yang terdekat kepada kita, mempertanyakannya, dan merenungkannya.

Setelah kita melihat apa yang terdekat kepada kita, maka hendaknya kita melihat pada yang agak lebih jauh—angkasa, langit—dan kemudian melihat apa yang di luar angkasa dan langit bagian dalam. Kemudian hendaknya kita melihat pada gunung-gunung, pada apa yang memegang teguh mereka, pada apa mengokohkan kokoh, dan kemudian kembali ke bumi. Maka sanggupkah kita mengingat kembali bahwa kita berasal dari Tuhan, bahwa kita tidak berkuasa atas apa pun? Keadaan tertinggi yang dapat kita capai pada permulaan kesadaran adalah syahādah (penyaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muḥammad adalah Rasul-Nya). Syahādah tidak bisa datang kalau kita tidak berpikir, dan kemudian kita akan tahu bahwa ada ḥisāb (perhitungan), ada hasil, dan kita masing-masing mempunyai catatan sendiri.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *